Type Here to Get Search Results !

 


PEMBAGIAN TAUHID


Oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halaby 

Pertanyaan:

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halaby ditanya : Selama ini dalam berbagai kesempatan, saya banyak mendengar dari orang-orang yang mengatakan bermanhaj dan beraqidah Salaf, membagi tauhid menjadi Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Sifat. Dari manakah pembagian ini, mengingat di dalam al-Qur’an dan hadits tidak disebutkan. Dan menurut kami, hal itu tidak didapati pula pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun shahabat. Bukankah pernyataan tersebut termasuk suatu perkara baru (muhdats) dan tidak ada dalilnya? 

Jawaban:

Kami katakan, bahwa pembagian yang di isyaratkan tersebut kedudukannya seperti pembagian para pakar ilmu Nahwu terhadap kata dalam bahasa Arab menjadi isim (nama), fi’il (kata kerja) dan harf (imbuhan). Apakah yang demikian itu suatu hal tercela, padahal sesuai dengan kenyataan dan hakekat perkaranya

Betapa tepatnya perkataan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam risalahnya “At-Tahdzir” halaman 30 berkisar pembagian tauhid (menjadi 3, yakni tauhid Rububiyah, Uluhiyah, Asma wa Sifat; admin). Kata beliau : “Pembagian ini adalah hasil istiqro'1 (telaah) para ulama Salaf terdahulu seperti yang diisyaratakan oleh Ibnu Mandah dan Ibnu Jarir Ath-Thabari serta yang lainnya. Hal ini pun diakui oleh Ibnul Qayim. Begitu pula Syaikh Zabidi dalam “Taaj Al-Aruus” dan Syaikh Syanqithi dalam “Adhwa Al-Bayaan” dan yang lainnya. Semoga Allah merahmati semuanya.

Ini adalah hasil telaah yang paripurna dari nash-nash syar’i , seperti yang dikenal dalam setiap bidang ilmu. Seperti hasil tela’ah pakar ilmu Nahwu terhadap bahasa Arab menjadi : isim, fi’il dan harf. Dan orang-orang Arab tidak mencela dan melecehkan para pakar Nahwu tersebut terhadap hasil tela’ahnya”. 

Berkata Syaikh Al-Baijuri dalam “Syarh Jauharah At-Tauhid” halaman 97. 

Firman Allah ; 

الْØ­َÙ…ْدُ Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ رَبِّ الْعَالَÙ…ِينَ 

Mengisyaratkan pada pengakuan ‘Tauhid Rububiyah, yang konsekwensinya adalah pengakuan terhadap Tauhid Uluhiyah. Adapun konsekwensi Tauhid Uluhiyah adalah terlaksananya Ubudiyah. Hal ini menjadi kewajiban pertama bagi seorang hamba untuk mengenal Allah Yang Maha Suci. Kata beliau selanjutnya : “Kebanyakan surat-surat al-Qur’an dan ayat-ayatnya mengandung macam-macam tauhid ini, bahkan al-Qur’an dari awal hingga akhir menerangkan dan mengejawantahkan (menjelaskan)”. 

Kami katakan : “Sesungguhnya pembagian tauhid menjadi tiga ini, dikandung dalam banyak surat di dalam al-Qur’an al-Karim. Yang paling tampak serta paling jelas adalah dalam dua surat, yaitu al-Fatihah dan an-Naas, dimana keduanya adalah pembuka dan penutup al-Qur’an. 

Oleh karena itu firman-Nya Yang Maha Suci ;

الْØ­َÙ…ْدُ Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ رَبِّ الْعَالَÙ…ِينَ 

Mengandung pengukuhan akan ke-rububiyah-an Allah Jalla wa Alaa terhadap seluruh makhluk-Nya, dan firman-Nya Yang Maha Suci : 

الرَّØ­ْÙ…َٰÙ†ِ الرَّØ­ِيمِ Ù…َالِÙƒِ ÙŠَÙˆْÙ…ِ الدِّينِ 

Di disini mengandung pengukuhan terhadap sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi dan nama-nama-Nya Yang Maha Mulia, sedangkan firman-Nya Yang Maha Suci :

Ø¥ِÙŠَّاكَ Ù†َعْبُدُ ÙˆَØ¥ِÙŠَّاكَ Ù†َسْتَعِينُ 

Di sana mengandung pengukuhan ke-ubudiyah-an seluruh makhluk kepada-Nya dan ke-uluhiyah-an Allah atas mereka. 

Kemudian berkata Imam Ibnu Athiyah (wafat ; 546H) dalam kitabnya Al-Muharrar Al-Wajiiz, juz I, hal.75. 

Firman-Nya : 

Ø¥ِÙŠَّاكَ Ù†َعْبُدُ 

Adalah ucapan seorang yang beriman kepada-Nya yang menunjukkan pengakuan terhadap ke-rububiyah-an Allah, mengingat kebanyakan manusia beribadah kepada selain-Nya yang berupa berhala-berhala dan lain sebagainya”. 

Jadi pembagian tauhid menjadi tiga tersebut (Rububiyah, Uluhiyah, Asma wa Sifat; admin) adalah pembagian secara ilmu dan merupakan hasil tela’ah (Istiqro') seperti yang dikenal dalam kaidah keilmuan. Barangsiapa yang mengingkarinya berarti tidak ber-tafaquh terhadap Kitab Allah, tidak mengetahui kedudukan Allah, mengetahui sebagian dan tidak mengetahui sebagian yang lainnya. Allah pemberi petunjuk ke jalan nan lurus kepada siapa yang Dia kehendaki. 

Wallahu ‘alam 

____

Catatan kaki:

1. Asy-Syatibi, mendefinisikan Istiqra’ dengan penelitian terhadap makna-makna juz’i (khusus) untuk menetapkan kesimpulan hukum yang umum yang bersifat qat’i atau dzanni. Lebih lanjut menurut Asy-Syatibi, kesimpulan hukum dari Istiqra’ dapat berimplikasi hukum secara mutlak atau qath'i apabila cara penentuan hukum yang didalamnya tercakup keseluruhan partikular-partikularnya. Sementara itu, kesimpulan hukum itu akan bersifat dzanni apabila cara penentuan kesimpulan hukum diambil dari kebanyakan partikularnya saja.

Sumber: https://almanhaj.or.id/

Tags