Baca sebelum ini: Mengapa memilih manhaj Salaf #5
DALIL WAJIBNYA MENGIKUTI PEMAHAMAN SHAHABAT (1)
Banyak dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan kewajiban mengikuti pemahaman Shahabat. Para ulama telah banyak menulis masalah besar ini di dalam karya-karya mereka. Imam Ibnul Qoyyim di dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, menyebutkan 46 dalil tentang wajibnya mengikuti sahabat. (Lihat I’lamul Muwaqqi’in [II/388-409]).
Dalil-dalil tersebut di antaranya adalah:
(1). SURAT AL-FATIHAH AYAT 6-7
Allah –Subhanahu Wa Ta`ala- berfirman:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
Artinya: “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (Surat Al-Fatihah: 6-7).
Tonton video ini: Asy'Ariyah versus Ahlus-Sunnah
Faidah (1). Setiap dari kita yang muslim, dalam shalat selalu meminta dan berdoa, agar ditinjuki jalan yang lurus, dan ternyata salah satu makna jalan yang lurus adalah jalannnya Abu Bakar dan Umar (mereka adalah shahabat Nabi, bahkan shahabat terbaik), jalan merekalah yang kita minta kepada Allah, maka sangat aneh jika seseorang engggan mengikuti cara beragama mereka namun di dalam shalat selalu meminta agar ditunjuki menuju jalan mereka (para shahabat).
Faidah (2). Al-Hafidz Ibnu Katsir -rahimahullah- (wafat th. 774H) menyebutkan bahwa shirathal mustaqim itu memiliki empat penafsiran:
(1). Shirathal Mustaqim adalah Al-Haq (kebenaran).
(2). Shirathal Mustaqim adalah agama Islam.
(3). Shirathal Mustaqim adalah Al-Qur’an.
(4). Shirathal Mustaqim adalah Abu Bakar dan `Umar.
Beliau –rahimahullah- mengatakan bahwa keempat tafsir tersebut benar dan saling menyelarasi satu sama lain. Sebab, orang yang mengikuti Nabi –shallallahuu`alaihi wa sallam- dan mengikuti jejak dua khlaifah setelah beliau yaitu Abu Bakar dan `Umar, maka ia telah mengikuti Al-haq (kebenaran), dan siapa yang mengikuti kebenaran berarti ia telah mengikuti Islam, dan siapa yang menngikuti Islam berati ia telah mengikuti Al-Qur’an, -Qur’an adalah tali Allah yang kokoh, jalan-Nya yang lurus, dan semuanya adalah shahih dan saling membenarkan. (Lihat Tafsir Ibni Katsir [I/140] tahqiq Saami bin Muhammad As-Salamah, Cet. III Dar Ath-Thiibah Tahun 1426 H Dengan Sedikit Perubahan).
Faidah (3). Allah berfirman:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
Artinya: “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (Surat Al-Fatihah: 6-7).
Setiap dari kita yang muslim, dalam shalat selalu meminta dan berdoa, agar ditinjuki jalannya orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, di antara mereka yang diberi nikmat adalah para shiddiqiin (pecinta kebenaran), dan siapa lagi yang paling cinta terhadap kebenaran dari ummat ini jika bukan para shahabat Nabi? Kita berdoa agar dituntun ke jalan mereka, maka sangat aneh jika dalam beragama kita menghindar saat diajak untuk mengikuti shahabat.
Faidah (4). Dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang yang diberi nikmat adalah –di antaranya- para shiddiqiin (pecinta kebenaran) adalah firman Allah Ta`ala:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Artinya: “Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (Surat An-Nisaa: 69).
(2). SURAT AL-BAQARAH AYAT 13
Allah –Subhanahu Wa Ta`ala- berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman.” Mereka menjawab, “Apakah kami akan berimankah seperti orang-orang yang kurang akal itu beriman?” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang kurang akal; tetapi mereka tidak tahu”. (Surat Al-Baqarah: 13).
Faidah (1). Orang-orang munafiq pada zaman Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- diajak untuk beriman sebagaimana orang-orang yang lain yang telah beriman, yang dimaksud dengan orang lain yang telah beriman adalah para Shahabat, mereka disuruh beriman sebagaimana imannya para Shahabat, di mana iman mereka tidak sekedar di lisan tetapi masuk ke hati dan diamalkan oleh anggota badan, mereka membantah dengan mengatakan, “Apakah kami akan beriman sebagaimana orang-orang yang kurang akal beriman?” maka Allah membantah bahwa merekalah yang kurang akal, karena hakikat kurang akal adalah tidak mengetahui hal yang bermaslahat untuk dirinya dan mengerjakan sesuatu yang merugikannya.
Faidah (2). Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`diy menjelaskan ayat ini dengan mengatakan: yakni maknanya adalah apabila dikatakan kepada orang-orang munafiq “berimanlah kamu sebagaimana orang –orang yang telah beriman” yakni seperti berimannya para Shahabat –radhiyallahu `anhu- yaitu keimanan dengan hati dan lisan, namun mereka (kaum munafiq) malah berkata dengan sangkaan mereka yang bathil “apakah kami akan beriman seperti imannya orang-orang yang bodoh ituu?”. Maksud mereka –semoga Allah memburukkan mereka- orang yang bodoh itu adalah para Shahabat –radhiyallahu`anhum- karena dugaan mereka bahwasannya:
-kebodohan mereka yang menyebabkan mereka beriman.
-kebodohan mereka yang menyebabkan mereka meninnggalkan negeri.
-kebodohan mereka yang menyebabkan mereka memusuhi orang-orang kafir.
Sedangkan makna berakal menurut mereka adalah yang berlawanan dengan hal tersebut. Mereka menyifati para Shahabat dengan kebodohan dan makna dari statemen tersebut adalah bahwa mereka menunjuk diri merekalah orang-orang pintar (berakal) yang memiliki kecerdasan dan pikiran yang matang. Maka Allah membalas mereka dan mengabarkan kepada mereka bahwasannya merekalah orang-orang bodoh yang sebenarnya, karena hakikat kebodohan itu adalah ketidaktahuan seorang manusia kepada kemashlahatan pribadinya dan perbuatan-perbuatannya yang justru malah mendatangkan mudharat baginya. (Lihat Taisiir Al-Kariimir-rahmaan Fii Tafsiir Kalaamil Mannaan, Hal. 43, Cet. Maktabah An-Nubalaa’. Karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`diy).
Faidah (3). Al-Hafidz Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata: yang mereka (orang-orang munafiq) –semoga Allah melaknat mereka- maksudkan di sini adalah para Shahabat Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam- semoga Allah meridhai mereka. (Lihat Tafsiir Ibnu Katsir [I/184]).
(3). SURAT AL-BAQARAH AYAT 137
Allah –Subhanahu Wa Ta`ala- berfirman:
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya: “Maka jika mereka telah beriman sebagaimana yang kamu imani, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Tetapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (denganmu), maka Allah akan memelihara kamu dari mereka, dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (Surat Al-Baqarah: 137).
Faidah (1). Memelalui ayat ini Allah menjadikan Iman para Shahabat Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam- sebagai timbangan (tolak ukur) untuk membedajan antara petunjuk dan kesesatan, antara kebenara dan kebathilan. Apabila ahli kitab meu beriman sebagaimana berimannya para Shahabat Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam- maka sungguh mereka telah mendapat hidayah (petunjuk) yang mutlak dan sempuurna. Jika mereka (ahli kitab) berpaling (tidak mau beriman) sebagaimana berimannya para Shahabat, maka mereka –dianggap- terjatuh dalam perpecahan, perselisihan, dan kesesatan yang sangat jauh.
Ketika memohon hidayah dan iman adalah sebesar-besar kewajiban, maka menjauhi perselisihan dan kesesatan adalah juga wajib, jadi mengikuti (manhaj) Shahabat Rasul –radhiyallahu `anhum- adalah termasuk kewajiban yang paling wajib (karena dengan mengikuti manhaj mereka tercapailah iman yang benar dan terhindar dari kesesatan). (Lihat Basha’ir Dzawi Syaraf bi Syarhi Marwiyyati Manhajis-Salaf, hal. 53, Karya Asy-Syaikh Salim binn `Ied Al-Hilaliy).
Baca setelah ini: Mengapa memilih manhaj Salaf #7
Sumber: http://minhajussunnah.or.id/
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Artinya: “Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (Surat An-Nisaa: 69).
(2). SURAT AL-BAQARAH AYAT 13
Allah –Subhanahu Wa Ta`ala- berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman.” Mereka menjawab, “Apakah kami akan berimankah seperti orang-orang yang kurang akal itu beriman?” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang kurang akal; tetapi mereka tidak tahu”. (Surat Al-Baqarah: 13).
Faidah (1). Orang-orang munafiq pada zaman Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- diajak untuk beriman sebagaimana orang-orang yang lain yang telah beriman, yang dimaksud dengan orang lain yang telah beriman adalah para Shahabat, mereka disuruh beriman sebagaimana imannya para Shahabat, di mana iman mereka tidak sekedar di lisan tetapi masuk ke hati dan diamalkan oleh anggota badan, mereka membantah dengan mengatakan, “Apakah kami akan beriman sebagaimana orang-orang yang kurang akal beriman?” maka Allah membantah bahwa merekalah yang kurang akal, karena hakikat kurang akal adalah tidak mengetahui hal yang bermaslahat untuk dirinya dan mengerjakan sesuatu yang merugikannya.
Faidah (2). Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`diy menjelaskan ayat ini dengan mengatakan: yakni maknanya adalah apabila dikatakan kepada orang-orang munafiq “berimanlah kamu sebagaimana orang –orang yang telah beriman” yakni seperti berimannya para Shahabat –radhiyallahu `anhu- yaitu keimanan dengan hati dan lisan, namun mereka (kaum munafiq) malah berkata dengan sangkaan mereka yang bathil “apakah kami akan beriman seperti imannya orang-orang yang bodoh ituu?”. Maksud mereka –semoga Allah memburukkan mereka- orang yang bodoh itu adalah para Shahabat –radhiyallahu`anhum- karena dugaan mereka bahwasannya:
-kebodohan mereka yang menyebabkan mereka beriman.
-kebodohan mereka yang menyebabkan mereka meninnggalkan negeri.
-kebodohan mereka yang menyebabkan mereka memusuhi orang-orang kafir.
Sedangkan makna berakal menurut mereka adalah yang berlawanan dengan hal tersebut. Mereka menyifati para Shahabat dengan kebodohan dan makna dari statemen tersebut adalah bahwa mereka menunjuk diri merekalah orang-orang pintar (berakal) yang memiliki kecerdasan dan pikiran yang matang. Maka Allah membalas mereka dan mengabarkan kepada mereka bahwasannya merekalah orang-orang bodoh yang sebenarnya, karena hakikat kebodohan itu adalah ketidaktahuan seorang manusia kepada kemashlahatan pribadinya dan perbuatan-perbuatannya yang justru malah mendatangkan mudharat baginya. (Lihat Taisiir Al-Kariimir-rahmaan Fii Tafsiir Kalaamil Mannaan, Hal. 43, Cet. Maktabah An-Nubalaa’. Karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`diy).
Faidah (3). Al-Hafidz Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata: yang mereka (orang-orang munafiq) –semoga Allah melaknat mereka- maksudkan di sini adalah para Shahabat Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam- semoga Allah meridhai mereka. (Lihat Tafsiir Ibnu Katsir [I/184]).
(3). SURAT AL-BAQARAH AYAT 137
Allah –Subhanahu Wa Ta`ala- berfirman:
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya: “Maka jika mereka telah beriman sebagaimana yang kamu imani, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Tetapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (denganmu), maka Allah akan memelihara kamu dari mereka, dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (Surat Al-Baqarah: 137).
Faidah (1). Memelalui ayat ini Allah menjadikan Iman para Shahabat Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam- sebagai timbangan (tolak ukur) untuk membedajan antara petunjuk dan kesesatan, antara kebenara dan kebathilan. Apabila ahli kitab meu beriman sebagaimana berimannya para Shahabat Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam- maka sungguh mereka telah mendapat hidayah (petunjuk) yang mutlak dan sempuurna. Jika mereka (ahli kitab) berpaling (tidak mau beriman) sebagaimana berimannya para Shahabat, maka mereka –dianggap- terjatuh dalam perpecahan, perselisihan, dan kesesatan yang sangat jauh.
Ketika memohon hidayah dan iman adalah sebesar-besar kewajiban, maka menjauhi perselisihan dan kesesatan adalah juga wajib, jadi mengikuti (manhaj) Shahabat Rasul –radhiyallahu `anhum- adalah termasuk kewajiban yang paling wajib (karena dengan mengikuti manhaj mereka tercapailah iman yang benar dan terhindar dari kesesatan). (Lihat Basha’ir Dzawi Syaraf bi Syarhi Marwiyyati Manhajis-Salaf, hal. 53, Karya Asy-Syaikh Salim binn `Ied Al-Hilaliy).
Baca setelah ini: Mengapa memilih manhaj Salaf #7
Sumber: http://minhajussunnah.or.id/