Type Here to Get Search Results !

 


MENGAPA MEMILIH MANHAJ SALAF BAG. KE-4



Ditulis Oleh: ABU UWAIS MUSADDAD

SALAFIY BERBEDA DENGAN KELOMPOK YANG MENYIMPANG

Faidah (1). Ada nama-nama dan gelar-gelar lain dari penisbatan kepada salafi, seperti  misalnya nama: Ahlus-Sunnah Wal Jama`ah, Al-Firqatun-Najiyyah, Ath-Thaifah Al-Manshurah, Salaf, Ahlul Hadits, Al-Ghuraba’ dan nama-nama lain yang telah kita jelaskan pada pertemuan ketiga, penamaan-penamaan ini sangat berbeda dengan penamaan-penamaan milik kelompok-kelompok sesat, atau gerakan-gerakan yang menyimpang dari kebenaran, mengapa?? Karena Salafiyah atau Ahlus-Sunnah Wal Jama`ah memiliki karakteristik khusus, mereka berbeda ditinjau dari beberapa sisi yaitu:

Tonton video ini: Asy'Ariyah versus Ahlus-Sunnah

PERTAMA, Bahwa Salafiyyah atau Ahlus-Sunnah Wal Jama`ah merupakan nisbat yang tidak pernah terpisah  sekejap mata pun dari ummat Islam semenjak terbentuknya Manhaj Nubuwwah.

Praktek beragama dengan cara bahwa beragama ini harus mengikuti Nabi dan juga mengikuti Shahabat Nabi, ini sudah ada sejak terbentuknya Manhaj Nubuwwah (cara beragama yang diajarkan oleh Nabi), sejak Nabi mengajarkan Islam, dan kemudian dipraktekkan oleh generasi-generasi setelahya dari generasi Tabi`in dan Tabi`ut-Tabi`in. Seperti itulah Islam yang benar dan lurus.

Dari sini juga kita paham bahwa salafiy atau Ahlus-Sunnah Wal Jama`ah bukanlah organisasi masyarakat (ormas), sebagaimana yang dituduhkan oleh mereka yang sangat awam dalam masalah cara beragama, karena Salafiy atau Ahlus-Sunnah Wal Jama`ah ada sejak terbentuknya cara beragama yang didakwahkan oleh Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam- dan ia adalah sebuah pemahaman, yaitu Islam itu sendiri. Organisasi sangatlah erat dengan yang namanya mendaftar untuk menjadi anggota, iuran keanggotaan, kartu anggota, logo organisasi, adanya anggaran dasar dan anggran rumah tangga di dalamya, adanya ketua umum, wilayah cabang dan sejenisnya, dan ternyata itu semua tidak didapati pada mereka yang menisbatkan diri dengan nama salafiy.

Dengan penjelasan ini jelaslah bahwa orang yang beragama dengan mengambil sumber ajaran Islam dari para Shahabat Nabi, maka dengan sendirinya ia adalah seorang Salafiy. Hal itu terjadi tanpa harus mendaftar, tanpa berbai’at, tanpa iuran anggota, tanpa kartu anggota, tanpa harus ikut pengajian tertentu, tanpa harus mendengarkan radio atau channel tv tertentu, dan tanpa harus memakai busana khas dengan logo tertentu, bahkan diujung dunia tanpa tetangga pun bisa jadi mereka adalah salafiy (memahami agama ini berdasarkan pemahaman para Shahabat Nabi, Tabi`in dan Tabi`ut-Tabi`in). Maka ANDA yang sedang membaca artikel ini pun seorang Salafi bila anda selama ini mencontoh Rasulullah -shallallahu ’alaihi wa sallam- dan para sahabatnya dalam beragama.

Pernah ditanyakan kepada Asy-Syaikh `Ubaid Al-Jabiriy: Apakah benar bahwa dakwah salaf ini dicetuskan oleh Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab?. Maka beliau menjawab: “Dakwah salafiyyah tidaklah didirikan oleh seorang manusia pun, pada tempat tertentu atau waktu tertentu. Bukan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab bersama saudaranya Imam Muhammad Bin Su’ud –semoga Allah merahmati keduanya- dan keduanya memanglah mujaddid, tidak pula oleh para ahli ilmu dan para imam serta da`i-da`i yang haq sebelum mereka –yang mengajak kepada cara beragama yang hanif ini-, tidak juga –misalnya- oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, bukan pula oleh orang-orang yang hidup sebelum mereka seperti Imam Mazhab yang empat, bukan pula oleh salah seorang Tabi’in, bukan pula oleh Shahabat Nabi, bukan pula oleh Nabi -shallallahu ’alaihi wa sallam-, dan bukan didirikan oleh seorang Nabi atau Rasul yang terdahulu. Bahkan dakwah Salafiyah ini datang dari Allah. Sedangkan para Nabi dan Rasul mereka menyampaikan syariat yang berasal dari Allah Ta’ala, demikian pula para da`I berdakwah mengajak untuk berada di atas syariat ini. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat dijadikan rujukan melainkan nash dan ijma”. (Lihat: Su’al Wa Jawab `Alaa Kitaab Ushuul Wa Qawaa`id  Fii Al-Manhaj As-Salafiy, Pertanyaan Ke 6).

KEDUA, Salafiyyah atau Ahlus-Sunnah Wal Jama`ah merupakan nisbat yang mencakup seluruh Islam: Al-Qur’an dan Sunnah.

Maka mereka yang berkata “saya salafiy”, atau “saya ahlus-sunnah”, kalimat tersebut telah cukup mewakili kalimat yang panjang “saya muslim mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para Shahabat Nabi –radhiyallahu`anhum-).

KETIGA, Bahwa di antara gelar-gelar tersebut ada yang telah shahih berdasarkan Sunnah yang shahih, dan di antara gelar-gelar tersebut ada yang nampak dan muncul ke permukaan pada saat menghadapi manhaj-manhaj (cara beragama) ahlul ahwa’ (pengekor hawa nafsu) dan firqah-firqah yang sesat guna membantah bid`ah-bid`ah mereka dan membedakan diri dengan mereka, tidak bergaul dengan mereka, dan untuk menentang mereka.
KEEMPAT, Bahwsannya ikatan Al-Wala` Wal Bara’, mencintai dan memusuhi bagi mereka adalah berdasarkan Islam, bukan berdasarkan yang lainnya.

Sehingga kecintaan dan kebencian yang mereka bangun bukanlah dibatasi suku, warna kulit, majalah, radio, channel tv, pulau, negara, dan sejenisnya. Hal ini sangat berbeda dengan kelompok sesat yang di mana mereka ada yang membatasi cinta dan benci atas dasar partai, organisasi, logo, dan lain-lain.

KELIMA, Sesungguhnya gelar-gelar ini tidak mengajak untuk ta`ashshub (fanatik) kepada seseorang selain kepada Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam-.

Dengan gelar-gelar ini mereka pun tetap memerangi hizbiyyah, mereka tidak mengajak kepada ta`ashshub (fanatik buta) kepada seseorang selain dari Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam-.

Bila ada yang mengatakan, apabila kita tidak boleh ta`ashshub kepada seorang pun, berarti kita dibolehkan belajar dari siapa saja?? Maka jawabannya: Tidak demikian, untuk memilih teman saja kita dianjurkan memilih teman yang baik, apalagi memilih guru, tentu mesti lebih selektif.

Imam besar Ahlus sunnah dari generasi Tabi’in, Muhammad bin Sirin berkata:

إِنَّ هَذَا العِلمَ دِينٌ فَانظُرُوا عَمَّن تَأخُذُونَ دِينَكُم

Artinya: Ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah pada siapa kalian belajar agama kalian”. (Dinukil oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim [1/43-44] Syarhu Shahih Muslim).

Kita dilarang ta`ashub kepada guru, ustadz, atau siapapun kecuali Rasulullah, namun bukan berarti bebas mengambil ilmu dengan kaidah “ambil baiknya dan buang buruknya” tanpa bimbingan orang yang mengerti tentang kebaikan dan keburukan. Kaidah ini benar, karena memang kita dilarang mengambil yang buruk, jika sudah tahu buruk maka jangan diambil untuk dijadikan teman, istri, suami, dll, apalagi guru. Namun, untuk memngetahui dan mampu membedakan baik dan buruk itu harus dengan ilmu, sebagaimana kita mengetahui makanan yang baik dan yang buruk dari ahli makanan, bukan melalui perasaan yang penting enak, betapa banyak makanan yang enak ternyata berbahaya, begitu pula betapa banyak ustadz yang enak retorikanya, lucu dan menarik gaya bahasanya, namun sampah pemikirannya.

Masih tentang “ambil baiknya dan buang buruknya”, ungkapan ini sering dijadikan sandaran oleh mereka yang rela menceburkan dirinya untuk mengambil ilmu dari siapa saja, mereka berdalil bahwa Abu Hurairah saja mengambil ilmu dari syetan, sebagaimana hadits tentang syetan mencuri harta zakat yang dijaga oleh Abu Hurairah. Maka kita tanyakan: apakah Abu Hurairah langsung mengamalkannya atau menanyakan kebenarannya dahulu kepada Rasulullah? Jawab: menanyakannya terlebih dahulu kepada ahlinya sebelum mengamalkan. Maka jangan gegabah langsung menganggukkan kepala pada setiap yang disuguhkan kepada kita. Pertanyaan berikutnya: apakah kemudian Rasulullah menganjurkan belajar dari syetan saja? Jawab: tidak, bahkan Nabi hanya berkata: kali ini dia benar walau sebenarnya secara asal dia adalah pendusta. Maka kebenaran boleh diterima dari siapa saja jika itu BENAR, namun tidak boleh dicari dari siapa saja! Harus dibedakan antara menerima kebenaran dengan mencari kebenaran. Silahkan baca tulisan saya yang berjudul http://minhajussunnah.or.id/manhaj/ambil-baiknya-buang-buruknya/ dan juga yang berjudulhttp://minhajussunnah.or.id/manhaj/kebenaran-bisa-jadi-allah-letakkan-pada-lisan-tulisan-lawan-kita/.

KEENAM, Bahwasannya gelar-gelar mereka ini tidak mengajak kepada perbuatan maksiat, bid`ah , fanatik kepada seseorang, dan tidak pula fanatik kepada kelompok.

Tentunya hal ini sangat berbeda dengan kelompok-kelompok sesat yang mereka mengajarkan bid`ah, mengajak untuk menjadikan tolak ukur cinta dan benci berdasarkan kelompok atau keanggotaannya.

Faidah (2). Seorang yang mengatakan: “Saya seorang Salafy” atau “Saya adalah pengikut Manhaj Salaf” bukan berarti ia meninggikan dirinya dan mengklaim bahwa dialah yang paling benar dalam segalanya. Namun pernyataan tersebut menunjukkan cita-cita dan harapannya bahwa ia ingin menjadi sebenar-benarnya mengikuti teladan para Salafus-Shalih dengan sebaik-baiknya pada seluruh sendi agama Islam ini.

Sebagaimana seorang yang mengatakan: “Saya muslim”. Apakah orang yang mengatakan demikian telah mengklaim dirinya adalah orang yang telah menjalankan syariat Islam secara sempurna? Tentu saja tidak. Ia mengatakan demikian sebenarnya pun dengan pengakuan dalam hati tentang kekurangan pada dirinya. Namun ia bercita-cita ingin menjadi muslim yang menjalankan syariat Islam dengan baik dan terus memperbaiki dirinya, sehingga dengan berani ia mengatakan “Saya Muslim”.

Faidah (3). Seorang pengikut manhaj Salaf yang haq tidak akan pernah mengklaim bahwa ia dan orang-orang yang sekarang bersamanya pasti akan masuk Surga sedangkan yang lainnya tidak. Hal ini sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian mereka yang membenci dakwah salaf. Padahal pengikut manhaj salaf meyakini tidak ada yang tahu akhir kehidupan seseorang kecuali Allah. Ia tidak akan pernah tahu apakah ia akan terus menjadi pengikut manhaj Salaf hingga akhir kehidupannya atau justru berakhir menjadi pengikut hawa nafsu. Semoga Allah memudahkan kita untuk istiqamah di atas manhaj Salaf.

Kita hanya bisa memastikan secara umum bahwa siapapun orangnya yang mengikuti manhaj Salaf dengan baik hingga akhir hayatnya, pasti masuk Surga, sebagaimana banyak dalil-dalil yang menunjukkan demikian. Karena manhaj Salaf pada hakikatnya adalah Islam yang sebenarnya, islam yang murni, cara beragama yang Nabi ajarkan. Adapun untuk keadaan masing-masing individu (setiap orang), ia tidak berani menyatakan bahwa fulaan pasti masuk surga dan fulaan pasti masuk neraka, kecuali orang-orang tertentu yang telah dipastikan oleh Allah dan Rasul-Nya bahwa mereka pasti masuk Surga atau masuk Neraka.

Faidah (4). Dakwah Salafiyyah adalah ajakan kepada Sunnah, sehingga pada dasarnya pengikut manhaj Salaf adalah Ahlus-Sunnah. Dakwah Salaf bukanlah ajakan pada pribadi, kelompok, yayasan, organisasi, partai, bendera, komunitas, maupun golongan tertentu secara ashabiyyah (fanatik buta). Telah disampaikan pada faidah sebelumnya bahwa penamaan ‘Salaf’ bukanlah penamaan yang mengada-ada, tapi sesungguhnya berasal dari ucapan Nabi, Sahabat beliau, dan para Ulama Ahlus-Sunnah setelahnya.

Faidah (5). Dahulu di masa Nabi cukup seorang mengatakan: Saya muslim. Hal itu wajar, karena di masa itu hanya ada kelompok kafir dan muslim secara dhahir. Tidak ada kebid’ahan atau hal-hal baru yang diada-adakan di masa Nabi. Maka cukup seorang mengatakan: Saya muslim sebagai pembeda dengan orang-orang kafir.

Namun, ketika mulai muncul kebid’ahan, maka para Sahabat mulai memberikan pembeda antara ajaran Islam yang murni dengan ajaran Islam yang sudah mulai terkotori dengan kebid’ahan. Sebagaimana Ibnu Abbas memisahkan antara Ahlus Sunnah dengan Ahlul Bid’ah dalam salah satu penafsirannya.

Saat orang-orang mulai banyak yang senang memahami dalil Al-Quran dan dalil As-Sunnah dengan akalnya sendiri, atau dengan pemikiran para pemimpin dan tokoh kelompoknya, atau metode yang dipilihnya, maka saat itulah perlu pembeda antara pengikut manhaj Salaf dengan yang bukan. Sehingga perlu pembeda antara orang-orang yang memunculkan hal-hal baru dalam agama ini dengan orang-orang yang masih tetap berusaha istiqomah mengikuti ajaran Islam yang murni terdahulu.

Jika tidak dibedakan niscaya orang-orang awwam akan mengira bahwa tidak ada pembeda antara yang haq dan yang bathil lantaran asingnya yang haq (al-ghuraba’), dan tersebarnya bid`ah munkarah yang syubhatnya menyambar-nyambar.

Baca setelah ini: Mengapa memilih manhaj Salaf #5

Sumber: http://minhajussunnah.or.id/
Tags