Baca sebelum ini: Mengapa memilih manhaj Salaf #18
Berikut Ini Adalah Faidah Kajian MENGAPA MEMILIH MANHAJ SALAF di Desa Tinombala Sulawesi Tengah Tepatnya Di Masjid Bustanul Mukmin Desa Tinombala. Sabtu Malam Ahad, 25 Jumaadal Aakhirah 1440 H/02 Maret 2019 M.
DALIL WAJIBNYA MENGIKUTI PEMAHAMAN SHAHABAT (14)
Baca juga Asy'Ariyah versus Ahlus-Sunnah
(40). HADITS DARI ABU SA`ID AL-KHUDRIY
Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- bersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُبْعَثُ مِنْهُمُ الْبَعْثُ فَيَقُولُونَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ فِيكُمْ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّانِي فَيَقُولُونَ هَلْ فِيهِمْ مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّالِثُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَكُونُ الْبَعْثُ الرَّابِعُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ أَحَدًا رَأَى مَنْ رَأَى أَحَدًا رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ
Artinya: “Akan datang suatu masa, yang saat itu ada satu pasukan dikirim (untuk berperang). Mereka berkata: Coba lihat, adakah di antara kalian seorang shahabat Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam-? Ternyata ada satu orang shahabat Nabi, maka karena shahabat tersebut Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan kedua, lalu dikatakan kepada mereka: Adakah di antara mereka yang pernah melihat sahabat Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam-)?. Maka karenanya (tabi`in) tersebut Allah memenangkan mereka. Lalu dikirim pasukan ketiga, lalu dikatakan: Coba lihat, apakah di antara mereka ada yang pernah melihat tabi`in? Maka didapatkan satu orang, sehingga Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan keempat, lalu dikatakan: Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat tabi`ut-tabi`in?. Maka didapatkan satu orang. Akhirnya Allah memenangkan mereka”. (Riwayat Muslim no. 2532).
Faidah (1). Bukti kenabian beliau –shallallahu `alaihi wa sallam-, ketika beliau mengabarkan perkara ghaib yang belum terjadi saat itu.
Faidah (2). Ummat Islam akan mendapatkan kemuliaan dan kemenangan dengan mengikuti para Shahabat -radhiyallahu `anhum-. Maka ummat Islam wajib mengikuti para shahabat, bukankah mereka menginginkan kemuliaan dan bukan kehinaan??
Faidah (3). Keutamaan generasi awal ummat ini, sebagaimana sabda Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam-:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Artinya: “Sebaik-baik manusia ialah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya, dan kemudian zaman berikutnya”. (Riwayat Al-Bukhari no. 3651 dan Muslim no. 2533).
(41). HADITS DARI ABU DZAR AL-GHIFARI
Abu Dzarr –radhiyallahu `anhu- berkata:
مَرَّ بِي فَتًى فَقُلْتُ: اسْتَغْفِرْ لِي، فَقَالَ: أَسْتَغْفِرُ لَكَ وَأَنْتَ صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: لا، أَوْ تُعْلِمُنِي، قَالَ: إِنَّكَ مَرَرْتَ بِعُمَرَ فَقَالَ: نِعْمَ الْفَتَى، وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يَقُولُ: ” إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ يَقُولُ بِهِ “
Artinya: “Ada seorang pemuda melewatiku, lalu aku berkata: Mintakanlah ampun kepada Allah untukku. Ia menjawab: Aku memintakan ampun kepada Allah untukmu, sedangkan engkau adalah shahabat Rasulullahshallallaahu `alaihi wa sallam-?. Aku menjawab: Ya. Ia berkata : Tidak mau, atau engkau memberi tahu kepadaku (apa sebabnya engkau melakukannya). Abu Dzarr berkata: Sesungguhnya engkau tadi melewati `Umar, dan ia berkata: ini adalah sebaik-baik pemuda. Dan aku pernah mendengar Rasulullah -shallallaahu `alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah telah meletakkan kebenaran pada lisan dan hati `Umar”. (Riwayat Abu Nu`aim dalam Al-Hilyah no. 7002, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak [III/86-87], Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal [I/72-73] no. 66, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin no. 1543 & 3566, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I`tiqaad no. 2490, dan Ibnu `Asaakir [XXXXIV/97, Ahmad [VI/165-177], Abu Dawud no. 2962, Ibnu Majah no. 108, Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah no. 3876).
Faidah (1). Al-Imam Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata: “tentu sangat mustahil tentang terjadinya kesalahan pada masalah yang difatwakan oleh orang-orang yang Allah telah jadikan kebenaran sebagai bagian dari lisan dan hatinya, padahal tidak ada seorang shahabat pun yang mengingkarinya, lantas tiba-tiba kebenaran fatwa tersebut ternyata malah ada pada generasi (golongan) setelahnya, tentu sekali lagi ini sangatlah mustahil. (Lihat: I`laamul Muwaqqi`in [VI/8-9).
Faidah (2). Hadits tentang keutamaan `Umar ini tidak mengindikasikan bahwa `Umar selalu benar. Tidak ada seorang pun yang ma`shum terjaga dari kesalahan kecuali Nabi. Akan tetapi, ia mempunyai kecenderungan untuk mengikuti kebenaran, saat ia terluput dalam kesalahan maka ia sangat bersegera untuk ruju` kepada kebenaran.
(42). HADITS DARI HADITS ‘AUF BIN MALIK
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِيْ الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ هُمْ؟ قَالَ: الْجَمَاعَةُ.
Artinya: “Dari `Auf bin Malik, ia berkata: Rasulullah -shallallahu `alaihi wa sallam- bersabda: Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, satu golongan masuk Surga dan yang 70 golongan di Neraka. Dan Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, yang 71 golongan di Neraka dan yang satu di Surga. Dan demi Yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, ummatku benar-benar akan terpecah menjadi 73 golongan, yang satu di Surga, dan yang 72 golongan di Neraka. Ditanyakan kepada beliau: Siapakah mereka (satu golongan yang masuk Surga itu) wahai Rasulullah?, Beliau menjawab; mereka adalah Al-Jama`ah”. (Riwayat Ibnu Majah no. 3992, Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahiihah no. 1492).
Faidah (1). Asy-Syaikh Salim bin `Ied Al-Hilaiy menjelaskan dalam kitab beliau Basha’iru Dzawisy-Syaraf bi Syarhi Marwiyyati Manhajis-Salaf: “Al-Imam Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata: Banyak nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menganjurkan dan memerintahkan kita untuk berada dalam Al-Jama`ah. Nash Nabawi tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Jama`ah ialah para shahabat Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam-. Sebab, di masa awal Islam tidak ada jama`ah lain selain jama`ah Shahabat.
Maka menetapi Al-Jama`ah ialah menetapi perkataan mereka dalam penghalalan, pengharaman, dan tidak membelot dari mereka.
Al-Imam Asy-Syafi`iy –rahimahullah- berkata: Jika Jama`ah kaum muslimin terpecah di berbagai negeri, maka tidak ada seorang pun yang mampu untuk komitmen di atas persatuan fisik orang-orang yang terpecah belah. Sebab, bisa jadi fisik orang-orang muslim dan kafir juga bersatu, begitu juga antara orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang keji, sehingga komitmen di atas kesatuan fisik tidaklah memiliki arti, karena perkumpulan fisik semata tidak akan bisa membuahkan sesuatu pun. Komitmen di atas Jama`ah tidak akan ada artinya kecuali jika jama`ah itu sepakat dalam penghalalan, pengharaman, dan ketaatan pada kedua hal tersebut.
Siapapun yang bersuara seperti pendapat kaum muslimin maka ia telah komitmen dan menetapi Jama`ah. Dan siapa pun yang berseberangan dengan pendapat jama`ah maka ia telah bersebarangan dengan Jama`ah yang sebenarnya diperintahkan untuk dipatuhi. Kelengahan hanya terdapat dalam perpecahan, dan tidak mungkin di dalam jama`ah terjadi kelengahan dari makna kitabullah, sunnah, dan qiyas –in syaa’allah-.
Menetapi Al-Jama`ah dalam hal ini adalah menetapi perkataan para shahabat dalam penghalalan dan pengharaman karena demikianlah makna menetapi Al-Jama`ah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Imam Asy-Syafi`iy -rahimahullah-.
Jama`ah yang dimaksud adalah jama`ah para Shahabat sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits tentang perpecahan ummat”. (Lihat: Basha’iru Dzawisy-Syaraf bi Syarhi Marwiyyati Manhajis-Salaf hal. 76-77 Cetakan Maktabah Al-Furqan, karya Asy-Syaikh Salim bin`Ied Al-Hilaliy).
Faidah (2). Para Shahabat bertanya siapa yang SATU, dan bukan bertanya siapa yang TUJUH PULUH DUA. Bukan berarti tidak penting mengetahui yang tujuh puluh dua golongan, namun ada perkara terpenting, yakni mengetahui yang satu itu, untuk menjadi ukuran diri kita sebelum mengukur orang lain, apakah kita termasuk darinya ataukah bukan. Adapun kita, kita lebih sering sibuk bertanya yang satu atau yang tujuh puluh dua?
(43). HADITS DARI ABU SA`ID AL-KHUDRIY
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، قَالَ: بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْسِمُ ذَاتَ يَوْمٍ قِسْمًا، فَقَالَ ذُو الخُوَيْصِرَةِ، رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ، قَالَ: وَيْلَكَ، مَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ. فَقَالَ عُمَرُ: ائْذَنْ لِي فَلْأَضْرِبْ عُنُقَهُ، قَالَ: لاَ، إِنَّ لَهُ أَصْحَابًا، يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ، وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمُرُوقِ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ
Artinya: “Dari Abu Sa`id Al-Khudriy -radliallahu `anhu-, dia berkata: Ketika kami sedang bersama Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- yang sedang membagi-bagikan pembagian (harta rampasan), datanglah Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata: Wahai Rasulullah, engkau harus berlaku adil!. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu pasti telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. Kemudian `Umar berkata: Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!. Beliau berkata: Biarkanlah dia!. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al-Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan)”. (Riwayat Al-Bukhari no. 3610, Muslim no. 1064).
Faidah (1). Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- menjadikan pemahaman para Shahabat dan amalan mereka sebagai timbangan untuk menimbang pemahaman dan amalan orang-orang sesudah mereka. Jadi, timbangan kebenaran bukan tentang bagaimana lamanya sholat seseorang, bukan tentang bagaimana kuatnya hafalan seseorang terhadap dalil, bukan tentang bagaimana lantangnya dalam mengingkari kemungkaran, namun tentang pemahamannya apakah sesuai dengan para Shahabat atau tidak dalam beragama ini.
(44). HADITS DARI `UBADAH BIN SHAMIT
`Ubadah bin Shamit berkata:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّالاَ نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
Artinya: “Kami berbaiat kepada Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan semangat ataupun lemah (berat), dan untuk tidak menentang perintah pemimpinnya serta untuk menegakkan (kebenaran) atau berkata dengan benar di manapun kami berada, tidak takut dalam membela agama Allah dari celaan orang-orang yang mencelanya”. (Riwayat Al-Bukhari no. 7199, Muslim no. 1709).
Faidah (1). Para shahabat adalah ummat yang telah berkata dengan kebenaran dan mereka tegas dalam mendakwahkannya sampai-sampai tidak takut celaan orang-orang yang mencela dalam berdakwah di jalan Allah, tentu ini keutamaan khusus pula bagi generasi Shahabat –radhiyallahu `anhum- yang mana perihal ini jarang kita temui pada generasi akhir ini. Dalam berdakwah dan menyampaikan kebenaran mereka tidak takut cambuk penguasa, mereka tidak takut jeruji para pemimpin, apalagi siksaan tongkat mereka. Ini juga menjadi alasan tentang layaknya mereka menjadi panutan bahkan wajibnya mengikuti mereka dalam beragama.
Baca setelah ini: Mengapa memilih manhaj Salaf #20
Sumber: minhajussunnah.or.id/