Baca sebelum ini: Mengapa memilih manhaj Salaf #19
DALIL WAJIBNYA MENGIKUTI PEMAHAMAN SHAHABAT (15)
(45). HADITS DARI HUDZAIFAH IBNUL YAMAN
عَنْ حُذَيْفَةَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-، قَالَ: يَا مَعْشَرَ الْقُرَّاءِ! اِسْتَقِيمُوا فَقَدْ سَبَقْتُمْ سَبْقًا بَعِيدًا، فَإِنْ أَخَذْتُمْ يَمِينًا وَشِمَالًا لَقَدْ ضَلَلْتُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Artinya: “Dari Hudzaifah ibn Al-Yaman –radhiyallahu `anhu- ia berkata: Wahai para Qurra’ hendaknya kalian beristiqomah. Sungguh kalian telah mendahului dengan jarak yang sangat jauh, akan tetapi jika kalian mengambil bagian kanan dan bagian yang kiri, niscaya kalian sesat dengan kesesatan yang nyata”. (Riwayat Al-Bukhari no. 7282).
Faidah (1). Al-Qurra’ maknanya di sini adalah ulama secara umum, yaitu para ulama yang menguasai Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukan Qurra’ yang dikhususkan untuk makna qori’ yang artinya pembaca atau penghafal Al-Qur’an. Dulu mereka memanggil bukan dengan panggilan ulama namun kebanyakan mereka memanggil dengan istilah Al-qurra’. Walaupun tentunya Qurra’ ini idealnya dan memang itulah yang ada pada zaman mereka yaitu mereka yang menguasai Al-quran dan As-sunnah secara bersamaan.
Tonton video ini: Asy'Ariyah versus Ahlus-Sunnah
Faidah (2). Para ulama` senantiasa menganjurkan untuk istiqamah, sebagaimana Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam- pun menganjurkannya, bahkan Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- sampai rambut beliau beruban tatkala memikirkan perintah dari Allah untuk istiqamah, dalam surat Hud Allah berfirman:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: “Maka tetaplah engkau (Muhammad) di jalan yang benar, sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Surat Hud: 112).
Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhuma- berkata:
مَا نُزِّلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ- آيَةً هِيَ أَشَدُّ وَلَا أَشَقُّ مِنْ هذِهِ الآيَةِ عَلَيْهِ، وَلِذلِكَ قَالَ لِأَصْحَابِه حِيْنَ قَالُوْا لَه: لَقَدْ أَسْرَعَ إِلَيْكَ الشَّيْبُ! فَقَالَ : شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ وَأَخْوَاتُهَا
Artinya: “Tidaklah ada satu ayat pun yang diturunkan kepada Rasulullah -shallallahu `alaihi wa sallam- yang lebih berat dan lebih susah daripada ayat ini. Oleh karena itu, ketika beliau ditanya: Betapa cepat engkau beruban?, beliau menjawab: Yang telah membuatku beruban adalah surat Hud dan surat-surat semisalnya”. (Riwayat At-Tirmidzi no. 3297, Ash-Shahiihah no. 955).
Faidah (3). Dalam ucapannya tersebut Hudzaifah ibnu Al-Yaman mengungkapkan makna istiqamah adalah tidak berbelok ke kanan dan ke kiri dari jalan yang lurus, hal ini persis seperti makna istiqamah yang dijelaskan oleh Umar bin Khaththab –radhiyallahu `anhu-: “Istiqamah adalah lurus pada ketaatan (melaksanakan perintah) dan menjauhi larangan, serta tidak belok (ke kiri dan ke kanan) seperti beloknya serigala”. (Lihat Kitab Az-Zuhd karya Al-Imam Ahmad hal. 115 dan Ma`alimut-Tanzil [IV/203]).
Faidah (4). Di antara akibat dari sikap tidak istiqamah adalah kesesatan, makanya Hudzaifah Ibnu Al-Yaman berkata: “jika kalian mengambil bagian kanan dan bagian yang kiri, niscaya kalian sesat dengan kesesatan yang nyata”.
Faidah (5). Riwayat ini mauquf sampai Hudzaifah, namun menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- ia berkata: “yang menjadikan hadits Hudzaifah ini berada pada hukum marfu` ialah syarat ini, yaitu isyarat mengenai keutamaan orang-orang yang terdahulu dan yang pertama kali masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Mereka adalah orang-orang yang telah berlalu di atas sikap istiqamah, kemudian mereka mati syahid di depan Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- atau mereka hidup setelah beliau wafat di atas jalan beliau kemudian mereka syahid atau mereka meninggal dunia di atas tempat tidur mereka”. (Riwayat Fathul Baari [XIII/257).
(46). HADITS DARI ABDULLAH BIN MAS`UD
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ الْأَنْصَارُ مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ فَأَتَاهُمْ عُمَرُ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ أَبَا بَكْرٍ أَنْ يَؤُمَّ النَّاسَ قَالُوا بَلَى قَالَ فَأَيُّكُمْ تَطِيبُ نَفْسُهُ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَبَا بَكْرٍ قَالَتْ الْأَنْصَارُ نَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ نَتَقَدَّمَ أَبَا بَكْرٍ
Artinya: “Dari Abdullah (Ibnu Mas`ud) –radhiyallahu `anhu- ia berkata: Ketika Nabi -shallallahu `alaihi wasallam- wafat, orang-orang Anshar berkata: Hendaklah diangkat seorang pemimpin dari kami dan seorang pemimpin dari kalian. Lalu Umar mendatangi mereka seraya berkata: Wahai kaum Anshar, bukankah kalian mengetahui bahwa Rasulullah -shallallahu `alaihi wasallam- telah menyuruh Abu Bakar untuk mengimami shalat? Maka siapa diantara kalian yang ingin mendahului Abu Bakar? Kaum Anshar pun berkata: Kami berlindung kepada Allah dari mendahului Abu Bakar. (Riwayat An-Nasa’I no. 777).
Faidah (1). Jangan mudah memberi fatwa tanpa mempertimbangkan pendapat Shahabat Nabi, sebagaimana para shahabat tidak ada yang berani mendahului orang yang terbaik di antara mereka yaitu Abu Bakar –radhiyallahu `anhu-.
(47). HADITS DARI `AMR BIN YAHYA
أخبرنا الحكم بن المبارك، أنبأنا عمرو بن يحيى قال : سمعت أبي يحدث، عن أبيه قال : كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَبْلَ صَلَاةِ الغَدَاةِ، فَإِذَا خَرَجَ، مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَجَاءَنَا أَبُوْ مُوْسَى الْأَشْعَرِيُّ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – فَقَالَ : أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ قُلْنَا : لَا، بَعْدُ. فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ، فَلَمَّا خَرَجَ، قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيْعًا، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنَّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ – وَالْحَمْدُ للهِ – إِلَّا خَيْرًا. قَالَ : فَمَا هُوَ ؟ فَقَالَ : إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ. قَالَ : رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوْسًا يَنْتَظِرُوْنَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلَقَةٍ رَجُلٌ، وَفِيْ أَيْدِيْهِمْ حَصًا، فَيَقُوْلُ : كَبِّرُوا مِئَةً، فَيُكَبِّرُوْنَ مِئَةً، فَيَقُوْلُ : هَلِّلُوا مِئَةً، فَيُهَلِّلُونَ مِئَةً، فَيَقُولُ : سَبِّحُوا مِئَةً، فَيُسَبِّحُونَ مِئَةً. قَالَ : فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ ؟ قَالَ : مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ : أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ، وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِهِم، ثَمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلَقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ : مَا هَذا الَّذِيْ أَرَاكُمْ تَصْنَعُوْنَ ؟ قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًا نَعُدَّ بِهِ التَّكْبِيْرَ والتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيْحَ. قَالَ : فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتكُمْ ! هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُوْنَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ. قَالُوا : وَاللهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ تُصِيْبَهُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، وَايْمُ اللهِ مَا أَدْرِيْ لَعَلَّ أَكْتَرَهُمْ مِنْكُمْ، ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ. فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.
Artinya: “Telah memberi kabar kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubarak: Telah memberitakan kepada kami `Amru bin Yahya, ia berkata: Aku mendengar ayahku meriwayatkan hadits dari ayahnya, ia berkata: Sebelum shalat shubuh, kami biasa duduk di depan pintu `Abdullah bin Mas`ud -radhiyallaahu `anhu-. Jika dia sudah keluar rumah, maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid. Tiba-tiba kami didatangi oleh Abu Musa Al-Asy’ariy -radhiyallaahu `anhu- seraya bertanya: Apakah Abu `Abdirrahman (‘Abdullah bin Mas’ud) sudah keluar menemui kalian?. Kami menjawab: Belum. Lalu dia pun duduk bersama kami hingga `Abdullah bin Mas`ud keluar rumah. Setelah dia keluar, kami pun bangkit menemuinya. Abu Musa berkata: Wahai Abu `Abdirrahman, tadi aku melihat kejadian yang aku ingkari di masjid, namun aku menganggap – segala puji bagi Allah – hal itu adalah baik. Kata Ibnu Mas`ud: Apakah itu?. Abu Musa menjawab: Jika engkau berumur panjang, engkau akan mengetahui. Ada sekelompok orang di masjid, mereka duduk berhalaqah sedang menunggu shalat. Setiap kelompok dipimpin oleh seseorang, sedang di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu pimpinan halaqah tadi berkata: Bertakbirlah seratus kali!, maka mereka pun bertakbir seratus kali. Bertahlillah seratus kali!, maka mereka pun bertahlil seratus kali. Bertasbihlah seratus kali!, maka mereka pun bertasbih seratus kali. Ibnu Mas`ud bertanya: Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka?. Abu Musa menjawab : Aku tidak berkata apa-apa hingga aku menunggu apa yang akan engkau katakan atau perintahkan. Ibnu Mas`ud berkata: Tidakkah engkau katakan kepada mereka agar mereka menghitung kesalahan mereka dan kamu jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan disia-siakan. Lalu Ibnu Mas`ud berlalu menuju masjid tersebut dan kami pun mengikuti di belakangnya hingga sampai di tempat itu. Ibnu Mas`ud bertanya kepada mereka : Benda apa yang kalian pergunakan ini?. Mereka menjawab: Kerikil wahai Abu `Abdirrahman. Kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan mempergunakannya. Ibnu Mas`ud berkata : Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad! Betapa cepat kebinasaan/penyimpangan yang kalian lakukan. Para shahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup. Sementara baju beliau -shallallaahu `alaihi wa sallam- juga belum usang, bejana beliau belum retak. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya! Apakah kalian merasa berada di atas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad -shallallaahu `alaihi wa sallam-, ataukah kalian akan menjadi pembuka pintu kesesatan?. Mereka menjawab : Wahai Abu `Abdirrahman, kami tidaklah menghendaki kecuali kebaikan. Ibnu Mas`ud menjawab: Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah -shallallaahu `alaihi wa sallam- pernah berkata kepada kami : Akan ada segolongan orang yang membaca Al-Qur’an, namun apa yang dibacanya itu tidak melewati kerongkongannya. Demi Allah, aku tidak tahu, boleh jadi kebanyakan dari mereka adalah sebagian di antara kalian. `Amr bin Salamah berkata: Kami melihat mayoritas diantara orang-orang yang ikut dalam halaqah itu adalah orang yang menyerang kami dalam Perang Nahrawaan yang bergabung bersama orang-orang Khawarij”. (Riwayat Ad-Darimi [I/68-69], Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 2005).
Faidah (1). Menuntut ilmu itu dengan mendatangi guru, menunggunya, dan sabar atas kesulitan yang ada.
Faidah (2). Para Shahabat sangat berhati-hati dalam berfatwa bahkan lebih mendahulukan sikap bertanya kepada yang lebih berilmu sebelum menentukan sikap. Dari sinilah kita mendapati kesimpulan bahwa pentingnya merujuk kepada pemahaman Shahabat sebelum nekat beramal yang tidak ada dalil kebenarannya dalam syari`at.
Faidah (3). Bid`ahnya dzikir berjama`ah.
Faidah (4). Sibuk dengan aib sendiri, menghitung kesalahan diri, itu lebih baik dari memperbanyak amalan yang tidak diajarkan Nabi.
Faidah (5). Membuat amalan baru dalam agama adalah termasuk sikap merasa lebih tahu tentang syariat ketimbang Nabi Muhammad –shallallahu `alaihi wa sallam-.
Faidah (6). Kebaikan atau keburukan harus ditimbang dengan dalil, bukan dengan perasaan. Betapa banyak seseorang berniat baik namun tidak mencapai pada apa yang disebut dengan kebaikan menurut syariat.
Faidah (7). Tajamnya firasat Ibnu Mas`ud tentang episode terkahir dari kisah mereka yang melakukan dzikir berjama`ah di mana dugaan ibnu mas`ud bahwa mereka akan menjadi pengikutnya Khawarij adalah benar.
Sumber: http://minhajussunnah.or.id/