Type Here to Get Search Results !

 


MENGAPA MEMILIH MANHAJ SALAF BAG. KE-17



Ditulis Oleh: Abu Uwais Musaddad

DALIL WAJIBNYA MENGIKUTI PEMAHAMAN SHAHABAT (12)

 (33). HADITS DARI ABU BAKRAH

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ – : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ : أَلاَ تَدْرُونَ أَيُّ يَوْمٍ هَذَا قَالُوا : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ ، فَقَالَ : أَلَيْسَ بِيَوْمِ النَّحْرِ قُلْنَا : بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ : أَيُّ بَلَدٍ هَذَا ، أَلَيْسَتْ بِالْبَلْدَةِ الحَرَامِ قُلْنَا : بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ : فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ ، وَأَمْوَالَكُمْ ، وَأَعْرَاضَكُمْ ، وَأَبْشَارَكُمْ ، عَلَيْكُمْ حَرَامٌ ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا ، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا ، أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ قُلْنَا : نَعَمْ ، قَالَ : اللَّهُمَّ اشْهَدْ ، فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الغَائِبَ


Artinya: “Dari Abu bakrah, Bahwasanya Rasulullah -shallallahu `alaihi wasallam- berpidato di hadapan sahabat dan bertanya: Tahukah kalian hari apa ini? Allah dan Rasul-Nya lebih tahu, Jawab mereka. Kata Abu Bakrah: Hingga kami ketika itu menyangka bahwa Nabi menamakannya dengan nama lain.

Tonton video ini: Asy'Ariyah versus Ahlus-Sunnah

Kemudian Nabi bertutur: Bukankah sekarang hari nahar (korban)?. Kami menjawab: betul Ya Rasulullah. Rasulullah bertanya: Negeri manakah ini, bukankah negeri haram?. Benar ya Rasulullah, Jawab kami. Rasulullah –shallallahu `alaihi wasallam- bersabda: Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, dan kulit kalian adalah haram sebagaimana kehormatan hari kalian ini, dalam bulan kalian ini, dan negeri kalian ini. Bukankah telah kusampaikan?. Betul, Jawab kami. Nabi melanjutkan: Ya Allah, saksikanlah!. Hendaklah yang hadir menyampaikan berita ini kepada yang tidak hadir,….”. (Riwayat Al-Bukhari no. 67, 105, 1741, dan Muslim no. 1679).

Faidah (1).  Dalam hadits ini menunjukkan keadilan para Shahabat dan kejujuran mereka serta mereka adalah orang-orang yang amanah. Karena itu, Rasulullahu –shallallahu `alaihi wa sallam- memerintahkan mereka untuk menyampaikan agama Islam ini kepada orang-orang yang tidak hadir dalam Hajjatul Wada`.

Faidah (2).  Kewajiban menyampaikan ilmu.

(34). HADITS DARI ABU SA`ID AL-KHUDRIY

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Artinya: “Dari Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu `ahnu-, beliau berkata: Rasulullah -shallallahu `alaihi wa sallam- telah bersabda: “Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas seperti Gunung Uhud, tetap saja tidak akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka dan bahkan tidak pula setengahnya”. (Riwayat Al-Bukhari no. 2673, Muslim no. 2541).

Faidah (1). Al-Imam Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata: “ini adalah pembicaraan dari beliau untuk Khalid bin Al-Walid dan teman-temannya dari kalangan yang masuk Islam pada Fathu Makkah dan perjanjian Hudaibiyyah. Apabila satu mud para Shahabatnya bahkan setengahnya  lebih baik di sisi Allah  dari pada emas sebesar gunung Uhud dari orang seperti Khalid bin Al-Walid dan teman-temannya, maka bagaimana mungkin Allah Ta`ala menghalangi kebenaran dalam fatwa mereka sedang orang setelah merekalah malah yang memperoleh kebenaran??? Tentu ini salah satu perkara yang sangat mustahil. (Lihat I`laamul Muwaqqi`iin [V/578]).

Faidah (2).  Hadits ini menunjukkan keutamaan para Shahabat yang paling besar, bahwa kita tidak boleh mencaci maki, menjelek-jelekkan, dan menghina Shahabat. Keutamaan mereka dibandingkan kita sangatlah jauh. Kalau kita berinfaq dengan emas sebesar gunung Uhud, artinya kita berinfaq dengan ratusan ton emas maka itu belum dapat mencapai derajat dan keutamaan infaq para Shahabat sebesar telapak tangan mereka yang berupa makanan (bukan emas), dan bahkan belum juga mencapai separuhnya dari apa yang mereka perjuangkan. Artinya, para Shahabat berinfaq satu tapak tangan berupa makanan, sedang kita berinfaq dengan emas sebesar gunung Uhud, itu pun belum juga mencapai derajat keutamaan para Shahabat –radhiyallahu `anhum ajma`in.

(35). HADITS DARI IBNU `ABBAS

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ الخَلاءَ، فَوَضَعْتُ لَهُ وَضُوءاً، قال: مَنْ وَضَعَ هَذَا. فَأخْبِرَ، فَقَالَ: الَّلهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ

Artinya: “Dari Shahabat Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhuma-, beliau menceritakan bahwa Nabi masuk kedalam WC, lalu aku menyediakan air wudhu untuk  beliau, maka Nabi bersabda: “Siapa yang meletakkan air wudhu ini?. Lalu beliau diberitahu bahwa aku yang meletakkannya: maka beliau berdoa: “Ya Allah pahamkanlah ia dalam agamanya”. (Riwayat Ahmad [I/266, 314, 328, 335], Ath-Thabrani  no. 10587, Al-Hakim [III/534], dan selainnya. Dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Bagian Pertama (sampai lafadz Allahumma Faqqihhu Fiddin) diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 143, Muslim no. 2477).

Faidah (1). Keutamaan shahabat `Abdullah bin Abbas –radhiyallahu `anhu-.

Faidah (2). Tidak mungkin ada sosok yang lebih pintar dan paham tentang agama ini dibanding ulama` yang telah didoakan oleh Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- dengan doa agar Allah memahamkan agama kepadanya, dengan doa agar Allah mengajarkan Al-Qur’an kepadanya.

(36). HADITS DARI HUDZAIFAH BIN AL-YAMAN

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَ كُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ أِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرِّ فَجَاءَنَااللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرِّ قَالَ نَعَمْ فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرِ قَالَ نَعَمْ وَفِيْهِ دَخَنٌ قَلْتُ وَمَادَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَسْتَنُّوْنَ بِغَيْرِ سُنَّتِي وَيَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرِّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا قثلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ فَمَاتَرَى إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ فَقُلْتُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلُ تِلكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ


Artinya: “Dari Hudzaifah bin Al-Yaman -radhiyalahu `anhu- beliau berkata: Dahulu manusia bertanya kepada Rasulullah tentang hal-hal yang baik tapi aku bertanya kepada beliau tentang hal-hal yang buruk agar jangan sampai menimpaku. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, dahulu kami berada dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan lalu Allah mendatangkan kebaikan (Islam) ini, apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan?. Beliau berkata: Ya. Aku bertanya: Dan apakah setelah kejelekan ini akan datang kebaikan?. Beliau menjawab: Ya, tetapi didalamnya ada asap. Aku bertanya: Apa asapnya itu?. Beliau menjawab: Suatu kaum yang membuat ajaran bukan dari ajaranku, dan menunjukkan (manusia) kepada selain petunjukku. Engkau akan mengenal mereka dan engkau akan memungkirinya. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan lagi?. Beliau menjawab: Ya, (akan muncul) para dai-dai yang menyeru ke neraka jahannam. Barangsiapa yang menerima seruan mereka, maka merekapun akan menjerumuskan ke dalam neraka. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, sebutkan cirri-ciri mereka kepada kami?. Beliau menjawab: Mereka dari kulit-kulit/golongan kita, dan berbicara dengan bahasa kita. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku temui keadaan seperti ini. Beliau menjawab: Pegang erat-erat jama`ah kaum muslimin dan imam mereka. Aku bertanya: Bagaimana jika tidak imam dan jama`ah kaum muslimin?. Beliau menjawab: Tinggalkan semua kelompok-kelompok sempalan itu, walaupun engaku harus menggigit akar pohon hingga ajal mendatangimu. (Riwayat  Al-Bukhari no. 3606, 7084, Muslim no. 1867).

Faidah (1). Hadits ini menunjukkan bahwa prinsip umum yang selayaknya diikuti oleh setiap Muslim, dan perkara yang paling penting dari prinsip itu ialah menjauhi sumber-sumber fitnah yang berpengaruh terhadap kehidupan dan agama seorang muslim, khususnya ketika tidak adanya jama`ah kaum muslimin yang memiliki seorang iamam yang menegakkan dan menjalankan hukum-hukum dan batasan-batasan syari’at.

Faidah (2). Hal inilah yang diisyaratkan oleh Al-Imam Ath-Thabari –rahimahullah-, beliau berkata: di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa kapan saja manusia tidak memilki imam, sedangkan manusia telah berpecah menjadi bergolong-golongan, maka HENDAKLAH ia tidak mengikuti seorang pun dalam perpecahan itu, jika ia mampu karena takut terjerumus ke dalam kejelekan. (Dinukil oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-`Asqalani dalam Fathul Baari [XIII/37).

Faidah (3). Mengenal jalan orang-orang yang tersesat merupakan tuntutan dalam syariat. Dalam Islam, kita tidak cukup hanya mejelaskan jalan kebenaran saja bahkan mesti menyingkap kebatilan dan mengungkap kepalsuannya agar jelas dan terang jalan orang-orang yang tersesat lalu dijauhi dan ditinggalkan.

Faidah (4). Sesungguhnya racun-racun berbisa yang membinasakan dan menghancurkan kekuatan kaum muslimin serta melemahkan semangat mereka bukanlah semata pedang-pedang orang-orang kafir yang berkumpul untuk membuat makar terhadap Islam. Akan tetapi jentik-jentik kuman yang busuk yang menyelinap didalam tubuh kaum muslimin yang lambat tapi pasti (itulah yang menyebabkan kebinasaan). Itulah asap yang dikatakan oleh Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam- dalam hadits Hudzaifah ini: suatu kaum yang membuat ajaran bukan dari ajaranku dan memberikan petunjuk bukan dari petunjukku …..”.

Faidah (5). Sesungguhnya asap itu adalah penyimpangan yang selalu membuat kabur ajaran Islam (Sunnah Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam-) yang terang benderang yang malamnya bagaikan siangnya.

Faidah (6). Asap ini terus tumbuh mengepul dan menguasai hingga kejelekan itu pun merajalela serta merupakan awal munculnya dai-dai penyesat dan kelompok-kelompok sempalan.

Faidah (7). Sesungguhnya gembong-gembong kesesatan itu sangat giat dalam menjajakan keksesatannya, di sisi lain sebagian pemegang kebenaran malah lalai dan tertidur hingga asap tersebut menguasai dan merajalela serta menutupi kebenaran.

Faidah (8). Tinggalkan kelompok-kelompok sempalan itu, Kelompok-kelompok sempalan ini yang menyeru manusia kepada kesesatan, bersatu diatas kemungkaran dan diatas hawa nafsu atau berkumpul diatas pemikiran-pemikiran kufur seperti sosialisme, komunisme, kapitalisme, atau bersatu berdasarkan fanatik golongan dan lain sebagainya. Inilah kelompok-kelompok sesat yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam- dalam hadits Hudziafah untuk ditinggalkan dan dijauhi karena menjerumuskan manusia ke dalam neraka jahanam dengan sebab ajaran mereka yang bukan dari Islam.

Faidah (9). Adapun kelompok yang menyeru kepada Islam (yang benar), yang memerintahkan kepada yang baik dan melarang dari yang mungkar maka inilah yang diperintahkan oleh Allah agar kita mengikutinya dan menolongnya. Allah ta`ala berfirman:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya: “Hendaklah ada diantara kalian sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru kepada yang baik dan melarang dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung”. (Surat Ali-Imran: 104).

Faidah (10). Bagaimana jalan keluar dari problematika umat? Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam- memerintahkan shahabat Hudzaifah untuk meninggalkan semua kelompok sempalan yang menyeru ke neraka jahannam meskipun sampai menggigit akar pohon hingga ajal menjemput, maksudnya bahwa Ini adalah perintah untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Rasulullah -shallallahu `alaihi wa sallam- dalam hadits Al-Irbadh bin Sariyah -radhiyallahu `anhu-.

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ


Artinya: “Dan barangsiapa yang hidup diantara kalian maka dia akan melihat perselisihan yang banyak sekali, maka berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru dalam agama karena itu kesesatan. Dan barangsiapa diantara kalian yang mendapatkan hal ini maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa Ar-Rasyidin, gigitlah erat-erat dengan gigi geraham kalian….”. (Riwayat Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Majah no. 440).

Faidah (11). Sesungguhnya perintah untuk menggigit akar pohon dalam hadits Hudzaifah maknanya adalah istiqomah atau tetap dalam sabar dalam memegang kebenaran dan dalam meninggalkan semua kelompok sesat yang menyelisihi kebenaran. Atau maknanya bahwa pohon Islam akan diguncang dengan angin kencang hingga merontokkan semua ranting dan cabangnya, tidak ada yang tersisa melainkan akarnya yang masih tegar. Karena itulah wajib bagi setiap muslim untuk menjaga erat akar tersebut dan mengorbankan semua yang berharga dalam dirinya karena akar tersebut akan tumbuh dan tegar kembali.

Baca setelah ini: Mengapa memilih manhaj Salaf #18

Sumber: http://minhajussunnah.or.id/
Tags