Type Here to Get Search Results !

 


MENGAPA MEMILIH MANHAJ SALAF BAG. KE-16



Ditulis Oleh: Abu Uwais Musaddad

DALIL WAJIBNYA MENGIKUTI PEMAHAMAN SHAHABAT (11)

 (31). HADITS DARI ABU MUSA AL-ASY`ARIY

Abu Musa Al-Asy`ari berkata:

صَلَّيْنَا الْـمَغْرِبَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم  ثُمَّ قُلْنَا : لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَهُ الْعِشَاءَ. قَالَ: فَجَلَسْنَا، فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ: مَازِلْتُمْ هَاهُنَا؟ قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللَّـهِ ، صَلَّيْنَا مَعَكَ الْـمَغْرِبَ. ثُمَّ قُلْنَا: نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَكَ الْعِشَاءَ. قَالَ: أَحْسَنْتُمْ، أَوْ أَصَبْتُمْ، قَالَ: فَرَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّماءِ. وَكَانَ  كَثِيْرًا مِمَّا يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ. فَقَالَ: اَلنُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ. فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوْعَدُ. وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِـيْ. فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ. وَأَصْحَابِـيْ أَمَنَـةٌ لِأُمَّتِيْ. فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِـيْ أَتَى أُمَّتِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ.

Artinya: “Kami shalat Maghrib bersama Rasululluh -shallallahu `alaihi wa sallam- lalu kami berkata: Seandainya kita duduk-duduk sampai shalat `Isya bersama beliau -shallallahu `alaihi wa sallam-. Lalu kami duduk sampai Rasululluh -shallallahu `alaihi wa sallam- keluar menemui kami dan bertanya: Kalian masih disini? Kami menjawab: Wahai Rasulullu, kami telah shalat bersamamu, kemudian kami bercakap-capak: kita akan tetap duduk sampai shalat `Isya bersamamu. Beliau -shallallahu `alaihi wa sallam-menjawab: Kalian bagus atau kalian benar. Berkata (shahabat yang meriwayatkan hadits ini yaitu Abu Musa al-Asy’ari): Kemudian  beliau -shallallahu `alaihi wa sallam- mengangkat kepala ke langit dan hal itu sering beliau lakukan. Lalu beliau bersabda: “Bintang-bintang itu sebagai penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang maka datanglah apa yang dijanjikan bagi langit itu. Dan aku adalah penjaga bagi para shahabatku, apabila aku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka. Dan para shahabatku adalah penjaga bagi umatku, apabila shahabatku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang apa yang dijanjikan kepada mereka”. (Riwayat Muslim no. 2531, Ahmad [IV/398-399], Abdu bin Humaid dalam musnadnya no. 538, Abu Bakar Al-Khallaal dalam kitab As-Sunnah no. 772, Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 3861, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf no. 32964 secara ringkas dari shahabat Abu Musa Al-Asy`ari).

Faidah (1).  Siapakah yang dimaksud dengan Shahahabat Nabi? Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-`Asqalani -rahimahullah berkata-: “Pendapat paling benar yang aku pegang ialah bahwa Shahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad -shallallahu `alaihi wa sallam- dalam keadaan beriman kepada beliau -shallallahu `alaihi wa sallam- dan meninggal dalam keadaan Muslim. Masuk dalam pengertian ini setiap orang (beriman) yang bertemu dengan beliau -shallallahu `alaihi wa sallam- baik waktu perjumpaan itu lama maupun sebentar, baik yang meriwayatkan (hadits) dari beliau maupun yang tidak, yang ikut berperang bersama beliau maupun tidak, yang pernah melihat beliau walau hanya sekali meskipun tidak ikut duduk bersama beliau, dan yang tidak pernah melihat beliau karena suatu penghalang seperti orang yang buta”.(Lihat: Al-Ishabah  Fii Tamyiizish Shahabah [I/7]).

Faidah (2). Al-Imam Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata: “Sisi pengambilan dalil dari hadits (yang ada di awal pembahasan) ini ialah bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan kedudukan para shahabat bagi orang setelah mereka seperti kedudukan beliau bagi para shahabatnya, dan juga seperti keberadaan bintang bagi langit. Dan telah diketahui bahwa permisalan ini memberikan arti wajibnya umat ini mengambil petunjuk mereka, sebagaimana para shahabat yang telah mengambil petunjuk Nabi mereka -shallallahu `alaihi wa sallam-, dan sebagaimana penduduk bumi yang mengambil petunjuk (jalan/arah) dari bintang. Juga, Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam- menyatakan bahwa keberadaan mereka di tengah-tengah umat menjadi pelindung umat serta membentengi mereka dari berbagai kejelekan dan sebab-sebab kejelekan.

Seandainya mereka salah dalam perkara yang mereka fatwakan niscaya orang yang setelah mereka lah yang benar sehingga mereka yang benar itu menjadi penjaga dan benteng untuk para Shahabat. Tentu ini adalah sebuah perkara yang mustahil”. (Lihat: I`lamul Muwaqqi`iin [V/575-576]).

Faidah (3). Rasulullah -shallallahu `alaihi wa sallam- menyebutkan bahwa para Shahabat adalah hujjah bagi kita dalam memahami Islam. Para Shahabat bagaikan bintang di langit. Di dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan bahwa bintang memiliki tiga fungsi:

1). Sebagai hiasan langit.


وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ


Artinya: “Dan sungguh, Kami menghiasai langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami menjadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat-alat pelempar setan…”. (Surat Al-Mulk: 5).

2). Sebagai pelempar syetan.

Allah berfirman:

إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ، وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ، لا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلإ الأعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، دُحُورًا وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ، إِلا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ


Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia (yang terdekat), dengan hiasan bintang-bintang. Dan (Kami) telah menjaganya dari setiap setan yang durhaka, Mereka (setan-setan itu) tidak dapat mendengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru, untuk mengusir mereka dan mereka akan mendapat azab yang kekal, Kecuali (setan) yang mencuri (satu pembicaraan); maka ia dikejar oleh bintang yang menyala”. (Surat Ash-Shaffat: 6-10).

3. Sebagai petunjuk arah.

Allah berfirman:

وَعَلامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ

Artinya: “Dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (petunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk”. (Surat An-Nahl: 16).

Allah juga berfirman:

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ

Artinya: “Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut…”. (Surat Al-An`am: 97).

Maka para Shahabat adalah sebagai:

1). Hiasan bagi ummat ini, yang akan menghancurkan ajaran-ajaran bathil.

2). Pelempar bintang api (berupa hujjah yang nyata) terhadap orang-orang yang menyimpang, mengikuti hawa nafsu, dan ahlul bid`ah.

3). Sebagai petunjuk jalan untuk meluruskan pemahaman dalam beragama.

Faidah (4). Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- menyebutkan kedudukan para shahabat dibandingkan dengan generasi setelah mereka dari umat Islam sebagaimana kedudukan beliau kepada para Shahabatnya dan sebagaimana kedudukan bintang terhadap langit.

Jelaslah perumpamaan Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam- ini menjelaskan kewajiban mengikuti pemahaman shahabat dalam agama Islam sama dengan kewajiban umat Islam kembali kepada Nabi mereka, karena Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam-  adalah orang yang menjelaskan Al-Qur’an, sedangkan para shahabatnya -radhiyallahu `anhum- adalah penyampai dan penjelas bagi umat. Demikianlah Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- adalah seorang yang ma`shum yang tidak berbicara dengan hawa nafsu dan beliau hanya mengucapkan petunjuk dan hidayah, sedangkan para shahabatnya adalah adil, yang tidak berkata-kata kecuali dengan kejujuran dan tidak mengamalkan sesuatu kecuali kebenaran.

Bahasa ringkasnya: Wajibnya bagi umat Islam mengambil petunjuk para shahabat, sebagaimana mereka (para shahabat) wajib mengambil petunjuk Nabi mereka, dan sebagaimana penduduk bumi yang mengambil petunjuk dari bintang.

Faidah (5). Mereka yang menyelisihi manhaj para shahabat pasti akan tersesat dalam beragama, manhaj dan aqidah mereka. Sebagaimana tersesatnya orang-orang yang berjalan dalam kegelapan dan enggan menjadikan bintang-bintang langit sebagai acuan arah jalan pulang.

(32). HADITS DARI ABU HURAIRAH

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيفَ الْغَالِينَ ، وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ ، وَتَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ

Artinya: “Ilmu ini akan dibawa oleh para ulama yang adil dari tiap-tiap generasi. Mereka akan memberantas penyimpangan/perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang ghuluw (yang melampaui batas), menolak kebohongan pelaku kebathilan (para pendusta), dan takwil orang-orang bodoh”. (Hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu`afaa’Al Kabir [I/26], Ibnu Abi Hatim dalam al-Jarh wat Ta’dil [II/17] dan lainnya, dari Ibrahim bin `Abdurrahman Al-`Adzry secara mursal. Untuk lebih jelas tentang takhrij hadits ini dapat dilihat dalam Irsyaadul Fuhuul fii Tashhiih Hadiitsil `Udul hal. 11-35 karya Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied al-Hilali).

Faidah (1). Dalam hadits ini disebutkan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah akan dibawa oleh orang-orang yang adil, hal ini pertama kali menunjukkan bahwa para Shahabat yang belajar dan menerima ilmu langsung dari Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- adalah orang-orang yang adil karena mereka yang menyampaikan ilmu kepada orang-orang sesudahnya.

Baca setelah ini: Mengapa memilih manhaj Salaf #17

Sumber: http://minhajussunnah.or.id/
Tags