DALIL WAJIBNYA MENGIKUTI PEMAHAMAN SHAHABAT (10)
(27). HADITS DARI ABU HURAIRAH
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ ؟ قَالَ : ” أَنَا وَمَنْ مَعِي ، ثُمَّ الَّذِينَ عَلَى الأَثَرِ ، ثُمَّ الَّذِينَ عَلَى الأَثَرِ ” ثُمَّ كَأَنَّهُ رَفَضَ مَنْ بَقِيَ
Artinya: “Dari Abu Hurairah –radhiyallahu `anhu- bahwasannya Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- ditanya: “Siapakah manusia yang paling baik? Beliau menjawab: Aku, dan orang-orang yang bersamaku, kemudian orang yang berada di atas atsar (jejak sunnah), kemudian orang yang berada di atas atsar (jejak sunnah), kemudian seolah-olah beliau menolak (enggan) menyebutkan orang/kaum setelahnya”. (Hasan: Riwayat Ahmad [II/297, 340] no. 8278, Al-Ajurry dalam Asy-Syari`ah [IV/1677] no. 1147). Hadits serupa juga dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. 3650, 3651, dan Muslim no. 2533, 2534, 2536, 2537).
Faidah (1). Tolak ukur dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah ialah pemahaman dan pengamalan para Shahabat dan orang-orang setelah mereka yang berada di atas atsar (sunnah), kemudian orang-orang setelah mereka yang berada di atas atsar mereka. Mereka telah melaksanakan seluruh kebaikan, sedangkan selain mereka tertolak tidak ada kebaikan sedikitpun. Maka barangsiapa yang mengaku bahwa dirinya berada di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa mengikuti pemahaman para Shahabat maka tidak disangsikan dan tidak diragukan lagi bahwa ia telah menipu dirinya sendiri.
(28). HADITS DARI IBNU MAS`UD
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَا مِنْ نَبِىٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِى أُمَّةٍ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لاَ يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لاَ يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Artinya: “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus oleh Allah sebelumku kepada suatu ummat melainkan ia memiliki Hawariyyun (pengikut-pengikut yang setia), dan juga Shahabat-Shahabatnya dari ummatnya yang senantiasa mengikuti sunnahnya dan menaati perintahnya, kemudian sesudah mereka akan muncul generasi (orang-orang) yang mengatakan apa-apa yang mereka sendiri tidak laksanakan dan mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan kepada mereka, maka barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka ia adalah seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya, maka ia adalah seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, maka ia adalah seorang mukmin. Dan setelah itu tidak ada lagi iman meski hanya sebesar biji sawi”. (Shahih: Riwayat Muslim no. 50).
Tonton video ini: Asy'Ariyah versus Ahlus-Sunnah
Faidah (1). Sisi pengambilan dalil dari hadits ini bahwa Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam- menyifati para Shahabatnya sebagai orang yang mengikuti perintahnya dan memegang Sunnahnya. Dan orang yang keadaannya seperti itu maka WAJIB untuk diikuti karena hal itu merupakan jalan untuk mengikuti Rasululah –shallallahu `alaihi wa sallam-.
Faidah (2). Adapun orang-orang yang sesudah mereka, mereka telah menyalahi perintah dan sunnah, maka tiidak boleh diteladani dan tidak boleh dijadikan pegangan karena mereka telah salah dan menyalahi. Maka menjadi jelas bahwa pemahamanShahabat dan Tabi`in yang terpilih adalah sebagai tolak ukur kebenaran”. (Lihat Bashaa’iru Dzawisy-Syaraf, hal. 72-73).
Faidah (3). Hadits ini seakan bertentangan dengan hadits lain yang menyatakan bahwa ada sorang Nabi yang kelak datang pada hari kiamat tanpa seorang pengikut pun, bagaimanakah cara memahaminya? Kita jawab: Kata Al-Imam Al-Qurthubi bahwa “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus oleh Allah sebelumku kepada suatu ummat melainkan ia memiliki Hawariyyun (pengikut-pengikut yang setia)”, yakni secara umum semua Rasul seperti itu, sedangkan hadits يَأْتِي النَّبِيُّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ ، وَيَأْتِي النَّبِيُّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ (seorang Nabi datang bersama seorang pengikut atau dua orang, dan ada pula seorang Nabi yang datang tanpa seorang pengikut pun), ini berbicara lebih khsusus.
(29). HADITS DARI `IRBADH BIN SARIYAH
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنِّي قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلاَّ هَالِكٌ
Artinya: “Sungguh aku tinggalkan kalian di atas Islam yang putih bersih, malamnya seperti siangnya, tidaklah berpaling dari Islam yang putih bersih ini sepeninggal-ku, melainkan akan rusak binasa”. (Shahih: Riwayat Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah no. 48-49, dan ibnu Maajah no. 43).
Faidah (1). Rasulullah –shalallahu `alaihi wa sallam- meninggalkan para Shahabat di atas agama yang lurus dan mapan, terang benderang menyilaukan, tidak ada kesamaran, kerancuan, dan ketidak jelasan sedikitpun. Maka tidak ada alasan bagi orang yang menyeleweng darinya karena hujjah telah ditegakkan dan telah sampai kepada-Nya
Faidah (2). Ini termasuk keistmewaan dan kekhususan generasi Shahabat karena mereka tidak sama dengan yang lainnya (dari generasi berikutnya) yang mengamalkan, mempelajari, dan menyampaikan (kebenaran), sementara manusia adalah pengikut mereka dalam ilmu tentang kejelasan yang gamblang ini, dan manusia membutuhkan mereka dalam hal ini karena perkara ini tidak diberikan kepada selain mereka.
Faidah (3). Rasulullah –shalallahu `alaihi wa sallam- meninggalkan Agama Islam ini begitu terang dan tanpa kebingungan untuk dipahami oleh para Shahabat Nabi, maka ketika ada hal yang tidak kita pahami tentang Islam ini kepada siapakah kita hendak merujuk mecari kebenarannya bila bukan kepada para Shahabat??? Setiap ada perkara yang tersembunyi, samar, tidak jelas, sungguh jalan keluarnya ada pada pemahaman dan penjelasan mereka, entah dalam aqiidah mereka, atau ucapan mereka, atau perbuatan mereka.
(30). HADITS DARI MU`AWIYYAH BIN ABI SUFYAN
Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- bersabda:
أَلَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِينَا فَقَالَ : أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً ، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari Ahlu Kitab telah berpecah menjadi 72 golongan, sesungguhnya ummat ini (Islam) akan berpecah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu Al-Jama`ah”. (Shahih: Riwayat Abu Dawud no. 4597. Dishahihkan oleh Al-hakim [I/128] bahkan ia mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang agung dalam masalah ushul. Dishahihkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmuu`ul Fatawa [III/345], Asy-Syathibi dalam Al-I`tisham [I/430]. Dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albaniy dalam Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahiihah no. 203-204).
Faidah (1). Hadits ini menjelaskan akan terjadinya perpecahan dalam agama sepeninggal beliau –shallallahu `alaihi wa sallam-, yaitu terpecah menjadi 73 golongan, semua golongan yang terpecah dari golongan ini akan masuk neraka, dan akan ada satu golongan yang selamat walaupun golongan-golongan yang lain menisbatkan diri kepada Islam, dan yang selamat itu adalah golongan yang berada di atas apa yang Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- dan para Shahabatnya berada di atasnya. (Lihat Mulia Dengan Manhaj Salaf, Hal. 108 Karya Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas).
Faidah (2). Makna Al-Jama`ah adalah sebagaimana yang Nabi maksud dalam hadits yang lain, beliau bersabda:
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً ، قَالُوا : وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Artinya: “Dan Ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan. Para Shahabat bertanya: siapakah golongan tersebut wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Golongan yang sebagaimana Aku dan para Shahabatku berada di atasnya”. (Riwayat At-Tirmidzi no. 2641, Al-Hakim [I/129], Dishahihkan oleh Ibnul `Arabiy dalam Ahkaamul Qur’an [III/423],dan Al-`Iraqiy dalam Tkhriijul Ihyaa’ [III/284], dan dihasankan oleh Al-Imam Al-Albaniy dalam Shahihh At-Tirmidziy dann dalan Shahiihul Jaami` no. 5343).
Faidah (3). Hadits ini menunjukkan bahwa pemisah antara yang haq dengan yang bathil adalah mengikuti Shahabat dalam setiap perbuatan yang mereka amalkan.
Faidah (4). Mengikuti Shahabat adalah jalan keselamatan, sedang berpaling darinya adalah jalan kebinasaan.
Baca setelah ini: Mengapa memilih manhaj Salaf #16
Sumber: http://minhajussunnah.or.id/