Baca sebelum ini: Mengapa memilih manhaj Salaf #12
DALIL WAJIBNYA MENGIKUTI PEMAHAMAN SHAHABAT (8)
(23). SURAT AL-JUMU`AH AYAT 02
Allah –Subhanahu Wa Ta`ala- berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ
Artinya: “Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (Surat Al-Jumu`ah: 02).
Faidah (1). Rasulullah –shallallahu`alaihi wa sallam- diutus untuk mendidik dan mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada ummat ini, dan hal ini termasuk sebesar-besar tujuan dari keRasulan dan keNabian. Dan Rasulullah –shallallahu `laihi wa sallam- mengajarkannya hanya kepada Shahabat. Adapun orang-orang setelah mereka mendapatkan ilmudari jalannya para Shahabat. Cukuplah Nabi –shallallahu `laaihi wa sallam- mengajarkan Al-Qur’an dengan nash dan maknanya, kaidah dan ketentuannya, sebagaimana beliau mengajarkan As-Sunnah kepada mereka dengan sebaik-baik pengajaran. Dan tidak ad seorang pun yang ikut serta DALAM MENIMBA ILMU bersama Rasulullah –shallallahu `laaihi wa sallam-. Maka tidak ada seorang pun yang menyamai para Shahabat dalam ilmu dan pemahamannya.
Tonton video ini: Asy'Ariyah versus Ahlus-Sunnah
Faidah (3). Sesungguhnya orang yang paling utama untuk kita ikuti adalah orang yang paling sempurna ilmu dan pemahamannya. Sesungguhnya para Shahabat adalah orang yang paling sempurna ilmu dan pemahamannya, maka wajib bagi kita mengikuti dan mengutamakan mereka ketika terjadi perpecahan, perbedaan pendapat, dan perbedaan hukum. (Faidah 1-3 Lihat Al-Bayyinatus-Salafiyyah Anna AqwaalasH-Shahabah Hujjatun Syar`iyyah, hal. 77-778, dan Basha’iru Dzawisy-Syaraf bi Syarhi Marwiyyaati Manhajis-Salaf, hal. 58-59).
Faidah (4). Asy-Syaikh `Abdurrahman bin Nashir As-Sa`diy –rahimahullah- berkata: “Yang dimaksud dengan Al-Ummiyyin (kaum yang buta huruf) yaitu kaum yang tidak memiliki kitab suci dan tidak memiliki jejak keRasulan, baik bangsa Arab atau selainnya dari kalangan yang bukan ahli kitab. Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberikan nikmat kepada mereka dengan nikmat yang sangat besar melebihi nikmat-Nya kepada selain mereka, karena mereka sebelumnya tidak berilmu dan tidak di atas kebaikan, bahkan mereka berada di atas kesesatan yang nyata; mereka menyembah patung, batu dan pepohonan serta berakhlak dengan akhlak binatang buas, dimana yang kuat memakan yang lemah, bahkan mereka berada dalam kubangan kebodohan yang dalam terhadap ilmu para Nabi, maka Allah -Subhaanahu wa Ta’aala- mengutus seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang mereka ketahui nasabnya, sifat-sifatnya yang baik, amanahnya dan kejujurannya dan Dia turunkan kepadanya kitab-Nya. “yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya”. Yakni ayat-ayat yang pasti dan mengharuskan beriman serta meyakini.
Faidah (5). Ayat “menyucikan (jiwa) mereka” dengan menjelaskan dan mendorong mereka pada shifat-shifat yang utama serta mencegah mereka dari akhlak-akhlak tercela.
Faidah (6). Ayat “dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah)” maksudnya ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mencakup seluruh ilmu orang-orang terdahulu dan kemudian. Setelah pembelajaran dan penyucian itu mereka menjadi manusia paling berilmu bahkan mereka adalah pemimpin ahli ilmu dan agama, manusia paling berakhlak mulia dan paling baik petunjuk dan jalannya. Mereka menjadikan diri mereka sebagai petunjuk dan memberi petunjuk pada orang lain sehingga mereka menjadi pemimpin orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan pemimpin orang-orang yang bertaqwa. Maka ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka Rasul tersebut betapa hal tersebut merupakan nikmat yang paling sempurna dan karunia paling besar. (Faidah 3-5 Lihat Taisiir Al-Kariimir-rahmaan Fii Tafsiir Kalaamil Mannaan, Hal. 862, Cet. Maktabah An-Nubalaa’. Karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`diy).
Faidah (7). Ayat ini juga sebagai dasar pijakan dalam dakwah tashfiyah wa tarbiyah (membersihkan umat dari segala yang bukan dari Islam, syirik, bid`ah, khurafat dan mendidik umat di atas ajaran Islam yang murni).
Faidah (8). Setelah ta’lim (pengajaran) dan pembersihan ini mereka (para sahabat) menjadi manusia yang berilmu, bahkan menjadi imam dalam ilmu dan agama, sempurna akhlaknya, paling baik petunjuk dan jalannya. Di samping itu, mereka juga dijadikan standar kebenaran oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam beragama ketika terjadi perselisihan di zaman setelah Beliau sebagaimana sabdanya:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya: “Karena barang siapa yang hidup di antara kamu (setelah ini), maka ia akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham, dan jauhilah perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat”. (Riwayat Ahmad [IV/126-127], Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidi no. 2676, Ibnu Majah no. 42, 43).
(24). HADITS DARI IBNU ABBAS
Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- berkhutbah kepada manusia pada saat Haji Wada`, beliau bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ ، وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Wahai manusia, aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang selama kalian berpegang teguh dengannya kalian selamanya tidak akan tersesat. Yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya –shallallahu `alaihi wa sallam-. (Hadits Hasan: Riwayat Al-Hakim [I/93]. Al-Baihaqi [X/114] dan Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam [VI/809]).
Faidah (1). Hampir semua kalangan baik perorangan maupun kelompok atau golongan tidak ada yang mengingkari tentang wajibnya berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. kalau lah ada mereka mereka mengingkarinya dengan sembunyi-sembunyi. Mereka akan mengaku berada di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun benarkah pengakuan mereka? Jika benar, maka mesti diperhatikan apakah mereka memahami keduanya dengan pemahaman para Shahabat ataukah menurut akal mereka sendiri? Jika mereka mengikuti pemahaman para Shahabat Nabi maka mereka di atas manhaj salaf, sedang bila mereka memahaminya sesuai keinginan nafsu tanpa mengambil pemahaman salafush-shalih -dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik- maka mereka di atas jurang kesesatan.
Baca setelah ini: Mengapa memilih manhaj Salaf #14
Sumber: http://minhajussunnah.or.id/