Type Here to Get Search Results !

 


APAKAH PENCURI BISA MASUK SURGA?


MENCURI HARUS DIHINDARI

Para Ulama ahli fiqih sepakat atas haramnya harta seorang Muslim dan kafir dzimmi. Harta mereka tidak boleh direbut, diambil, dicuri, dimakan dengan cara yang tidak dibenarkan syari’at, walaupun sedikit. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. [An-Nisa’/4: 29]

Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan kehormatan harta dengan nyawa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

Sesungguhnya darah kamu dan kehormatan kamu, haram atas kamu, sebagaimana haramnya hari kamu ini, di bulan kamu  ini, dan di kota kamu ini. [HR. Muslim, no. 1218 dari Jabir Radhiyallahu anhu]

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa mencuri barang orang lain termasuk dosa besar. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa iman seseorang hilang ketika dia sedang mencuri. Dalam hadits yang shahih disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ»

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang mencuri. Tidaklah beriman seorang peminum khamar ketika ia sedang meminum khamar. Namun taubat terbuka setelah itu”. [HR. Bukhari, no. 6810; Muslim, no. (57)-104]

POTONG TANGAN BAGI PENCURI

Karena kerusakan yang ditimbulkan oleh pencurian, maka dengan hikmah-Nya Allâh Azza wa Jalla mensyari’atkan hukum potong tangan bagi pelakunya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿٣٨﴾ فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allâh. Dan Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allâh menerima taubatnya. Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Mâidah/5:38-39]

Ibnu Syihab rahimahullah berkata:
Allâh menyiksa dengan potong tangan dalam pencurian harta manusia, dan Allâh Maha Perkasa di dalam membalas pencuri, dan Maha Bijaksana di dalam hukum yang telah Dia wajibkan, yang berupa potong tangan pencuri. [Al-Kabâir, imam Dzahabi rahimahullah]

NISHAB POTONG TANGAN

Tidak semua jenis pencurian dihukum dengan potong tangan. Hukum ini berlaku bagi pencuri yang mukallaf (dewasa dan berakal), berniat untuk mencuri, tidak terpaksa dalam mencuri, mencuri dari tempat penyimpanan, serta harta yang dicuri adalah harta yang terhormat (bukan yang haram dimiliki, seperti anjing, alat musik, dan semacamnya),  barang yang dicuri mencapai nishâbnya dan keputusan hakim berdasarkan bukti dua orang saksi laki-laki atau dengan cara pengakuan dari si pelaku.

Nishâb (batasan minimal) dalam masalah pencurian, yaitu tiga dirham atau seperempat dinar atau yang senilai dengannya.

عَنْ عَائِشَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِي رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا»

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, ”Tidak dipotong tangan pencuri terkecuali pada seperempat dinar atau lebih”. [HR. Muslim, no. 1684; Nasai, no. 4936; Ibnu Hibban, no. 4464]

MENCURI DARI TETANGGA DOSANYA BERLIPAT GANDA

Semua bentuk pencurian merupakan dosa besar, namun jika yang dicuri adalah rumah tetangga maka dosanya berlipat ganda. Perkara ini dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits berikut ini:

Dari Al-Miqdad bin al-Aswad Radhiyallahu anhu, dia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ: ” مَا تَقُولُونَ فِي الزِّنَا؟ ” قَالُوا: حَرَّمَهُ اللهُ وَرَسُولُهُ، فَهُوَ حَرَامٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ: ” لَأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرَةِ نِسْوَةٍ، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ “، قَالَ: فَقَالَ: ” مَا تَقُولُونَ فِي السَّرِقَةِ؟ ” قَالُوا: حَرَّمَهَا اللهُ وَرَسُولُهُ فَهِيَ حَرَامٌ، قَالَ: ” لَأَنْ يَسْرِقَ الرَّجُلُ مِنْ عَشْرَةِ أَبْيَاتٍ، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَسْرِقَ مِنْ جَارِهِ “

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para Sahabatnya, “Apa yang kamu katakan mengenai zina?” Mereka menjawab, “Allâh dan Rasul-Nya telah mengharamkannya, maka perbuatan (zina) itu haram sampai hari kiamat”. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para Sahabatnya, “Sesungguhnya zinanya seorang laki-laki dengan sepuluh wanita, lebih ringan dosanya, daripada dia berzina dengan istri tetangganya”.

Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi kepada para Sahabatnya, “Apa yang kamu katakan mengenai mencuri?” Mereka menjawab, “Allâh dan Rasul-Nya telah mengharamkannya, maka perbuatan (mencuri) itu haram”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya mencurinya seseorang dari sepuluh rumah, lebih ringan dosanya, daripada dia mencuri dari tetangganya”. [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, no. 23854; Al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad, no. 103; dll]

TAUBAT PENCURI

Mencuri adalah dosa besar, maka kewajiban pencuri untuk bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dan juga wajib mengembalikan barang curiannya. Imam Adz-Dzahabi berkata, “Para Ulama berkata bahwa taubat pencuri tidak bermanfaat kecuali dengan mengembalikan barang yang telah dia curi.  Jika pencuri itu bangkrut (tidak memiliki uang dan barang), dia meminta halal kepada pemilik harta, wallahu a’lam. [al-Kabâ-ir]

Penulis: Ustadz  Abu Isma’il Muslim al-Atsari


APAKAH PELAKU MAKSIAT AKAN MASUK SURGA?[1]

Pertanyaan:

Saya membaca dalam kitab Riyâdhus Shâlihin beberapa hadits dari al-Imam al-muhaddits Muhyiddin Abu Zakaria an-Nawawi, diantaranya:

Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang maknanya, “Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaha IllAllâh di akhir hayatnya (ketika kematiannya), maka dia masuk surga.”

Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang maknanya, “Barangsiapa yang meninggal tiga anaknya atau kurang sebelum mencapai usia baligh, maka dia akan masuk surga.”

Juga hadits, yang maknanya, “Tidaklah seseorang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan; atau (memiliki) dua anak perempuan atau dua saudara perempuan, lalu dia bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla dalam urusan mereka dan berbuat baik kepada mereka, maka dia akan masuk surga[2]

Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang maknanya, “Barangsiapa berpuasa sehari di jalan Allâh Azza wa Jalla , Allâh Azza wa Jalla jauhkan wajahnya dari neraka sejauh 70 tahun.”.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda tentang sebuah pintu di surga yang bernama ar-Rayyan:

يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَومَ القِيَامَةِ

Melalui pintu itu orang-orang yang berpuasa masuk ke surga pada hari kiamat

Jika semua yang di atas itu hadits shahih, lalu bagaimana dengan orang yang mengkonsumsi harta riba, orang yang berzina, yang membunuh, yang mencuri dan orang yang sering berdusta?

Mohon penjelasan tentang masalah ini! Karena saya agak bingung. Jazakallâh khairan

Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullah menjawab:

Masalah yang ditanyakan ini adalah permasalahan penting. Masalah ini sulit (bagi sebagian orang-red) sebagaimana dipaparkan penanya. Karena beberapa hadits yang disebutkan penanya menunjukkan amal-amal kebaikan di atas bisa menyebabkan pelakunya masuk surga, akan tetapi disisi lain hadits-hadits di atas (seakan, red) bertentangan dengan hadits-hadits yang menyatakan bahwa pelaku amalan-amalan tertentu lainnya bisa menyebabkan masuk neraka. Padahal pelaku amalan-amalan buruk ini juga melakukan amalan-amalan yang bisa menyebabkan masuk surga.

Maka, jawaban kami atas hadits-hadits di atas atau hadits yang senada lainnya, bahkan nash-nash lainnya, baik dari al-Qur’an maupun hadits yaitu penyebutan sebagian amalan yang menjadi sebab masuk surga, tidak lain hanyalah sebuah pemaparan tentang sebab. Begitu sebaliknya, penyebutan sebagian amalan yang bisa menyebabkan pelakunya masuk neraka, tidak lain hanyalah sebuah pemaparan tentang sebab. Sementara kita sudah mengetahui bahwa sebuah hukum (konsekuensi hukum) tidak akan sempurna kecuali setelah sebab dan syarat terpenuhi serta tidak ada yang menghalangi (mawâni).

Amalan-amalan yang telah disebutkan di atas adalah sebab masuk surga, namun terkadang sebab-sebab itu ada mawâni’nya (ada penghalangnya, sehingga sebab-sebab itu tidak bisa menimbulkan akibat, red). Misalnya, hadits:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ مِنَ الدُّنْيَا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Barangsiapa yang akhir ucapannya di dunia La Ilaaha Illallâh, maka dia masuk surga

Ini adalah sebab, syaratnya adalah dia mengucapkan kalimat itu dengan penuh keyakinan dan kejujuran. Namun, jika dia mengucapkannya sebagaimana orang munafik, maka kalimat itu tidak akan bermanfaat. Namun dalam kondisi sekarat seperti ini, kecil kemungkinan atau bahkan mustahil ada orang yang bisa mengucapkannya ala orang munafik.

Begitu juga, hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

مَنْ مَاتَ لَهُ ثَلَاثَةٌ مِنْ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ كَانَ لَهُ حِجَابًا مِنْ النَّارِ أَوْ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Barangsiapa tiga anaknya yang belum mencapai usia baligh meninggal dunia, maka anak-anak itu akan menjadi penghalang baginya dari neraka atau dia akan masuk surga

Ini juga salah satu sebab diantara sebab-sebab terjaga dari api neraka. Namun terkadang ada penghalang yang menyebabkan sebab ini tidak bisa terlaksana (artinya sebab yang disebutkan di atas tidak bisa menghalanginya dari nereka dikarenakan ada penghalang, red). Penghalang-penghalang yang dimaksud (dalam konteks ini-red) adalah amalan-amalan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka. Penyebab dan penghalang adalah dua hal yang bertentangan. Jika demikian keadannya, maka hukumnya (akibat akhirnya, red) akan berpihak kepada mana yang lebih kuat atau dominan? Sebab atau penghalang?[3]

Kalau begitu, kaidahnya adalah amalan-amalan yang disebutkan berkonsekuensi masuk surga jika diamalkan, itu tidak mutlak, akan tetapi masih terikat dengan nash-nash lain yang menjelaskan bahwa masuk surga akan terwujud bila tidak ada penghalang (intifa’ mawâni’) yang meghalanginya dari masuk surga.

Saya berikan sebuah permisalan:
Orang kafir yang tiga anaknya meninggal dunia sebelum mencapai usia baligh dan dia tetap bersabar. Apakah orang kafir ini akan masuk surga atau tidak? Jawabnya tentu tidak.[4]

Begitu juga tentang orang yang memakan harta riba, orang yang memakan harta anak yatim, orang yang melakukan pembunuhan dan perbuatan buruk lainnya yang para pelakunya terancam masuk neraka. Ini juga terikat dengan syarat tidak ada penghalang yang menghalangi dari terlaksananya ancaman tersebut. Jika ada penghalang yang kuat, maka ancaman itu tidak ditimpakan kepada si pelaku. Karena seperti yang sudah disampaikan di awal, kaidahnya adalah segala sesuatu itu tidak sempurna kecuali setelah syarat dan sebabnya terpenuhi serta tidak ada yang menghalangi (intifâ’ mawâni’).
_______

Footnote:

[1] Diangkat dari Fatâwâ Nûr ‘alad Darbi,, 1/79
[2] HR. At-Tirmidzi, no. 1912
[3] Jika sebab yang lebih kuat, maka dia akan masuk surga. Sebaliknya, jika penghalang yang lebih menonjol, maka dia akan masuk neraka.-red
[4] Dalam permisalan ini, ada sebab masuk surga yaitu ditinggal mati oleh 3 anaknya yang belum baligh dan dia sabar, namun juga ada penghalang yang menghalangi orang ini masuk neraka yaitu kekufurannya. Sehingga akhirya dia masuk neraka dan sebab yang mestinya bisa memasukkan seseorang masuk surga tidak berfungsi bagi orang ini.-red