Segala puji bagi Allâh Rabb semesta alam. Kesudahan yang baik akan didapatkan kaum yang bertakwa. Shalawat dan salam terlimpahkan atas imam para Rasûl; yakni Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; juga atas keluarga dan para sahabat beliau.
Amma ba’du;
Sungguh, akidah Islam yang murni dan bersih yang bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah, memiliki kedudukan luhur dan tinggi dalam agama ini. Kedudukan akidah Islam dalam agama ini layaknya pondasi bagi suatu bangunan; seperti hati bagi tubuh; atau bagaikan akar bagi suatu pohon. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allâh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat tauhid) seperti pohon yang baik (yakni pohon kurma), akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. [Ibrâhîm/14:24]
Inilah kedudukan akidah; sebuah kedudukan yang begitu agung, begitu tinggi dan luhur. Perkara akidah ini harus terhunjam kuat dalam jiwa para pemegangnya; terpatri dalam hati mereka. Dari asas inilah mereka bertolak; atas dasar akidah tersebutlah mereka berpedoman dan mendasarkan segala sesuatu. Karena akidah pula mereka berjuang.
Kedudukan akidah begitu agung dan tinggi dalam jiwa dan hati mereka, sehingga akidah ini menjadi kuat terhunjam dalam hati. Maka atas dasar itu, terwujudlah keshalihan dalam perilaku, istiqâmah (kelurusan) dalam manhaj, paripurna dalam amalan, bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan ibadah, dan menjalankan perintah Allâh Azza wa Jalla. Semakin kuat akidah ini terhunjam dan bersarang dalam hati, maka itu akan semakin mendorong mereka untuk (menunaikan) setiap kebaikan; dan akan menopang mereka dalam (mewujudkan) setiap keberuntungan, keshalihan dan keistiqamahan.
Dari sinilah kita tahu, mengapa begitu besar perhatian mereka terhadap masalah akidah. Perhatian mereka terhadapnya terus dan semakin bertambah, mereka lebih mendahulukan masalah daripada perhatian terhadap hal-hal lain. Bagi mereka masalah akidah lebih urgen daripada makan, minum, pakaian dan semua urusan mereka yang lain. Karena akidah merupakan hakikat hidupnya hati mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasûl apabila Rasûl menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu. [Al-Anfâl/8:24]
Akidah adalah hidupnya hati mereka secara hakiki. Ia adalah asas dari tumbuh kembangnya amal mereka; lurusnya perilaku mereka, bagusnya manhaj dan cara hidup mereka. Karena itulah sangat besar perhatian mereka terhadap masalah akidah, baik secara keilmuan, kekuatan hati dalam meyakini, dan juga konsekuensi yang ditimbulkannya berupa kesungguhan, keistiqamahan, dan upaya menjaga ketaatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Sesungguhnya akidah Islam yang shahih lagi murni merupakan perkara penting yang paling urgen; sekaligus kewajiban yang paling ditekankan. Perhatian terhadapnya haruslah didahulukan di atas perhatian terhadap hal lain.
Bila dihayati kehidupan kaum salaf kita yang penuh dengan kebaikan –semoga Allâh merahmati mereka, menempatkan mereka di surga, dan membalas mereka dengan balasan terbaik atas jasa mereka untuk kaum muslimin-, kita bisa melihat betapa besar dan kuatnya perhatian mereka terhadap akidah. Mereka medahulukan perhatian dalam akidah daripada segala hal lainnya. Karena akidah adalah tujuan mereka yang paling agung; puncak dari maksud yang mereka inginkan, dan target mereka yang paling mulia.
Perhatian mereka terhadap masalah akidah cukup beragam, tertuang melalui bidang yang beraneka macam dan upaya yang bervariasi. Dan di antara bentuk perhatian mereka terhadap akidah –yang mana itu merupakan di antara sebab yang menjadikan akidah ini terjaga, kokoh dan langgeng- adalah dengan menyusun karya-karya tulis yang bermanfaat tentang akidah; kitab-kitab sarat faidah yang menetapkan masalah akidah, menjelaskan, menerangkan, dan menyebutkan bukti dan dalilnya; membela akidah ini dari segala tipu daya orang-orang yang berbuat makar, dari kelancangan orang-orang yang melampaui batas, dari ta’thîlnya orang yang berbuat ta’thîl (menafikan asma’ dan sifat-sifat-Nya), dan tahrîf (penyelewengan) orang-orang yang berlebih-lebihan, dan dari segala hal yang sengaja dirangkai seputar akidah untuk dijadikan sebagai target penyelewengan. Maka Ulama salaf pun –semoga Allâh merahmati mereka- bangkit dalam arena yang begitu agung ini dengan usaha dan amalan yang besar; dalam rangka untuk bekhidmat terhadap akidah, membelanya, dan menunaikan kewajiban agung terhadapnya.
Mereka telah menulis ratusan kitab berisi keterangan dan penjelasan tentang akidah; bahkan ribuan kitab, baik yang panjang lebar maupun yang ringkas; Baik kitab yang mencakup semua pembahasan akidah, maupun yang membahas satu sisi tertentu secara khusus; Baik itu kitab yang menetapkan dasar-dasar akidah yang hak dan benar, maupun kitab berisi bantahan terhadap paham yang menyelisihi dan penuh keraguan. Kemudian para Ulama yang datang kemudian mengambil akidah dari ulama yang terdahulu dengan sangat jelas gamblang, seperti terangnya matahari di siang bolong. Yakni akidah yang terang tak ada kerancuan dan kesamaran di dalamnya; karena dalil-dalilnya yang shahih, akurat dan kuat serta jelas. Lalu kaum mukminin yang ittiba’ kepada Rasûl pun mewarisinya generasi demi generasi, abad demi abad. Setiap generasi yang datang menjaga dan memeliharanya dengan upaya yang begitu besar. Kemudian mereka menyampaikannya kepada generasi selanjutnya sebagaimana keadaannya yang semula, tanpa ada perubahan, penggantian, penyelewengan, dan semacamnya. Lalu datanglah generasi setelah mereka, di mana mereka menaruh perhatian terhadap akidah tersebut dengan perhatian seperti yang diberikan oleh para pendahulu mereka; sehingga merekapun menjaganya seperti sedia kala. Dan demikianlah, kaum muslimin selama berabad-abad mewarisinya generasi demi generasi. Dan masih saja sekelompok dari umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas kebenaran dengan mendapat pertolongan Allâh. Orang yang menelantarkan dan menyelisihi mereka tidak akan memberikan mudharat terhadap mereka hingga tiba hari Kiamat.
Tema yang diangkat kali ini adalah tentang kokohnya akidah ini; yakni akidah yang dipegang oleh kalangan salafus shalih –semoga Allâh merahmati mereka-. Akidah yang selamat dari perubahan sepanjang bentangan masa. Ia tetap saja selamat dan kuat. Maka akidah yang dipegang oleh ahlus sunnah yang konsisten dengan al-Kitab dan as-Sunnah pada masa ini, ia tidak lain adalah akidah yang diserukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ia adalah akidah yang dipegang oleh para Sahabat dan yang mengikuti mereka dengan bijak dan baik; di mana mereka menukilkannya satu sama lain di antara mereka. Mereka saling mewariskannya hingga sampai pada zaman kita sekarang ini, dalam keadaan murni dan terjaga.
Memang benar ada sekelompok orang yang tersesat. Banyak di antara mereka yang menyimpang, tercerai-berai dalam berbagai jalan. Mereka telah melenceng dari jalan lurus yang benar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mengisyaratkan bahwa hal seperti ini akan terjadi. Beliau bersabda:
إِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ فَتَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat banyak perselisihan. Maka peganglah oleh kalian sunnahku, dan sunnah para khulafa rasyidin yang mendapat bimbingan. Pegang eratlah ia dan gigit dia dengan gigi geraham. Dan jauhilah oleh kalian segala perkara yang diada-adakan. Karena sesungguhnya setiap hal yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.[1]
Dalam hadits lain beliau bersabda:
وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الأُمَّةُ عَلَى ثَلاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً
Dan umat ini akan terpecah-belah menjadi 73 kelompok. Semuanya di neraka kecuali satu kelompok.[2]
Satu kelompok yang selamat agamanya, lurus manhajnya, dan benar keyakinannya. Karena mereka mengambilnya dari sumbernya yang murni, dari airnya yang tidak ternoda. Mereka mengambilnya dari Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya -semoga shalawat dan salam tercurah baginya-. Sehingga keberuntungan yang mereka dapatkan dalam hal akidah dan semua perkara agama mereka adalah selamat (dari pemahaman menyimpang), ilmu, hikmah dan keluhuran. Dan mereka inilah yang lebih berhak dan pantas untuk mendapatkannya. Karena mereka mengambilnya dari sumber dan mata airnya; yakni Kitabullah dan sunnah Nabi mereka. Allâh menyelamatakan mereka, sehingga mereka tidak tersambar oleh hawa nafsu; tidak terseret oleh arus syubhat. Dalam rangka untuk mencari keyakinan yang shahih, mereka tidak condong pada akal, pikiran, perasaan dan emosi mereka atau yang semisalnya. Akan tetapi mereka hanyalah bersandarkan pada Kitab Allâh dan Sunnah Rasûl-Nya.
Dan tidak diragukan lagi bahwa ada beraneka sebab yang menjadi faktor pendorong untuk langgeng dan selamat serta eksisnya akidah ini dalam jiwa para pemegangnya -berkat taufiq dari Allâh Azza wa Jalla -. Allâh Azza wa Jalla sematalah Yang memberi taufiq dan memberi karunia. Dan anugerah hanya ada di tangan-Nya, di mana Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allâh Azza wa Jalla mempunyai anugerah yang besar. Maka taufiq dari Allâh, bimbingan-Nya menuju yang benar, petunjuk dan pertolongan-Nya kepada mereka, itu adalah perkara yang paling besar di mana dengan hal tersebut keselamatan mereka benar-benar terwujud. Dan dengan sebabnya jugalah akidah ini tetap eksis dalam jiwa mereka. Dan Allâh adalah sebaik-baik yang menjaga, dan Dialah Yang Maha Penyayang di antara para penyayang.
Karena itulah wajib bagi setiap muslim untuk memperkuat hubungannya dengan Allâh. Keharusan baginya untuk senantiasa meminta pertolongan, taufiq, kelurusan dan keselamatan. Karena segala perkara ada di tangan Allâh Azza wa Jalla .
وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allâh. Hanya kepada Allâh aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. [Hud /11:88]
Tidak diragukan, banyak sebab –setelah taufiq dan penjagaan dari Allâh- yang ada di balik kokoh, langgeng dan eksisnya akidah ini dalam jiwa para pemegangnya; yang juga menjadi sebab selamatnya para pemegang akidah ini dari perubahan, dari ketidak konsistenan dalam bersikap, dan penyelewengan. Tidak diragukan pula bahwa merupakan hal yang bermanfaat bagi seorang Muslim dalam kehidupannya, agar ia mengetahui hal-hal yang menjadi sebab kokoh dan selamatnya akidah; agar ia bisa menjaganya dalam dirinya; dan agar ia memeliharanya dengan sebaik-baiknya; dengan memohon pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla dalam segala hal tersebut.
Dijawab oleh: Syaikh Prof.Dr. Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr
_______
Footnote:
[1] HR. Abu Daud 4607, at-Tirmidzi, 2676
[2] HR. Ahmad, 4/102, Abu Daud 4597. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albani dalam as-Silsilah Ash-Shahîhah, no. 203
Referensi: https://almanhaj.or.id/
KEISTIMEWAAN-KEISTIMEWAAN AKIDAH ISLAM
Yang dimaksud dengan keistimewaan yaitu sifat baik yang dimiliki oleh sesuatu yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Keistimewaan akidah Islam banyak sekali, kami akan mencukupkan dengan menyebutkan tiga perkara di antaranya, yaitu:
Akidah Islam Adalah Akidah Tentang Perkara Ghaib
Perkara ghaib adalah perkara yang tidak terjangkau oleh indra, sehingga tidak bisa dicapai oleh panca indra: pendengaran, penglihatan, sentuhan, penciuman, dan pengecap. Sehingga seluruh perkara akidah yang wajib diyakini adalah perkara ghaib. Seperti iman kepada Allâh Azza wa Jalla , para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, takdir, siksa kubur dan nikmat kubur, dan lainnya, yang berdasarkan keterangan di dalam kitab suci al-Qur’an dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang beriman kepada perkara ghaib di permulaan surat al-Baqarah dengan firman-Nya:
الم ﴿١﴾ ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Alif laam miin. Kitab (al-Qur’ân) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib. [Al-Baqarah/2:1-3]
Akidah Islam Adalah Akidah Yang Komplit
Kelengkapan akidah Islam terlihat jelas dalam tiga perkara sebagai berikut:
- Pertama: Ibadah adalah istilah yang meliputi semua perkara yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla dan diridhai-Nya, yang berupa perkataan dan perbuatan, yang lahir dan yang batin. Sehingga ibadah itu mencakup ibadah-ibadah hati, seperti: mencintai (Allâh), takut (kepada siksa Allâh), berharap (kepada rahmat Allâh), tawakkal (kepada Allâh); Dan mencakup ibadah- ibadah perkataan, seperti dzikir, amar ma’ruf, nahi mungkar, dan membaca al-Qur’ân; Serta mencakup ibadah-ibadah perbuatan, seperti shalat, puasa, haji, juga mencakup ibadah-ibadah harta, seperti zakat dan shadaqah tathawwu’ (sunat). Juga mencakup syai’at semuanya. Karena jika seorang hamba menjauhi semua perkara yang diharamkan dan melaksanakan kewajiban, hal-hal yang dianjurkan, dan perkara-perkara yang mubah, untuk mencari wajah Allâh Subhanahu wa Ta’ala , perbuatannya itu menjadi ibadah yang diberi pahala.
- Kedua: Akidah mencakup hubungan hamba dengan Rabbnya juga hubungannya dengan sesama manusia.
- Ketiga: Akidah mencakup keadaan manusia dalam kehidupan dunia, kehidupan di alam kubur, dan kehidupan di akhirat.
Oleh karena itu, bagi orang yang beriman, mengikuti wahyu, al-Kitab dan as-Sunnah itu sudah cukup. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. [An-Nahl/16: 89]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata pada tafsir ayat ini, “Sesungguhnya al-Qur’an memuat segala ilmu yang bermanfaat, memuat berita yang telah terjadi dan ilmu yang akan terjadi, dan memuat segala yang halal dan yang haram, dan segala yang dibutuhkan oleh manusia dalam urusan dunia, agama, kehidupan, dan akhirat mereka. Dan petunjuk terhadap hati, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.[1]
Karena memang petunjuk al-Qur’ân dan as-Sunnah telah lengkap, agama ini telah sempurna, maka merupakan keharusan, bahkan kewajiban untuk mencukupkan diri dengan agama ini, tanpa mengikuti selainnya.
Dan sesungguhnya berpegang kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah merupakan jaminan dari kesesatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: kitab Allâh dan Sunnah rasul-Nya.[2]
Akidah Islam Adalah Akidah Tauqîfiyyah (Hanya Mengikuti Dalil)
Akidah Islam hanya berdasarkan kitab Allâh Azza wa Jalla (al-Qur’ân) dan riwayat yang shahih dari Sunnah Rasûlullâh Muhammad bin ‘Abdullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga akidah bukan tempat bagi ijtihad (fikiran; akal) karena sumbernya tauqîfiyah (mengikuti dalil).
Hal itu dikarenakan akidah yang shahih harus dilandasi keyakinan, sehingga sumbernya harus pasti kebenarannya. Dan ini tidak didapati kecuali dalam kitab Allâh (al-Qur’ân) dan riwayat yang shahih dari Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Berdasarkan ini maka semua sumber-sumber yang kebenaran tidak pasti, seperti qiyas dan akal manusia tidak boleh dijadikan sumber akidah. Barangsiapa menjadikannya sebagai sumber akidah maka dia telah menjauhi kebenaran, dan menjadikan akidah sebagai ruang ijtihad (fikiran) yang terkadang salah dan terkadang benar.
Oleh karena itu ahli kalam, seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Asya’irah, menjadi sesat ketika mereka menjadikan akal sebagai salah satu sumber akidah. Mereka mendahulukan akal daripada nash-nash syari’at, sehingga di kalangan mereka, al-Qur’ân dan as-Sunnah hanya mengikuti akal manusia. Ini merupakan penyimpangan dari jalan yang lurus, meremehkan kitab Allâh (al-Qur’an) dan as-Sunnah, dan mempermainkan akidah Islam, karena mereka menjadikannya tunduk kepada fikiran manusia dan ijtihad akal. Yang benar adalah akal mendukung nash-nash syari’at, akal yang sharih (sehat) mendukung nash yang shahih (benar), dan tidak menentangnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ahlul bid’ah, mereka adalah ahlu ahwa’ dan syubuhat. Mereka mengikuti persangkaan dan apa-apa yang disukai oleh hawa-nafsu. Padahal telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka. Setiap kelompok dari ahlul bid’ah telah membuat sendiri kaedah agama untuk dirinya.
Kemungkinan dengan fikirannya dan perbandingan (logika) nya, yang dia namakan perkara-perkara yang ditetapkan akal.
Kemungkinan dengan perasaannya dan hawa-nafsunya, yang dia namakan perkara-perkara yang ditetapkan perasaan.
Dan kemungkinan dengan apa yang dia tafsirkan dari al-Qur’ân dan dia rubah-rubah kalimat-kalimat al-Qur’an dari tempat-tempatnya. Dan dia mengatakan bahwa dia semata-mata mengikuti al-Qur’ân, sebagaimana kelompok Khawarij.
Dan kemungkinan dengan apa yang dia anggap sebagai hadits atau sunnah, padahal dusta atau lemah. Sebagaimana disangka oleh kelompok Râfidhah yang berupa nash dan ayat-ayat. Dan kebanyakna orang yang telah membuat-buat agama dengan fikirannya, atau perasaannya, dia berargumen dengan al-Qur’ân dengan apa yang dia tafsirkan dengan penafsiran yang tidak benar. Dia menjadikan al-Qur’ân sebagai argumen, tidak menjadikan sebagai dasar/pegangan, tetapi dasarnya yang sebenarnya adalah fikirannya, seperti Jahmiyah, Mu’tazilah dalam masalah sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allâh”.[3]
Adapun anggapan kaum Mu’athillah (orang-orang yang meniadakan kandungan nash syari’at) dan kaum Muawwillah (orang-orang yang menyelewengkan kandungan nash syari’at) bahwa ada kontradiksi antara akal dengan syari’at, maka itu disebabkan oleh kedangkalan akal manusia. Oleh karena itu, sesuatu yang dianggap kontradiski seseorang, namun itu tidak dianggap kontradiksi oleh yang lain.
Berdasarkan hal ini maka sesungguhnya akal itu mendukung nash-nash syari’at dalam bab akidah dan bab-bab lainnya. Namun akal bukan sebagai sumber yang berdiri sendiri untuk akidah. Sehingga akal sendirian tidak boleh memikirkan tentang perkara-perkara ghaib, dan tentang perkara-perkara yang akal tidak mengetahui ilmunya. Dan ilmu manusia tidak akan meliputi tentang Allâh Azza wa Jalla dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla:
وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا
Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. [Thaha/20: 110]
Semoga tulisan ringkas ini mengingatkan umat Islam untuk kembali kepada sumber agama mereka yang haq, dan meninggalkan berbagai penyimpangan yang ada.
Wallâhul-Musta’an.
(Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 16-19, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammaadah al-Jibrin dan beberapa rujkan yang lain)
_______
Footnote:
[1] Tafsir Ibnu Katsir surat an-Nahl, ayat ke- 98
[2] Hadits Shahih Lighairihi. Riwayat Mâlik dan lainnya
[3] An-Nubuwat, hlm. 129
Referensi: https://almanhaj.or.id/