MUQADIMAH
Perkara-perkara pokok yang mendesak dan primer bagi kehidupan manusia (dharuriyat), keperluan-keperluan penting tetapi bukan primer (hajîyat), serta perkara-perkara penunjang (tahsinîyat/kamâlîyat) adalah tiga landasan yang menjadi pondasi bagi ilmu maqâshid
asy-syari’ah (tujuan-tujuan dan maksud-maksud syari’ah). Pemeliharaan terhadap pekara dharuriyat, hajîyat dan tahsinîyat/kamâlîyat merupakan perkara yang menjadi tujuan dan maksud dari ditetapkannya syari’at oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Semua itu telah dijelaskan dalam Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian secara ringkas apa yang diterangkan oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari dalam Daurah Syar’iyah di Ciloto, Bogor, Jawa Barat. Dalam daurah tersebut, beliau menguraikan tentang pemeliharaan terhadap perkara dharuriyat, hajîyat dan tahsinîyat, kaitannya dengan ilmu maqâshid asy-syari’ah. Di antara uraian beliau yang akan dinukil secara ringkas di sini sebagai muqadimah, ialah tentang pemeliharaan terhadap perkara hajîyat (perkara-perkara yang bukan kebutuhan sangat pokok, tetapi penting).
Beliau mengatakan:
Adapun pemeliharaan terhadap perkara hajîyat, maka ia dibangun berdasarkan prinsip memberikan kemudahan dan menghilangkan kesulitan. Ath-Thahir bin ‘Asyur, salah seorang ulama mu’ashirin (zaman kini) yang pertama menulis tentang maqâshid (tujuan-tujuan/maksud-maksud) syari’ah hingga seakan-akan beliau adalah seorang mujaddid (pembaharu) dalam masalah ilmu maqâshid syari’ah sesudah habisnya masa penulisan tentang ilmu ini, mengatakan: “Penelitian terhadap syari’ah menunjukkan bahwa kemudahan dan kelonggaran merupakan salah satu tujuan syari’at”.
Kemudahan dan kelonggaran yang merupakan bagian dari tujuan syari’at ini, tercakup dalam perintah-perintah Rabbul ‘Alamin. Tetapi, bukan berarti kita memahami bolehnya menganggap mudah dan longgar untuk mencukur jenggot, berjabat tangan dengan perempuan atau berbaur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, misalnya, dengan alasan, “yang penting hatinya bersih“. Bukan! Kita akan tetap terus menjelaskan bahwa maksudnya bukan longgar dan mudah untuk melakukan pelanggaran seperti itu.
Sebab semua pemahaman yang salah ini termasuk talbis (pemahaman rancu yang dihembuskan) Iblis. Ini semua merupakan perangkap setan yang terkutuk. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. [Fathir/35:6]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah berfirman:
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
Janganlah kamu menuruti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.[Al-Baqarah/2:208].
Langkah-langkah setan dimulai dari kaidah-kaidah umum ini. Itulah langkah-langkah yang sekarang paling banyak dimasuki oleh sebagian orang pandai dan sok mempelajari ilmu fiqih, orang-orang yang suka memudah-mudahkan dan meremehkan urusan atas nama maqâshid syari’ah, atas nama ruh syari’at, atas nama “memberi kemudahan dan bukan mempersulit”.
Istilah-istilah ini sebenarnya berasal dari nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah. Oleh karena itu semestinya istilah-istilah tersebut tidak dipergunakan untuk menghancurkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah.
Sebagai misal firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.[Al-Baqarah/2:286]
Banyak orang tidak memahami ayat ini. Sehingga beranggapan, bahwa jika mereka merasa berat melaksanakan suatu perintah, misalnya perintah untuk berjenggot, maka mereka meninggalkannya dengan dalih ayat di atas. Padahal ayat di atas merupakan pemberitaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , bahwasanya Allah tidak membebani para hamba-Nya dengan perintah yang diluar kemampuan mereka. Artinya, seluruh ketentuan syari’at Allah tidak ada yang berada di luar kemampuan hamba-Nya. Hanya para hambalah yang kemudian menganggap berat beberapa syari’at berdasarkan hawa nafsunya, padahal sebenarnya mereka mampu melaksanakannya.
Karena itu, amat penting bagi kaum Muslimin memahami tujuan ditetapkannya syari’at oleh Allah Azza wa Jalla .
PENTINGNYA KAUM MUSLIMIN MEMAHAMI TUJUAN DITETAPKANNYA SYARI’AT
Pentingnya memahami tujuan syari’at bagi umumnya kaum Muslimin, terlihat dalam beberapa poin berikut ini.
- Pertama: Bahwa dalam memahami tujuan-tujuan ditetapkannya syari’at, dan syari’at itu merupakan syari’at yang sempurna, paripurna, bermanfaat dan sangat berfaidah, akan dapat menambah keimanan seorang muslim kepada Rabbnya Tabaraka wa Ta’ala, dan akan dapat mengokohkan ‘aqidah Islamiyah yang bersih ke dalam hatinya. Sehingga sesudah itu, ia memiliki kemantapan dalam agama dan syari’atnya.
Kemantapan ini, tentu saja akan melahirkan komitmen yang tinggi, sehingga seorang Muslim akan bersungguh-sungguh melaksanakan ajaran Islam dengan sebenar-benarnya. Ini semua akan menambah kecintaannya terhadap syari’at, meningkatkan keteguhannya dalam berpegang pada agama, dan meningkatkan kekokohannya dalam menempuh jalan Allah yang lurus, berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Kedua: Aakan dapat memberikan ketahanan dan kekuatan pada diri seorang muslim untuk menghadapi ghazwul-fikri (brain washing/serangan pemikiran) dan serangan pendangkalan ‘aqidah, yang dewasa ini secara gencar dibidikkan ke arah kaum Muslimin dari segenap penjuru.
Pada gilirannya seorang muslim juga akan mampu menolak berbagai ajaran lain yang menyusup, dan berbagai arus pemikiran yang merusak, yang para pelakunya selalu bersembunyi di balik slogan-slogan dusta dan propaganda-propaganda palsu, yang tujuannya memberikan kesan bahwa Islam adalah agama biadab, agama teroris, agama ekstrem, dan membuat-buat dusta atas nama Islam lebih banyak lagi. Juga untuk melekatkan berbagai syubhat dan kesesatan pada Islam, dengan maksud memberikan gambaran salah kepada orang-orang yang tidak mengerti, awam dan orang-orang yang tidak matang dalam belajar.
Muslihat ini tidak akan terlihat oleh orang yang tidak memahami hakikat Islam. Namun jika seseorang mulanya tidak mengerti hakikat Islam dan tidak memahami tujuan-tujuan mulia di balik syari’at, kemudian manakala ia dapat memahaminya, maka ia akan menjadi orang yang memiliki ketahanan untuk menangkal menyusupnya syubhat-syubhat ini ke dalam hatinya. Sehingga ia menjadi orang yang kuat mentalnya, kuat agamanya dan kuat ilmunya menurut kemampuan yang ia miliki.
Adapun sekarang, sangat mungkin syubhat melumuri banyak kaum Muslimin, bahwa Islam adalah agama teroris. Mengapa? Karena kata mereka: “Lihat, apa yang dilakukan oleh Fulan! Lihat apa yang diperbuat oleh jama’ah anu!”
Padahal jawabannya mudah:
Sesungguhnya Fulan itu, atau jama’ah anu itu, bukan merupakan cermin Islam yang benar dan bukan merupakan cermin jama’ahnya kaum Muslimin. Tetapi mereka hanya bagian dari kaum Muslimin. Kelompok-kelompok jama’ah ini tidak berarti dapat secara pasti berada dalam kebenaran. Bisa jadi jama’ah-jama’ah itu hanya mengambil satu sisi saja dari ajaran Islam dan meninggalkan banyak sisi lainnya. Bisa jadi pula hanya memahami satu sisi dari ajaran Islam, padahal pemahaman yang benar justeru berlawanan dengan sisi yang difahaminya itu.
Lalu siapakah yang dapat memahami perkara-perkara ini secara tepat, kecuali orang yang memahami dengan benar tujuan-tujuan dan maksud-maksud ditetapkannya syari’at?
- Ketiga: Sesungguhnya kewajiban seorang muslim adalah menyelaraskan kehendak dirinya dengan kehendak syari’at. Akan tetapi orang yang buta maksud dan tujuan syari’at, ia tidak akan mengerti apa yang menjadi kehendak syari’at. Dan orang yang tidak mengerti kehendak syari’at, tentu tidak akan mampu menyelaraskan kehendaknya dengan kehendak syari’at Islam.
Seorang muslim sejati, seluruh tujuan dan kehendaknya akan mengikuti dan ditentukan oleh tujuan-tujuan serta kehendak-kehendak syari’at, bukan mengikuti hawa-hawa nafsu, pendapat-pendapat manusia dan angan-angan kosong. Tetapi semua itu mengikuti kehendak-kehendak, perintah-perintah dan larangan-larangan syari’at.
Siapa yang mengerti bahwa tujuan-tujuan syari’at memiliki ketetapan-ketatapan hukum yang bersifat pasti, maka ia wajib menjadikan dirinya selalu terikat dan selalu tepat sejalan dengan tujuan-tujuan syari’at. Sehingga ia tidak mencoba-coba untuk lari atau berkelit atau meyimpang dari ketentuan syari’at secara sengaja, baik langsung maupun tidak langsung, sebab ia mengetahui bahwa di balik itu terdapat besarnya bahaya, kerusakan dan dosa yang hanya diketahui oleh Allah. Barangsiapa yang tidak berusaha menyelaraskan tujuan-tujuan hidupnya secara tepat dengan tujuan-tujuan syari’at, maka ia akan terjebak pada kebiasaan untuk berkelit, berlari, dan menghindar dari beban-beban syari’at, serta berbelit-belit untuk lepas darinya. Wal-‘Iyadzu Billah.
Dari sinilah perlunya setiap muslim memahami tujuan-tujuan dan maksud-maksud ditetapkannya syari’at.
- Keempat: Sebagai realisasi peribadatan secara nyata kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Realisasi peribadatan kepada Allah Azza wa Jalla secara nyata ini merupakan tujuan utama diciptakannya makhluk jin dan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. [Adz-Dzariyat/51:56].
Berkaitan dengan hal ini, Al-‘Izz bin ‘Abdus-Salam dalam kitabnya “Qawâ’idul-Ahkam” mengatakan:
Tujuan penulisan kitab (Qawâ’idul-Ahkam) ini adalah untuk:
- Menjelaskan maslahat-maslahat (kebaikan-kebaikan) yang ada dalam ketaatan kepada Allah, dalam masalah mu’amalah dan dalam semua perilaku baik, supaya manusia berusaha bersungguh-sungguh meraih ketaatan-ketaatan itu.
- Menjelaskan akibat-akibat dari penyimpangan, supaya para hamba Allah berusaha bersungguh-sungguh untuk menolak penyimpangan-penyimpangan tersebut.
- Menjelaskan maslahat-maslahat yang ada dalam ibadah, supaya para hamba Allah selalu siap sedia melaksanakannya.
- Menjelaskan sebagian maslahat yang perlu didahulukan dari maslahat lainnya.
- Menjelaskan mafsadat (perkara jelek yang merusak) mana yang harus diakhirkan dari mafsadat lainnya, dan
- Menjelaskan apa saja yang masuk dalam kemampuan usaha manusia, dan apa saja yang tidak masuk dalam kemampuan usaha manusia.
Dan syari’at, seluruhnya merupakan maslahat, entah yang bersifat menolak kerusakan maupun yang bersifat mendatangkan kebaikan.
Jika engkau mendengar Allah memanggil
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
(Hai orang-orang yang beriman!), maka perhatikan perintah yang akan disampaikan sesudah itu. Engkau tidak akan mendapatkannya, kecuali kebaikan yang engkau dianjurkan untuk mendapatkannya, atau keburukan yang engkau dilarang untuk melakukannya, atau gabungan antara anjuran dan larangan. Sesungguhnya Allah telah menjelaskan dalam kitab-Nya beberapa hukum yang berkaitan dengan kerusakan dalam bentuk perintah, untuk menjauhi perkara yang merusak itu. Dan menjelaskan beberapa hukum yang berkaitan dengan kebaikan dalam bentuk perintah, untuk mendatangi kebaikan itu[2].
Terkait dengan panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
(Hai orang-orang yang beriman!), terdapat atsar dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Syu’abul-Iman, dan diriwayatkan pula oleh imam-iman lain.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: “Jika engkau mendengar Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
(Hai orang-orang yang beriman!), maka peliharalah firman Allah itu pada telingamu. Karena sesungguhnya ia merupakan perintah, yang engkau diperintahkan untuk melaksanakannya atau larangan yang engkau dilarang darinya”[3].
Demikianlah beberapa tujuan syari’at yang perlu difahami oleh umumnya kaum Muslimin. Termasuk dalam keumuman kaum Muslimin, yaitu para dai yang menda’wahkan (menyeru) agar manusia kembali kepada Rabbul-‘Alamin. Tidak disyaratkan seorang dai harus ulama ahli ijtihad, sebab ilmu memiliki tingkatan-tingkatan. Namun salah satu syarat bagi seorang dai, ia tidak bodoh tentang ilmu agama.
Jadi seorang laki-laki dari kalangan kaum Muslimin, bila ia memiliki ilmu serta pemahaman yang menjadikannya mempunyai kemampuan dan keahlian untuk berda’wah ilallah, maka orang ini akan bertambah bobotnya, pemahamannya, pemikirannya, daya pandangnya dan kekuatannya, jika ia memahami tujuan-tujuan syari’at. Seorang dai berada di tengah samudera besar da’wahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berda’wah menuju Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” [Fushshilat/41:33]
Allah juga berfirman:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ
Katakanlah: “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah berdasarkan bashirah (ilmu/hujjah yang nyata)…” [Yusuf/12:108]
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat itu mengatakan “berdasarkan bashirah (ilmu yang jelas)” dan tidak mengatakan “berdasarkan kebodohan“, maksudnya bashirah/ilmu yang jelas terhadap agama. Bashirah dalam hal Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka poin berikutnya untuk para dai yaitu:
- Kelima: Seorang da’i wajib mengungkapkan maksud-maksud dan tujuan-tujuan ditetapkannya syari’at kepada orang banyak, baik berkaitan dengan perintah maupun larangan, baik yang terdapat dalam Al-Qur`an maupun yang terdapat dalam Sunnah.
Tujuannya, agar lebih banyak lagi memahamkan agama Allah Azza wa Jalla pada umat, dan mendorong semangat mereka, baik orang-orang umum maupun orang-orang tertentu supaya semakin senang dan bergairah melaksanakan kewajiban-kewajiban syari’at ini. Perintah-Nya dilaksanakan, dan larangan-Nya ditinggalkan.
Sebagai misal, ketika menjelaskan kepada umat tentang keutamaan dan pentingnya shalat, maka seorang dai wajib menyebutkan bahwa shalat memiliki tujuan, bahkan memiliki banyak tujuan di samping tujuan pokok shalat, yaitu fardhu. Di samping itu, shalat akan dapat mencegah nafsu pelakunya dari berterus-menerus melakukan perbuatan-perbuatan melampaui batas. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Sesungguhnya shalat akan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. [al-Ankabut/29:45].
Seseorang melakukan shalat, seseorang yang lain juga melakukan shalat. Tetapi orang pertama melakukan penyimpangan dan kacau dalam shalatnya, sedangkan orang kedua mantap dan kokoh. Tentu tidak sama antara keduanya.
Pernah beberapa orang sahabat datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fulan melakukan shalat di malam hari, tetapi jika tiba waktu pagi ia mencuri”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
إِنْ كَانَ كَمَا تَقُوْلُوْنَ فَسَتَنْهَاهُ صَلاَتُهُ
“Jika betul (ia melakukan) seperti apa yang kalian katakan, maka shalatnya itu kelak akan menghalanginya (dari mencuri)”
Hadits ini terdapat dalam kitab shahih, sekaligus menjelaskan lemahnya dua hadits yang terkenal di kalangan manusia dan sering disampaikan kepada orang-orang umum dan orang-orang khusus tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa dasar dari Kitabullah. Dua hadits lemah itu ialah yang mereka sangka sebagai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلاَتُهُ مِنَ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ
“Barangsiapa yang shalatnya tidak dapat menghalanginya dari perbuatan keji dan mungkar, maka tidak ada shalat baginya”
Ini adalah hadits bathil. Dan mereka menyebut lagi hadits yang lain dengan lafazh:
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلاَتُهُ مِنَ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ فَلَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
“Barangsiapa yang shalatnya tidak menghalanginya dari perbuaan keji dan mungkar, maka tidak akan menambahkan apa-apa, kecuali semakin jauh dari Allah“.
Ini jelas bertentangan dengan hadits shahîh.
Apabila seorang da’i ilallah datang dan menjelaskan keutamaan shalat kepada orang banyak, dan bahwa shalat itu merupakan ibadah yang diwajibkan, sedangkan ibadah yang diwajibkan akan dapat membantu nafsu manusia menjadi istiqamah dan terkendali dari perkara-perkara haram, keji dan mungkar, maka bukankah hal itu merupakan sebab terkuat dan metoda paling mantap untuk mengenalkan kepada orang banyak tentang tujuan-tujuan mulia dari ibadah ini? Sehingga karenanya, mereka menerima ibadah ini dengan puas, berdasakan ilmu dan pemahaman. Tidak hanya melakukan ibadah shalat begitu saja, berubah dari ibadah menjadi tradisi belaka.
Dengan menjelaskan tujuan-tujuan penting di balik shalat, misalnya, maka orang akan melaksanakan shalat bukan hanya untuk menghilangkan beban. Sebab, shalat, oleh sementara kalangan dianggap beban berat, yang bila sudah dilaksanakan seakan terlepas dari beban itu.
Bandingkan dengan shalat Nabiyyul-Islam, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ketika beliau bersabda kepada Bilal:
يَا بِلاَل، أَقِمِ الصَّلاَةَ! أَرِحْنَا بِهَا
Wahai Bilal, qamatilah shalat, dengan shalat itu kita merasa nyaman!
Sementara itu, kenyataan sebagian kaum Muslimin menunjukkan, mereka akan merasa nyaman bila telah selesai melaksanakan shalat, seakan terlepas dari beban berat. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya malah merasa nyaman dengan shalat. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia Radhiyallahu anhum memahami keutamaan, tujuan, kepentingan, kedudukan, pengaruh dan hasil dari shalat. Sedangkan sebagian kaum Muslimin seakan-akan hanya berhenti pada gambaran lahiriyah shalat, tidak sampai pada hakikatnya. Berhenti pada tampilan luarnya, tidak sampai masuk ke bagian dalamnya. Kita memohon agar Allah menyelamatkan kita semua.
Demikian juga ketika menjelaskan tentang dzikir dan selainnya (dalam masalah ini, Syaikh Ali Hasan menjelaskan contoh secara luas, tetapi di sini tidak kami kemukakan, peny.).
Jadi memahami hukum-hukum syari’at tanpa memahami tujuan-tujuannya merupakan kelemahan yang sangat besar. Maka memahami tujuan-tujuan syari’at ini dibutuhkan oleh siapa saja, baik orang awam, dai ataupun ulama dan mujtahid.
Selanjutnya, pentingnya memahami tujuan-tujuan syari’at, kadang akan terlihat lebih banyak lagi bagi para dai ketika dapat memahami dan menyusun skala prioritas dalam berda’wah ilallah. Sementara itu, memahami skala prioritas membutuhkan kedalaman pemahaman dan penelitian. Ketika Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan:
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ. متفق عليه.
Sesungguhnya engkau akan datang kepada suatu kaum dari Ahli Kitab, maka hendaklah pertama-tama yang engkau da’wahkan kepada mereka ialah agar mereka mentauhidkan Allah. [Muttafaq ‘alaih][4]
Dengan demikian, mentauhidkan Allah merupakan perkara paling besar dan paling agung kedudukannya. Ia berada pada skala prioritas paling tinggi. Maka seorang dai ilallah ketika berda’wah kepada manusia, ia wajib memperhatikan kesalahan apa yang umumnya dilakukan oleh manusia, lalu terapi apa yang paling utama untuk dimulai. Jadi dai harus memperhatikan obyek da’wahnya, lalu memberikan obat yang paling sesuai. Dan ia tidak akan dapat memberikan obat yang paling sesuai, kecuali jika ia memahami tujuan-tujuan syari’at. Salah mendiagnosa akan berakibat fatal.
Pernah ada seorang laki-laki datang kepada Ibnul-Jauzi rahimahullah , kemudian orang ini bertanya kepada beliau: “Wahai Imam, mana yang lebih utama, bertasbih atau beristighfar?”
Perhatikanlah jawaban Imam Ibnul-Jauzi: “Baju yang kotor membutuhkan sabun atau membutuhkan parfum?”
Tentu membutuhkan sabun. Jadi, bila orangnya adalah orang yang bertakwa dan ahli ibadah, tentu bertasbih lebih utama baginya. Tetapi bila orangnya adalah orang yang tidak banyak beribadah dan banyak melakukan dosa, tentu beristighfar lebih utama baginya. Namun bagaimana seseorang dapat membedakan perkara-perkara detail seperti ini, jika ia tidak memahami tujuan-tujuan syari’at dan tidak mengerti skala prioritas penting?
Skala prioritas dalam da’wah tidak akan dapat dimengerti, kecuali jika seseorang memahami tujuan-tujuan syari’at. Maka ia harus memahami skala prioritas melalui pemahamannya terhadap tujuan-tujuan ditetapkannya syari’at. Ada perkara penting, tetapi juga ada perkara yang lebih penting.
Mendahulukan perkara yang lebih penting dari perkara penting merupakan perkara penting. Namun sekali lagi, seseorang tidak akan dapat melakukannya, kecuali bila ia memahami tujuan-tujuan syari’at. Dengan demikian, maka akhirnya, ia akan memahami skala prioritas dengan benar sesuai syari’at.
Di sini ada yang perlu diperhatikan! Yaitu eksploitasi maqashid syari’ah (tujuan syari’at) untuk kepentingan kebatilan, bukan kebenaran. Ada sebagian kalangan yang suka membicarakan masalah tujuan syari’at secara tidak benar.
Mereka mengatakan: “Memahami skala prioritas termasuk maqashid syari’ah“. Ini tentu pernyataan yang dapat diterima. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman memerintahkan kepadanya untuk mendahulukan tauhid dalam dakwah. Tetapi mereka tidak hanya mengatakan itu saja. Mereka mengatakan: “Memahami skala prioritas termasuk maqâshid syari’ah. Dan hal paling prioritas untuk kita kerjakan adalah mendirikan pemerintahan Islam, mendirikan Negara Islam”.
Pendahuluannya benar, tetapi ujung-ujungnya jelek. Bagaimana mereka mengatakan bahwa skala prioritas paling utama adalah mendirikan pemerintahan Islam, padahal itu tidak terdapat dalam sejarah dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejarah perjalanan sahabat? Bahkan sejarah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan, bahwa skala prioritas paling utama adalah menegakkan ‘ubudiyah (peribadatan) hanya kepada Allah saja, mentauhidkan Allah saja. Adapun keruntuhan kaum musyrikin dan kemenangan kaum Muslimin, maka ini merupakan anugerah dari Allah, karena kaum Muslimin merealisasikan ‘ibadahnya hanya kepada Allah semata, tidak melakukan syirik dan bid’ah.
Demikianlah secara ringkas beberapa hal berkaitan dengan pentingnya memahami tujuan-tujuan syari’at bagi setiap muslim, yang disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari –hafizhahullah-. Maka sudah saatnya kaum Muslimin berusaha menghayati setiap kewajiban atau setiap larangan yang ditetapkan Allah, mengenai tujuan-tujuan di balik itu semua, supaya peribadatan kepada Allah dikerjakan dengan penuh gairah, menyenangkan dan benar, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Wallahul-Muwaffiq.
______
Footnote:
[1] Makalah ini diangkat dan disarikan dari materi yang disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari pada Daurah Syar’iyyah I yang diselenggarakan oleh Yayasan Imam Bukhari, Jakarta, di Ciloto, Bogor, Jawa Barat, pada pertengahan bulan Februari 2007. Disamping itu, rangkuman dan ringkasan ceramah Syaikh Ali bin Hasan tentang pentingnya memahami tujuan ditetapkannya syari’at (maqashid syari’ah) ini, juga dirujukkan dengan kitab yang menjadi pegangan beliau saat daurah, yaitu kitab Maqâshidusy- Syari’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, karya Dr. Yusuf bin Muhammad Al-Badawi, Darun-Nafâ-is, Yordania Cetakan I, Tahun 1421 H / 2000 M, Sub judul Ahammiyyah Maqashid Asy-Syari’ah bin Nisbati lil-Muslim Al-‘Adi, dan beberapa sumber lainnya.
Makalah ini berkaitan dengan pentingnya setiap muslim, meskipun awam, untuk memahami tujuan syari’at. Apalagi jika ia seorang dai. Rangkuman ini disusun oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin. Fokus penyusun hanya merangkum kembali permasalahan tujuan syari’at ini dengan bahasa bebas dan ringkas, agar lebih mudah difahami.
Menurut Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari dan juga penyusun kitab Maqâshidusy-Syari’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah yang dijadikan sebagai pegangan beliau dalam daurah tersebut, sesungguhnya ada sebagian ulama berpendapat bahwa memahami tujuan syari’at tidaklah bermanfaat, kecuali bagi para ulama dan para ahli ijtihad saja. Kata beliau, tentu ini merupakan pendapat yang keliru.
[2] Disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan dengan menukil dari kitab yang dijadikan rujukan beliau, yaitu kitab Maqâshidusy- Syari’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah. Lihat hlm. 104. Lihat pula kitab asli karya Al-‘Izz bin Abdus-Salam (wafat 660 H), Qawâ’idul-Ahkam fi Mashâlihil-Anam, Fashlun Fi Bayan Maqashid Hadza Al-Kitab, Darul-Bayan Al-‘Arabi, Cetakan I, Tahun 1421 H/2002 M, Juz I, hlm. 11.
[3] Atsar ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Baqarah ayat 104,-red)
[4] Lihat Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, antara lain jilid XIII/347, Kitab At-Tauhid, Bab Maa Ja’a fi Du’a-in Nabiyyi Ummatahu Ila Tauhidillah Tabaraka wa Ta’ala, hadits no. 3732. Dan Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq: Khalil Ma’mun Syiha, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, Cetakan III, Tahun1417 H/1996 M (I/146 dan sesudahnya, hadits no. 121, 122 dan 123).
Referensi: https://almanhaj.or.id/
KANDUNGAN SYARIAT ISLAM, PENUH DENGAN KEBAIKAN
PENGANTAR
Begitu indah aturan yang dihadirkan Islam bagi umat manusia. Semua sisi kehidupan dipenuhi dengan rambu-rambu yang tidak hanya sarat dengan kemaslahatan, tetapi juga membebaskan manusia dari bahaya. Bak santapan, maka kandungan Islam mengandung banyak nutrisi, hyginis atau bersih dari kotoran. Itulah substansi nilai-nilai Islam yang sangat kokoh melekat. Tulisan berikut ini menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan keindahan kandungan syari’at Islam. Diadaptasi dari kitab Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah karya Dr. Yusuf bin Muhammad Al-Badawi, Darun- Nafâ-is, Yordania, Cetakan I, 1421 H / 2000M[1].
AJARAN ISLAM MERUPAKAN KENIKMATAN MUTLAK
Tidak berlebihan, bila dikukuhkan bahwa kedatangan Islam sebagai kenikmatan yang mutlak, lantaran berhubungan erat dengan kebahagiaan abadi.
“Dinul-Islam, benar-benar merupakan kenikmatan hakiki, yang pasti mengantarkan manusia kepada kehidupan yang kamâl (sempurna). Dan manusia sama sekali tidak bernilai, sebelum ia mengenal sesembahannya sesuai dengan tuntunan Islam, sebelum mengenal alam semesta ini sesuai dengan petunjuk Islam, sebelum memahami diri dan perannya di alam ini serta kemuliaannya di sisi Rabbnya sebagaimana dituturkan Islam yang telah diridhai Allah. Manusia tidak mempunyai harga apapun sebelum ia merdeka dari penyembahan terhadap sesama makhluk menuju peribadahan kepada Rabb semua makhluk. Tanpa nilai-nilai yang telah Allah anugerahkan melalui agama Islam yang lurus ini, manusia akan hidup layaknya binatang ternak yang berkeliaran, bahkan lebih sesat darinya, karena membalas nikmat Allah ini (berupa agama Islam) dengan kekufuran.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” [Al-Furqan/25 : 43-44]
Bila memang sedemikian penting agama Islam ini, bahkan manfaatnya lebih dari apa yang dibayangkan oleh siapapun, maka ia benar-benar karunia paripurna yang semestinya membangkitkan kegembiraan. Kegembiraan terhadapnya termasuk perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Padahal, Allah tidak menyukai kaum farihin (bergembira).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.[Yunus/10 : 58].”[2]
Senada dengan keterangan di atas, Sulthanul- ’Ulama, Al-’Izz bin ‘Abdis-Salam rahimahullahu[3] berkata: “Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengenalkan kepada mereka segala hal yang mengandung petunjuk dan kemaslahatan bagi mereka, agar mereka mengerjakannya. Dan (Allah) mengenalkan setiap hal yang memuat kesesatan dan keburukankeburukan, sehingga mereka menghindarinya serta mengabarkan kepada mereka bahwa setan adalah musuh mereka, (dan) supaya mereka memusuhi dan menentangnya. Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala menitikberatkan kemaslahatan-kemaslahatan dunia dan akhirat melalui ketaatan kepada-Nya dan menjauhi bermaksiat terhadap-Nya”[4]
MISI AJARAN ISLAM, JALBUL MASHALIH DAN DAR‘UL MAFASID
Di kalangan ulama, pembahasan mengenai tema misi ajaran Islam yang dibawa Rasulullahn, populer dengan istilah jalbul-mashâlih dan dar‘ul-mafasid.[5]
Mashalih jamak dari kata mashlahah yang bermakna kebaikan. Dan mafâsid jamak dari kata mafsadah yang diartikan oleh Ibnu Manzhur rahimahullah dengan makna al-madharrah (bahaya) lawan dari ash- shalâh (kebaikan).
Al Ghazali rahimahullahu memaparkannya sebagai segala hal yang menghilangkan dharuriyyatulkhams[6].
Pengertiannya secara global, yaitu mendatangkan seluruh kebaikan dan menghindarkan kerusakan-kerusakan. Tidak ada kebaikan bagi umat manusia, kecuali Islam telah menetapkan perintah dan anjuran padanya. Dan tiada keburukan ataupun kerusakan yang mengancam manusia, melainkan sudah ditetapkan peringatan dan larangan terhadapnya.
Misi di atas, merupakan misi seluruh para nabi yang diutus oleh Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sesungguhnnya tiada seorang nabi sebelumku, melainkan ia wajib menunjuki umatnya kepada kebaikan yang ia ketahui dan memperingatkan mereka dari keburukan yang ia ketahui untuk mereka“. [HR Muslim]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang peran Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi sekalian alam
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. [Al- Anbiya/21 :107]
Terkadang, mashalih disebut dengan bahasa al-khair (kebaikan), an-naf’u (kemanfaatan) dan al-hasanaat (kebaikan-kebaikan). Sedangkan mafâsid, suatu waktu diungkapkan oleh syarî’at dengan bahasa asy-syarru (kejelekan), adh-dharru (bahaya) dan as-sayyi-ât (keburukan-keburukan)[7].
Demikian subtansi ajaran Islam, yaitu terletak pada dua point tersebut, yakni menghadirkan kebaikan-kebaikan dan melenyapkan keburukan-keburukan. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu sering mengulang-ulang statemen ini di dalam kitab-kitab beliau. Misalnya, beliau mengatakan: “Aturan syari’at datang untuk menghasilkan kemaslahatan-kemaslahatan dan menyempurnakannya, dan meniadakan keburukan-keburukan dan menguranginya”[8]
Melalui telaah mendalam terhadap nash-nash syari’at dan pencermatannya yang tajam terhadap rahasia-rahasia di dalamnya, Syaikhul-Islam rahimahullahu menegaskan beberapa kaidah yang berhubungan dengan pembahasan ini. Di antaranya sebagai berikut:
- Para rasul diutus ke dunia ini untuk mendatangkan kemaslahatan-kemaslahatan dan melengkapinya, dan meniadakan keburukan-keburukan dan menekan angkanya sesuai dengan kemampuan[9].
- Aturan syari’at memerintahkan perkara yang mengandung kebaikan yang murni atau lebih dominan, dan melarang dari perkara yang memuat kerusakan-kerusakan (keburukan-keburukan) atau lebih dominan daripada muatan kebaikannya[10].
Bahkan Sulthânul-’Ulama, Al-’Izz bin ‘Abdis- Salam menyimpulkan, fokus keberadaan syari’at ada pada satu titik saja, yaitu untuk menciptakan mashaalih semata bagi alam semesta. Kata beliau: “Semua aturan syari’at merupakan mashâlih. Baik untuk menolak keburukan maupun untuk mendatangkan kebaikan." Jika engkau mendengar Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا “wahai orang-orang yang beriman”, (maka) renungilah pesan- Nya setelah panggilan tersebut. Engkau tidak akan menemukan kecuali sebuah kebaikan yang dianjurkan Allah atas dirimu, atau keburukan yang Dia melarangmu darinya, atau berpaduan antara keduanya, anjuran dan larangan. Di sebagian ketetapan hukum dalam kitab-Nya, Allah menerangkan sejumlah keburukan agar dijauhi dan (menjelaskan) mashâlihnya sebagai himbauan supaya melakukan mashâlih”[11].
Sudah jelas sekali, bagaimana perhatian Islam terhadap kebaikan umat manusia secara khusus, yang nantinya mengajak untuk meraih kebahagiaan hakiki, di dunia dan akhirat.
Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam rahimahullah menegaskan: “Semua kebahagiaan berpangkal dari mengikuti seluruh aturan syari’at yang datang, dan muncul disertai dengan menepis ajakan hawa nafsu yang menyelisihi syari’at. Allah Ta’ala Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
“(lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka)” [Thaha/20 : 123] maksudnya, ia tidak sesat di dunia dan tidak celaka di akhirat kelak dengan menerima siksa”[12]
Sebagai contoh, Islam memerintahkan manusia untuk beriman. Karena keimanan itu, sepenuhnya betul-betul bermanfaat. Islam menetapkan perintah berjihad yang mengandung kemaslahatan menyeluruh, walaupun menuntut pengorbanan jiwa. Akan tetapi, kemaslahatan jihad itu sendiri sangat kuat. Merebaknya kekufuran, dampaknya lebih berbahaya dibandingkan kematian di jalan Allah.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang perbuatan fawâhisy (kekejian), baik yang terlihat maupun tidak, melarang perbuatan dosa, kezhaliman tanpa kebenaran, perbuatan syirik terhadap Allah dengan segala sesuatu dan berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua perkara tersebut adalah dilarang saat kapanpun dan dalam aturan syariat seluruh nabi.
Pengharaman darah, bangkai, babi dan lainnya yang sangat mengandung mafsadah, seperti pada khamr dan perjudian, meskipun ada manfaatnya bagi manusia, namun akibat dosanya lebih besar dibanding kemanfaatan yang bisa diraih[13].
Oleh karena itu, benar-benar merupakan kekeliruan fatal jika seseorang memungkiri eksistensi mashâlih, mahâsin (sisi-sisi keindahan) dan maqâshid (orientasi) dalam syari’at yang telah ditetapkan Allah ini bagi umat manusia di dunia maupun akhirat. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menilai orang seperti itu dengan sebutan “orang yang telah mengalami kekeliruan, sesat. Kerusakan pernyataannya telah dimaklumi dengan mudah”[14].
Begitu pula pendapat yang memandang bahwa kemaslahatan Islam hanya diperuntukkan di dunia ini saja, merupakan pendapat yang timpang, sebagaimana anggapan Ibnu Asyûr[15].
SEJAUH MANA AKAL MANUSIA DAPAT MENGETAHUI KEBAIKAN DAN KEBURUKAN?
Tingkat kemampuan akal antara seseorang dengan orang lainnya sangat variatif. Kebenaran, penilaian baik dan buruk, bila hanya didasarkan pada kecerdasan akal manusia belaka, sungguh sangat naif. Karena ia bersifat nisbi dan relatif. Bukti kongkretnya, aturan-aturan produk manusia seringkali mengalami perubahan dan revisi seiring dengan perkembangan zaman dan perbedaan pemegang kendalinya.
Sehingga, penilaian baik oleh seseorang tidak menutup kemungkinan disanggah oleh orang lain. Akibatnya terjadi khilaf dalam menilai baik atau buruk terhadap sebuah obyek atau perilaku. Tidak mungkin perbedaan pandangan ini diselesaikan, kecuali dengan kembali kepada sumber yang tidak diperselisihkan statusnya. Yakni, kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [An-Nisâ/4: 59][16]
Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa orientasi syari’at Islam ialah untuk menciptakan segala bentuk mashlahah. Dengan begitu, tidak ada satu pun kemashlahatan yang terbengkalai dalam pandangan syari’at. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama Islam bagi kaum Muslimin dan menyempurnakan kenikmatan bagi mereka.
Ibnul-Qayyim rahimahullah memperjelas kenyataaan bahwasanya Allah Ta’ala telah menanamkan pada fitrah manusia yang masih bersih dan akal, yaitu berupa kemampuan untuk menilai baik terhadap kejujuran, berbuat baik kepada orang lain, ‘iffah, sifat ksatria, akhlak yang luhur, amanah, silaturrahmi, menepati janji… dan menilai buruk terhadap tindak-tanduk yang berlawanan dengan fitrah tersebut. Akan tetapi, kemampuan akal dan fitrah manusia dalam konteks tersebut, hanya bagaikan hasratnya terhadap air sejuk saat dahaga, makanan yang lezat ketika merasa lapar dan keinginan mengenakan pakaian hangat ketika kedinginan. Jalan yang paling benar dari cara di atas, yaitu melalui as-sam’u (wahyu), karena adanya kekaburan yang dialami akal dan fitrah dalam memahami sebagian hakikat persoalan. Adapun orang yang mengetahui secara terperinci tentang itu ialah Rasulullahn Shallallahu ‘alaihi wa sallam[17].
Oleh sebab itu, keberadaan syari’at Islam yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala di tengah manusia adalah mutlak. Sebab, akal, bagaimanapun canggihnya, ia tidak mampu meneropong segala kebaikan dan keburukan yang hakiki. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan: “Seandainya tidak ada risalah, akal manusia tidak mampu mengetahui aspek-aspek yang bermanfaat dan berbahaya di dunia dan di akhirat secara terperinci”[18].
Beliau menambahkan: “Sudah menjadi kewajiban atas setiap orang untuk mengerahkan kemampuan dan kesanggupannya supaya mengetahui kandungan risalah yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan taat kepada beliau. Dan caranya, yaitu melalui ar-riwâyah (periwayatan) dan nukilan an-naql (wahyu). Karena, akal semata tidak mampu untuk itu. Sebagaimana cahaya tidak dapat melihat, kecuali dengan keberadaan cahaya di depannya. Begitu pula akal manusia tidak kuasa mencari hidayah, kecuali ketika pancaran risalah tersebut terbit”[19]
Sulthânul-’Ulama Al ‘Izz bin ‘Abdis-Salam rahimahullahu juga menuturkan keterangan yang sama. Kata beliau: “Adapun mashâlih dan mafâsid dunia akhirat dan faktor-faktor penyebabnya tidak dapat diketahui, kecuali dengan syari’at. Bila ada yang masih belum jelas, maka dicari melalui dalil-dalil syari’at, yaitu Al-Kitab, as-Sunnnah, Ijma’, Qiyas yang mu’tabar, serta istidlâl yang shahîh”[20]
Dalam persoalan ini, terdapat pula penyimpangan dari sejumlah aliran. Para pengusungnya telah disinggung oleh Syaikhul- Islam Ibnu Taimiyyah, sebagai berikut[21].
- Pertama: adalah sekte Mu’tazilah Qadariyyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan banyak kalangan dari ulama Hanafiyyah.
Mereka menyatakan, pada dasarnya obyek yang diperintahkan atau dilarang tersebut memang baik maupun buruk, sebelum munculnya ketetapan tersebut. Ketetapan perintah dan larangan hanya sekedar menyibak karakteristik yang menyatu dengannya, tidak mengakibatkan penilaian baik atau buruk. Menurut pandangan mereka, tidak boleh memunculkan penetapan perintah atau larangan atas dorongan hikmah yang timbul dari perkara itu sendiri.
Lain lagi dengan ideologi yang bersumber dari aliran Jahmiyyah Jabriyyah dan kalangan Asy’ariyyah. Mereka memandang, sebuah perintah tidak memuat hikmah apapun, baik dari perintah itu sendiri atau implikasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan apapun atas dasar hikmah. Kehendak Allah-lah yang menentukan kemunculan apa yang sudah ada, dan penentuan salah satu dari dua hal yang serupa tanpa faktor khusus. Kebaikan maupun keburukan menurut persepsi mereka, bukanlah bagian dari sifat yang menyatu pada sebuah obyek. Kebaikan dan keburukan itu, tidak lain lantaran telah dinilai baik atau buruk oleh syari’at. Secara implisit maupun eksplisit, tidak ada unsur kebaikan maupun keburukan berkaitan dengan obyek tersebut. Pada gilirannya, konsekuensi dari pandangan mereka, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala boleh memerintahkan sebuah perintah, sekalipun berujud kekufuran, perbuatan fasik maupun maksiat. Begitupun, melarang segala perkara, kendatipun masalah tauhîd, kejujuran ataupun keadilan.
Dua pandangan di atas sangat bertentangan dengan orientasi syari’at Islam, yang memberikan kebaikan sebesar-besarnya bagi alam semesta. Pandangan ini juga menyelisihi pandangan para sahabat Rasulullah dan generasi selanjutnya yang mengikuti mereka dengan setia.
Dalam pandangan mereka, hikmah yang timbul bervariasi menjadi tiga macam.
Tindakan tersebut mengandung unsur maslahat atau mafsadah, meskipun syari’at belum menyinggungnya. Misalnya, sudah diketahui bersama bahwa kejujuran mengandung kemaslahatan, dan kezhaliman menimbulkan mafsadah. Dua hal itu sudah masuk dalam kategori hasan (baik) atau qabîh (buruk), yang bisa dicerna oleh akal dan melalui syari’at. Bukan atas dasar sifat yang sebelumnya tidak melekat padanya. Akan tetapi, hal ini tidak otomatis menyebabkan pelakunya harus menerima hukuman di akhirat kelak, bila syari’at belum menetapkannya. Inilah di antara kesalahan kalangan yang ekstrim dalam berasumsi kebaikan dan keburukan bisa diambil melalui akal semata. Mereka menyatakan, bahwa orang-orang akan disiksa atas perilaku mereka yang buruk, meskipun Allah belum mengutus seorang rasul yang menjelaskan sisi keburukannya kepada mereka. Amat jelas, kalau pemahaman ini bertentangan dengan aayat
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul” [Al-Isra/17 :15]
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [An-Nisa/4: 165].
- Bentuk Kedua: Sesungguhnya perkara yang diperintahkan dan dikenakan larangan, menjadi obyek yang memperoleh sifat kebaikan lantaran syari’at memerintahkannya atau ternodai oleh keburukan akibat pelarangannya. Sebagai contoh, khamr (minuman keras, minuman yang memabukkan), yang sebelumnya bukan barang haram, kemudian datang ketetapan yang mengharamkannya, sehingga khamr beralih menjadi barang khabîtsah (keji).
- Jenis Ketiga: Yakni adanya hikmah dengan adanya perintah tersebut, tetapi bukan sebuah maslahat. Orientasinya hanyalah sebagai ujian bagi seorang hamba, apakah menjadi manusia yang taat atau sebaliknya justru melanggar aturan tersebut. Sebagaimana dialami oleh Al-Khalîl yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya, Ismail.
Bentuk ketiga inilah yang kabur, belum bisa dicerna oleh kalangan Mu’tazilah. Persepsi mereka, kebaikan dan keburukan itu tidak muncul kecuali sebagai sifat yang menyatu dengan sesuatu, tanpa ketetapan dari syari’at. Sedangkan golongan Asy’ariyyah berpandangan, segala aturan syari’at hanya ditujukan sebagai imtihân (ujian) belaka, dan seluruh tindak-tanduk tidak mempunyai implikasi apapun, baik sebelum ditetapkan oleh syari’at sebagai larangan dan perintah, maupun setelah ditetapkan. Hikmah ditetapkannya syari’at tidak pernah mereka perhatikan, baik dalam hal perintah maupun larangan. Adapun para orang bijak, mayoritas ulama, mereka menetapkan tiga jenis ini, dan itulah pendapat yang benar dan menandakan kecerdasan jiwa[22].
Jadi, berdasarkan keterangan Ibnu Taimiyyah, bahwa akal dan fitrah kadang bisa mandiri dalam menentukan sisi kebaikan atau keburukan sesuatu, akan tetapi sangat terbatas. Selain itu, pengetahuan akal tentang baik buruknya suatu perkara tidak berdampak pada balasan akhirat, berupa pahala, siksa, selama tidak ada dalil yang menetapkannya[23].
Pandangan Ibnu Taimiyyah itu dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan budaya dan pengalaman-pengalaman. Adapun yang berhubungan dengan ibadah, seperti shalat, thawaf dan lain-lain, sesungguhnya akal tidak memiliki andil sedikit pun[24].
Ibnul-Qayyim rahimahullahu juga menandaskan: Pernyataan yang menentukan permasalahan ini, bahwasanya aspek kebaikan dan keburukan, kadang termuat pada suatu tindakan tertentu, akan tetapi Allah tidak menetapkan pahala atas pelaksanaannya, dan tidak menghukumi karenanya melainkan setelah ditegakkan hujjah dengan mengirimkan rasul. Inilah permasalahan yang tidak diperhatikan oleh golongan Mu’tazilah[25].
Ringkasnya, syari’at tidak pernah mengesampingkan kemaslahatan terhadap sesuatu apapun, bahkan Allah l telah menyempurnakan agama Islam dan menyempurnakan kenikmatan bagi kaum Muslimin. Namun, apabila akal meyakini adanya kemaslahatan pada suatu perkara yang ternyata belum ditetapkan oleh syari’at, maka tidak terlepas dari dua kemungkinan. Pertama, sebenarnya syari’at telah menunjukkannya, tetapi belum terlihat oleh manusia. Atau sebetulnya perkara tadi bukan sebuah kemaslahatan, kendati diyakini oleh akal sebagai kemaslahatan. Karena yang dinamakan mashlahah, ialah kemaslahatan yang murni atau yang dominan[26].
PENUTUP
Secara keseluruhan, agama Islam mengandung kemaslahatan. Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan: “Jika engkau merenungi hikmah dalam agama yang lurus ini, ajaran yang hanif dan syari’at yang diemban Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kesempurnaannya tidak bisa disampaikan melalui ungkapan, imajinasi pun tidak mampu membayangkan keindahannya, dan daya pikir para cendikiawan tidak mampu menggagas ajaran yang lebih baik darinya, kendatipun mereka bersatu dengan bantuan daya pikir yang paling cerdas. Cukuplah menjadi kebaikan Islam, bahwa akal-akal yang sempurna lagi utama telah mengetahui keelokannya dan mengakui keutamaannya. Dan sesungguhnya tidak pernah ada ajaran di alam dunia ini yang lebih sempurna, lebih agung dan besar daripadanya. Seandainya Rasulullah tidak membawa bukti atas kebenarannya, cukuplah syari’at itu sebagai petunjuk yang membuktikannya”[27].
Karenanya, umat manusia benar-benar membutuhkan syari’at Islam, lantaran mengandung seluruh kemaslahatan yang besar, mempedulikan mashâlih manusia di dunia maupun di akhirat dan menjadi sarana untuk menggapai keselamatan dan kebahagiaan. Allah menjelaskan dalam kitab-Nya, bahwa syari’at- Nya merupakan shirâthul-mustaqim (jalan yang lurus), jalan yang lurus dan metode yang benar. Siapa saja yang konsisten di atasnya, niscaya akan selamat. Dan barang siapa yang berpaling, maka akan binasa”[28]
Oleh sebab itu, seperti diungkapkan oleh Syaikh Abdur-Razzaq Al-’Abbad dalam Asbabul Ziyadatul-Iman wa Nuqshanihi[29] (hlm. 36), bahwa merenungi sisi-sisi keindahan Islam dan kandungan risalah Islam yang memuat berbagai perintah, larangan, aturan, hukum, akhlaq dan etika, termasuk merupakan faktor penting yang menjadi daya tarik orang untuk masuk Islam, dan pertambahan keimanan bagi para pemeluknya.
Wallahul-muwaffiq.
______
Footnote:
[1] Kitab ini menjadi pegangan Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari pada Daurah Syar’iyyah I yang diselenggarakan oleh Yayasan Imam Bukhari, Jakarta, di Ciloto, Bogor, Jawa Barat, pada pertengahan bulan Februari 2007. Adapun penulisan makalah berikut ini dilakukan oleh Ustadz Ashim bin Musthafa yang meramunya dengan beberapa tambahan dari kitab lainnya. Semoga bermanfaat. (Redaksi).
[2] Ats Tsabât ‘Alal-Islam, Dârul-Minhaj, Kairo, Mesir, Tahun 1424 H – 2004 M, hlm. 14-15.
[3] Imam ahli hadits, Sulthânul-’Ulama Abu Muhammad ‘Izzuddin ‘Abdul-’Aziz bin ‘Abdis-Salam bin Abil-Qasim bin Al-Hasan as- Sulami ad-Dimasyqi. Seorang ulama fiqih dari kalangan Syafi’iyyah. Lebih dikenal dengan panggilan Al-’Izz bin ‘Abdis-Salam. Lahir 577 atau 578 H, dan wafat 660 H.
[4] Qawâ’idul-Ahkâm fî Mashâlihil-Anam, Al-’Izz bin ‘Abdis-Salam, Dârul-Bayanil-’Arabi, Tahun 1421 H – 2001 M, hlm. 5.
[5] Untuk selanjutnya dalam pembahasan ini memakai dua ungkapan tersebut.
[6] Lisânul-’Arab (5/3412), Al-Mushtashfa (2/481-482). Dinukil dari Maqâshidusy-Syarî’ah. Lihat Mabhats, Dharuriyatul-Khams.
[7] Qawâ’idul-Ahkâm, hlm. 8.
[8] Majmu’ Al-Fatâwa (1/265)
[9] Majmu’ Al-Fatâwa (1/265, 10/512).
[10] Majmu’ Al-Fatâwa (1/194, 11/331, 348).
[11] Qawâ’idul-Ahkam, hlm. 11.
[12] Qawâ’idu- Ahkam, hlm. 17.
[13] Majmu’ Al-Fatâwa (27/230, 21/569, 1/265, 24/278-279), Al-Istiqâmah (1/153), Al-Maqâshid, hlm. 287.
[14] Majmu’ Al-Fatâwa (11/179).
[15] Maqâshidusy-Syari’ah, Ibnu ‘Asyûr, hlm. 13. Dikutip dari Al-Maqâshid, hlm. 285.
[16] Raf’udz-Dzulli wash-Shaghâr ‘anil-Maftunîn bi Khuluqil-Kuffar, ‘Abdul-Malik bin Ahmad Ramdhani, Cetakan II, Tahun 1426 H, hlm. 52.
[17] Ighatsatul-Lahafan (2/138). Dinukil dari Raf’udz-Dzulli, hlm. 52-53.
[18] Majmu Al-Fatâwa (19/99-100).
[19] Majmu Al-Fatâwa (1/5-6, 3/338-339).
[20] Qawâ’idul-Ahkam, hlm. 11.
[21] Minhajus-Sunnah (3/14), Majmu Al-Fatâwa (8/90, 341, 17/198), Syarhul-Ashfahaniyyah, hlm. 161.
[22] Majmu Al-Fatâwa (8/431-436, 17/198-203, 11/347, 354).
[23] Maqâshidusy-Syari’ah ‘inda Ibni Taimiyyah, hlm. 294.
[24] Maqâshidusy-Syari’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 294-295.
[25] Miftahu Dâris-Sa’adah hlm. 333-334, 367, 372, 374-355.
[26] Majmu Al-Fatâwa (11/344-345), Maqâshidusy-Syari’ah ‘Inda, 295.
[27] Miftahu Dâris-Sa’adah, hlm. 324. Dinukil dari Asbabu Ziyadatil-Îman wa Nuqshanini, hlm. 36.
[28] Asyari’atul-Islamiyyah wa Mahâsinuha wa Dharûratil-Basyari Ila-iha, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hlm. 50.
[29] Diterbitkan Dâr Ghirâs, Cetakan III, Tahun 1424 H – 2003 M.
Referensi: https://almanhaj.or.id/