Type Here to Get Search Results !

 


LARANGAN DZALIM TERHADAP BINATANG

Daftar Isi
  1.     Derajat Hadits
  2.     Faidah Hadits
Islam melarang perbuatan zhalim. Dan kezhaliman itu bisa terjadi tidak hanya kepada manusia, namun juga kepada hewan. Dan ini pun terlarang dalam Islam. Banyak sekali hadits-hadits yang membahas hal ini, diantaranya hadits berikut ini.

Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (6/441):

حَدَّثَنَا هَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ , قالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو الرَّبِيعِ سُلَيْمَانُ بْنُ عُتْبَةَ السُّلَمِيُّ , عَنْ يُونُسَ بْنِ مَيْسَرَةَ بْنِ حَلْبَسٍ , عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ , عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ : ” لَوْ غُفِرَ لَكُمْ مَا تَأْتُونَ إِلَى الْبَهَائِمِ , لَغُفِرَ لَكُمْ كَثِيرًا “

Haitsam bin Kharijah telah menuturkan kepadaku, ia berkata, Abu Rabi’ Sulaiman bin ‘Utbah As Sulami mengabarkan kepadaku, dari Yunus bin Maisarah bin Halbas, dari Abu Idris, dari Abu Ad Darda, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda: “Andaikan perbuatan yang kalian lakukan terhadap binatang itu diampuni, maka ketika itu diampuni banyak dosa”.

Derajat Hadits

Derajat hadits ini hasan, karena semua perawi hadits ini tsiqah kecuali Abu Rabi’ Sulaiman bin ‘Utbah Ad Dimasyqi Ad Darani. Statusnya diperselisihkan para ulama,

    Imam Ahmad berkata: “saya tidak mengenalnya”
    Ibnu Ma’in berkata: “laa syai’a”
    Ibnu Hajar berkata: “shaduq namun memiliki beberapa riwayat gharib”
    Adz Dzahabi berkata: “shaduq”
    Al Haitsam bin Kharijah berkata: “tsiqah”
    Duhaim Ad Dimasyqi berkata: “tsiqah, beberapa masyaikh meriwayatkan darinya”
    Hisyam bin ‘Ammar Ad Dimasyqi: “tsiqah”
    Abu Hatim Ar Razi: “laysa bihi ba’s, ia terpuji di kalangan ulama Damaskus”

Syaikh Al Albani menjelaskan: “Selain karena yang men-tsiqah-kan lebih banyak, mereka yang men-tsiqah-kan juga sama-sama penduduk Damaskus sebagaimana orang yang dibahas (Sulaiman bin ‘Utbah). Maka mereka lebih mengenai keadaan Sulaiman bin ‘Utbah daripada orang lain yang di luar negerinya”. Dengan demikian Abu Rabi’ Sulaiman bin ‘Utbah statusnya tsiqah insya Allah.

Namun ada sedikit masalah, yaitu Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam Zawaid-nya terhadap Musnad Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang sama namun mauquf dari Abu Ad Darda’ radhiallahuanhu. Ditambah lagi dengan keterangan Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (3/290):

رواه أحمد والبيهقي مرفوعا هكذا ورواه عبد الله في زياداته موقوفا على أبي الدرداء وإسناده أصح وهو أشبه

“hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dan Al Baihaqi secara marfu’, dan diriwayatkan juga oleh Abdullah bin Ahmad dalam Ziyadah-nya secara mauquf dari Abu Ad Darda’, dan sanadnya lebih shahih karena ia semisal ayahnya”

Syaikh Al Albani menyatakan: “demikian yang dikatakannya, dan ini adalah pernyataan yang aneh. Karena sanad yang dikatakan mauquf itu sama dengan sanad yang marfu’. Perbedaannya hanya terletak pada (orang yang mengeluarkan hadits, yaitu) Imam Ahmad dan anaknya. Jika memang harus men-tarjih, maka riwayat dari Imam Ahmad tentu lebih rajih, karena Imam Ahmad ahfazh (lebih tinggi tingkatan dhabt-nya) daripada anaknya, sebagaimana telah saya katakan. Namun menurut saya tidak perlu di-tarjih, karena masih mungkin untuk di jama’sebagaimana telah saya jelaskan”. Metode jama’ yang beliau maksud adalah: “yang nampak bagi saya, bahwa Haitsam menyampaikan hadits kepada Imam Ahmad secara marfu’, namun menyampaikan hadits kepada Abdullah secara mauquf. Dan setiap mereka menghafal apa yang mereka dapatkan”.

Lebih lagi, Imam Ahmad di-mutaba’ah oleh ‘Abbas bin Muhammad Ad Duwari dalam hadits yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman:

أنا أحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ يَحْيَى الأَدَمِيُّ ، ثنا عَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الدُّورِيُّ ، ثنا الْهَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ ، ثنا سُلَيْمَانُ بْنُ عُتْبَةَ ، عَنْ يُونُسَ بْنِ مَيْسَرَةَ بْنِ حَلْبَسٍ ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلانِيِّ ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : لَوْ غُفِرَ لَكُمْ مَا تَأْتُونَ إِلَى الْبَهَائِمِ لَغُفِرَ لَكُمْ كَثِيرًا “

Ahmad bin ‘Utsman bin Yahya Al Adami mengabarkan kepadaku, ‘Abbas bin Muhammad Ad Duwari menuturkan kepadaku, Al Haitsam bin Kharijah telah menuturkan kepadaku, ia berkata, Abu Rabi’ Sulaiman bin ‘Utbah As Sulami mengabarkan kepadaku, dari Yunus bin Maisarah bin Halbas, dari Abu Idris, dari Abu Ad Darda, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda: “Andaikan perbuatan yang kalian lakukan terhadap binatang itu diampuni, maka ketika itu diampuni banyak dosa”.

‘Abbas bin Muhammad Ad Duwari sebagai taabi’ terhadap Imam Ahmad statusnya tsiqah hafidz. Dengan demikian hilanglah permasalahannya.Walhamdulillah.

Faidah Hadits

    Al Munawi menjelaskan makna hadits: “’Andaikan perbuatan yang kalian lakukan terhadap binatang itu diampuni’ maksudnya perbuatan memukul, menganiaya, dan memberi beban yang berlebihan. maka kalian itu sungguh banyak diampuni maksudnya banyak sekali dosa yang diampuni. Datang hadits ini adalah peringatan untuk tidak memberi gangguan pada binatang. Juga untuk tidak memberi beban yang terlalu berlebihan yang tidak sanggup diterimanya secara terus-menerus. Juga anjuran untuk tidak memukul binatang, lebih-lebih pada wajah, atau menyiksanya dengan senjata. Juga peringatan untuk tidak membiarkan mereka tidak makan dan tidak minum. Dan juga peringatan untuk tidak lalai dalam mengurusnya” (Faidhul Qadir, 5/321)

    Syaikh Al Albani juga menerangkan makna hadits ini: “maknanya larangan dan peringatan terhadap perbuatan zhalim pada hewan. Jadi, andaikan si pemilik binatang yang tidak memiliki kasih sayang terhadap binatangnya itu dosanya diampuni, maka ketika itu sungguh telah diampuni dosa yang banyak. Karena ia tidak berkasih sayang pada hewannya tersebut

    منْ لا يَرحمْ لا يُرحمْ

    ‘Barangsiapa tidak penyayang, ia pun tidak akan mendapat rahmat‘”
    (rekaman Silsilah Huda Wan Nuur, rekaman no.209, pertanyaan no.15)

    Berbuat zhalim terhadap binatang pun termasuk perbuatan dosa

    Dosa yang disebabkan karena menyakiti binatang itu porsinya besar, sehingga jika dosa tersebut diampuni maka telah diampuni banyak porsi dari dosa seseorang.

[banyak mengambil faedah dari kitab Silsilah Ahadits Shahihah, 2/41-42, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah]

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom.


Masuk Surga dan Neraka karena Hewan

Daftar Isi
  1.     Masuk surga karena menolong anjing
  2.     Masuk neraka karena menyiksa kucing dan membunuh lalat
Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin (kasih sayang untuk seluruh alam). Tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk makhluk lain termasuk dengan hewan-hewan.

Ketika para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah jika berbuat baik kepada hewan mendapatkan pahala?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

“Di setiap yang memiliki jantung yang basah (hewan) terdapat pahala.” (HR. Abu Dawud no. 2550, lihat juga HR. Bukhari no. 2363)

Dalam sabda beliau hallallahu ‘alaihi wasallam yang lain,

ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

“Kasihanilah siapa yang ada di bumi ini, niscaya kalian akan dikasihani oleh yang ada di langit.” (HR. At-Tirmidzi no. 1924)

Jika hati manusia itu lembut, maka dia akan menyayangi segala sesuatu yang memiliki roh. Dan jika dia menyayangi segala sesuatu yang memiliki roh, maka Allah akan menyayanginya. (Lihat Syarah Riyadhus Shalihin, 2: 555)

Dalam suatu riwayat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang para sahabatnya menjadikan burung sebagai sasaran memanah,

لَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا

“Allah melaknat orang yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian pula, tatkala beliau melihat seekor burung berputar-putar mencari anak-anaknya yang mana sarangnya diambil oleh salah seorang sahabat,

مَنْ فَجَعَ هَذِهِ بِوَلَدِهَا رُدُّوا وَلَدَهَا إِلَيْهَا

“Siapa gerangan yang telah menyakiti perasaan burung ini karena anaknya? Kembalikanlah kepadanya anak-anaknya.” (HR. Abu Daud no. 2675)

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa dianjurkan untuk berbuat baik kepada hewan.

Masuk surga karena menolong anjing

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

غُفِرَ لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ

“Seorang wanita pezina diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيْقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ، فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيْهَا فَشَرِبَ، ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبُ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلَ الَّذِي كَانَ قَدْ بَلَغَ مِنِّي، فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ مَاءً ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيْهِ، حَتَّى رَقِيَ فَسَقَى الْكَلْبَ، فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِم أَجْرًا؟ فَقَالَ: فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

“Pada suatu ketika ada seorang lelaki sedang berjalan dan ia merasa sangat kehausan, lalu dia turun ke sumur dan minum. Ketika dia keluar, ternyata ada seekor anjing sedang menjulurkan lidahnya menjilati tanah basah karena kehausan. Dia berkata, ‘Anjing ini kehausan seperti diriku.’ Maka, dia mengisi sepatunya dan memegangnya dengan mulutnya. Kemudian dia naik dan memberi minum anjing itu. Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuninya.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah menolong binatang juga memperoleh pahala?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Menolong setiap makhluk yang bernyawa itu ada pahala (sebagai balasan atas perbuatan baik padanya).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dapat kita ketahui dari hadis di atas bahwa orang yang mati membawa dosa besar tanpa membawa dosa syirik, maka ia tidak kekal di neraka untuk diazab (dibersihkan dosanya). Allah dapat memberikan rahmat-Nya dengan memasukkannya ke dalam surga setelah bersih dosanya. Bahkan, ada pelaku maksiat yang mati dalam keadaan belum bertobat (tanpa membawa dosa syirik). Jika Allah berkendak, ia bisa langsung Allah masukkan ke dalam surga. Maka, perkaranya adalah bergantung pada kehendak Allah. (Lihat Ushulus Sunnah, no. 26)

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Allah kehendaki.” (QS. An Nisa: 4)

Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hewan yang ditolong adalah hewan yang tidak mengganggu dan tidak diperintahkan untuk dibunuh.

Masuk neraka karena menyiksa kucing dan membunuh lalat

Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عُذِّبت امرأة في هِرَّة سَجَنَتْها حتى ماتت، فدخلت فيها النار، لا هي أطعمتها ولا سَقتها، إذ حبستها، ولا هي تَركتْها تأكل مِن خَشَاشِ الأرض

“Ada seorang wanita diazab karena seekor kucing yang dia kurung hingga mati kelaparan, lalu dengan sebab itu dia masuk neraka. Dia tidak memberinya makan dan minum ketika mengurungnya, dan dia juga tidak melepaskannya supaya ia bisa memakan serangga tanah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut memberikan dorongan untuk memberikan kasih sayang kepada setiap makhluk, tercakup di dalamnya orang beriman dan orang kafir, serta binatang yang dimilikinya maupun binatang yang bukan miliknya.” (Lihat Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad, 1: 490)

Dikisahkan juga bahwa ada seorang laki-laki yang masuk neraka disebabkan karena membunuh lalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻓِﻲْ ﺫُﺑَﺎﺏٍ , ﻭَﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻓِﻲْ ﺫُﺑَﺎﺏٍ، ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ : ﻭَﻛَﻴْﻒَ ﺫَﻟِﻚَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﺮَّ ﺭَﺟُﻼَﻥِ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﻮْﻡٍ ﻟَﻬُﻢْ ﺻَﻨَﻢٌ ﻻَ ﻳَﺠُﻮْﺯُﻩُ ﺃَﺣَﺪٌ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻘَﺮِّﺏَ ﻟَﻪُ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻓَﻘَﺎﻟُﻮْﺍ ﻷَﺣَﺪِﻫِﻤَﺎ : ﻗَﺮِّﺏْ، ﻗَﺎﻝَ : ﻟَﻴْﺲَ ﻋِﻨْﺪِﻱْ ﺷَﻲْﺀٌ ﺃُﻗَﺮِّﺏُ، ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ ﻟَﻪُ : ﻗَﺮِّﺏْ ﻭَﻟَﻮْ ﺫُﺑَﺎﺑًﺎ، ﻓَﻘَﺮَّﺏَ ﺫُﺑَﺎﺑًﺎ ﻓَﺨَﻠُّﻮْﺍ ﺳَﺒِﻴْﻠَﻪُ ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ، ﻭَﻗَﺎﻟُﻮْﺍ ﻟِﻶﺧَﺮِ : ﻗَﺮِّﺏْ، ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﻛُﻨْﺖُ ﻷُﻗَﺮِّﺏَ ﻷﺣَﺪٍ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﺩُﻭْﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻀَﺮَﺑُﻮْﺍ ﻋُﻨُﻘَﻪُ ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ

“Ada seseorang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat pula.”

Para sahabat bertanya, “Bagaimana itu bisa terjadi, wahai Rasulullah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ada dua orang berjalan melewati sebuah kaum yang memiliki berhala. Tidak boleh seorang pun melewatinya, kecuali dengan mempersembahkan sesuatu untuknya terlebih dahulu. Maka, mereka berkata kepada salah satu di antara kedua orang tadi, ‘Persembahkanlah sesuatu untuknya!’

Ia menjawab, ‘Saya tidak mempunyai apapun yang akan saya persembahkan.’ Mereka berkata lagi, ‘Persembahkan untuknya walaupun seekor lalat!’ Maka, ia pun mempersembahkan untuknya seekor lalat. Maka, mereka membiarkan ia untuk meneruskan perjalanannya, dan ia pun masuk ke dalam neraka.

Kemudian mereka berkata lagi kepada seseorang yang lain, ‘Persembahkalah untuknya sesuatu!’ Ia menjawab, ‘Aku tidak akan mempersembahkan sesuatu apapun untuk selain Allah.’ Maka mereka pun memenggal lehernya, dan ia pun masuk ke dalam surga.” (HR. Ahmad dalam Az-Zuhud, hal. 15)

Dari hadis di atas terdapat peringatan keras agar tidak terjerumus dalam kesyirikan. (Lihat Fathul Majid, hal. 200). Hendaknya seseorang belajar agama agar mengenal macam-macam kesyirikan dan terhindar dari bahaya perbuatan syirik.

Semoga kita dapat mengamalkan ajaran yang diperintahkan oleh syariat Islam tersebut, yaitu syariat yang penuh rahmat, syariat yang penuh dengan kebaikan dan kelembutan bagi segenap makhluk.

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.