كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
Bertolak belakang dengan keinginan jiwa manusia, realitanya perang selalu mengiringi kehidupan mereka. Perang selalu terjadi dalam kurun perjalanan sejarah dengan motif dan tujuan yang beragam. Ada yang berperang karena memperebutkan sumber daya, ada pula karena ambisi merebut dunia, bahkan perang pun terjadi karena kisah cinta laki-laki dan wanita. Artinya, perang adalah sebuah keniscayaan.
Banyak agama dan aliran kepercayaan menolak kalau mereka dianggap mengajarkan peperangan, meskipun faktanya mereka telah melakukan pembantaian. Sementara agama Islam secara jujur menyatakan perang termaktub dalam fikihnya. Keniscayaan perang ditata dan diatur dalam Islam dengan penuh kebijaksanaan dan kemuliaan. Islam mengajarkan perang yang penuh adab dan akhlak. Islam mengajarkan perang yang bernilai ibadah, bukan membantai, membunuh membabi buta, penuh dendam dan kezaliman. Islam mengajarkan perang yang berkonsekuensi hidup mulia atau wafat menjemput syahadah, bukan kemenangan yang menindas dan kekalahan yang hina. Oleh karena itu, Ali bin al-Hasan mengatakan,
كُنَّا نُعَلَّمُ مَغَازِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَرَايَاهُ كَمَا نُعَلَّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Kami mempelajari (kisah) peperangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perjalanan hidup beliau sebagaimana kami mempelajari surat di dalam Alquran.” (al-Jami’ li-l Akhlaqi-r Rawi wa Adabu-s Sami’ li-l Khatib, No. 1616).
Pada tulisan kali ini, penulis tidak membahas hikmah dari peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tulisan ini hanya merupakan catatan ringkas dari peperangan yang terjadi di zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai titik mula bagi para pembaca untuk mempelajari dan mengkaji kisah-kisah peperangan Rasulullah lebih mendalam lagi.
Ibnu Hisyam menyatakan ada 27 peperangan yang terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun hanya tujuh di antaranya yang terjadi kontak senjata yakni pada Perang Badar II, Uhud, Khandaq, Bani Quraizhah, Bani Musthaliq, Thaif, dan Hunain.
Berikut ini cuplikan dari peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Pertama: Perang Waddan atau Perang al-Abwa.
Perang ini terjadi pada bulan Shafar tahun 2 H/623 M. Waddan adalah suatu daerah yang terletak 250 Km di Tenggara Kota Madinah. Jumlah pasukan Islam dalam perang ini sebanyak 70 orang dari kalangan sahabat Muhajirin saja. Dan dipimpin langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perang ini disebabkan serombongan kafilah Quraisy Mekah melewati wilayah Waddan. Sebagaimana kita ketahui, orang-orang kafir Quraisy telah mengobarkan peperangan terhadap umat Islam sejak awal kedatangan Islam dan mereka mengambil harta kaum muhajirin dengan cara yang zalim. Rasulullah yang mengetahui mereka melewati wilayah Madinah pun mencegat mereka. Tidak terjadi kontak fisik dalam peristiwa ini. Terjadi perjanjian damai antara Rasulullah dengan Amr bin Makhsyu adh-Dhamiri.
- Kedua: Perang Buwath.
Terjadi pada bulan Rabiul Awal tahun 2 H/623 M. Dalam Perang ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin langsung 200 orang sahabatnya. Sementara kafilah kafir Quraisy yang berjumlah 100 orang dipimpin oleh Umayyah bin Khalaf. Kafilah ini membawa 2500 onta.
Mengetahui pergerakan Rasulullah dan pasukannya, orang-orang Quraisy pun mempercepat langkah mereka dan melewati jalan yang tersembunyi untuk menghindari cegatan kaum muslimin. Peristiwa ini pun berakhir tanpa kontak senjata.
- Ketiga: Perang Safwan atau Perang Badar pertama (Rabi'ul awal 2 Hijriyah)
- Keempat: Perang Usyairah.
Perisitwa ini terjadi pada bulan Jumadil Akhir tahun 2 H. Rasulullah memimpin 150 orang sahabatnya untuk menghadang kafilah Quraisy. Tidak terjadi kontak senjata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan ikatan perjanjian damai di jalur kafilah dagang itu dengan kabilah Bani Mudlij dan sekutu-sekutu Bani Dhamrah.
- Kelima: Perang Badar II
Perang ini terjadi para bulan Ramadhan tahun 2 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 313 orang kaum muslimin menghadapi 1000 orang-orang Mekah dibawah pimpinan Abu Jahal. Sama seperti aksi militer sebelumnya, perang ini dilatarbelakangi pencegatan kafilah dagang Quraisy. Namun upaya pencegatan itu diketahui oleh pihak Quraisy sehingga mereka meminta bantuan kepada kaumnya di Mekah. Mekah pun mengeluarkan orang-orang terbaik mereka dengan persenjataan lengkap.
Dalam perang ini, 22 orang sahabat Nabi gugur sebagai syuhada. Di pihak musyrikin Mekah 70 orang tewas dan 70 lainnya terluka. Perang ini pun dimenangkan oleh kaum muslimin.
- Keenam: Perang Bani Qainuqa’.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung perkampungan mereka selama 15 hari. Akhirnya mereka pun menyerah dan diusir dari Madinah.
- Ketujuh: Perang Bani Sulaim.
Perang ini terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 2 H. Tidak sampai 7 hari setelah tiba di Madinah dari Perang Badar, Rasulullah berangkat menuju Bani Sulaim dengan membawa 200 orang pasukan. Keberangkatan Rasulullah ini dikarenakan Bani Ghathafan dan Bani Sulaim yang bersekutu memerangi Madinah.
Sesampainya di Qarqaratu al-Kidr, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjumpai sekutu tersebut karena mereka telah melarikan diri setelah melihat pasukan kaum muslimin.
- Kedelapan: Perang as-Suwaiq.
Perang as-Suwaiq terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 2 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 200 orang sahabatnya menghadapi 200 orang musyrikin yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Perang ini dilatarbelakangi kemarahan orang-orang Mekah karena kekalahan mereka di Badar.
Dalam al-Kamil fi at-Tarikh, Imam Ibnul Atsir menyatakan sepulangnya dari Perang Badar, Abu Sufyan bernadzar tidak akan membiarkan air menyentuh kepalanya karena junub sebelum ia memerangi Nabi Muhammad. Lalu ia membawa 200 orang penunggang kuda dari kaum Quraisy menuju Madinah. Di Madinah, mereka bermalam di rumah seorang Yahudi dari Bani Nadhir yang bernama Salam bin Misykam. Dari sana ia memata-matai kondisi malam hari Kota Madinah.
Abu Sufyan memerintahkan beberapa orang untuk keluar mengawasi keadaan. Lalu mereka membunuh salah seorang Anshar. Kabar ini sampai kepada Nabi, beliau pun menyiapkan pasukan dan mengejar orang-orang Quraisy tersebut. Namun beliau tidak berhasil menemukan mereka.
- Kesembilan: Perang Dzi Amr atau Perang Ghathafan atau Perang Anmar.
Terjadi pada bulan Rabiul Awal tahun 3 H. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 450 orang sahabatnya menghadapi orang-orang Ghathafan dari Bani Tsa’labah bin Muharib yang hendak menyerang Madinah.
Dalam perjalanan Rasulullah mengejar orang-orang Ghathafan, beliau kehujanan lalu melepas pakaiannya dan menjemurnya. Saat beliau sedang duduk istirahat, datanglah seorang laki-laki yang bernama Du’tsur bin al-Harits mengacungkan pedang ke kepala Rasulullah. Ia berkata, “Siapa yang akan menghalangimu dariku sekarang?” Maksudnya, siapa yang akan menolongmu dari pedangku. Dengan tenang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allah.” Lalu ia pun tergetar dan jatuhlah pedang dari tangannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil pedang tersebut dan berkata, “Siapa yang akan menghalangimu dariku?” Ia menjawab, “Tidak ada seorang pun.” Kemudian ia mengucapkan dua kalimat syahadat.
Setelah itu Du’tsur datang menemui kaumnya dan mendakwahkan Islam kepada mereka. Lalu turunlah ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَنْ يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.” (QS. Al-Maidah: 11).
Peristiwa ini pun berakhir tanpa kontak senjata.
Dari sembilan peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kita tidak menjumpai ambisi untuk menumpahkan darah manusia. Ketika orang-orang sudah lari, Rasulullah tidak mengejar mereka atau menyerang perkampungan mereka. Demikian juga dalam Perang Badar yang benar-benar terjadi kontak senjata, dari 1000 orang musyrikin Mekah yang tewas hanya 70 orang. Bandingkan dengan apa yang terjadi di Andalusia, Islam seolah-olah tidak pernah menjejak di sana akibat pembantaian dan pengusiran. Lihat pula apa yang dilakukan Amerika, bahkan penduduk sipil; perempuan dan anak-anak pun tidak selamat dari jet tempur dan bom-bom mereka.
Ketika kita membaca tulisan-tulisan sejarawan Islam, mereka sering menyebut peperangan Rasulullah adalah peperangan yang penuh hikmah (bijak). Sedikit sulit bagi kita memahami kombinasi kata perang dengan hikmah. Karena dalam benak kita selalu terbayang perang adalah pertumpahan darah, perang adalah perebutan kekuasaan dan unjuk kekuatan, dan semisal itu. Namun ketika kita membaca sejarah peperangan Rasulullah kita dapati image perang yang sangat berbeda dari peperangan orang-orang non-Islam.
Orang-orang Nasrani Portugis dengan semboyan gold, gospel, dan glory menuju Amerika Selatan, akibatnya suku Indian Maya punah terbantai habis. Demikian juga apa yang mereka lakukan di Andalusia, umat Islam hampir tak bersisa. Dan di Indonesia? Pembaca pun sedikit banyak tahu sendiri sejarahnya.
Orang Yahudi, kita saksikan dengan jelas kebiadaban mereka membantai orang-orang Palestina. Demikian juga dengan orang-orang musyrik dan paganis, seperti peperangan bangsa Yunani kuno, Romawi dan Persia pada masa sebelum masehi. Di zaman modern? Korban jiwa dalam peperangan lebih mengerikan lagi.
Lalu bangdingkan dengan Perang Khaibar 1420 pasukan Islam bertemu dengan 10.000 pasukan Yahudi, yang tewas hanya 18 dari pihak Islam dan 93 dari pihak Yahudi. Bahkan perang besar seperti Perang Khandaq, dimana 13.000 orang (total jumlah dari kedua pihak) terjun dalam peperangan, namun tidak ada korban yang jatuh.
Untuk lebih lanjut mengetahui peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tulisan kedua dari kisah peperangan Rasulullah ini akan mencuplikkan perang ke-10 sampai ke-19 dari 28 peperangan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Kesepuluh: Perang Uhud
Gunung Uhud adalah gunung di utara Madinah dengan ketinggian sekitar 350 m, panjang 7 Km, dan lebar 3 Km.
Gunung Uhud adalah gunung di utara Madinah dengan ketinggian sekitar 350 m, panjang 7 Km, dan lebar 3 Km.
Ada beberapa faktoryang melatar-belakangi perang ini. Faktor agama, faktor sosial kemasyarakatan, faktor ekonomi, dan faktor politik.
Ditinjau dari faktor agama, orang-orang musyrikin merapatkan barisan mereka. Mereka mengeluarkan harta untuk menghalangi manusia dari jalan Allah, mencegah orang-orang untuk memeluk Islam, dan berupaya menyerang Madinah. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ ۗ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَىٰ جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal: 36).
Ditinjau dari faktor sosial kemasyarakatan: orang-orang Mekah adalah orang yang dihormati di kalangan Arab. Apa yang terjadi di Badar telah mempermalukan dan merendahkan kedudukan mereka. Perang Uhud sekaligus menjadi momen balas dendam mereka atas tewas tokoh-tokoh Quraisy di Badar.
Faktor ekonomi: Kafilah dagang Quraisy mulai terancam ketika melewati jalur perdagangan yang dulu biasa mereka lewati dengan aman. Sekarang, wilayah-wilayah tersebut menjadi bagian dari wilayah negara Islam Madinah atau bertetanggaan. Mereka sadar, sewaktu di Mekah dulu mereka telah merampas harta yang menjadi hak kaum muslimin dan umat Islam pasti akan menuntut hak mereka itu.
Faktor politik: Mengembalikan superioritas Mekah di tanah Arab.
Perang ini berakhir dengan kekalahan di pihak umat Islam. 40 orang sahabat terluka, termasuk Nabi kita yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan 70 orang dari mereka gugur di medan pertempuran. Sementara di pihak kaum musyrikin 30 orang tewas.
- Kesebelas: Perang Hamraul Asad
Perang ini terjadi karena Rasulullah khawatir orang-orang Mekah yang tengah naik moralnya karena memenangkan Perang Uhud, akan melanjutkan ambisi mereka dengan menyerang Madinah. Apa yang dikhawatirkan Rasulullah pun benar adanya. Orang-orang Mekah tengah bergerak menuju Madinah. Mereka sangka Rasulullah dan para sahabatnya tengah terpuruk mentalnya dan lemah kondisinya, karena sebagian sahabat terluka di Uhud. Apa yang mereka sangkakan sama sekali keliru. Allah telah mengabarkan kepada para sahabat,
وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ ۖ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ ۖ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa: 104).
Peristiwa ini berakhir tanpa kontak senjata, karena orang-orang musyrikin Mekah lari ketakutan mendengar kabar tentang kedatangan Rasulullah dan pasukannya.
- Kedua belas: Perang Bani Nadhir.
Peristiwa ini berakhir tanpa kontak senjata, Yahudi Bani Nadhir menyerah. Akhirnya mereka diusir dari Madinah. Mereka memilih bergabung dengan kabilah Yahudi lainnya di Khaibar.
- Ketiga belas: Perang Badar III.
Orang-orang Mekah datang untuk menyerang Madinah. Ketika sampai di wilayah Zharan atau Asfan, Rasulullah mengetahui kedatangan mereka, maka beliau pun menyiapkan pasukan untuk menghadang mereka. Abu Sufyan yang mengetahui kesiapan kaum muslimin pun kembali dan mengurungkan penyerangan.
Lemahnya mental musuh-musuh Rasululllah sesuai dengan sabda beliau,
نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ
“Aku ditolong dengan kegentaran musuh sejauh perjalanan satu bulan.” (HR.Bukhari dan Muslim).
- Keempat belas: Perang Dumatul Jandal.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Rabiul Awal tahun 5H. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 1000 orang sahabatnya menghadapi kabilah-kabilah musrik di wilayah Dumatul Jandal, sebuah daerah dekat wilayah Syam.
Perang ini dilatar-belakangi oleh kabilah-kabilah musyrik di Dumatul Jandal yang melakukan perampokan bagi orang yang melewati daerah mereka dan menggalang kekuatan untuk menyerang Madinah.
Para ahli sejarah berselisih apakah terjadi kontak senjata pada perang ini atau tidak. Ibnul Jauzi dalam Tarikh al-Muluk wa al-Umam menyatakan terjadi kontak senjata. Sedangkan Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, menukil dari Ibnu Ishaq berpendapat tidak terjadi kontak senjata.
Ash-Shalabi dalam karyanya Shalahuddin al-Ayyubi wa Juhuduhu fi Qaadha ala ad-Daulah al-Fatimiyah wa Tahriri Baitil Maqdis mengatakan inilah kontak pertama umat Islam dengan orang-orang Salib (orang Nasrani). Karena Dumatul Jandal dekat wilayah Syam yang dikuasai Romawi yang berama Nasrani.
- Kelima belas: Perang Bani Musthaliq.
Sebab terjadinya perang ini adalah orang-orang Bani Musthaliq berencana menyerang kaum muslimin. Nabi mengutus Buraidah bin al-Hashib untuk menanyakan kepada al-Harits tentang pernyataan perang tersebut. Dan berita tersebut benar sebagaimana adanya. Nabi pun dengan cepat merespon hal itu dengan terlebih dahulu melakukan penyerangan. Perlu diketahui, Bani Musthaliq adalah sekutu Mekah saat Perang Uhud.
Perang ini dimenangkan oleh kaum muslimin dengan satu orang sahabat gugur di medan jihad. Sementara 10 orang dari Bani Musthaliq tewas dan sisanya menjadi tawanan.
- Keenam belas: Perang Ahzab atau Perang Khandaq.
Perang Ahzab adalah perang melawan sekutu orang-orang musyrik Mekah, musyrik luar Madinah, dan dibantu oleh Yahudi. Mereka semua secara serentang melakukan penyerangan terhadap Kota Madinah. Total jumlah mereka adalah 10.000 orang, dengan dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Sementara kaum muslimin berjumlah 3000 orang dengan dipimpin oleh sebaik-baik panglima perang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perang ini dipicu oleh beberapa orang Yahudi Madinah yang menyeru Mekah dan kabilah-kabilah musyrik lainnya untuk bersekutu menginvasi Madinah. Mengetahui kabar yang sangat berbahaya ini, kaum muslimin membangun parit (Bahasa Arab: Khandaq) sebagai benteng pertahanan dari serangan sekutu besar ini.
Walaupun dikepung dan diserang selama satu bulan, kaum muslimin berhasil bertahan. Musuh pun kembali dengan tangan hampa, tanpa kemenangan.
- Ketujuh belas: Perang Bani Quraizhah.
Yahudi Bani Quraizhah memiliki peran sentral atas terkepungnya kaum muslimin selama 1 bulan dalam Perang Ahzab. Merekalah yang melobi orang-orang musyrik untuk menyerang Madinah, padahal Bani Quraizhah telah mengadakan perjanjian damai dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum muslimin. Dari pihak kaum muslimin gugur 4 orang sahabat dan 200 lainnya luka-luka. Sementara dari 400 orang Yahudi ada yang tewas da nada pula yang ditangkap.
- Kedelapan belas: Perang Bani Lihyan
Perang ini terjadi pada bulan Rabiul Awal tahun 6 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 200 orang sahabatnya menghadapi Bani Lihyan yang membunuh 10 orang sahabat Rasulullah.
Mendengar kedatangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang Bani Lihyan pun lari.
- Kesembilan belas: Perang Dzi Qard atau al-Ghabah.
Orang-orang Ghathafan ini pun pergi melarikan diri. Dan akhirnya sang wanita tawanan berhasil datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan selamat.
Pada 680-an seorang pendeta bernama John Bar Penkaye yang sedang menyusun sejarah dunia termenung tentang ihwal penaklukkan yang dilakukan oleh bangsa Arab. Ia bertanya-tanya, “Bagaimana bisa, orang-orang tanpa senjata, berkuda tanpa baju baja dan perisai, berhasil memenangkan pertempuran… dan meruntuhkan semangat kebanggaan orang-orang Persia?” Ia semakin terenyak, “hanya dalam periode yang sangat singkat seluruh dunia diambil alih orang-orang Arab; mereka menguasai seluruh kota yang dikuasai benteng, mengambil alih pengawasan dari laut ke laut, dan dari timur ke barat –Mesir, dari Crete ke Cappadocia, dari Yaman ke Pegunungan Kaukasus, bangsa Armenia, Syiria, Persia, Biyzantium, dan seluruh wilayah di sekitarnya.” (Kennedy, 2008: 1).
Apa yang membuat penaklukkan muslim Arab begitu mencengangkan dengan efek permanennya yang terjadi dalam Bahasa dan agama? Apa yang membuat wilayah-wilayah taklukkan yang multikultural dari segi Bahasa dan agama menjadi berbaur dan menyatu?
Anda akan dengan mudah menjawab dua pertanyaan di atas jika mengikuti tulisan ini dari awal. Ya, perang yang dilakoni oleh umat Islam berbeda dengan perang-perang lainnya. Ya, cara umat Islam memperlakukan musuh, tawanan, dan daerah taklukkanlah membuat hati-hati manusia tunduk sebelum mereka wilayah mereka ditaklukkan.
Penulis sepenuhnya menyadari, hal ini akan sulit dipahami oleh para pembaca. Karena kita menyaksikan pemberitaan tentang dunia Arab, melulu bermuatan negatif. Sadar tidak sadar, otak kita “dicuci” hingga di antara kita sampai bertanya-tanya, mengapa Islam diturunkan di Arab? Lalu jawaban pun terlontar, diturunkan Islam di sana saja tingkah mereka masih demikian, bagaimana kalau Islam tidak turun di sana. Media telah berhasil mencuci otak kita. Dan kita pun tidak mengimbanginya dengan membaca sejarah kita, sejarah kaum muslimin.
Dalam artikel ke-3 ini, penulis akan mencuplikkan peperangan Rasulullah dari perang yang ke-20 hingga ke-27.
- Kedua puluh: Perang Hudaibiyah.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Dzul Qa’dah tahun 6 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama 1400 orang sahabatnya hendak menunaikan umrah. Sesampainya di Hudaibiyah mereka dihalangi oleh orang-orang Quraisy. Lalu terjadilah perjanjian damai.
- Kedua puluh satu: Perang Khaibar
Perang besar ini terjadi pada bulan Muharam tahun ke-7 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 1400 orang pasukan infantri dan 20 pasukan berkendara menghadapi 10.000 orang Yahudi Khaibar yang dipimpin oleh Kinanah bin Abi al-Haqiq.
Sebelumnya, orang-orang Yahudi telah memerangi umat Islam pada Perang Uhud dan Ahzab. Kemudian dari Khaibar, mereka berencana menyerang Madinah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendahului rencana mereka. Dan Allah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.
Dalam perang ini, 50 orang sahabat Nabi terluka dan 18 gugur di medan tempur. Sementara dari pihak Yahudi 93 orang tewas.
- Kedua puluh dua: Perang Wadi al-Qura.
Perang ini terjadi pada bulan Muharam tahun 7 H. Setelah tuntas menghadapi Yahudi di Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 1382 orang sahabatnya menghadapi Yahudi Wadi al-Qura. Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum muslimin dan 11 orang Yahudi tewas.
- Kedua puluh tiga: Perang Dzatu ar-Riqaq.
Perang ini dilatar-belakangi oleh seruan Bani Ghathafan kepada sekutu-sekutunya untuk berangkat menyerang umat Islam di Madinah. Namun, setelah mengetahui kaum muslimin telah bersiap meladeni mereka, mereka pun lari dan tercerai-berai.
Kemenangan Besar di Perang Dzatu ar-Riqa’
Perang Dzatu ar-Riqa’ terjadi pada bulan Rabiul Awal tahun 7 H. Sesaat setelah Benteng khaibar ditaklukkan. Sebagian ahli sejarah menyatakan, perang ini terjadi pada tahun 4 H. Pendapat ini tidak tepat, ditinjau dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu yang turut serta dalam perang ini. Sedangkan Abu Musa sendiri tiba di Madinah pada tahun 7 H. Bersamaan dengan datangnya Ja’far bin Abu Thalib dari Habasyah. Jadi, Abu Musa datang ke Madinah setelah penaklukkan Khaibar.
Hal lainnya yang menunjukkan kalau Perang Dzatu ar-Riqaq terjadi pada tahun 7 H adalah perang ini berhadapan dengan orang-orang Ghatafan yang dulu ikut mengepung Kota Madinah di Perang Ahzab. Kemudian mereka ingin membantu dengan orang-orang Yahudi di Perang Khaibar. Sembari mematangkan rencana menyerang al-Madinah al-Munawwarah. Merespon hal itu, Rasulullah bertindak cepat. Beliau kirim pasukan menghadapi mereka di Khaibar.
Kekalahan di Khaibar tidak menyurutkan mereka. Orang-orang Ghatafan ini malah bertekad menyerang Madinah. Rasulullah keluar menyambut mereka dengan langsung memimpin sendiri pasukan kaum muslimin. Beliau tidak ingin hanya duduk menunggu. Membiarkan orang-orang ini menyangka bahwa umat Islam takut berhadapan langsung dengan Ghatafan. Beliau tidak biarkan moral pasukan Ghatafan terus berkibar. Menjemput mereka langsung di pemukiman mereka adalah cara Rasulullah menyampaikan pesan, siapa sebenarnya yang sedang mereka hadapi (Mubarakfury, Ar-Rahiq al-Makhtum Cet. Daul Wafa, Hal: 328).
Setelah mengetahui penyebab perang ini, kita dengan mudah bisa menyanggah orang-orang yang menuduh Rasulullah suka berperang dan menyebarkan Islam dengan pedang.
Perjalanan Berat
Menuju Ghatafan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi membawa pasukan yang terhitung sedikit. Jumlahnya sekitar 400 pasukan. Riwayat lain menyebutkan, 700 orang saja. Sebagai perbandingan, konflik senjata pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan musuh beliau di Perang Badar, beliau menghadapi hampir 1000 orang. Semakin hari, jumlah pasukan yang beliau hadapi relatif semakin besar. Pasukan yang berjumlah 400 sampai 700 orang itu, hanya membawa sedikit hewan tunggangan. Enam orang bergantian naik satu tunggangan.
Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa sedikit pasukan? Apakah para sahabat tega membiarkan beliau dilindungi sedikit orang? Tidak. Kita harus mengetahui kondisi saat itu. Waktu itu, pasukan Islam berada di tempat-tempat berbeda. Ada pasukan yang menjaga dalam Kota Madinah. Ada yang di Khaibar. Ada yang di Wadi al-Qura. Ada yang di Fadak. Ada yang di Taima. Dan tempat-tempat lainnya. Karena Rasulullah tidak akan meninggalkan Madinah tanpa penjagaan. Kaum muslimin juga belum aman dari ancaman orang-orang Mekah. Sehingga butuh pos-pos strategis untuk menghadang mereka jika terjadi penyerangan. Di sisi lain, orang-orang Ghatafan berada di jalan-jalan yang dapat masuk Madinah. Kemungkinan mereka masuk dari jalur manapun selalu ada. Sehingga butuh penjagaan.
Rasulullah terus memimpin pasukan menempuh jarak perjalanan beberapa malam. Siang malam beliau dan para sahabatnya menerobos masuk ke pedalaman padang pasir. Puji syukur kepada Allah, yang memberikan beliau sahabat-sahabat yang setia. Berhari-hari berjalan kaki. Tertampar panas dan debu pasir. Berselimut malam yang dingin. Mereka tak mengeluh menemani utusan Allah yang mulia. Hingga akhirnya mereka tiba di perkampungan Ghatafan yang terletak di timur laut Kota Madinah. Imam al-Bukhari meriwayatkan kisah Abu Musa al-Asy’ari tentang perjalanan jauh dan beratnya perjalanan menuju Ghatafan.
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ فِي غَزْوَةٍ، وَنَحْنُ سِتَّةُ نَفَرٍ، بَيْنَنَا بَعِيرٌ نَعْتَقِبُهُ، فَنَقِبَتْ أَقْدَامُنَا وَنَقِبَتْ قَدَمَايَ وَسَقَطَتْ أَظْفَارِي، وَكُنَّا نَلُفُّ عَلَى أَرْجُلِنَا الْخِرَقَ؛ فَسُمِّيَتْ غَزْوَةَ ذَاتِ الرِّقَاعِ لِمَا كُنَّا نَعْصِبُ مِنَ الْخِرَقِ عَلَى أَرْجُلِنَا
“Kami keluar bersama Nabi dalam suatu peperangan. Enam orang bergantian menaiki satu onta. Kaki-kaki kami terluka. Demikian juga dengan kakiku, hingga kuku-kukunya lepas. Kami balut kaki-kaki kami dengan kain. Karena itulah perang ini dinamai Perang Dzatur Riqa’. Dikarenakan apa yang kami lakukan, (yaitu) membalut kaki-kaki kami dengan kain.” (HR. al-Bukhari, Kitab al-Maghazi Bab Ghazwah Dzatu ar-Riqa’, 3899).
Dalam Fath al-Bari, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Na’taqibuhu artinya bergantian satu per satu menaikinya. Mereka mengendarai onta sebentar lalu turun dan gantian denga yang lain. Hingga sampai tempat tujuan.” (Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari. Cet. Dar al-Ma’rifah 1379, 7/421).
Bayangkan! Sejauh-jauhnya kita berjalan kita hanya punya pengalaman kaki kita lecet karena sepatu. Kemudian kita pun berhenti dan tertatih. Para sahabat nabi menempuh suatu perjalanan hingga kuku-kuku kaki mereka lepas. Tapi mereka tidak mengeluh. Betapa capeknya badan. Betapa perihnya luka. Tapi jiwa mereka tak bosan. Semangat mereka tak mengendur menemani kekasih mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau Anda ingin tahu apa itu cinta? Lihatlah cinta para sahabat nabi kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah meridhai mereka semua.
Tak Kenal Takut, Tak Kenal Lelah
Pada tahun 7 H, mobilisasi pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terasa lebih intens. Khususnya di tiga bulan terakhirnya. Dimulai dari berangkatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya menuju Mekah untuk menunaikan umrah al-qadha. Kemudian terjadilah Perjanjian Hudaibiyah. Setelah itu beliau kembali ke Madinah.
Tiba di Madinah, kaum muslimin langsung berangkat ke Khaibar untuk menghadapi Yahudi. Terjadilah pertempuran sengit yang berlangsung hingga lebih dari sebulan. Selesai dari Khaibar beliau kembali mempersiapkan pasukan. Selang beberapa hari saja, beliau kembali berangkat dan menempuh perjalanan jauh menuju Ghatafan, kabilah Arab yang terjauh.
Saat benteng Khaibar diserang, Ja’far bin Abu Thalib baru tiba di Madinah dari Habasyah (Etiopia). Mengetahui keberangkatan Rasulullah menuju Khaibar, tanpa beristirahat ia langsung menyusul Nabi. Lelah letih tak lagi dirasa. Medan perang pun menjadi temu kangen dengan Rasulullah dan sahabat yang lain.
Demikian juga dengan Abu Musa al-Asy’ari. Ia datang ke Madinah dari Yaman pada hari Khaibar. Selang beberapa hari saja dari Perang Khaibar, ia berangkat ke perang yang berat. Yaitu Perang Dzatu ar-Riqa’. Generasi ini tidak menunda waktu dan tidak memilih bersantai untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memacu diri mereka (gas pol) untuk beribadah kepada Allah.
Kejadian ini menyadarkan kita, betapa berat perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam memperjuangkan agama. Dalam satu tahun saja begitu banyak peristiwa berat terjadi. Bagaimana pula dengan sepanjang masa kerasulan? Tentu lebih berat lagi. Perjuangan mereka tentu memberikan pelajaran bahwa kebenaran itu perlu diperjuangkan. Dengan segenap apa yang ada. Rasulullah tidak menyebarkan agama ini dan melawan musuh-musuh agama dengan adu kesaktian.
Sesampainya beliau di perkampungan Ghatafan, tidak ada yang berani menghadapi pasukan kaum muslimin. Padahal jumlah mereka sedikit. Tenaga mereka telah terkuras karena jauh dan beratnya perjalanan. Luka-luka yang mereka alami melemahkan fisik. Sedangkan orang-orang Ghatafan berada di kampungnya sendiri. Daerahnya mereka kenal. Jumlah mereka banyak. Tenaga mereka bugar. Tapi mereka hanya bergeming di rumah masing-masing. Mereka yang sebelumnya bernafsu memerangi umat Islam, tiba-tiba kecut. Tak berani menghadapi kaum muslimin.
Dirasuki Ketakutan
Bagaimana bisa orang-orang Ghatafan lari dari peperangan? Padahal mereka unggul dari sisi jumlah dan perbekalan perang. Di atas kertas mereka menang.
Kaum muslimin yang terluka dan lelah tetap memiliki wibawa. Hati-hati mereka diteguhkan oleh Sang Pemilik hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ
“Aku ditolong dengan rasa takut (yang dimasukkan ke hati musuh) dalam jarak tempuh satu bulan.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Jihad wa as-Siyar, 2815).
Hal ini disaksikan oleh kaum muslimin di Perang Badar, Ahzab, dan perang-perang menghadapi Yahudi. Mulai dari menghadapi Bani Qainuqa’ hingga di Khaibar. Dan di babak awal Perang Uhud. Ketika para sahabat menaati perintah Rasulullah.
سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ}
“Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim.” [Quran Ali Imran: 151].
Dengan demikian, kita tidak perlu sampai melanggar perintah Allah untuk mendapatkan kemenangan. Untuk menang, harus maksiat dulu. Untuk mewujudkan takdir Allah agar terpilihnya pemimpin yang baik, harus berbaur dulu dengan kemaksiatan. Biar simpatisan dan pemilih banyak, kita tunda dulu beramar makruf nahi mungkar. Tentu ini tidak benar. Kewajiban kita adalah menaati Allah. Setelah kita menaati Allah, atas kehendak Allah lah menetapkan takdirny. Baik kita suka atau tidak.
Orang-orang musyrik ditimpa ketakutan karena melakukan kesyirikan dan kemaksiatan. Apakah kita akan berharap pertolongan Allah dan kemenangan datang dengan melakukan hal yang sama dengan orang-orang musyrik?
Rasulullah Ditawan
Dalam perjalanan pulang dari Ghatafan menuju Madinah, terjadi sebuah peristiwa garib (unik). Cerita tentang hal ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dari sahabat Jabir.
Dalam perjalanan pulang menuju Madinah, pasukan Islam istirahat terpisah. Mereka istirahat di teduhnya pepohonan yang ada di sana. Demikian pula Rasulullah, beliau pun ikut berteduh sambil menggantungkan pedangnya di pohon. Kemudian semuanya tidur. Tiba-tiba ada seseorang menghampiri Nabi dan mengambil pedang beliau. Ia todongkan pedang itu di leher beliau. Rasulullah terjaga.
Orang ini hendak membunuh nabi. Jika itu benar-benar terjadi, dijamin ia mendapat kemuliaan di tengah Ghatafan. Tapi Allah menjaga Rasul-Nya. Tak membiarkan hal itu terjadi. Sebagaimana firman-Nya:
وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Allah menjaga kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [Quran Al-Maidah: 67].
Si Badui musyrik ini berkata, “Kau takut denganku?” “Tidak,” jawab Nabi. Beliau tidak berkedip. Sama sekali tak tampak rasa takut sedikit pun. Laki-laki ini merasa takjub. Pedang di tangannya sementara Muhammad tak memiliki sesuatu pun untuk melindungi dirinya. Tapi ia tak tampak rasa takut padanya. “Siapa yang bakal menyelamatkanmu dariku?” gertak orang itu.
Nabi jawab dengan mantap, “Allah.”
Dalam suatu riwayat, laki-laki itu mengulang pertanyaannya sebanyak tiga kali. Dan Rasulullah tetap menjawab “Allah.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Jihad wa as-Sair, 2753).
Pedang di tangannya pun terjatuh. Dalam riwayat lain, ia menyarungkan pedang tersebut karena takjub melihat keberanian dan ketenangan Nabi (al-Bukhari dalam Kitab al-Maghazi, 3908). Sedangkan di riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Ishaq rahimahumallah ketika pedang tersebut jatuh, Rasulullah mengambilnya. Setelah itu gantian beliau todongkan dan berkata, “Siapa yang bakal menyelamatkanmu dariku?” Keadaan berbalik.
Laki-laki ini tidak mampu mengatakan Allah. Tidak pula berharap kepada berhala-berhala yang ia sembah. Yang ia harapkan hanya pengampunan Nabi. Ia berkata, “Jadilah pemegang pedang yang baik.”
“Engkau mau bersyahadat laa ilaaha illallaah dan aku adalah utusan Allah?” sambung Nabi.
“Aku berjanji tidak akan memerangimu dan tidak akan berpihak pada kaum yang memerangimu,” jawab Si Badui menolak untuk memeluk Islam. Rasulullah membebaskannya dan tidak membalas perbuatannya. Ia pun pulang menemui keluarganya dalam keadaan selamat. Ia berkata, “Aku datang menemui kalian dari sisi manusia terbaik.” (HR. Ahmad 14971, 15227).
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa ini. Dari sini kita dapat mengetahui karakteristik bangsa Arab. Mengapa Allah memilih mereka menjadi penyebar Islam. Mereka masuk Islam bukan karena takut mati. Tapi mereka masuk Islam karena pilihan. Si Badui tidak menerima tawaran Islam walaupun sudah ditodong pedang. Kata kita sekarang, sudah ditodong pistol atau dikalungkan celurit, tetap dengan pendirian dan pilihannya. Karena itu, kampanye demokrasi Amerika di Timur Tengah selalu berbuah perang. Karena mereka tak mau tunduk dengan paksaan orang lain.
Kejadian ini juga mengajarkan kepada kita bahwa Islam tidak disebarkan dengan pedang. Nabi tidak memaksa dan membunuh orang tersebut karena menolak dakwahnya. Dan lihatlah bagaimana kerendahan hati Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang pemimpin, panglima, dan nabi. Artinya manusia mulia dan berkedudukan di dunia dan akhirat, ditodongkan pedang, tapi beliau tidak membalas orang yang mengancamnya ini dengan keburukan ketika keadaan berbalik. Tidak usah berbicara pejabat, kadang kita rakyat biasa saja tidak suka dipandangi orang dengan sinis. Kemudian membalas pandangan tadi dengan bentakan. Padahal baru dipandangi.
Di riwayat lain dijelaskan bahwa sejumlah besar anggota keluarganya memeluk Islam. Dan disebutkan namanya adalah Ghaurats bin al-Harits
Nikmatnya Jaga Malam
Kisah lain yang terjadi dalam perjalanan pulang dari Ghatafan adalah kisah tentang sahabat Ubbad bin Bisyr al-Anshari dan Ammar bin Yasir al-Muhajiri. Ketika malam tiba, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di suatu tempat untuk beristirahat. Beliau tugasi dua orang sahabat untuk berjaga di suatu tempat. Kedua orang itu adalah Ubbad dan Ammar.
Bisyr dan Ammar saling berbagi waktu. Masing-masing berjaga setengah malam. Saat Ubbad berjaga, ia ingin menjadikan waktu tersebut terasa singkat dengan menenggelamkan diri dalam shalat malam. Di tengah shalat, datang seorang musyrik Ghatafan. Lalu ia melempari Ubbad dengan panahnya. Panah itu mengenai Ubbad. Ia cabut panah itu, kemudian melanjutkan shalat. Panah kedua kembali menyasar tubuhnya (betis). Ia cabut dan tetap melanjutkan shalat. Hingga akhirnya panah ketiga, ia cabut. Kemudian rukuk, sujud, dan akhiri shalatnya. Artinya ia tidak batalkan shalatnya walaupun dalam keadaan demikian.
Setelah salam, ia bangunkan Ammar. Saat Ammar melihat darahnya yang menyucur dan melihat tiga anak panah itu, ia berkata kepada Ubbad, “Mengapa engkau tidak membangunkanku tatkala kau dilempari panah?” Ubbad menjawab, “Aku sedang menikmati surat yang aku baca. Aku tak senang kalau tidak menyelesaikannya.” (HR. Abu Dawud 198, Ahmad 14745, dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Dawud No.182).
Dalam riwayat Ibnu Ishaq, Ubbad berkata, “Demi Allah, kalau aku tidak khawatir menyia-nyiakan amanah berjaga yang dipercayakan Rasulullah kepadaku, niscaya ia akan lebih dulu membunuhku sebelum aku yang melakukannya kepadanya.” (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah Cet. Darul Ma’rifah al-Qism ats-Tsani Hal 209). Maksud Ubbad, aku ingin melanjutkan bacaan. Tidak ingin rukuk, sujud, dan menyelesaikan shalat. Tapi hal itu akan membuatnya mendekat dan membunuhku. Sehingga aku termasuk lalai dari perintah Rasulullah untuk berjaga.
Kita hanya bisa berpikir, alangkah nikmatnya membaca Alquran bagi Ubbad. Dan alangkah nikmatnya bersepi-sepi dengan Allah dalam kesunyian shalat malam.
Setelah Ubbad menyelesaikan shalat dan membangunkan Ammar, si pemanah itu pun lari. Tanpa diketahui identitasnya. Namun yang jelas ia menjadi tahu, umat Islam itu pemberani dalam peperangan. Dan khusyuk dalam peribadatan. Perang Dzatu ar-Riqa’ memang aktivitas militer tanpa kontak senjata. Namun menimbulkan pengaruh luar biasa pada kabilah-kabilah Ghatafan.
Dampak Mobilisasi Militer Tahun 7 H
Pada tahun 7 H terjadi mobilisasi pasukan Islam secara intens. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam susul-menyusul mengirim enam pasukan. Beliau kirim pasukan menuju Qudaid, Turabah, Bani Murrah, Mayfa’ah, Yaman dan Jubar, dan daerah al-Ghabah (al-Mubarakfury, Rahiq al-Makhtum 329-330). daerah-daerah tersebut merupakan tempat kabilah-kabilah Ghatafan. Dari sini kita tahu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perhatian serius terhadap Ghatafan di tahun 7 H.
Kebijakan yang dilakukan oleh Rasulullah memberikan kesan luar biasa. Kita benar-benar sadar bahwa beliau adalah seorang pemimpin yang sangat cakap dalam berbagai bidang. Beliau cepat dan tepat dalam memutuskan. Beliau mengambil sikap sempurna dalam menghadapi ancaman yang tersisa. Menghadapi Yahudi dan Ghatafan. Sebuah langkah yang matang dan penuh perhitungan tapi diputuskan dengan cepat. Kebijakan tahun ke-7 ini membuat umat Islam menjadi kekuatan terbesar di Jazirah Arab.
Sukses dalam kebijakan militer, tahun ke-7 juga merupakan pencapain yang luar biasa dalam bidang dakwah. Islam tersebar ke seluruh penjuru Jazirah dan sekitarnya. Umat Islam berdakwah terang-terangan. Hingga sampai kepada para raja dunia.
Jadi, tahun ke-7 adalah tahun jihad dan dakwah. Dimulai dari suksesnya pengaruh Perjanjian Hudaibiyah. Kemenangan atas Yahudi di Khaibar, Wadi al-Qura, Fadak, Taima, dan kekalahan psikologis Ghatafan. Semua musuh di Jazirah Arab tahu bahwa kekuatan umat Islam di atas kekuatan mereka. Orang-orang dari Habasyah, Kabilah al-Asy’ari, Kabilah Daus, dll. berdatangan ke Madinah. Orang-orang pun berbondong-bondong memeluk Islam.
Dengan demikian, Perang Dzatu ar-Riqa’ memberikan kemenagan besar pada umat Islam. Kemenangan psikologis, dakwah, dan pengaruh.
- Kedua puluh empat: Penaklukkan Kota Mekah.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 8 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 10.000 orang sahabatnya untuk menyerang Mekah yang telah membatalkan perjanjian damai di Hudaibiyah. Mekah memerangi Bani Bakr yang merupakan sekutu Nabi dalam perjanjian tersebut.
Peristiwa ini berakhir dengan menyerahnya orang-orang Mekah. Akhirnya, setelah 8 tahun berpisah, Rasulullah kembali menginjakkan kaki beliau di tanah kelahirannya tersebut.
- Kedua puluh lima: Perang Hunain atau Perang Awthas atau Perang Hawazin.
Perang ini dilatar-belakangi kekhawatiran orang-orang Hawazin setelah mendengar umat Islam menaklukkan Mekah. Setelah Mekah jatuh, mereka menyangka kaum muslimin akan memerangi mereka. Mereka pun menyiapkan pasukan untuk menyerang umat Islam terlebih dahulu. Mendengar kabar tersebut Rasulullah mengirim mata-matanya menuju Hawazin dan akhirnya beliau siapkan 10.000 pasukan yang ikut bersama beliau dalam penaklukkan Mekah ditambah 2000 pasukan dari Mekah.
Kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran ini. Namun karena kecerobohan kaum muslimin di awal perang, mereka menderita kerugian yang cukup besar dengan 6 orang gugur di medan perang dan 6000 lainnya terluka. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala,
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ ۙ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (QS. At-Taubah: 25)
ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ وَذَٰلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ
“Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir.” (QS. At-Taubah: 26).
Sementara dari pihak orang-orang musyrik 71 orang tewas terbunuh.
- Kedua puluh enam: Perang Thaif
- Kedua puluh tujuh: Perang Tabuk.
Untuk membuat perhitungan terhadap umat Islam, Romawi merencanakan menyerang Madinah. Kabar tersebut sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau siapkan 30.000 sahabatnya menghadapi negara adidaya Romawi itu di Tabuk.
Peristiwa ini berakhir tanpa kontak senjata, karena orang-orang Romawi enggan menghadapi kaum muslimin di Tabuk, mereka lebih senang jika Rasulullah dan pasukannya mendatangi benteng mereka di Syam. Padahal Rasulullah telah beberapa hari menunggu kedatangan mereka di Tabuk.
Hal ini semakin menambah kewibawaan Negara Islam Madinah di hadapan Romawi dan bangsa Arab secara umum.
- Boleh mengangkat beberapa pemimpin dalam satu waktu dengan syarat tertentu dan memimpin secara berurutan.
- Kaum muslimin mengangkat Khalid sebagai panglima perang merupakan dalil bolehnya ijtihad di masa hidupnya Rasulullah.
- Keutamaan tiga panglima (Zaid, Ja’far, Abdullah bin Rawahah) dan keutamaan Khalid bin Walid sebab dalam peperangan ini Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam menamainya dengan Saifullah (Pedang Allah).
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedih atas kematian tiga panglimanya, menunjukkan rahmatnya kepada umatnya dan bahwasanya beliau berusaha menentramkan jiwanya untuk bersabar terhadap musibah. Dan ini lebih baik daripada yang tidak sedih dan tidak tersentuh oleh musibah sama sekali.
- Hakikat hidup dan ‘izzah (kemuliaan) yang disingkap oleh Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya kemenangan bukanlah karena kekuatan dan jumlah secara materi, melainkan agama dan ketaatan kepada Allah. Lihat Sirah Nabawiyyah karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad: 521-526 dan Sirah Nabawiyyah karya Dr. Akram: 2:267-270
Penutup
Demikianlah di antara peperangan yang terjadi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, khususnya yang beliau pimpin secara langsung. Dari kisah peperangan ini, kita bisa melihat sosok manusia sekaligus utusan Allah yang memiliki kemampuan yang begitu komplit.
Tidak ada seorang pemimpin yang menguasai seluruh bidang dengan begitu detilnya, kecuali beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memiliki kemampuan manajerial yang utuh dalam bidang pemerintahan, ekonomi, militer, dan lain-lain. Membaca kisah-kisah peperangan beliau, penulis merasakan takjub yang luar biasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengorganisir pasukannya sedemikian rupa dan pengenalan beliau terhadap medan pertempuran sangat detil.
Lihatlah di Uhud, beliau tempatkan pasukan-pasukan pada pos-pos yang sangat strategis, beliau mampu melakukannya dengan timing yang tepat sebelum orang-orang Mekah tiba di Uhud sehingga musuh tidak mampu berbuat apapun. Jika pasukan pemanah tidak melanggar perintah beliau, kemenangan di Uhud pun akan diraih dengan mudah. Demikian juga apa yang terjadi di pada Perang Bani Lihyan, Rasulullah tidak membiarkan sahabatnya mengejar orang-orang Bani Lihyan hingga ke balik bukit. Karena beliau tahu, medan tersebut akan mengakibatkan pasukan Islam terlihat oleh orang-orang Mekah, dan Mekah akan menyangka kalau umat Islam akan menyerang mereka. Ketika Mekah merespon, jumlah umat Islam di Perang Bani Lihyan tidak akan sanggup menghadapi mereka.
Mudah-mudahan tulisan yang singkat ini dapat menjadi pembelajaran bahwa perang umat Islam sangat jauh berbeda dengan apa yang dicitrakan oleh media-media Barat. Mudah-mudahan tulisan yang singkat ini menjadikan cinta kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kian bersemi.
Semoga shalawat dan salam tercurah kepada beliau, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Sumber: https://kisahmuslim.com/