Ungkapan yang pasti benarnya yang disampaikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut terasa musykil dalam benak banyak orang jika mereka dihadapkan kepadanya ketika membuat atau melakukan bid’ah. Dimana seseorang menjawab dengan rasa tidak senang: “Apakah karena bid’ah yang kecil ini saya di neraka?”
Untuk menjelaskan masalah ini dan jawaban terhadap kemusykilan tersebut dapat kita cermati dari dua hal sebagai berikut.
- Pertama: Sesungguhnya di antara akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah, ”Kita tidak menempatkan seseorang dari ahli kiblat tentang surga atau neraka”. Demikain ini dikatakan oleh Abu Ja’far Ath-Thahawi dalam kitab Aqidah Ath-Thahawiyah (hal.378) yang disyarahkan oleh Ibnu Abul Izz Al-Hanafi.
Jadi, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap kesesatan di neraka” merupakan ancaman yang terdapat dalam banyak hadits dan ayat Al-Qur’an.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata[1] : “Seseorang yang berilmu terkadang menyebutkan ancaman terhadap sesuatu yang dilihatnya sebagai perbuatan dosa, padahal dia mengetahui bahwa orang-orang yang menakwilkannya[2] diampuni dan tidak terkena ancaman. Tetapi dia menyebutkan hal tersebut untuk menjelaskan bahwa perbuatan dosa mengakibatkan mendapat siksa. Dia hanya mengingatkan menghalangi orang dari perbuatan dosa”.
- Kedua: Bahwa Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya (IV/484) berkata : “Karena nash-nash ancaman[3] bentuknya umum, maka kita tidak menyatakan dengannya kepada orang tertentu bahwa dia termasuk penghuni neraka. Sebab kemungkinan tidak berlakunya hukum yang ditetapkan pada orang yang melakukannya karena adanya penghalang yang kuat, seperti karena taubat, musibah yang menghapuskan dosa, atau syafa’at yang diterima, dan lain-lain”.
Jadi sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap kesesatan di neraka” adalah sifat terhadap amal yang dilakukan seseorang dan sifat dari buah amal yang dilakukannya jika tidak disusuli dengan taubat dan meninggalkannya.
Kemudian ungkapan: “… di neraka” tidak mengharuskan kekal di neraka atau lama di dalamnya. Tetapi seseorang akan masuk neraka sesuai maksiat yang diperbuatnya, baik bentuknya bid’ah atau yang lain.
Berdasarkan hal ini, berlaku hukum lain, yaitu menghalalkan sesuatu yang dilarang dalam agama. Maka siapa yang menghalalkan bid’ah atau yang lainnya dari bentuk-bentuk maksiat dengan menghalalkan dalam hatinya padahal dia mengetahui dan mengakui bahwa sesuatu yang dilakukan tidak ada dasarnya dalam Sunnah, bahkan dia mengetahui, bahwa ia mengoreksi syari’at[4] , maka ketika itulah dia “di neraka” karena dia kufur. Semoga Allah melindungi kita dari neraka.
At-Thahawi dalam kitabnya Aqidah yang disarahkan Ibnu Abul Izzi (hal. 316) berkata, “Kita tidak mengkafirkan seorang ahli kiblat yang berbuat dosa selama dia tidak menghalalkan perbuatan dosa tersebut”.
Dan tidak syak bahwa bid’ah adalah dosa yang sangat jelas dan maksiat yang paling nyata[5]. Dan bahwa dalil-dalil yang mengecamnya dan memerintahkan untuk menjauhinya banyak sekali.
Kesimpulannya: Bahwa pendapat-pendapat yang batil, bid’ah dan diharamkan yang bernuansa menafikan sesuatu yang telah ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menetapkan sesuatu yang dinafikannya, atau memerintahkan sesuatu yang dilarangnya, atau melarang sesuatu yang di perintahkannya, maka kebenaran dikatakan kepadanya dan disampaikan kepadanya ancaman yang disebutkan dalam nash-nash yang ada. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abul Izz Al-Hanafi dalam Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah (hal.318).[6]
Baca Juga Bid'ah Dan Niat Baik
[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah, Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
______
Footnote:
[1] Majmu Al-Fatawa XXIII/305
[2] Lihat “Antara Membuat Bid’ah dan Ijtihad” yang akan disebutkan dalam Bab III Pasal 1 dalam buku ini.
[3] Lihat Al-Hujjah II/71 oleh Ash-Shabuni
[4] Lihat Bab I (pengantar), Kesempurnaan dan Kecukupan Syari’ah.
[5] Lihat Bab III Pasal 4 “Antara Bid’ah dan Maksiat”
[6] Disini kami ingin menyebutkan bahwa saya tidak melihat karya ulama yang menjelaskan kajian pada pasal ini, menurut hasil telaah saya dari berbagai buku rujukan. Mudah-mudahan saya mendapatkan taufiq kepada kebenaran dalam tulisan saya ini, dan Allah adalah yang memberi petunjuk kepada jalan kebenaran. Kemudian saya melihat isyarat-isyarat tentang sub kajian ini dalam Manhaj Al-Asya’riyah fil Aqidah : 73-79 Karya Safar Al-Hawali.
Referensi: https://almanhaj.or.id/
MENJELASKAN BID'AH BUKAN BERARTI MEMVONIS NERAKA
Ketika pada da’i menasehati dan melarang amalan-amalan bid’ah maka sama sekali bukan berarti memvonis pelakunya penghuni neraka. Ini adalah kesalah-pahaman yang menjalar di tengah masyarakat. Yang kesalah-pahaman ini juga dijadikan senjata untuk menentang dakwah sunnah dan melarang orang membahas masalah bid’ah. Oleh karena ini mari kita luruskan duduk perkaranya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam Teladan Dalam Mengingkari Bid’ah
Orang yang mencontohkan dan memberi kita teladan untuk menjauhi bid’ah serta melarang bid’ah adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Bahkan tidak hanya sekali-dua kali beliau bicara masalah bid’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867).
Tidak hanya itu, di akhir-akhir hidup beliau, beliau masih mewanti-wanti masalah bid’ah. Al Irbadh bin Sariyah radhiallahu’anhu mengatakan:
صلَّى بنا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ذاتَ يَومٍ، ثُمَّ أقبَلَ علينا، فوَعَظَنا مَوعِظةً بَليغةً ذَرَفَتْ منها العُيونُ، ووَجِلَتْ منها القُلوبُ، فقال قائلٌ: يا رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، كأنَّ هذه مَوعِظةُ مُودِّعٍ، فماذا تَعهَدُ إلينا؟
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama kami suatu hari. Setelah shalat beliau menghadap kami kemudian memberikan nasehat yang mendalam yang membuat air mata berlinang dan hati bergetar. Maka ada berkata: wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat orang yang akan berpisah, apa yang engkau pesankan kepada kami?”.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”).
Maka jelas, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sangat mewanti-wanti umatnya terhadap kebid’ahan, melarang kebid’ahan bahkan sering dan terus-menerus beliau lakukan hal ini.
Maka sudah semestinya para da’i yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga menyerukan hal yang sama.
Tentunya dengan ilmu dan dakwah yang hikmah.
Masalah Bid’ah Adalah Masalah Penting
Tidak heran jika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sering mewanti-wanti masalah bid’ah. Karena masalah ini adalah masalah penting. Karena inti dari Islam adalah dua kalimat syahadat.
Dan kandungan dari syahadat laa ilaaha illallah adalah tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah.
Sedangkan kandungan dari syahadat muhammadun rasululullah adalah kita tidak beribadah kepada Allah melainkan dengan tuntunan beliau.
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
جماع الدين اصلان: أن لا نعبد إلا الله , ولا نعبده إلا بما شرع , لا نعبده بالبدع
“Inti agama ini berporos pada 2 hal: (1) kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah semata, (2) kita tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang telah Allah syariatkan, kita tidak menyembah-Nya dengan kebid’ahan” (Majmu’ Al Fatawa, 10/234, dinukil dari Dirasah wat Tahqiq Qaidah Al Ashl fil Ibadah Al Man’u, 52).
Inti dari Islam seluruhnya adalah menyembah kepada Allah semata dan beribadah sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak membuat bid’ah.
Maka masalah bid’ah ini masalah penting, terkait dengan pokok agama.
Wajarlah jika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sering mewanti-wanti masalah bid’ah dengan keras.
Bedakan Vonis Umum Dengan Vonis Individu
Jika seorang da’i membicarakan sebuah larangan dalam agama dan akibat buruknya dalam syariat, apakah itu berupa mendapat laknat Allah, mendapat dosa, mendapat ancaman neraka atau lainnya, bukan berarti sang da’i sedang memvonis pelaku larangan tersebut bahwa mereka pasti mendapat akibat-akibat buruk ini.
Karena ia sedang berbicara dalam konteks umum (multhlaq) tidak bicara mengenai person tertentu (mu’ayyan).
Bedakan vonis muthlaq dengan mu’ayyan!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,
ولو كان كل ذنب لعن فاعله يلعن المعين الذي فعله؛ للعن جمهور الناس، وهذا بمنزلة الوعيد المطلق لا يستلزم بثبوته في حق المعين إلا إذا وجدت شروطه وانتفت موانعه وهكذا اللعن
“Andai setiap dosa yang dilaknat pelakunya, kemudian dilaknat semua pelakunya secara mu’ayyan (spesifik), maka mayoritas manusia akan terkena laknat. Maka ini sebagaimana dalil ancaman yang bersifat muthlaq (umum) tidak berarti jatuh ancaman tersebut pada setiap orang secara spesifik. Kecuali jika terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada mawani’ (penghalang)nya. Maka demikian juga laknat” (Minhajus Sunnah, 4/573).
Maka ketika kita bicara hadits bahwa pelaku bid’ah diancam neraka, maka bukan berarti semua orang yang melakukan bid’ah pasti masuk neraka.
Bisa jadi ia tidak masuk neraka karena adanya mawani’ (penghalang) semisal karena ia jahil (tidak paham tentang bid’ah), karena sekedar ikut-ikutan, karena syubhat dan semisalnya.
Atau karena belum terpenuhinya syarat-syarat jatuhnya vonis, seperti tegaknya hujjah, hilangnya syubhat, bukan penyeru bid’ah dan lainnya.
Oleh karena itu para ulama membedakan mubtadi’ (ahlul bid’ah) dan orang yang jatuh pada bid’ah. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan:
إذا كان هذا المخالف يخالف نصاً. أولاً: لا يجوز اتباعه، وثانياً: لا نبدع القائل بخلاف النص، وإن كنا نقول: إن قوله بدعة. وأنا أفرق بين أن تقول: فلان وقع في الكفر، وفلان كفر. وكذلك: فلان وقع في البدعة، وفلان مبتدع .. فأقول: فلان مبتدع؛ مش معناه وقع في بدعة، وهو مَن شأنه أنه يبتدع؛ لأن (مبتدع) اسم فاعل؛ هذا كما إذا قلنا: فلان عادل؛ ليس لأنه عدل مرة في حياته؛ فأخذ هذا اسم الفاعل. القصد: أن المجتهد قد يقع في البدعة؛ لكن لا أؤثمه بها، ولا أطلق عليه اسم مبتدع:
“Jika seseorang menyelisihi nash (dalil), maka pertama tidak boleh mengikutinya. Kedua, Tidak boleh langsung kita vonis bid’ah orang yang perkataannya menyelisihi nash tersebut. Walaupun tetap kita katakan, apa yang ia ucapkan tersebut bid’ah. Saya membedakan antara ungkapan “Fulan jatuh dalam kekufuran” dengan “Fulan kafir”. Demikian juga berbeda antara “Fulan jatuh pada kebid’ahan” dengan “Fulan ahlul bid’ah”.
Jika saya katakan “Fulan ahlul bid’ah” maka maknanya bukan sekedar ia jatuh pada kebid’ahan. Namun kebid’ahan memang menjadi urusan utamanya. Karena istilah mubtadi’ ini merupakan isim fa’il. Sebagaimana kalau kita katakan “Fulan itu orang yang adil” maka bukan maknanya ia berbuat keadilan sekali saja dalam hidupnya. Maka inilah makna dari isim fa’il.
Intinya, terkadang seorang ulama mujtahid terjatuh pada kebid’ahan, namun tidak kita vonis dengan kebid’ahan tersebut dan tidak kita vonis dengan ahlul bid’ah” (kaset Silsilah Huda wan Nur, no. 849).
Oleh karena itu, para ulama sunnah mengajarkan kita agar tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan label dan vonis untuk individu secara spesifik.
Syaikh Musthafa Al Adawi menjelaskan:
التأني في تنزيل الأحكام على الأشخاص و ذلك حتى يتعلم الجاهل و يرشد الضال و تعلم أعذار المتعذرين و وجهات المخالفين. فلا يعمد شخص إلى امرأة متنمصة بعينها ويسميها باسمها و ينشر في الناس أن فلانة من الملعونة
“Hendaknya berhati-hati dalam menerapkan hukum pada individu secara spesifik. Penerapan hukum ini baru bisa diterapkan setelah orang yang jahil diajari, orang yang sesat diberi arahan, orang yang memiliki udzur diketahui udzurnya dan orang yang menyelisihi dalil diketahui sisi pandangnya. Maka (contohnya) seseorang tidak boleh bersengaja secara spesifik menunjuk seorang wanita yang mencukur alisnya kemudian menyebut namanya dan menyebarkan di tengah orang-orang bahwa ia adalah wanita yang terlaknat” (Mafatihul Fiqhi fid Diin, 93).
Yang beliau maksud adalah hadits:
لعن اللهُ الواشماتِ والمستوشماتِ ، والنامصاتِ والمتنمصاتِ
“Semoga Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dirinya atau meminta ditato, yang mencukur alisnya atau meminta dicukurkan” (HR. Bukhari no. 5948, Muslim no. 2125).
Wanita yang mencukur alisnya dilaknat oleh Allah, namun laknat ini secara muthlaq. Adapun ketika kita bertemu dengan seorang wanita yang mencukur alisnya, maka tidak boleh langsung kita katakan dia terlaknat, karena bisa jadi belum terpenuhi syarat dan ada penghalang.
Sikap Terhadap Dalil-Dalil Wa’id (Ancaman)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
“setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i).
Ini adalah hadits wa’id (ancaman). Artinya kita diancam oleh syariat, bahwa bisa jadi kita masuk neraka karena sebab bid’ah yang kita lakukan. Namun apakah pasti masuk neraka? Belum tentu.[/su_highlight]
Sebagaimana juga kalau kita menasehati orang yang berdusta. Apakah dengan itu kita memvonis neraka? Padahal hadits mengatakan:
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ؛ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَالْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ
“Dan jauhilah dusta, karena dusta itu membawa kepada perbuatan fajir (maksiat) dan perbuatan fajir membawa ke neraka” (HR. Muslim no. 2607).
Tentu tidak bukan? Karena ini juga wa’id (ancaman). Artinya kita diancam bahwa bisa jadi kita masuk neraka karena sebab dusta yang kita lakukan. Namun apakah pasti masuk neraka? Belum tentu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
لعن المطلق لا يستلزم لعن المعين الذي قام به ما يمنع لحوق اللعنة له، وكذلك (التكفير المطلق) و (الوعيد المطلق) ولهذا كان الوعيد المطلق في الكتاب والسنة مشروطاً بثبوت شروط وانتفاء موانع
“Laknat yang muthlaq (umum) tidak berkonsekuensi laknat bagi semua pelakunya secara spesifik selama ada penghalang yang menghalanginya dari terkena laknat. Demikan juga takfir muthlaq dan ancaman yang muthlaq. Oleh karena itu ancaman yang muthlaq yang ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah baru jatuh jika terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalangnya” (Majmu Al Fatawa, 10/329).
Maka orang yang melakukan bid’ah diancam neraka, namun apakah mereka pasti masuk neraka? Belum tentu.[/su_highlight]
Bisa jadi masuk neraka -wal’iyyadzubillah- jika terpenuhi syarat-syarat dan tidak ada penghalangnya. Bisa jadi tidak masuk neraka karena tidak terpenuhi syarat-syarat dan ada penghalangnya.
Mengenai syarat-syarat dan ada penghalang yang dimaksud, ini jika ingin dirinci maka butuh kepada pembahasan tersendiri yang panjang dan lebar.
Maka mulai sekarang stop menuduh para da’i yang memperingatkan umat dari bid’ah bahwa mereka memvonis orang pasti masuk neraka. Terlebih lagi menggunakan stigma ini untuk melegalkan bid’ah di masyarakat. Bid’ah itu berbahaya dan wajib diperingatkan dan dijauhi oleh setiap orang.
Semoga Allah memberi taufiq.
Penulis: Yulian Purnama, S. Komp.
Sumber: https://muslim.or.id/