Pembagian tauhid merupakan salah satu ijtihad dari para ulama untuk menjelaskan betapa pentingnya aspek-aspek pada ajaran tauhid dalam agama Islam. Pembagian-pembagian yang disampaikan oleh para ulama adalah hasil telaah (istiqra‘) dari berbagai dalil-dalil dalam syariat. Pembagian ini berguna juga untuk memperingatkan umat Islam terkait aspek-aspek yang dapat merusak nilai keimanan seorang muslim terhadap Allah Ta’ala. Bahkan, urgensi ini lebih sangat dibutuhkan lagi jika melihat berbagai ancaman dan tantangan di zaman ini yang penuh fitnah-fitnah yang menerpa umat Islam, mulai dari ajaran-ajaran liberalisme, pluralisme, sekulerisme, singkretisme, sampai pada syubhat-syubhat kesyirikan yang dibungkus sebagai ajaran dari Islam.
- Tauhid ar-rububiyyah (توحيد الربوبية)
- Tauhid al-uluhiyyah (توحيد الألوهية)
- Pertama, ibadah adalah segala hal yang diperintah oleh syariat dan tidak termasuk padanya hal-hal dari adat kebiasaan maupun hal-hal yang berasal dari konsekuensi logika (akal).
- Kedua, ibadah adalah perendahan diri yang disertai dengan rasa cinta dan ketundukan diri yang sempurna. Definisi ini disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Kafiyah Asy-Syafiyah karangan beliau,
- Ketiga, ibadah adalah seluruh hal yang mencakup apa-apa yang dicintai dan diridai oleh Allah dari perkataan dan perbuatan, baik yang tampak (zahir) maupun tersembunyi (batin). Definisi ini merupakan definisi yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah. Pada pendapat ketiga ini, Al-Hafidz Al-Hakami dalam kitabnya A’lam As-Sunnah Al-Mansyurah menambahkan dengan kalimat “disertai dengan berlepas diri dari hal-hal yang bertentangan dengan hal-hal yang Allah cintai dan ridai”.
- Tauhid al-asma’ wa ash-shifat (توحيد الأسماء والصفات)
- Pertama, tahrif adalah menyelewengkan makna yang terpahami secara langsung kepada makna yang lain dan jauh yang tidak dimaksud oleh redaksi lafaz dengan kemungkinan kebenarannya yang lemah.
- Kedua, ta’thil adalah menafikan sifat-sifat ketuhanan Allah dan mengingkari sifat tersebut sebagai sifat yang ada (melekat) pada Zat Allah.
- Ketiga, takyif adalah meyakini sifat Allah memiliki bentuk dan rupa seperti ini atau itu atau bertanya tentang bentuk sifat Allah.
- Keempat, tamtsil adalah meyakini bahwasanya sifat Allah serupa dengan sifat-sifat yang ada pada diri para makhluk-Nya.
- Pertama, nama dan sifat bagi Allah adalah termasuk dari perkara gaib. Sikap yang wajib dilakukan oleh seorang mukmin adalah mengimani nama dan sifat Allah sebagaimana apa adanya, tanpa menjadikan barometer selain wahyu sebagai pokok rujukan dalam menetapkan keduanya.
- Kedua, wajib memahami nash-nash terkait nama dan sifat Allah yang datang dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana makna yang tampak (dzahir).
- Ketiga, akal (logika) manusia tidak memiliki ruang dan kuasa hak untuk menetapkan nama dan sifat bagi Allah secara terperinci dan mandiri tanpa adanya wahyu yang menetapkan perinciannya.
- Keempat, pembahasan terkait sifat-sifat Allah itu sama dengan pembahasan Zat Allah. Maksudnya, jika Zat Allah Ta’ala itu adalah Zat yang ada dan memiliki kesempurnaan yang tiada sesuatu apapun yang menyerupainya, maka akan sama juga sifat-sifat yang melekat pada Zat Allah juga mencapai titik kesempurnaan yang tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Maka dapat disimpulkan, hukum yang kita tetapkan dan yakini dalam sifat-sifat Allah itu sama dengan Zat Allah.
- Kelima, kesamaan makna umum dari suatu sifat yang dimiliki oleh Allah dan makhluk tidak berkonsekuensi kesamaan atau keserupaan dalam kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh Allah dengan makhluk. Artinya, kesamaan pada suatu eksistensi yang ada dalam hal sifat-sifat yang memiliki makna sama tidak mengharuskan mereka sama dalam hakikat sifat tersebut. Akan tetapi, masing-masing dari sesuatu yang ada/ eksis memiliki kekhususan masing-masing dalam sifat tersebut. Misalkan, ilmu Allah, maka tentunya pada derajat sempurna. Sedangkan ilmu makhluk tidak akan sedikit pun berarti dan bernilai, jika dibandingkan dengan ilmu Sang Khaliq.
- Keenam, Seluruh nama dan sifat Allah itu mencapai derajat kesempurnaan yang tidak diisi oleh sedikit pun dari kekurangan dan kelemahan.
- Alu Syaikh, Shalih bin Abdullah bin Abdul Aziz . 2016. At-Tamhid Li Syarhi Kitab At-Tauhid. Al-Azhar: Dar At-Taqwa
- Al-’Utaimin, Muhammad bin Shalih. 1435 H. Syarhu Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah. Dimam: Dar Ibnu Al-Jauzi.
- Al-’Umairi, Sulthan bin Abdurrahman. 2021. Al-’Uqud Adz-Dzahabiyyah ‘Ala Maqashidi Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah. Dimam: Dar Madariju Li An-Nasyr
- Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. 1440 H. Al-Irsyad Ila Shahihi Al-I’tiqad. Riyadh: Maktabah Dar Al-Minhaj.
- Harras, Muhammad Khalil. ____. Syarhu Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah. Urdun: Dar Al-Hasan Li An-Nasyr wa At-Tauzi’
- Tauhid al-’ilmi
- Tauhid al-’amali
- Tauhid al-’amali al-iradi
- tauhid al-ma’rifat wa al-itsbat dan
- tauhid al-mathlab wa al-qashdu.
- Pertama, kabar terkait Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Inilah tauhid (jenis pertama) yaitu tauhid al-’ilmi wa al-khabari.
- Kedua, perintah untuk beribadah kepada Allah semata tanpa dan tidak menyekutukan-Nya, serta membebaskan dari seluruh peribadahan kepada selain Allah. Tauhid ini (jenis kedua) disebut dengan tauhid al-iradi ath-thalabi.
- Ketiga, syariat perintah dan larangan. Isi dari syariat ini adalah kewajiban menaati Allah dalam perintah dan larangan-Nya. Dua hal ini adalah hak-hak tauhid (yang harus ditunaikan hamba) dan penyempurna tauhid.
- Keempat, kabar berupa karamah Allah kepada ahli tauhid dan ahli ketaatan, apa yang diperbuat oleh mereka di dunia, dan akhir yang akan mereka dapat berupa pemuliaan dari Allah di akhirat.
- Kelima, kabar tentang ahli kesyirikan, apa yang mereka perbuat di dunia dari kezaliman, dan akhir yang akan menimpa mereka berupa azab. Isi yang kelima ini adalah kabar dari orang-orang yang telah keluar dari tauhid.” (Madariju As-Salikin baina Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in/1099)