Type Here to Get Search Results !

 


SHALAT ISYRAQ [SYURUQ]


Shalat Isyraq adalah permulaan shalat Dhuha, di mana waktu shalat Dhuha itu dimulai dari terbitnya matahari.

Penetapan penamaan shalat ini pada waktu shalat Dhuha sebagai shalat Isyraq diperoleh dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu.

Dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas tidak shalat Dhuha. Dia bercerita, lalu aku membawanya menemui Ummu Hani’ dan kukatakan : “Beritahukan kepadanya apa yang telah engkau beritahukan kepadaku”. Lalu Ummu Hani berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumahku untuk menemuiku pada hari pembebasan kota Mekkah, lalu beliau minta dibawakan air, lalu beliau menuangkan ke dalam mangkuk besar, lalu minta dibawakan selembar kain, kemudian beliau memasangnya sebagai tabir antara diriku dan beliau. Selanjutnya, beliau mandi dan setelah itu beliau menyiramkan ke sudut rumah. Baru kemudian beliau mengerjakan shalat delapan rakaat, yang saat itu adalah waktu Dhuha, berdiri, ruku, sujud, dan duduknya adalah sama, yang saling berdekatan sebagian dengan sebagian yang lainnya”. Kemudian Ibnu Abbas keluar seraya berkata : “Aku pernah membaca di antara dua papan, aku tidak pernah mengenal shalat Dhuha kecuali sekarang.

يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ

“Untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Shaad/38 : 18]

Dan aku pernah bertanya : “Mana shalat Isyraq ?” Dan setelah itu dia berkata: “Itulah shalat Isyraq” Diriwayatkan oleh Ath-Thabari di dalam Tafsirnya dan Al-Hakim[1]

Mengenai keutamaan shalat Dhuha di awal waktunya yang ia adalah shalat Isyraq, telah diriwayatkan beberapa hadits berikut ini:

Dari Abu Umamah, dia bercerita, Rasulullah Shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ صَلَّى صَلاَةَ الصُّبْحِ فِي مَسجِدٍ جَمَاعَةً، يَثْبُتُ فِيْهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَ، كَانَ كَأَ جْرِ حَاجٍ أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَ عُمْرَ تُهُ

“Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh di masjid dengan berjama’ah, lalu dia tetap diam di sana sampai dia mengerjakan shalat Dhuha, maka baginya seperti pahala orang yang menunaikan ibadah haji atau umrah, (yang sempurna haji dan umrhanya)” Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani

Dan di dalam sebuah riwayat disebutkan.

مَنْ صَلَّى صَلاَةَ الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ جَلَسَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ

“Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh berjama’ah, lalu dia duduk sambil berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit …” Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani[2]

[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_______

Footnote:

[1] Atsar hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam Tafsirnya XXIII/138 –al-Fikr dari dua jalan.

Pertama: Dari Mus’ar bin Abdul Karim, dari Musa bin Abi Katsir, dari Ibnu Abbas .. yang senada dengannya. Di dalam sanadnya ini terdapat inqitha: Musa bin Abi Katsir tidak pernah mendengar dari Ibnu Abbas. Lihat kitab At-Taqriib hal. 553, dimana dia menempatkannya di tingkatan ke enam, dan mereka itu adalah orang-orang yang tidak ditetapkan pertemuan mereka dengan salah seorang sahabat, sebagaimana yang ditegaskan di dalam mukadimah.

Kedua: Dari Sa’id bin Abi Arubah, dari Abul Mutawakkil, dari Ayyub bin Shafwan, dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal bahwa Ibnu Abbas … dan seterusnya.

Di dalam sanadnya terdapat Sa’id, seorang muadllis lagi telah mengalami pencampuran (ikhtilath). Abul Mutawakkil adalah Al-Mutawakkil. Biografinya ada di dalam Al-Jarh wat Ta’diil (VIII/372, di mana padanya tidak disebutkan jarh dan ta’dil. Dan biografinya ada di dalam kitab, Ta’jiilul Manfa’ah hal. 391, dan telah ditetapkan tentang kemuliaannya. Dan ketetapan tersebut dinukil dari Abu Hatim. Tetapi tidak demikian di dalam kitabnya. Bisa jadi terjadi kekeliruan pandangan ada biografi berikut di dalam kitabnya, Al-Jarh wat Ta’diil. Wallahu a’lam.

Ayyub memiliki biografi di dalam kitab, Al-Jarh wa Ta’diil II/250, dan tidak disebutkan jarh dan ta’dil pada dirinya.

Juga diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak (tha/53), melalui jalan Sa’id bin Abi Arubah,dari Ayyub bin Shafwan, dari Abdullah bin Al-Harits bahwa Ibnu Abbas … dan seterusnya.

Dapat saya katakan, di dalam sanadnya terdapat Sa’id dan Ayyub, dan tidak disebutkan nama Al-Mutawakkil. Dan ini merupakan bentuk takhlith (percampur adukan) yang dilakukan oleh Sa’id.

Dengan kedua sanad di atas, atsar ini naik ke tingkat hasan lighairihi.
Ketetapan tersebut semakin kuat oleh beberapa syahd berikut ini.

(a). Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq di dalam kitab Al-Mushannaf III/79, dari Ma’mar, dari Atha Al-Khurasani, dia bercerita, Ibnu Abbas pernah berkata : “Di dalam diriku masih terus dihinggapi sedikit keraguan sehingga aku membaca.

إِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ

“Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Shaad/38 : 18]
Dapat saya katakan, ini adalah sanda hasan kepada Atha, hanya saja riwayat Atha dari para sahabat itu bersifat mursal munqathi (Tahdziibut Tahdziib VII/212)

(b). Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Mu’jamul Kabiir XXIV/406. Juga di dalam kitab Al-Ausath VI/63-64-Majma’ul Bahrain melalui jalan Abu Bakar Al-Hadzali dari Atha bin Abi Rabah, dari Ibnu Abbas dia bercerita : “Aku pernah diperintahkan melalui ayat ini, tetapi aku tidak mengerti apa itu Al-Asyiyyi wal Al-Isyraaq, sehingga Ummu Hani binti Abi Thalib memberitahuku bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemuinya, lalu minta dibawakan air di dalam mengkuk besar, seakan-akan aku melihat bekas adonan di dalamnya, lalu beliau berwudhu’, untuk selanjutnya beliau berdiri dan mengerjakan shalat Dhuha. Kemudian beliau berkata : “Wahai Ummu Hani, ini adalah shalat Isyraq”

Dapat saya katakana, Abu baker Al-Hadzali adalah seorang yang haditsnya matruk, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab At-Taqriib, hal. 625. Dan perafa’annya adalah munkar. Dan yang benar adalah mauquf.

(c). Dan disana terdapat beberapa syahid lainnya yang disebutkan oleh As-Suyuthi di dalam kitab, Ad-Durrul Mantsuur, VII/150-151. Dan lihat juga, Al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah II/407-408
[2] Hadits hasan. Yang takhrijnya akan diberikan pada pembahasan selanjutnya tentang shalat Dhuha



SHALAT DUHA: KEUTAMAAN SHALAT DHUHA

Mengenai keutamaan shalat Dhuha, telah diriwayatkan beberapa hadits yang diantaranya dapat saya sebutkan sebagai berikut:

Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

“Bagi masing-masing ruas[1] dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahtil (Laa Ilaaha Illallaah) adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik pun juga sedekah, dan mencegah kemunkaran juga sedekah. Dan semua itu bisa disetarakan ganjarannya dengan dua rakaat shalat Dhuha”. Diriwayatkan oleh Muslim[2]

Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman:

ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ

“Wahai anak Adam, ruku’lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku mencukupimu di akhir siang” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi[3]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita, dia berkata :”Tidak ada yang memelihara shalat Dhuha kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaab)”. Dan dia mengatakan, “Dan ia merupakan shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaabin)”. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. [4]

Hukum Shalat Dhuha

Hadits-hadits terdahulu dan juga yang semisalnya menjelaskan bahwa shalat Dhuha pada waktu Dhuha (pagi hari) merupakan suatu hal yang baik lagi disukai. [5]

Selain itu, di dalam hadits-hadits tersebut juga terkandung dalil yang menunjukkan disyariatkannya kaum muslimin untuk senantiasa mengerjakannya. [6]

Dan tidak ada riwayat yang menujukkan diwajibkannya shalat Dhuha

Waktu Shalat Dhuha

Waktu shalat Dhuha dimulai sejak terbit matahari sampai zawal (condong). Dan waktu terbaik untuk mengerjakan shalat Dhuha adalah pada saat matahari terik.

Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut.
Adapun permulaan waktunya, telah ditunjukkan oleh hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhuma terdahulu. Letak syahidnya di dalam hadits tersebut adalah: “Ruku-lah untuk-Ku dari awal siang sebanyak empat rakaat”.

Demikian juga riwayat yang datang dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.

مَنْ صَلَّى الغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ

“Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah lalu duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit dan kemudian mengerjakan shalat dua raka’at [7], maka pahala shalat itu baginya seperti pahala haji dan umrah, sepenuhnya, sepenuhnya, sepenuhnya” [8]

Dari Abu Umamah, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh berjama’ah di masjid, lalu dia tetap berada di dalamnya sehingga dia mengerjakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau orang yang mengerjakan umrah, sama persis (sempurna) seperti ibadah haji dan umrahnya”. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.

Dan dalam sebuah riwayat disebutkan. “Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah, kemudian dia duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit…” Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[9]

Adapun keluarnya waktu shalat Dhuha pada waktu zawal, karena ia merupakan shalat Dhuha (pagi).

Sedangkan waktu utamanya telah ditunjukkan oleh apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam.

أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ

Bahwasanya dia pernah melihat suatu kaum yang mengerjakan shalat Dhuha. Lalu dia berkata “Tidaklah mereka mengetahui bahwa shalat selain pada saat ini adalah lebih baik, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ

“Shalat awaabiin (orang-orang yang kembali kepada Allah) adalah ketika anak-anak unta sudah merasa kepanasan”[10]. Diriwayatkan oleh Muslim [11]

Jumlah Rakaat Shalat Dhuha Dan Sifatnya

Disyariatkan kepada orang muslim untuk mengerjakan shalat Dhuha dengan dua, empat, enam, delapan atau dua belas rakaat.

Jika mau, dia boleh mengerjakannya dua rakaat dua rakaat.
Adapun shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat telah ditunjukkan oleh hadits Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ….. وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

“Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah …Dan semua itu setara dengan ganjaran dua rakaat shalat Dhuha” Diriwayatkan oleh Muslim.[12]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan empat rakaat, telah ditunjukkan oleh Abu Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman:

ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ

”Wahai anak Adam, ruku’lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku akan mencukupimu di akhir siang” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. [13]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan enam rakaat, ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الضُّحَى سِتَّ رَكَعَاتٍ

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dhuha enam rakaat” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab Asy-Syamaa-il. [14]

Dan shalat Dhuha yang dikerjakan delapan rakaat ditunjukkan oleh hadits Ummu Hani, di mana dia bercerita:

أَتَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِأَعْلَى مَكَّةَ «قَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى غُسْلِهِ، فَسَتَرَتْ عَلَيْهِ فَاطِمَةُ ثُمَّ أَخَذَ ثَوْبَهُ فَالْتَحَفَ بِهِ، ثُمَّ صَلَّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ سُبْحَةَ الضُّحَى»

”Pada masa pembebasan kota Makkah, dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berada di atas tempat tinggi di Makkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak menuju tempat mandinya, lalu Fathimah memasang tabir untuk beliau. Selanjutnya, Fatimah mengambilkan kain beliau dan menyelimutkannya kepada beliau. Setelah itu, beliau mengerjakan shalat Dhuha delapan rekaat” [15] Diriwayatkan Asy-Syaikhani. [16]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan dua belas rakaat ditunjukkan oleh hadits Abud Darda Radhiyallahu ‘anhu, di mana dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat rakaat, maka dia tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa mengerjakan enam rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu. Barangsiapa mengerjakan delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di Surga. Dan tidaklah satu hari dan tidak juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang danugerahkan kepada hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya untuk selalu ingat kepada-Nya” Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[17]

Dapat saya katakan bahwa berdasarkan hadits-hadits ini, diarahkan kemutlakan yang diberikan Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha saat ditanya oleh Mu’adzah: ”Berapa rakaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Dhua?” Dia menjawab: “Empat rakaat dan bisa juga lebih, sesuai kehendak Allah” [18]

Dan shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat dua rakaat, telah ditunjukkan oleh keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salla: ”Shalat malam dan siang itu dua rakaat dua rakaat” [19]

Dan seorang muslim boleh mengerjakan shalat Dhuha empat rakaat secara bersambungan, sebagaimana layaknya shalat wajib empat rakaat. Hal itu ditunjukkan oleh kemutlakan lafazh hadits-hadits mengenai hal tersebut yang telah disampaikan sebelumnya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :”Ruku’lah untuk-Ku dari permulaan siang empat rakaat”. Dan juga seperti sabda beliau: ”Barangsiapa mengerjakan shalat (Dhuha) empat rakaat maka dia ditetapkan termasuk golongan ahli ibadah.” Wallahu a’lam.

[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_______

Footnote:

[1]. Kata sulaamaa adalah bentuk mufrad (tunggal) dan jamaknya adalah as-sulaamiyaatu yang berarti ruas jari-jemari. Kemudian kata itu dipergunakan untuk seluruh tulang dan ruas badan. Lihat kitab, Syarh Muslim, An-Nawawi V/233
[2]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, di dalam kitab Shalaatut Musaafirin wa Qashruha, bab Istihbaabu Shalaatidh Dhuha wa Anna Aqallaha Rak’aatani wa Akmalaha Tsamaanu Raka’aatin wa Ausathuha Arba’u Raka’aatin au Sittin wal Hatstsu ‘alal Muhaafazhati ‘alaiha, (hadits no. 720). Lihat juga kitab, Jami’ul Ushuul (IX/436)
[3]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam kitab, Al-Musnad (VI/440 dan 451). Dan juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalaah, bab Maa Jaa-a fii Shalaatidh Dhuha, (hadits no. 475)
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan: "Hasan gharib” Dan dinilai shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi. Juga dinilai shahih oleh Al-Albani di dalam kitab, Shahih Sunan At-Tirmidzi, (I/147). Serta dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab, Jaami’ul Ushuul (IX/4370.
[4]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (II/228), Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak (I/314), dan lafazh di atas milik keduanya. Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Ausath (II/279-Majma’ul Bahrain) tanpa ucapan: ”Dan ia adalah shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaabiin)”.
Dan hadits di atas dinilai shahih oleh Al-Hakim dengan syarat Muslim. Dan dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab, Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah (hadits no. 1994).
[5]. Majmuu’al Al-Fataawaa (XXII/284)
[6]. Dan inilah yang tampak, yang ditunjukkan oleh hadits-hadits terdahulu. (Nailul Authaar III/77).
Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah menetapkan kesepakatan para ulama tas sunnahnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus, kemudian menetapkan hukum sunnatnya, dimana dia mengatakan : “Muncul pertanyaan: "Apakah yang lebih baik, mengerjakan secara terus menerus ataukah tidak secara terus menerus seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Inilah di antara yang mereka perdebatkan”. Dan yang lebih tepat adalah dengan mengatakan: ”Barangsiapa mengerjakan qiyaamul lail secara terus menerus, maka tidak perlu lagi baginya untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan barangsiapa yang tertidur sehingga tidak melakukan qiyamul lail, maka shalat Dhuha bisa menjadi pengganti bagi qiyamul lail” Majmu Al-Fataawaa (XXII/284).
Dapat saya katakan, (tetapi) lahiriyah nash menunjukkan disunnatkannya secara mutlak untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meninggalkan suatu amalan padahal beliau sangat suka untuk mengerjakannya karena beliau takut hal tersebut akan dikerjakan secara terus menerus oleh umat manusia sehingga akan diwajibkan kepada mereka. Dan inilah illat (alasan) tidak dikerjakannya shalat Dhuha secara terus menerus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, nash-nash itu secara mutlak seperti apa adanya. Hal yang serupa seperti itu telah diisyaratkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, lihat kitab Jaami’ul Ushuul (VI/108-109).
[7]. Ath-Thibi mengatakan : “Shalat ini disebut shalat Isyraq, yaitu permulaan shalat Dhuha. Dia nukil di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/405)
Dapat saya katakan, telah saya sampaikan kepada anda mengenai hal itu yang lebih luas dari sekedar isyarat ini. Lihat pembahasan tentang shalat Isyraq sebelumnya.
[8] Hadits hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalah, bab Dzikru Maa Yustahabbu minal Julus fil Masjid Ba’da Shalaatish Shubhi Hatta Taathlu’a Asy-Syams
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan :”Hasan gharib”. Dengan beberapa syahidnya, hadits ini dinilai hasan oleh Al-Mubarakfuri di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/406). Dan disepakati oleh Syaikh Akhmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi (II/481). Juga dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi (I/182). Dan dengan beberapa syahidnya, dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab Jaami’ul Ushuul (IX/401).
Dapat saya katakan, di antara syahidnya adalah hadist berikutnya.
[9]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Mu’jamul Kabiir (VIII/174), 181 dan 209)
Sanad hadits di atas dinilai jayyid oleh Al-Mundziri dan Al-Haitsami. Dan dinilai hasa oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wa Tarhiib (I/189). Dan lihat juga kitab, Majmu’uz Zawaa’id (X/104)
[10]. Di dalam kitab, Syarh An-Nawawi (VI/30). Imam Nawawi mengatakan : Ar-Ramdhaa’ berarti kerikil yang menjadi panas oleh sinar matahari. Yaitu, ketika anak-anak unta sudah merasa panas. Al-Fushail berarti anak unta yang masih kecil”. Lihat juga, Nailul Authaar (II/81)
[11]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalaatul Musaafirin wa Qasruha, bab Shalatut Awaabiin Hiina Tarmudhil Fihsaal, hadits no. 748.
[12]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya
[13]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya
[14]. Hadits shahih lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab Asy-Syamaa’il, bab Shalatudh Dhuha, (hadits no. 273) hadits ini dinilai shahih lighairihi di dalam kitab, Mukhtashar Asy-Syamaailil Muhammadiyyah, (hal. 156). Beberapa sahid dan jalannya telah disebutkan di dalam kitab Irwaaul Ghaliil (II/216).
[15]. Di dalam hadits tersebut terdapat bantahan bagi orang yang mengaku bahwa shalat ini adalah shalat al-fath (pembebasan), bukan shalat Dhuha. Lihat kitab, Zaadul Ma’ad (III/4100 dan juga Aunul Ma’buud (I/497)
[16]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam beberapa tempat di antaranya : Kitaabut Tahajjud, bab Shalaatudh Dhuhaa fis Safar (hadits no. 1176). Dan juga Muslim di dalam Kitaabul Haidh, bab Tasturuk Mughtasil bi Tsaubin au Nahwahu (hadits no. 336). Dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan lihat juga kitab Jaami’ul Ushuul (VI/110).
[17]. Hadits ini disebutkan oleh Al-Haitsami di dalam kitab Majma’uz Zawaa’id (II/237) dan dia mengatakan : Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Kabiir. Di dalamnya terdapat Musa bin Ya’qub Az-Zam’i. Dinilai tsiqah oleh Ibnu Mu’in dan Ibnu Hibban serta dinilai dha’if oleh Ibnul Madini dan lain-lainnya. Dan sisa rijalnya adalah tsiqah.
Dapat saya katakan, Musa bin Ya’qub seorang yang shaduq, yang mempunyai hafalan buruk, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab, At-Taqriib (hal. 554). Dan diriwayatkan oleh Al-Bazzar di dalam kitab Kasyful Astaar (II/334), yang diperkuat oleh syahid dari Abu Dzar. Dan disebutkan oleh Al-Mundziri di dalam kitab At-Targhiib. Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyalahu ‘anhuma dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wat Tarhiib (I/279).
[18]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalatul Musafirin wa Qasruha, bab Istihbaabu Shaalatid Dhuha wa Anna Aqallaha Rak’ataani wa Akmalaha Tsamaanu Rak’atin wa Ausathuha Arba’u Rak’atin au Sittin wa Hatstsu ‘alal Muhaafazhati Alaiha, (hadits no. 719).
[19]. Hadits shahih. Takhrijnya sudah diberikan sebelumnya.

Peringatan!:

Ada sebuah riwayat untuk hadits Ummu Hani terdahulu dengan lafazh:  “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam pernah mengerjakan shalat Dhuha delapan rakaat. Beliau mengucapkan salam setiap dua rakaat’. Dan hadits Ummu Hani asalnya terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain, tetapi tidak dengan lafazh ini.
Dan diriwayatkan oleh Abud Dawud di dalam Kitaabush Shalaah, bab Shalatudh Dhuha (hadits no. 1234, II/234).
Dan dalam sanad yang ada pada keduanya terdapat Iyadh bin Abdillah. Yang meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Wahb. Mengenai pribadi Iyadh ini. Abu Hatim mengatakan: ”Dia bukan seorang yang kuat”. Dan Ibnu Hibban menyebutnya di dalam deretan tsiqat. As-Saaji mengatakan:  “Darinya, Wahb bin Abdillah meriwayatkan beberapa hadits yang di dalamnya masih mengandung pertimbangan”. Yahya bin Ma’in mengatakan: ”Dia seorang yang haditsnya dha’if." Abu Shalih mengatakan: ”Ditegaskan, dia memiliki kesibukan yang luar biasa di Madinah, di dalam haditsnya terdapat sesuatu” Al-Bukhari mengatakan: “Haditsnya munkar” Tahdziibut Tahdziib (VIII/201).
Dapat saya katakan, haditsnya di sini diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, darinya. Yang tampak secara lahiriyah dari keadaan orang ini, bahwa dia tidak dimungkinkan untuk meriwayatkan seorang diri, sedangkan lafazh ini dia riwayatkan sendiri. Wallahu a’lam
Dengan lafazh ini, hadits ini dinilai dha’if (lemah) oleh Al-Albani di dalam komentarnya terhadap kitab Shahih Ibni Khuzaimah (II/234). Dalam penjelasannya, dia menguraikan secara rinci illatnya di dalam kitab. Tamamul Minnah (hal. 258-259)


>> TAMBAHAN:

MENIMBANG KEHUJJAHAN SHALAT ISYROQ

Kata “Isyraq” memiliki arti terbit. Kata Isyraq dalam pengertian ini digunakan dalam Al-Qur’an:

إِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ

“Sungguh kami telah menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Nabi Dawud) pada waktu petang dan pagi.” (Q.S. Shad: 18)

Sehubungan dengan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan:

أَيْ: إِنَّهُ تَعَالَى سَخَّرَ الْجِبَالَ تُسَبِّحُ مَعَهُ عِنْدَ إِشْرَاقِ الشَّمْسِ وَآخِرِ النَّهَارِ

“Yakni Allah Swt. menundukkan gunung-gunung yang bertasbih Bersama Nabi Dawud di saat matahari terbit dan di penghujung siang hari.” [1]

Dari pemaknaan ini dapat diambil petunjuk bahwa shalat Isyraq adalah shalat yang dilakukan saat terbitnya matahari.  

Istilah shalat Isyraq boleh jadi lebih asing di telinga umat jika dibandingkan dengan shalat Dhuha yang juga dilaksanakan pada waktu yang relatif hampir bersamaan.

Karena itu timbul pertanyaan, adakah perbedaan di antara keduanya? Atau kedua shalat tersebut sejatinya adalah sama namun hanya berbeda istilah saja?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat: antara yang pro pembedaan dengan yang pro penyamaan di antara keduanya.

Di antara ulama yang pro pembedaan adalah Imam Al-Ghazali. Menurut Imam Al-Ghazali, shalat Isyraq berbeda dengan shalat Dhuha, dalam arti shalat Isyraq merupakan syariat tersendiri yang tidak sama dengan syariat shalat Dhuha.

Namun menurut pendapat yang lain, seperti Imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, shalat Isyraq dan shalat Dhuha adalah shalat yang sama berdasarkan hadis yang menyebutkan bahwa shalat pada waktu Isyraq disebut juga dengan shalat awwabin, sedangkan shalat awwabin merupakan nama lain dari shalat Dhuha. [2]

Menurut ulama yang pro pembedaan di antara kedua shalat itu, bahwa orang yang pertama kali mempopulerkan shalat setelah terbitnya matahari dengan sebutan shalat  Isyraq adalah Hujjatul Islam Al-Ghazali.

Beliau berdalil dengan hadis Ali Ra. Berikut:

كَانَ إِذَا أَشْرَقَتْ وَارْتَفَعَتْ قَامَ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَإِذَا انْبَسَطَتْ الشَّمْسُ وَكَانَتْ فِي رَبْعِ النَّهَارِ مِنْ جَانِبِ الْمَشْرِقِ صَلَّى أَرْبَعًا

“Rasulullah saw berdiri untuk shalat dua rakaat ketika matahari terbit dan mulai menjulang tinggi dari arah timur, dan apabila matahari memanjang yaitu saat seperempat siang dari arah timur, beliau kembali melakukan shalat empat rakaat” [3]

Dari hadis ini tampak jelas terlihat adanya perbedaan sikap Nabi Saw pada waktu Isyraq dengan melaksanakan shalat dua rakaat, sedangkan pada waktu Dhuha beliau melaksanakan shalat empat rakaat.

Sementara menurut ulama yang pro penyamaan di antara kedua shalat itu, bahwa orang yang pertama kali mempopulerkan shalat dhuha dengan istilah Shalat Isyraq adalah Ibnu Abbas Ra. sebagaimana hadis berikut:

Dari Abdullah bin Al-Harits, bahwa Ibnu Abbas pernah tidak shalat Dhuha sampai-sampai kami mengajaknya masuk menemui Ummi Hani. Maka aku mengatakan pada Ummi Hani, “Kabarilah Ibnu Abbas tentang apa yang engkau kabarkan pada kami.” Kemudian Ummu Hani mengatakan, “Rasulullah saw datang di rumahku, lalu shalat dhuha sebanyak delapan rakaat.” Kemudian Ibnu ‘Abbas keluar sambal mengatakan, “Aku telah membaca antara dua sisi mushaf, aku tidaklah mengenal shalat Isyraq kecuali sesaat, yaitu firman Allah:

( يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ) ، ثُمَّ قَالَ اِبْنُ عَبَّاسٍ : هَذِهِ صَلاَةُ الإِشْرَاقِ

“Mereka pun bertasbih di petang dan waktu isyraq.” (QS. Shaad: 18). Kemudian Ibnu ‘Abbas Ra. berkata, “Ini adalah shalat Isyraq.” HR. Al-Hakim dan Ath-Thabrani. [4]

Dengan dalil ini, pihak yang pro penyamaan menyimpulkan bahwa Shalat Isyraq adalah permulaan shalat Dhuha, karena waktu shalat Dhuha itu dimulai dari terbitnya matahari.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang shalat Isyraq dan shalat Dhuha, lalu beliau menjawab, "Shalat sunnah isyraq adalah shalat sunnah Dhuha, akan tetapi jika ditunaikan segera sejak matahari terbit dan meninggi seukuran tombak, maka dia disebut shalat Isyraq, jika dilakukan pada akhir waktu atau di pertengahan waktu, maka dia dinamakan shalat Dhuha.

Akan tetapi secara keseluruhan dia adalah shalat Dhuha. Karena para ulama berkata, bahwa waktu shalat Dhuha adalah sejak meningginya matahari seukuran tombak hingga sebelum matahari tergelincir." [5]

Penyebab Perbedaan dipicu Hadis Tentang Shalat Isyraq

Hemat kami, munculnya perbedaan pemahaman tentang shalat Isyraq sebagai ibadah tersendiri atau Shalat Isyraq sebagai permulaan shalat Dhuha tak bisa dilepaskan dari keberadaan sejumlah hadis berikut
  • Pertama: Riwayat Imam At-Tirmidzi

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ

Dari Anas bin Malik dia berkata, Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa shalat subuh berjama'ah, kemudian duduk berdzikir sampai matahari terbit, lalu shalat dua raka'at, niscaya dia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah." Ia (Anas) berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Sempurna, sempurna, sempurna." HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, II: 482, No. 586.

Kalimat:

حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

“sampai matahari terbit, lalu shalat dua raka'at” menurut Imam Al-Mubarakafuri, “Yaitu setelah matahari terbit” Imam Ath-Thibiy berkata:

أَيْ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَ أَنْ تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ قَدْرَ رُمْحٍ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُ الْكَرَاهَةِ ، وَهَذِهِ الصَّلَاةُ تُسَمَّى صَلَاةَ الْإِشْرَاقِ ، وَهِيَ أَوَّلُ صَلَاةِ الضُّحَى

“Yaitu kemudian shalat setelah matahari meninggi seukuran tombak sehingga lewat waktu dimakruhkan shalat, dan shalat ini dinamakan shalat Isyraq, yaitu awal shalat dhuha.” [6]

Derajat Hadist:

Para ahli hadis berbeda penilaian terhadap kehujjahan hadis ini. Sebagian menilainya sebagai hadis Shahih/hasan, namun sebagian yang lain menilainya sebagai hadis dha’if disebabkan terdapat rawi Abu Zhilal Hilal Al-Qasmaliy.

Hadis ini dinilai hasan oleh Imam At-Tirmidzi, dengan mengatakan: “Haadzaa Haditsun hasanun ghariebun” [7]

Hemat kami, penilaian hasan apalagi shahih pada hadis ini layak ditinjau kembali, mengingat pada kapasitas intelektual (Dhabth) atau integritas moral (‘Adalah) rawi Abu Zhilal Hilal Al-Qasmaliy terdapat cacat, sebagaimana dinyatakan para ulama berikut:

Imam Yahya bin Ma’in, Guru Imam al-Bukhari, menilainya dha’if. Abbas Ad-Dury berkata:

عن يحيى بن معين : أَبُو ظِلَالٍ هو هِلَالُ الْقَسْمَلِيُّ ضَعِيفٌ لَيْسَ بِشَيْءٍ

Dari Yahya bin Ma’in: “Abu Zhilal adalah Hilal Al-Qasmaliy, ia dh’aif, laisa bi syai’in (tidak bernilai sama sekali).” [8]

Rawi itu dinilai dhaif pula oleh para ulama lainnya, semisal Imam Abu Hatim[9], Imam Al-Bukhari[10] (dengan ungkapan ia mempunyai hadis-hadis munkar), Imam Muslim dan An-Nasai[11] (dengan ungkapan Laisa bi Syai’in) dan Imam Ibnu Hiban mengatakan:

شَيْخٌ مُغَفَّلٌ لَا يَجُوزُ الِاحْتِجَاجُ بِهِ بِحَالٍ يَرْوِي عَنْ أَنَسٍ مَا لَيْسَ مِنْ حَدِيِثِهِ

“Syekh yang lemah ingatan, tidak boleh dipakai hujjah dalam keadaan apapun, ia meriwayatkan sesuatu dari Anas yang bukan dari hadisnya.” [12]

Ia dinilai dhaif pula oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar[13] dan Imam Adz-Dzahabi[14]

Dari berbagai penjelasan itu, kami cenderung mengikuti para ulama yang mendhaifkan hadis ini mengingat dijelaskan sebab dhaifnya (Mufassar).
  • Kedua, Riwayat Imam at-Thabrani

مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي جَمَاعَةٍ، ثُمَّ ثَبَتَ فِي الْمَسْجِدِ يُسَبِّحُ اللَّهَ سُبْحَةَ الضُّحَى كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ وَمُعْتَمِرٍ تَامًّا لَهُ حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ

“Barangsiapa shalat subuh secara berjamaah, kemudian tetap berada di masjid sambil bertasbih kepada Allah dengan shalat sunat dhuha, ia akan mempunyai pahala seperti pahala haji dan umrah yang sempurna haji dan umrahnya.” HR. Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, XV:123, No. 13.764

Derajat Hadist:

Para ahli hadis berbeda penilaian terhadap kehujjahan hadis ini. Sebagian menilainya sebagai hadis Shahih/hasan, namun sebagian yang lain menilainya sebagai hadis dha’if disebabkan terdapat rawi Al-Ahwash bin Hakim.

Imam Al-Haitsami berkata:

رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَفِيهِ الْأَحْوَصُ بْنُ حَكِيمٍ، وَثَّقَهُ الْعِجْلِيُّ وَغَيْرُهُ، وَضَعَّفَهُ جَمَاعَةٌ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ وَفِي بَعْضِهِمْ خِلَافٌ لَا يَضُرُّ

“Hadis itu diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, dan pada sanadnya terdapat rawi Al-Ahwash bin Hakim. Ia dinilai tsiqah oleh Al-‘Ijli dan lainnya, dan dinilai dhaif oleh sekelompok ulama, sedangkan para rawi lainnya tsiqah, dan pada sebagian mereka terdapat khilaf yang tidak merusak.” [15]

Para ulama yang menilai dhaif Al-Ahwash bin Hakim, antara lain Imam Abu Hatim dan ad-Daraquthni dengan mengatakan, “Munkar Al-Hadits.”[16] Ia dinilai dhaif pula oleh Imam An-Nasai.[17] Menurut Al-Hafzih Ibnu Hajar, “Ia lemah hapalannya (Dha’if Al-Hadits)” [18]

Dari berbagai penjelasan itu, kami cenderung mengikuti para ulama yang mendhaifkan hadis ini mengingat dijelaskan sebab dhaifnya (Mufassar).
  • Ketiga, Riwayat Imam Al-Baihaqi

عَنْ حَسْنِ بْنِ عَلِيٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ قَعَدَ فِي مَجْلِسِهِ يَذْكُرُ اللهَ

حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ أَنْ تَلْفَحَهُ أَوْ تَطْعَمَهُ "

Dari Hasan bin Ali ra, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa shalat subuh kemudian ia duduk di majelisnya berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia shalat dua rakaat, niscaya Allah akan haramkan dirinya dijilat atau dimakan api neraka’.” Syu’ab Al-Iman, IV: 384, No. 2697.

Derajat Hadist:

Para ahli hadis sepakat dalam menilai hadis ini derajatnya sangat dha’if disebabkan terdapat rawi Sa’ad bin Tharif. Kata Imam Al-Mubarakafuri:

قَالَ ابْنُ مَعِينٍ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَرْوِيَ عَنْهُ وَقَالَ أَحْمَدُ وَأَبُو حَاتِمٍ ضَعِيفُ الْحَدِيثِ وَقَالَ النَّسَائِيُ وَالدَّارَقُطْنِيُّ مَتْرُوْكٌ وَقَالَ ابْنُ حِبَّانَ كَانَ يَضَعُ الْحَدِيثَ عَلَى الْفَوْرِ وَقَالَ الْبُخَارِيُّ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ عِنْدَهُمْ كَذَا فِي الْمِيزَانِ

“Ibnu Ma’in berkata, ‘Tidak halal bagi seorang pun meriwayatkan darinya.’ Ahmad dan Abu Hatim berkata, ‘Ia Dha’if Al-Hadits.’ An-Nasai dan Ad-Daraquthni berkata, ‘Ia Matruk.’ Ibnu Hiban berkata, ‘Ia memalsukan hadis dengan segera.’ Al-Bukhari berkata, ‘Ia tidak kuat menurut mereka.’ Demikian dalam Mizan Al-I’tidal.” [19]

Dalam penilaian Imam Abu Hatim, “Sa’ad Munkar Al-Hadits.” [20] Penilaian yang tidak kalah tegas disampaikan pula oleh Imam Ibnu Al-Jawziy, “Sa’ad bin Tharif, ia memalsukan hadis” [21]
  • Keempat, Riwayat Imam Ahmad

عَنْ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ اَلْجُهَنِي، أَنَّ رَسُولَ اللهِ r. قَالَ: مَن قَعَدَ في مُصَلاَّهُ حِينَ يَنْصَرِفُ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى يُسَبِّحَ رَكعتَيْ الضُّحَى لاَ يَقُولُ إِلاَّ خَيْراً، غَفَرَ اللهُ خَطَايَاهُ وإِن كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ.

Dari Mu'adz bin Anas Al-Juhani, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Siapa yang duduk di tempat salatnya setelah salat Subuh tatkala (yang lain) pergi hingga salat Duha dua rakaat dan tidak mengatakan kecuali kebaikan, maka Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya  walaupun semisal banyaknya buih di lautan." HR. Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 24, hlm. 387-388.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud, Al-Baihaqi, Ath-Thabrani, Melalui jalur yang sama: Zabban bin Faa’id/Faayid, dari Sahl bin Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy, dari Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy. [22]

Derajat Hadist:

Para ahli hadis sepakat dalam menilai hadis ini derajatnya sangat dha’if disebabkan terdapat rawi bernama Zabban bin Faa’id/Faayid dan Sahl bin Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy. Kata Imam Al-Mundziri, “Sahl bin Mu’adz Dha’if dan Zabban bin Faayid Al-Hamrawi, rawi yang menerima dari Sahl bin Mu’adz dha’if pula”[23]

Kata Imam Badruddin Al-‘Ainiy, “Pada Sanadnya terdapat rawi Zabban bin Faa’id, ia dinilai dhaif oleh Ibnu Ma’in, dan Ahmad berkata, “Hadis-hadisnya Munkar” [24]

Berkenaan dengan rawi Sahl bin Mu’adz, Ibnu Hiban berkata:

لا يعتبر حديثه ما كان من رواية زبان بن فائد عنه

“Hadisnya tidak teranggap selama hadis itu termasuk riwayat Zabban bin Faa’id darinya” [25]

Sementara berkenaan dengan rawi Zabban bin Faa’id, Ibnu Hiban berkata:

منكر الحديث جدا ، يتفرد عن سهل بن معاذ بنسخة كأنها موضوعة لا يحتج به

“Sangat munkar Al-Hadits, hanya ia sendirian yang meriwayatkan suatu naskah dari Sahl bin Mu’adz, seakan-akan naskah itu dipalsukan, ia tidak bisa dipakai hujjah.”[26]

Dari berbagai penjelasan para ulama tentang kehujahan hadis shalat Isyraq sebagaimana terurai di atas, tidak berlebihan sekiranya disimpulkan: 
  1.     Hadis-hadis yang menerangkan shalat pada saat isyraq/syuruq (matahari terbit) tidak dapat dijadikan sebagai hujjah kesunnahan shalat Isyraq, karena statusnya dhaif.
  2.     Hadis-hadis yang menerangkan shalat pada saat isyraq/syuruq tidak dapat dijadikan hujjah bahwa waktu utama shalat dhuha pada saat isyraq/syuruq karena status hadis-hadisnya dhaif
Analisa Kehujahan Shalat Isyraq adalah Shalat Dhuha dari Aspek Waktu

Dalam kamus bahasa Arab disebutkan bahwa kata Ad-Duha, ad-Dhahwu, ad-Dhahwah, dan ad-Dhahaa’u berarti Waktu duha (waktu matahari terbit/naik).[27]

Menurut Syekh Dr. Wahbah Az-Zuhaili:

وَأَصْلُ مَعنَى الضُّحَى: وَقْتُ ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ وَإِضَاءَةِ الدُّنْيَا أَوَّلَ النَّهَارِ

“Makna asal Duha adalah waktu matahari meninggi dan bumi mulai bercahaya pada awal siang.”[28]

قَالَ الخَطَابِيُّ : اَلْمُرَادُ وَقْتُ الضُّحَى وَهُوَ صَدْرُ النَّهَارِ حِيْنَ تَرْتَفِعُ الشَمْسُ وَتُلْقِي شِعَاعَهَا

Imam Al-Khathabi berkata, “Duha ialah waktu permulaan siang tatkala matahari meninggi dan memancarkan cahayanya.” [29]

Ibnu Sayyidah menerangkan, “Sebagian ahli bahasa mengatakan, ‘Ad-Duha wa Ad-Dhahaa adalah satu waktu atau menunjukkan waktu yang sama. Namun menurut sebagian besar ahli bahasa, bahwa Ad-Duha (waktu) dimulai ketika matahari terbit sampai membentangnya siang dan matahari dalam keadaan sangat putih sekali. Kemudian setelah itu disebut Ad-Dhahaa sampai dekat ke tengah hari. Dan terkadang, matahari disebut Duha dikarenakan jelasnya (cahaya matahari) pada waktu itu.”[30]

Sementara menurut pemahaman dan perhitungan Dewan Hisbah bersama Dewan Hisab dan Rukyat PP Persis disepakati bahwa: Dilihat dari ukuran waktu, dhuha mulai masuk sekira 15 menit setelah syuruq (terbit matahari). Sedangkan waktu afdhal shalat dhuha adalah saat anak unta kepanasan yakni sekitar jam 09.00-11.00. Adapun akhir waktu Dhuha 5 menit sebelum waktu zhuhur. [31]

Dengan demikian, hemat kami tidak tepat pendalilan bahwa shalat Isyraq adalah shalat Dhuha dilihat dari aspek kesamaan waktu, mengingat perbedaan waktu di antara keduanya, yakni waktu Dhuha dimulai 15 menit setelah syuruq. Wallaahu A’lam.

Penulis: K.H. Amin Muchtar (Sekretaris Dewan Hisbah PP PERSIS)

_____

Catatan kaki:

[1] Tafsir Ibnu Katsir, 7/57

[2] Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, karya Ibnu Hajar Al-Haitami, 1/188

[3] Ihya ‘Ulum Ad-Din, 1/197

[4] HR. Al-Hakim, Al-Mustadrak, 4/53, No. 6965, Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, 24/406, No. 22652

[5] Liqaa’aat Al-Bab Al-Maftuh, 24/141

[6] Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, 3/158

[7] Sunan At-Tirmidzi, 2/482

[8] Tahdzib At-Tahdzib, 11/75, lihat pula Hady As-Sariy Muqaddimah Fath Al-Bari, hlm. 459

[9] Al-Jarh wa At-Ta’dil, 10/73

[10] Tahdzib At-Tahdzib, 4/292

[11] Ikmal Tahdzib Al-Kamal, 12/179

[12] Tahdzib At-Tahdzib, 4/292

[13] Taqrib At-Tahdzib, 1/1028

[14] Al-Kasyif fii Ma’rifah man lahu Riwayah fii Al-Kutub As-Sittah, 4/438

[15] Majma’ Az-Zawaa’id wa Manba’ul Fawaa’id, 10/104

[16] Al-Jarh wa At-Ta’dil, 2/327, Tahdzib Al-Kamal, 2/289, Ad-Dhu’afa wal Matrukin, 1/92.

[17]Tahdzib Al-Kamal, 2/289

[18]Taqrib At-Tahdzib, 1/121

[19] Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, 2/71

[20]Tahdzib At-Tahdzib, 1/693, Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, 2/71.

[21] Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah fii Al-Ahadits Al-Wahiyah, 2/225

[22] HR. Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, 1/496, No. 1287), Al-Baihaqi (As-Sunan Al-Kubra, 3/49, No. 4985), Ath-Thabrani (Al-Mu’jam Al-Kabir, 2/196, No. 18.619).

[23]‘Awn Al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, 1/496

[24]‘Umdah Al-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, 7/145

[25]At-Tsiqat, 4/321

[26]Tahdzib At-Tahdzib, 1/621, Ikmaal Tahdzib Al-Kamal, 5/31

[27] Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, edisi II, hlm. 814, Pustaka Progressif, 1997

[28] At-Tafsir Al-Munir, Juz 5, hlm. 19, Dar al-Fikr, 1432 H/2011 M.

[29] ‘Awn al-Ma'bud, Juz 4, hlm. 119, Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 1428 H/2007 M.

[30] Al-Mukhashash, jilid 4, hlm. 55, Al-Muhkam wal Muhith Al-Adham, jilid 2, hlm. 80

[31] Keputusan Sidang Terbatas Dewan Hisbah, 3 Maret 2016

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.