Type Here to Get Search Results !

 


PENEBUS GHIBAH


Pertanyaan:

Terkait dengan penebus ghibah, apakah cukup dengan mengucapkan:

رب اغفر لي وللمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات

‘Wahai Tuhanku, ampunilah daku serta orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, muslim laki-laki dan perempuan’

Untuk memintakan ampunan bagi orang yang dighibahi ataukah harus menyebut namanya dalam mendoakannya?

Jawaban:

Ghibah merupakan dosa besar, tidak diragukan bahwa semua umat Islam telah mengetahui akan hal ini, mengetahui bahwa orang yang berbuat ghibah terhadap seseorang akan mendapatkan siksa di sisi Allah Ta’ala. Bahaya dosa ini dilihat dari dua sisi;
  1.     Perkara ini terkait dengan hak seorang hamba, maka masalahnya mengandung bahaya besar. Karena dengan demikian dia telah berbuat aniaya dan zalim kepada seseorang.
  2.     Perkara ini merupakan kemaksiatan yang sangat mudah dilakukan kebanyakan orang kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah. Sesuatu yang mudah menurut perkiraan orang biasanya dianggap ringan, padahal di sisi Allah sangat besar.
Terkait dengan tebusan ghibah, ada beberapa perkara penting yang layak diperhatikan:
  • Pertama: Telah disebutkan di website kami berbagai fatwa yang menjelaskan bahwa tebusan ghibah dilakukan dengan memintakan ampunan untuk orang yang dighibahi, berdoa kebaikan untuknya, memujinya di tempat yang dighibahi.
  • Kedua:  Sesungguhnya ketentuan bahwa istigfar itu sebagai penebus ghibah, tidak berarti (kalau telah melaksanakannya) itu sudah cukup. Karena asal dosa itu sendiri tidak dapat dihapus melainkan dengan taubat yang jujur yang disertai dengan meninggalkan (dosa), menyesal, tidak mengulangi dan kejujuran hati dalam berinteraksi dengan Sang Pencipta Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagi orang yang telah melakukannya, diharapkan dengan taubat ini Allah menghapuskan dosa-dosanya dan mengampuni kesalahannya. Adapun terkait dengan hak-hak seorang hamba dan  kezaliman kepada makhluk. Maka tidak (dapat) dihapuskan melainkan orang (tersebut) telah memaafkan dan menghapuskannya. Dalil tersebut telah ada dalam sunnah Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ketika beliau bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ  (رواه البخاري، رقم 2449)

“Siapa yang mempunyai kezaliman kepada saudaranya baik dari kehormatan atau sesuatu hal, maka mohonlah dihalalkan darinya sekarang (pada hari ini) sebelum tidak berguna lagi dinar dan dirham. Kalau dia mempunyai amal shaleh, maka akan diambil darinya sesuai dengan kadar kezalimannya. Kalau tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan orang tersebut akan diambil dan dibebankan kepadanya.” [HR. Bukhari, no. 2449]

Terdapat perintah untuk meminta dihalalkan dari kezaliman sebelum adanya penghitungan pada hari hisab (perhitungan di hari kiamat). Maka, saat itu tahalul (meminta dihalalkan) dilakukan dengan menukar kebaikan dengan keburukan. Itu jelas merupakan kerugian yang hakiki bagi orang yang berbuat zalim terhadap orang, baik harta, kehormatan maupun darahnya.
  • Ketiga: Seharusnya bagi orang yang ingin terbebaskan dirinya dari dosa ghibah, selayaknya dia berusaha keras meminta dihalalkan dari orang yang digunjingi (ghibahi) dengan memohon dimaafkan olehnya dan dibebaskan dengan kata lembut dan baik. Dianjurkan mengerahkan sepenuh kekuatan sesuai dengan kemampuannya. Bahkan jika harus membeli hadiah mahal dan bernilai, atau memberi bantuan materi, para ulama telah menegaskan kebolehnnya  dalam rangka meminta dihalalkan terkait tanggungannya kepada orang lain.
Namun, ketika para ulama salafushaleh dan para ahli fiqih rabbani memandang jika meminta maaf dari seseorang dalam masalah ghibah kadang– dalam beberapa kondisi – menyebabkan keburukan yang lebih besar, seperti sakit hati, atau pemutusan hubungan, benci dan iri hati serta perkara lainnya yang hanya diketahui Allah saja, maka sebagian ulama memberi keringanan untuk tidak meminta maaf. Mereka berharap permintaan itu dapat diganti dengan beristigfar untuk orang yang dighibahi, mendoakan dan menyanjungnya di saat dia tidak ada. Meskipun ulama lainnya berpendapat bahwa ghibah tidak dapat dihapus melainkan pengampunan dari orang yang dizaliminya. Akan tetapi yang benar adalah, kalau orang yang terjerumus dalam ghibah bertaubat secara jujur tidak diharuskan memberitahu orang yang dighibahi, apalagi kalau khawatir terjadi akibat buruk sebagaimana yang terjadi pada umumnya.

Jadi memintakan ampunan dosa untuk orang yang dighibahi adalah uzur khusus dan kondisi darurat yang dalam syariat  diajarkan untuk mengutamakan menghindari kerusakan dibanding mendatangkan kemaslahatan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan kekeliruan orang yang meremehkan dosa ghibah secara sengaja dengan alasan bahwa istigfar cukup untuk menghapus kemaksiatan itu. Dia tidak tahu bahwa padanya terjadi kekeliruan dari tiga sisi;
  1.     Dia lupa bahwa syarat utama taubat adalah menyesal, meninggalkan dan kembali kepada Allah Ta’ala dengan sebenarnya. Persyaratan ini banyak orang yang tidak mendapatkan taufiq untuk merealisasikannya.
  2.     Pada dasarnya, penghapusan dosa terhadap hak orang lain adalah bersegera memohon maaf darinya. Tapi, jika menurut perkiraan memberitahu orang yang dighibahi akan berdampak negatif yang lebih besar, maka ketika itu merujuk kepada istigfar. Kalau tidak, asalnya adalah memohon maaf kepada orang yang dizaliminya.
  3.     Hal itu menunjukkan kalau orang yang dighibahi telah sampai berita kepadanya lewat orang lain –pada kondisi seperti ini- maka dia harus langsung meminta maaf. Agar sakit hati orang yang dighibahi dapat hilang. Kalaupun hal tersebut membuat orang itu  menjadi tidak suka atau dengki dan tidak memaafkan. Maka tidak ada jalan lain,  kecuali memohonkan ampun  dan berdoa untuknya.
  • Keempat: Kemudian setelah itu semua, apakah penanya beranggapan bahwa ungkapann istigfar secara umum ( اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات = Ya Allah ampunilah orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan) cukup untuk menghapus dosa ghibah?
Kami katakan, ketika kita berharap bahwa doa dan istigfar itu dapat menghapus dosa-dosa, seharusnya kita jujur kepada Allah dengan doa ini, iklas dalam meminta, menggapai kepadanya dengan wasilah, mengulang-ulang di tempat-tempat yang mustajabah, kita berdoa di dalamnya dengan semua kebaikan dan barokah baginya untuk dunia dan akhirat. Tidak diragukan lagi bahwa pada kondisi doa seperti ini, mengandung pengkhususan kepada orang yang didoakan, baik dengan menyebutkan namanya atau sifatnya dengan mengatakan ‘Ya Allah ampunilah diriku dan orang yang yang saya ghibahi dan saya zalimi. Ya Allah, maafkan kami dan dia sampai akhir yang mampu anda doakan. Sementara redaksi secara umum, itu sepertinya tidak cukup dalam merealisasikan pengharapan kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana anda menggunjingnya dengan (menyebut) nama atau sifatnya dan secara khusus menyakitinya. Begitu juga seyogyanya istigfar dan doa dikhususkan juga. Agar seimbang antara dosa dan kebaikan.
  • Kelima: Penting diperhatikan bahwa yang dimaksud istigfar dan doa adalah menolak keburukan dengan kebaikan dan membalas dengannya. Maka tidak harus hanya dengan istigfar tanpa amalan lain. Bahkan mungkin anda beramal saleh agar pahalanya anda persembahkan kepada orang yang anda gunjingi. Seperti anda bershodaqah untuknya, memberikan bantuan kepadanya, membantunya saat dia mendapatkan cobaan, sehingga anda berusaha semaksimal mungkin mengganti kejelekan itu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta’la mengatakan dalam kitab Majmu Fatawa, 18/187-189:

“Terkait dengan hak orang yang dizalimi, tidak gugur hanya sekedar bertaubat. Inilah yang benar. Tidak ada perbedaan dalam hal ini, antara pembunuh dan semua pelaku zalim. Barangsiapa yang bertaubat dari kezaliman, tidak hilang hak orang dizalimi hanya dengan bertaubat. Akan tetapi kesempurnaan taubatnya adalah dengan menggantinya sesuai kezalimannya. Kalau tidak diganti di dunia, pasti akan di ganti di akhirat. Pelaku kezaliman diharuskan bertaubat, memperbanyak berbuat kebaikan dan menunaikan hak-hak orang yang dizalimi agar tidak bangkrut. Meskipun begitu, kalau Allah berkehendak mengganti hak orang yang dizalimi dari sisiNya, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Sebagaimana (Allah) kalau berkehendak mengampuni (dosa-dosa) selain syirik bagi orang yang dikehendaki. Oleh karena itu dalam hadits Qishas yang mana Jabir bin Abdullah naik (kendaraan) menuju ke Abdullah bin Unais selama sebulan untuk bertamu dengannya.

Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, 3/495 dan lainnya. Hadits ini dijadikan oleh Bukhari sebagai penguat dalam Shahihnya, dan ia termasuk dalam katagori hadits Tirmizi yang shahih atau hasan, di dalamnya dikatakan,

إذا كان يوم القيامة فإن الله يجمع الخلائق فى صعيد واحد ، يسمعهم الداعى وينفذهم البصر ، ثم يناديهم بصوت يسمعه من بعد كما يسمعه من قرب ، أنا الملك ، أنا الديان ، لا ينبغي لأحد من أهل النار أن يدخل النار وله عند أحد من أهل الجنة حق حتى أقصه منه ، ولا ينبغي لأحد من أهل الجنة أن يدخل الجنة ولأحد من أهل النار عنده حق حتى أقصه منه

“Ketika pada hari kiamat, maka Allah kumpulkan semua makhluk di satu tempat. Lalu terdengar orang yang memanggil, terlihat dalam pandangan mata. Kemudian dipanggil dengan suara yang terdengar orang paling jauh sebagaimana orang yang dekat juga mendengar. Aku adalah Raja, Aku Sang Perkasa. Tidak sepatutnya seorang pun dari penduduk neraka masuk neraka sementara dia masih memiliki hak kepada salah seorang dari penduduk surga sampai diqisas (diambil hak darinya). Dan tidak sepatutnya penduduk surga masuk ke surga, sementara dia masih memiliki hak kepada salah seorang penduduk neraka sampai Aku ambil hak darinya”

Dalam shahih Muslim dari haits Abu Said, ‘Sesungguhnya penduduk surga ketika telah melewati jembatan. Mereka berhenti di Qintoroh antara surga dan neraka. Sebagian menyelesaikan hak kepada sebagian lainnya. Ketika mereka telah dibersihkan dan disucikan, mereka diizinkan untuk masuk surga.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ Dan janganlah sebagian kamu menggunjing kepada sebagian lainnya.”

Mengguncing merupakaan kezaliman kehormatan, kemudian dilanjutkan.

اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ 

“Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” [Al-Hujarat/49: 12]

Mereka telah diingatkan agar bertaubat dari menggunjing dan ia termasuk kezaliman. Hal ini kalau orang yang dizalimi mengetahui pengganti (kezalimannya). Kalau sekiranya orang yang di gunjingi atau dituduh tidak mengetahui hal itu, ada yang mengatakan, bahwa di antara syarat taubatnya adalah memberitahukannya. Ada pula yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak disyaratkan. Ini merupakan pendapat mayoritas. Kedua pendapat tersebut merupakan riwayat dari Imam Ahmad.

Akan tetapi pendapat seperti ini terhadap orang yang dizalimi, hendaknya diimbangi dengan melakukan kebaikan-kebaikan, seperti mendoakan kebaikan, beristigfar, beramal saleh dan dihadiahkan kepadanya sebagai pengganti dari gunjingan dan tuduhan kepadanya.

Hasan Al-Basri mengatakan, ‘Tebusan ghibah adalah memohonkan ampunan kepada orang yang dighibahi.’

Wallahu’alam.



CARA BERTAUBAT DARI DOSA GHIBAH

Yang perlu kita ketahui, bahwa ghibah merupakan dosa yang berkaitan dengan hak Allah. Sehingga pelakunya dituntut untuk bertaubat dan istighfar, juga menyesal serta bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Juga berkaitan dengan hak anak Adam. Sehingga untuk menggugurkan dosa ini, ada syarat selanjutnya yang harus dipenuhi, agar taubatnya diterima dan menjadi sempurna.
Perselisihan Pendapat Ulama Perihal Kafarah Ghibah

Syarat tambahan inilah yang menjadi perbincangan para ulama:
  • Pendapat pertama: mengatakan seorang yang menghibahi saudaranya tebusannya cukup dengan memohonkan ampunan untuk orang yang dighibahi. Mereka berdalil dengan hadits,

كفارة الغيبة أن تستغفر لمن اغتبته

“Tebusan ghibah adalah engkau memintakan ampun untuk orang yang engkau ghibahi.”

Hikmah dari permohonan ampun untuk orang yang di-ghibah-i ini adalah, sebagai bentuk tebusan untuk menutup kezaliman yang telah ia lakukan kepada orang yang dighibahi. Jadi tidak perlu mengabarkan ghibahnya untuk meminta kehalalan kepada orang yang di-ghibah-i.
Daurah Penggerak Dakwah

Pendapat ini dipegang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, murid beliau Ibnul Qayyim, Ibnu Muflih, as-Safarini dan yang lainnya. Bahkan Ibnu Muflih menukilkan dari Ibnu Taimiyyah bahwa pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama [1].

Mereka menguatkan pendapat ini dengan tiga alasan:
  1.     Mengabarkan ghibah kepada orang yang di-ghibah-i akan menimbulkan dampak negatif (mafsadah) yang tak dapat dipungkiri, yaitu akan menambah sakit perasaannya. Karena celaan yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang dicela lebih menyakitkan ketimbang celaan yang dilakukan dengan sepengetahuan orang yang dicela. Dia mengira orang yang selama ini dekat dengannya dan berada di sekelilingnya, ternyata dia telah merobek-robek kehormatannya di balik selimut.
  2.     Mengabarkan ghibah kepada orang yang di-ghibah-i akan menimbulkan permusuhan. Karena jiwa manusia sering kali tidak bisa bersikap obyektif dan adil dalam menyikapi hal seperti ini.
  3.     Mengabarkan ghibah kepada orang yang dighibahi akan memupuskan rasa kasih sayang diantara keduanya. Yang terjadi justru semakin menjauhjan hubungan silaturahim.
Tak diragukan lagi, dampak kerusakan yang timbul dari mengabarkan ghibah ini, lebih buruk daripada pengaruh negatif perbuatan ghibah itu sendiri. Ini menyelisi tujuan syari’at (maqasid asy-syari’ah) yang bertujuan untuk menyatukan hati, memupuk rasa saling menyayangi dan persahabatan. Padahal diantara prinsip yang berlaku dalam syari’at Islam adalah,

تعطيل المفاسد وتقليلها لا على تحصيلها وتكميلها

“Mencegah kerusakan atau keburukan secara merata, atau memperkecil dampaknya. Bukan menimbulkan kerusakan atau menyempurnakan kerusakan” [2].
  • Pendapat kedua: menyatakan, memohonkan ampunan saja tidak cukup. Akan tetapi harus ada usaha meminta kehalalan kepada orang yang dighibahi, agar taubatnya diterima di sisi Allah.
Dan bagi pihak yang di-ghibah-i, seyogyanya untuk memaafkan saudaranya yang meminta kehalalan karena telah menggunjingnya. Agar ia mendapatkan pahala memaafkan kesalahan orang lain dan keridoan Allah terhadap orang-orang yang pemaaf.

Pendapat ini dipegang oleh Abu Hanifah, Syafi’i, Malik dan riwayat dari Imam Ahmad (ketika membahas permasalahan qadzaf (tuduhan palsu); apakah diharuskan menceritakan tuduhannya kepada orang yang telah dituduh, dalam rangka meminta kehalalannya, atau tidak perlu diceritakan) [3].

Ulama yang menguatkan (merajihkan) pendapat ini adalah al-Ghazali, Qurtubi, Imam Nawawi dan ulama – ulama lainnya yang sependapat dengan mereka.

Mereka berdalil dengan hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, yang mana beliau mengatakan,”Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari kiamat yang tidak akan bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih maka akan diambil seukiran kezaliman yang ia perbuat. Bila tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudia dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2449)

Dari hadis ini mereka menyimpulkan, ghibah adalah dosa yang berkaitan dengan hak manusia. Maka dosa tersebut tidak bisa gugur kecuali dengan meminta kehalalan dari orang yang telah ia zalimi.

Mereka menganalogikan (meng-qiyas-kan) masalah ini dengan permasalahan hak harta benda. Dimana bila seorang merusak harta benda milik orang lain atau mengambil tanpa hak, maka bentuk taubatnya adalah dengan menggantinya atau mengembalikannya kepada tuannya.

Mengenai hadis yang dijadikan argumen pendapat pertama,

كفارة الغيبة أن تستغفر لمن اغتبته

“Tebusan ghibah adalah engkau memintakan ampun untuk orang yang engkau ghibahi.”

Mereka menilai bahwa, hadis ini maudhu‘ (palsu) [4], dan matan-nya (pesan yang disampaikan dalam hadis) tidak benar. Karena dosa ghibah itu berkaitan dengan hak anak Adam. Sehingga untuk menggugurkan dosanya harus meminta kehalalan kepada orang dizalimi [5].
Pendapat yang Rajih (kuat)

Setelah pemaparan dua pendapat ulama di atas beserta argumen yang mereka utarakan, maka pendapat yang nampaknya lebih rajih –wal’ilmu ‘indallah– menurut keterbatasan ilmu kami adalah pendapat kedua; yang menyatakan wajibnya meminta kehalalan kepada orang yang di-ghibah-i.

Terlebih bila orang yang di-ghibah-i dikenal pemaaf dan berdada lapang. Terkadang orang yang meng-ghibah-i tidak bermaksud menghinakan, namun hanya saja dia tergelincir ketika berbicara atau mengobrol. Intinya, yang perlu dipahami bersama bahwa ini adalah konsekensi asal dari tebusan ghibah, yaitu meminta kehalalan kepada orang yang di-ghibah-i.

Adapun bila orang yang di-ghibah-i dikenal tidak pemaaf dan menurut prasangka kuatnya dia tidak akan memaafkan. Bahkan akan menambah kebencian dan permusuhan. Atau bila dia mengabarkan secara global perihal ghibah yang dia lakukan, yang bersangkutan akan meminta penjelasan secara rinci; yang mana bila ia tahu hal tersebut akan membuatnya semakin benci dan marah, maka dalam kondisi ini cukup dengan mendoakan kebaikan untuknya. Serta menyebutkan kebaikan-kebaikannya di hadapan orang-orang. Dan beristighfar kepada Allah atas dosa ghibah yang telah ia lakukan.

Wallahu a’lam

_____

Catatan kaki:

[1] Madaarij as-Salikin (1/291), al-Wabil as-Shoyyib hal. 192, al-Adab asy-Syari’ah (1/62)

[2] al-Fawaid al-Majmu’ah karya Syaikh Abdullah al-Fauzan hal. 166

[3] Madaarij as-Salikin (1/290)

[4] Lihat: al-Maudhu’aat karya Ibnul Jauzi (3/342) dan al-Matholib al-‘aliyah (11/727).

[5] al-Hawi, karya as-Suyuti (1/171)

*Rujukan: al-Fawaidul Majmu’ah fi Syarhi Fushulil Adab wa Makaarimil Akhlaq Al-Masyruu’ah, karya Syaikh Abdullah bin Sholih al-Fauzan. Pustaka Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1434 H.