Type Here to Get Search Results !

 


NASEHAT KEPADA ORANG YANG MEMBANDINGKAN ULAMA DENGAN ULAMA LAINNYA


NASEHAT KEPADA ORANG YANG MEMBANDINGKAN ULAMA DENGAN ULAMA LAINNYA DARI SISI KEDUDUKAN DAN KEILMUAN

Pertanyaan:

Kami lihat akhir-akhir ini orang-orang masuk dalam sebuah perdebatan, dimana sebagian menganggap bahwa Ibnu Taimimiah lebih utama dari para Imam empat. Sementara sebagian lainnya mengatakan bahwa para imam sekarang lebih utama dari Ibnu Taimiah. Saya mohon dijawab secara terperinci agar tetap sesuai (dengan ajaran Islam).

Jawaban:

Alhamdulillah.

1. Tidak diragukan lagi adanya perbedaan di antara manusia.  Begitu juga adanya perbedaan  antara para ulama, dari sisi derajat  dan kedudukannya. Sebagaimana berbeda pula  ilmunya. Jika kita telah mengetahui  bahwa para Nabi berbeda (kedudukannya), maka tidak asing lagi kalau para ulama juga berbeda.

Allah Ta’ala berfirman:

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍۘ

“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain.” [Al-Baqarah/2: 253]

2. Adapun perbedaan keutamaan dan posisi di sisi Allah, maka tidak dihalalkan seorang pun  berani mengatakan hal itu. Karena hal itu termasu perkara gaib yang Allah tidak perlihatkan kepada orang yang diberi keutamaan. Sehingga perkara itu diserahkan kepada (Allah) yang paling mengetahui terhadap makhluknya. Dia yang paling tahu akan keikhlasan dan kejujuran makhluk. Dan Dia pula yang lebih mengetahui siapa yang paling dekat dengan-Nya Subhanahu Wata’ala.

3. Sementara perbedaan antara ulama dalam sisi keilmuan, maka yang memberikan penilaain hal itu bukan untuk orang awam, orang  bodoh, muqallid (pengekor) tidak juga orang yang terlalu fanatik. Karena penilaian mereka tidak berbobot sama sekali. Akan tetapi penilaian yang jujur adalah ahli ilmu yang jujur pada dirinya dalam menilai mereka. Dan dia termasuk spesialis dalam bidang tersebut. Ilmu tentang hadits dia yang tahu akan kedudukan orang yang sibuk dengan ilmu itu. Ahli ilmu fiqih, dia yang dapat membedakan ahli fiqih dan mengetahui tingkatan orang yang memberikan fatwa.

Kemudian kita tidak dapatkan di kalangan para ulama sibuk memberikan klasifikasi  dan penilaian posisi para ulama, Kecuali kalau ada kemaslahatan atau peristiwa tertentu yang mengharuskan hal itu. Tidak ada pada mereka (para ulama) sikap meremehkan kepada yang lainnya.

Tajudin As-Subki rahimahullah mengatakan, “Memperbincangkan para imam agama, dan saling membandingkan di antara mereka yang belum sampai pada tingkatannya, itu hal yang tidak bagus. Dikhawatirkan akibat buruknya di dunia dan akhirat. Sedikit sekali orang yang terjerumus dalam hal ini dapat selamat. Terkadang hal ini merupakan sebagai sebab terjerumus kepada ulama yang dapat menghancurkan tempat.” [Al-Asybah Wan Nazoir, 2/328]

4.Dahulu kalangan ulama yang berakal, telah mengetahui (kedudukan) para ulama –khususnya ulama salaf terdahulu- dari sisi keutamaan dan ilmunya. Mereka tidak ikut-ikutan  tindakan murahan kaum awam yang hendak membeda-bedakan. Mereka rendah hati  dan meninggikan kedudukan orang yang telah mendahuluinya dari kalangan ahli ilmu.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sementara ahli ilmu yang bermanfaat berbeda dengan ini. Mereka berprasangka jelek kepada dirinya dan berprasangka baik kepada ulama salaf terdahulu. Mengakui dalam hati dan dirinya akan keutaman dari ulama salaf terdahulu. Tidak mampu menyamai derajat atau bahkan mendekatinya. Alangkah indahnya ungkapan Abu Hanifah, ketika beliau ditanya tentang Al-Qomah dan Al-Aswad siapa di antara kedunyanya yang lebih mulia? Beliau menjawab, “Demi Allah kita tidak layak untuk menyebutkannya, bagaiamana mungkin kita membedakaan keutamaan di antara keduanya?!

Dahulu Ibnu Mubarok ketika disebutkan akhlak ulama’ salaf beliau bernasyid:

لا تَعرضنَّ لذكرنا في ذِكرِهِم … لَيسَ الصَحيحُ إِذا مَشى كَالمُقعَدِ

Janganlah bandingkan kita dengan mereka (ulama salaf)

Orang yang sehat tidak sama dengan orang sakit ketika berjalan

5. Sementara sebagian orang yang tidak paham pada masa sekarang menyangka bahwa orang yang lebih banyak menghimpun lembaran-lembaran dan banyak menulis, berarti dia telah menyaingi ilmu orang sebelumnya (ulama salaf) dan bahwa dia telah lebih mengetahui dari sisi pengetahuan dan pencarian. Tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah persangkaan yang salah. Dan tidak betul dari sisi penilaian dan ucapan.

Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah mengatakan:

“Sungguh kita telah direpotkan dari kalangan orang  yang tidak tahu, dimana mereka berkeyakinan bahwa orang yang  panjang lebar ucapannya dari kalangan orang yang datang kemudian, bahwa dia lebih mengetahui dari orang sebelumnya. Sebagian orang menyangka, bahwa dia lebih pandai dari semua orang sebelumnya baik dari kalangan shahabat maupun setelahnya karena banyaknya penjelasan dan komentarnya. Sebagian lain mengatakan, dia lebih pandai dari para ahli fiqih yang terkenal dan diikuti. Hal ini berarti berdampak berikutnya. Karena, jika mereka para ahli fiqih yang terkenal dan mempunyai pengikut, lebih banyak pendapatnya dibandingkan dengan ulama sebelumnya. Maka, jika orang setelahnya itu lebih pandai dari mereka, dapat dikatakan, dia lebih utama dan lebih pandai dari orang yang lebih sedikit ucapan (pendapatnya), seperti Tsauri, Auza’I, Laits, Ibnu Mubarok dan siapa saja yang sederajat dari kalangan mereka, begitu seterusnya dengan para ulama sebelum mereka dari kalangan tabiin dan para shahabat juga. Karena mereka semua lebih sedikti pendapatnya dibandingkan dengan orang yang datang setelahnya. Hal ini merupakan penghinaan yang besar kepada para salaf sholeh, berburuk sangka kepada mereka, sekaligus menuduhkan kebodohan dan kekurangan ilmu pada mereka. La haula wala quwwata illah billah (tiada kekuatan dan daya melainkan hanya kepada Allah).

Sungguh benar ungkapan Ibnu Mas’ud dalam ungkapannya terkait dengan shahabat, bahwa mereka paling baik hatinya, paling dalam ilmunya dan paling sedikit tanggungannya. Diriwayatkan semisal itu dari Ibnu Umar juga. Hal ini memberikan isyarat bahwa generasi setelahnya itu sedikit ilmunya dan lebih banya tanggungannya.

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu juga mengatakan: “Sesungguhnya anda kini berada di suatu zaman dimana para ulamanya banyak dan sedikit para ahli khutbah. Dan akan datang suatu zaman yang sedikit ulamanya dan banyak para ahli khutbah. Barangsiapa yang banyak ilmunya dan sedikit bicaranya, maka dia disanjung. kalau sebaliknya maka dia dicela. Dan Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah memberikan kesaksian terhadap penduduk Yaman dengan keimanan dan fiqih. Sementara penduduk Yaman termasuk orang yang sedikit bicara dan luas ilmunya. Akan tetapi ilmu mereka adalah ilmu yang bermanfaat di hati mereka. Dan diungkapan dengan lisannya sesuai dengan kebutuhannya. Ini adalah fiqih dan ilmu yang bermanfaat. Sebaik-baik ilmu adalah ilmu dalam bidang tafsir Al-Qur’an dan makna hadits serta pembicaraan tentang halal dan haram, juga ilmu yang terdapat pada para shahabat, para tabiin dan tabi’ut tabi’in sampai kepada para imam Islam yang terkenal dan dicontoh yang telah kita sebutkan tadi.” [Fadl Ilmus Salaf Ala Al-Khalaf, hal. 40-42]

6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menyatakaan perkataan berharga: “Bahwa menyibukkan diri dengan membeda-bedakan keutamaan di antara sebagian mazhab, syekh yang diikuti dan meremehkan orang lain, termasuk dasar ahli bid’ah. Manhaj orang Rafidhoah dan Syi’ah.  Bahkan hal itu merupakan kebiasaan ahli kitab sebelum kita. “Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak memiliki keutamaan”, dan orang-orang Nasrani berkata: “Orang-orang Yahudi tidak memiliki keutamaan.”

Beliau rahimahullah juga berkata, “Ahli bid’ah juga menggunakan metode seperti ini. Orang Khawarij mengatakan orang Syiah tidak ada apa-apanya. Orang Syiah mengatakan, orang Khawarij tidak ada apa-apanya. Kelompok Qodari yang meniadakan (takdir) mengatakan kepada kelompok yang menetapkan (takdir) bahwa mereka tidak ada apa-apanya. Kelompok Jabariyah yang menetapkan (takdir) mengatakan kepada (kelompok) yang menafikan (takdir) bahwa mereka tidak ada apa-apanya. Wa’idiyah mengatakan kepada murji’ah bahwa mereka tidak ada apa-apanya. Sedangkan orang murji’ah mengatakan kepada Wa’idiyah bahwa mereka tidak ada apa-apanya. Bahkan hal ini terjadi di antara pokok mazhab maupun yang cabang yang menyandarkan ke sunah. Kaum Kullabi mengatakan kepada Kelompok Karromi bahwa mereka tidak ada apa-apa. Karomi mengatakan kepada Kilabi bahwa mereka tidak ada apa-apanya. Asy’ari mengatakan kepada Salimi tidak ada apa-apa, begitu juga Salimi mengatakan kepada Asy’ari tidak ada apa-apa. Dan Salimi –seperti Abu Ali Al-Ahwazi- mengarang buku mengkritik Asy’ari. Sedangkan seorang Asy’ari –seperti Ibnu Asakir- mengarang buku membantah akan hal itu pada setiap bahasan dan mengkritik juga Salimi. Begitu juga dengan para mazhab empat dan lainnya. Apalagi banyak dikalangan mereka telah terkontaminasi dengan sebagian tulisan usuliyah (ahli ushul fiqh) terjadi kerancuan antara suatu masalah dengan masalah lainnnya.  Pengikut Hanbali, Syafi’i dan Maliki bercampur sedikit dengan mazhab Malik, Syifi’i dan Ahmad dari kalangan usul Asy’ari serta Salimiyah dan lain dari itu. Dengan sedikt ditambahi dari mazhab Malik, Syafi’I dan Ahmad. Bagitu juga Hanafi bercampur sedikit dengan Abu Hanifah ditambah dengan sedikit prinsip mu’tazilah, Karomiyah dan Kilabiyah dengan ditambahi madzhab Abu Hanifah.
Baca Juga  Wasiat : Mulailah Dengan Mempelajari Pokok-Pokok Ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Sikap ini termasuk jenis dari sikap syiah, yaitu menyibukkan diri dengan melebihkan sekelompok ulama dan pengikutnya dan merendahkan ulama dan pengikut yang lain, bukan (seperti syiah) yang melebihkan sekelompok shahabat danmerendahkan sahabat yang lainnya.

Seharusnya bagi setiap orang Islam yang bersaksi tiada tuhan melainkan Allah  dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, menjadikan tujuan utamanya adalah mengesakan Allah dengan beribadah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya, serta mentaati utusan-Nya dan berputar di porosnya dimana saja ia dapatkan. Hendaknya mereka mengetahui bahwa sebaik-baik makhluk setelah para Nabi adalah para shahabat. Jangan membela seseorang dengan mutlak kecuali hanya untuk Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Tidak juga membela kelompoknya dengan mutlak kecuali hanya para shahabat radhiallahu anhum ajma’in. Petunjuk hanya berputar bersama Rasul dimana ia berada dan berputar di sekitar para shahabat beliau –beukan shahabat/pengikut selain lain-. Kalau mereka (para shahabat) telah bersepakat (ijma’), maka mereka tidak akan bersepakan pada kesalahan. Berbeda dengan shahabat (pengikut) para ulama, terkadang mereka bersepakat pada kesalahan.

Bahkan pendapat yang mereka katakan, kalau umat lain tidak ada yang mengatakan, niscaya di dalamnya terdapat kesalahan. Karena agama yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya tidak diberikan hanya kepada satu orang alim dan para pengikutnya. Kalau hal itu ada, maka orang tersebut menyaingi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Hal itu mirip dengan pendapat kelompok (Syiah) Rafidhah terkait dengan para Imam maksum (yang terjaga dari dosa). Seharusnya para Shahabat dan para tabiin mengetahui kebenaran yang Allah sampaikan kepada Rasul sebelum mereka punya pengikut yang kemudian disematkan kepada mereka mazhab baik dalam sisi usul (pokok) maupun cabang. Dan tidak mungkin mereka datang dengan kebenaran yang menyalahi apa yang telah dibawa oleh Rasul. Karena semua yang menyalahi Rasul itu batil. Dan tidak mungkin salah satu di antara mereka mengetahui dari Rasul apa yang menyalahi para shahabat dan para tabiin yang mengikutinya dengan baik. Karena mereka tidak akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan.” [Minjahus Sunnah, 5/ 260-262. Silahkan lihat, Majmu Fatawa, 4/157]

Saksikan: Kumpulan Fatwa

7. Dari penjelasan semua di atas, maka seorang muslim tidak dibolehkan menyibukkan diri dengan membeda-bedakan para ulama, siapa di antara mereka yang lebih banyak ilmunya. Biarkan hal itu kepada orang yang spesial di bidangnya. Tidak kami saksikan sikap suka  mengutamakan(dan merendahkan yang lain) dari kalangan masyarakat awam dan semisalnya, melainkan bersamaan dengan itu timbul sikap meremehkan orang lain dari kalangan ahli ilmu dan orang yang memiliki keutamaan.

Hal itu berarti menyibukkan diri pada hal yang merugikan dirinya, disamping menyia-nyiakan waktu. Para ulama itu sampai pada derajat seperti itu, karena mendapatkan taufik dari Allah dengan keikhlasan dan kesungguhannya disertai sikap bersusah payah dengan mencurahkan waktu dalam belajar, bersungguh-sunguh melakukan perjalanan, mengeluarkan harta dalam membeli buku. Maka hendaknya mereka yang sibuk dengan memberikan penilain, menyibukkan diri seperti para ulama tersebut. Hendaknya mereka memberikan sanjungan dan penghormatan bagi setiap orang yang berkhidmat untuk agama Allah dengan mengajarkan orang ilmu yang bermanfaat. Karena para ulama adalah pewaris para Nabi. Tidak layak bersikap terhadap  pewaris Nabi kecuali apa yang sesuai dengan hak yang harus mereka dapatkan seperti mengakui keutaman, ilmu serta amal baiknya kepada masyarakat.

Wallahu’alam.