Type Here to Get Search Results !

 


CARA MERAIH CINTA ALLAH


CARA MERAIH CINTA ALLAH: SENANTIASA BERDZIKIR KEPADA ALLAH DALAM SETIAP KEADAAN


Dzikrullah dilakukan dengan lidah, hati, amal, juga dengan aksi nyata. Karena kadar mahabbah (kecintaan) Allâh Azza wa Jalla yang ia raih sebanding lurus dengan kadar dzikirnya.

Dzikir adalah atribut orang-orang yang mencintai dan sekaligus dicintai Allâh Azza wa Jalla . Disebutkan dalam hadits qudsi:

يَقُولُ اَللَّهُ -تَعَالَى-: أَنَا مَعَ عَبْدِي مَا ذَكَرَنِي, وَتَحَرَّكَتْ بِي شَفَتَاهُ

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Aku (Allâh) bersama hamba-Ku selama ia mengingat-Ku, selagi dua bibirnya bergerak mengingat-Ku”.[1]

Bila ditilik pada nash-nash yang ada, Allâh Azza wa Jalla tidak sekedar memerintahkan untuk berdzikir, namun juga memperbanyak dzikir. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allâh, dzikir yang sebanyak-banyaknya. [Al-Ahzâb/ 33: 41]

Allâh Azza wa Jalla juga menyanjung mereka yang berdzikir dalam setiap keadaan, dengan memberikan gelar ulul albâb (mereka yang mau berpikir) kepada mereka (Ali Imran/3: 191). Allâh pun menjanjikan mereka yang senantiasa berdzikir bahwa Dia pun akan mengingat mereka dan menanggung mereka (Al-Baqarah/2:12). Serta membalas mereka dengan ampunan dan ridha-Nya [Al-Ahzab/33: 35].

Lalai dari dzikir termasuk tanda bahwa seseorang itu terhalang dari taufiq Allâh. Oleh karena itu, orang yang paling rugi adalah orang yang terpedaya oleh dunia, sampai ia lalai dari dzikir. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allâh. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. [Al-Munâfiqûn/63: 9]

Adapun orang yang beruntung adalah yang diberi taufiq untuk dapat berdzikir ingat kepada Allâh. itulah keuntungan yang paling besar. [2]

Mengapa dzikir kepada Allâh adalah yang paling besar? Para ahli tafsir mengungkapkan beberapa penafsiran tentang hal tersebut.
  1.     Dzikir kepada Allâh itu lebih besar dari segala hal. Ia adalah ketaatan yang paling utama, karena maksud semua ketaatan adalah untuk mewujudkan dzikir kepada-Nya; dan ia adalah rahasia dari segala ketaatan.
  2.     Bila manusia mengingat Allâh, Allâh pasti akan mengingat mereka. Dan ingatnya Allâh kepada menusia itu lebih besar daripada ingatnya manusia kepada-Nya.
  3.     Bahwa dzikir kepada Allâh itu lebih besar dan agung sehingga tidak memungkinkan untuk memuat perbuatan keji dan mungkar.
  4.     Dalam shalat terdapat dua hal agung yaitu (pertama) shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar dan (kedua) Dalam shalat terkandung dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan dzikir dalam shalat itu lebih besar.
Pendapat-pendapat di atas saling menopang, tidak ada kontradiksil

Dzikir kepada Allâh adalah bekal seorang Mukmin dan penghias amalnya. Bahkan dzikir adalah komoditi seseorang untuk masuk surga dan untuk menaiki jenjang-jenjang tangga surga. Maka tidak heran bila tak ada sesuatupun yang lebih disesali seorang Mukmin di akhirat seperti penyesalannya karena lupa dari dzikir kepada Allâh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

مَا قَعَدَ قَوْمٌ مَقْعَدًا لَا يَذْكُرُونَ فيه اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَإِنْ دَخَلُوا الْجَنَّةَ لِلثَّوَابِ

Tidaklah suatu kaum duduk di sutau tempat namun mereka tidak berdzikir kepada Allâh dan tidak bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , melainkan kelak mereka akan menyesal pada hari Kiamat, meskipun mereka akan masuk surga untuk mendapatkan pahala mereka.[3]

Beliau juga bersabda:

مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُومُونَ مِنْ مَجْلِسٍ لَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ فِيهِ إِلَّا قَامُوا عَن مِثْلِ جِيفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً

Tidaklah suatu kaum berdiri dari suatu majlis di mana mereka tidak berdzikir mengingat Allâh di dalamnya, melainkan seakan-akan mereka bangkit dari (sesuatu yang busuk) seperti bangkai keledai; dan ada penyesalan dalam diri mereka.[4]

Jadi, cara paling efektif untuk menghindari kelalaian ini adalah dengan memaksakan diri dan lidah untuk memperbanyak dzikir dalam setiap keadaan. Sehingga dalam dirinya telah terbentuk tabiat untuk selalu memperbanyak dzikir. Dzikir kepada Allâh pun sudah menjadi tabiat pembawaan dari hati dan lidahnya. Sehingga Rasul n berpesan kepada seseorang yang berkata kepada beliau: “Wahai Rasûlullâh! Sungguh, syariat Islam telah terasa begitu banyak bagi kami. Maka tunjukkanlah kepada kami suatu hal yang komplek yang bisa kami jadikan sebagai pegangan!” Beliau menjawab:

لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Lidahmu senantiasa basah dengan dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla .[5]

Alangkah baiknya kita merenungi kembali poin yang dibawakan Ibnul Qayyim di atas yaitu senantiasa berdzikir kepada allâh dalam setiap keadaan, baik dengan lidah, hati, amal, dan aksi nyata.

Lidah adalah perangkat untuk berdzikir, sedangkan hati adalah sumbernya. Amal dan keadaan (amal nyata) adalah indikator yang menunjukkan keserasian antara hati  dan lidah. Jadi, hati yang mempunyai maksud, lidah sebegai penerjemah dari maksud hati. Dzikir adalah ibadah hati dan lidah serta obyek ubudiyyah keduanya.

Dzikir beragam bentuknya. Di antara ragam dzikir adalah:
  1.     Membaca al-Qur’an
  2.     Tasbîh, tahmîd, tahlîl, takbîr, istighfâr.
  3.     Bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam .
  4.     Membaca berbagai dzikir yang telah diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam berbagai keadaan dan aktifitas keseharian.
Akhirnya, semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita semua termasuk golongan yang senantiasa berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla
_______

Footnote:

[1] HR. Ahmad 2/ 540, Ibnu Majah 3792 (2/1246), dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahîh Ibni Majah, no. 93792 (2/317).
[2] Lihat surat Al-Ankabut/29 :45
[3] HR. Ahmad dalam Musnadnya (2/463), dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir dalam Takhrîj Musnadnya 9966 (19/90), Al-Hakim juga meriwayatkannya (1/492) juga Ibnu Hibban (853).
[4] HR. Abu Daud 4855 (5/181) dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Daud, dan riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/492.
[5] HR. Ahmad 4/118, 190, At-Turmudzi 3372 (9/94), Ibnu Majah 3793 (2/1246), dishahihkan Al-Albani dalam Shahîh Ibni Majah, no. 3060 (2/ 317), dan datang dari riwayat Ibnu Hibban 814, al-Hakim dalam Mustadrak 1/495, ia menshahihkannya dan disepakati adz-Dzahabi.