Type Here to Get Search Results !

 


LARANGAN MENCELA PEMERINTAH


بســـمے اللّه الرّحمنـ الرّحـيـمـے

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين

Kaum Muslimin,

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjaga kita semuanya.

Mencela penguasa di dalam Islām merupakan pelanggaran syariat, dan ini adalah termasuk sesuatu yang dilarang didalam agama kita dan bahkan ini adalah termasuk penghinaan terhadap penguasa sebagaimana yang datang di dalam sebuah hadīts, bahwasanya Rasūlullāh Shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa yang menghina sultan Allāh (menghina seorang sultan/ menghina seorang penguasa/ menghina seorang pemimpin) di bumi, maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan menghinakan orang tersebut. “

(Hadīts Shahīh riwayat Tirmidzi nomor 2224)

⇒ Menunjukan kepada kita tentang diharāmkannya dan dilarangnya seseorang mencela penguasa.

Kemudian mencela penguasa adalah termasuk benih fitnah dan ini adalah awal dari sebuah kerusakan dan awal terjadinya sesuatu yang lebih besar dari itu yang dinamakan dengan pemberontakan terhadap penguasa.

Dan kita tahu, bahwasanya pemberontakan adalah sebab dari kerusakan, baik kerusakan dunia maupun kerusakan agama seseorang. Dan tidaklah terbunuh khalifah yang ketiga yaitu ‘Utsmān bin Affan Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu kecuali sebabnya karena awalnya ada sebagian kaum Muslimin yang mencela dan juga menghinakan beliau Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu.

Mencela seorang penguasa bukan jalan yang benar, untuk mengatasi dan memperbaiki sebuah keadaan, Islām telah mengajarkan umatnya bagaimana mereka memperbaiki keadaan,

→ Memperbaiki keadaan penguasa

→ Memperbaiki keadaan rakyat

Apabila seseorang melihat kesalahan dari seorang penguasa atau pemerintah maka hendaklah dia terlebih dahulu husnudzan, terlebih dahulu dia berbaik sangka kepada pemerintah tersebut.

Kemudian apabila dia ingin menasehati, maka hendaklah dia menasehati dengan baik dan bukan dengan cara yang kasar, demikian pula diusahakan supaya nasehat tersebut adalah nasehat yang rahasia, yang tidak mengetahui kecuali dia dan penguasa tersebut.

Demikian pula diantara adab seorang rakyat, di dalam memperbaiki keadaan penguasa hendaklah dia berdo’a kepada Allāh, berdo’a kepada Allāh dengan do’a yang ikhlās.

√ Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memperbaiki penguasa dia.

√ Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan hidayah kepadanya.

√ Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan ketaqwaan kepadanya.

⇒ Demikianlah seorang Muslim, berdo’a kepada Allāh supaya Allāh memperbaiki penguasa.

Demikian pula memohon kepada Allāh supaya Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjadikan penguasa tersebut adalah:

√ Penguasa yang lemah lembut terhadap rakyatnya.

√ Menegakan agama Allāh Azza wa jal.

⇒ Bukanlah sikap seorang Muslim yang baik mendo’akan kejelekan kepada seorang penguasa, mendo’akan kejelekan dengan melaknat dia atau mendo’akan supaya dia mendapatkan kehancuran didunia dan juga diakhirat. Tidak!

Inilah yang membedakan antara seorang ahlulsunnah waljama’ah dengan yang lain, mereka senantiasa menjaga ucapan mereka dari mencela penguasa, mencela pemerintah. Karena keumuman firman Allāh Azza wa jal, ketika Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengabarkan tentang persaudaraan diantara orang-orang yang berimān.

Selama penguasa (pemerintah) tersebut adalah seorang Muslim maka mereka adalah saudara kita, Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

(QS Al Hujurāt: 10)

Dan diantara hak seorang Muslim atas Muslim yang lain dilarang kita saling menghinakan, dilarang kita saling mencela satu dengan yang lain.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ

“Wahai orang-orang yang berimān, janganlah sebagian kaum menghina sebagian yang lain, mungkin mereka lebih baik daripada mereka”.

(QS Hujurāt: 11)

Seorang Muslim harām atas Muslim yang lain, apanya?

√ Hartanya

√ Darahnya

√ Kehormatannya

Tidak boleh seorang muslim mencela kehormatan muslim yang lain, dan telah datang dari sebagian shahābat Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu (sebagian salaf) seperti Anas bin Mālik Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu dan juga yang lain, beliau mengatakan:

كَانَ اْلأَكَابِرُ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَنَا عَنْ سَبِّ اْلأُمَرَاءِ

“Dahulu para pembesar shahābat nabi Shallallāhu ‘alayhi wa sallam melarang kami untuk mencela para penguasa.”

(Hadīts Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam At-tamhid)

Ini menunjukan bagaimana sikap para shahābat Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhum yang mereka adalah panutan kaum Muslimin, bahwasanya mereka melarang kita semua untuk mencela para ‘umara mencela para penguasa kita.

Demikian pula telah datang dari Abdullāh Ibnu Mubārak rahimahullāh bahwasanya beliau mengatakan:

مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلعُلَمَاءِ ذَهَبَتْ آخِرَتُهُ وَ مَنِ اسْتَخَفَّ بِالسُّلْطَانِ ذَهَبَتْ دُنْيَاهُ وَ مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلإِخْوَانِ ذَهَبَتْ مُرُوْءَتُهُ

“Barangsiapa yang mencela (menghinakan) para ulamā maka akan hilang akhiratnya dan barangsiapa yang mencela para ‘umara (para penguasa) maka akan hilang dunianya dan barangsiapa yang mencela dan merendahkan saudaranya maka akan hilang kehormatannya.”

(Siyar A’lam an-Nubala XVII/251)

Semoga apa yang kita sampaikan ini bermanfaat, Wabillāhi taufīq wal hidayah.

والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


Penulis: Ustadz ‘Abdullāh Roy, Lc. MA

Sumber: https://bimbinganislam.com/

MANHAJ AHLI SUNNAH TERHADAP PENGUASA

Oleh: Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin

TUGAS NEGARA DAN PENGUASA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Islam merupakan agama dari Allah yang mengatur seluruh aspek kehidupan, baik pribadi maupun masyarakat, lahir maupun batin, dan bahkan untuk kepentingan di dunia dan akhirat. Maka sistim politik Islam, khususnya tentang kepemimpinan, merupakan amanat dari Allah untuk melaksanakan aturan, undang-undang dan syari’at Islam.

Jadi kepemimpinan dalam Islam merupakan bentuk aktifitas politik, yang bertujuan untuk menegakkan aturan Allah di muka bumi. Oleh karena itu, pemimpin yang dipilih semata-mata hanya bertugas untuk menegakkan syari’at dan menerapkan hukum Allah, sehingga negara dan rakyat meraih kedamaian, penguasa dan rakyat memperoleh hak-hak secara adil, serta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kondisi yang tenteram dan makmur.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan: Tujuan pokok kepemimpinan, ialah memperbaiki agama umat. Sebab, jika jauh dari Dinul Islam, (maka) bangsa akan hancur, nasib rakyat akan terlantar dan nikmat-nikmat dunia yang mereka miliki akan sia-sia. Pemimpin juga bertugas memperbaiki segi duniawi yang sangat erat hubungannya dengan agama, meliputi dua macam:

  • Pertama, membagikan harta kekayaan secara merata dan adil kepada yang berhak. 
  • Kedua, menghukum orang-orang yang melanggar ketentuan undang-undang tanpa diskriminasi.

Prof. Dr. Salim bin Ghanim As Sadlan berkata,”Salah satu kewajiban dan wewenang pemimpin dalam agama Islam, yaitu melaksanakan hukuman setelah diproses secara syar’i oleh mahkamah agung atas terdakwa pelaku kejahatan yang berhak mendapat hukuman.”

DEKAT DENGAN PENGUASA BUKAN BERARTI MENJILAT

Seorang muslim harus melakukan hubungan baik dengan para Ulil Amri, baik dari kalangan pemimpin, para hakim penanggung jawab peradilan ataupun tokoh-tokoh lembaga-lembaga penting dan kepala-kepala penanggung jawab pemerintah. Kita tidak boleh merasa kaku serta menganggap, bila dekat dengan penguasa akan menodai kehormatan diri dalam beragama. Bukan pula berarti menjadi penjilat dan kacung bagi para penguasa, bahkan syari’at memerintahkan kita untuk menjalin hubungan erat dengan para Ulil Amri atau penguasa.

Sesungguhnya, salah satu yang menjadi penyebbab keberhasilan shahwah (kebangkitan Islam) dan dakwah kepada Allah, yaitu apabila da’wah memiliki dukungan dari penguasa dalam suatu negara. Karena, da’wah dan kekuasaan merupakan dua pilar perbaikan terhadap umat. Penyair berkata:

الْمُــــلْكُ بِالدِّيْنِ يَبْقَى وَالدِّيْنُ بِالْمُلْكِ يَقْوَى

Kekuasaan yang bersanding dengan agama akan menjadi stabil, dan agama yang bersanding dengan kekuasaan akan menjadi kuat dan kokoh.

Bila keduanya bertemu dan bersatu, maka tujuan dan sasaran da’wah tercapai. Cita-cita membangun umat akan teralisasi dengan izin Allah. Namun, jika keduanya berpisah, apalagi saling berhadapan, maka segala usaha akan sia-sia atau melemah sampai pada batas kehinaan, sehingga muncul berbagai fitnah dan musibah bagi umat.

Setiap negara yang menginginkan kemuliaan hakiki dan kekuasaan di muka bumi, memiliki kewajiban untuk mendukung da’wah kepada Allah, mengerahkan segala perangkat kekuasaan dan pilar kekuatan negara yang mampu memberikan peringatan dan bimbingan secara persuasif kepada seluruh rakyat. Dengan demikian, penguasa akan mendapatkan legitimasi dan dukungan penuh dari semua pihak. Sebab, seringkali Allah menyadarkan lewat peguasa, apa yang tidak tergugah dengan Al Qur’an. Karena, bila keimanan telah melemah dalam hati manusia, maka kekuatan penguasa jauh lebih dapat menakut-nakuti mereka dari maksiat, dan lebih meluruskan mereka kepada ibadah, hingga mereka dapat meraih istiqamah dan keshalihan dalam hidup.

MENASIHATI PENGUASA BUKAN MEMBANGKANG

Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati pemimpin, bahkan mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh dilecehkan; sebab, pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati kaum muslimin, secara umum memerlukan kaidah dan etika, maka menasihati para pemimpin lebih perlu memperhatikan kaidah dan etikanya.

Dari Ibnu Hakam meriwayatkan, bahwa Nabi bersabda,”Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin, maka jangan melakukannya secara terang-terangan. Akan tetapi, nasihatilah dia di tempat yang sepi. Jika menerima nasihat, itu sangat baik. Dan bila tidak menerimanya, maka kamu telah menyampaikan kewajiban nasihat kepadanya.” [HR Imam Ahmad].

Sangat tidak bijaksana mengoreksi dan mengkritik kekeliruan para pemimpin melalui mimbar-mimbar terbuka, tempat-tempat umum ataupun media massa, baik elektronik maupun cetak. Yang demikian itu menimbulkan banyak fitnah. Bahkan terkadang disertai dengan hujatan dan cacian kepada orang per orang. Seharusnya, menasihati para pemimpin dengan cara lemah lembut dan di tempat rahasia, sebagaimana yang dilakukan oleh Usamah bin Zaid tatkala menasihati Utsman bin Affan, bukan dengan cara mencaci-maki mereka di tempat umum atau mimbar.

Imam Ibnu Hajar berkata, bahwa Usamah telah menasihati Utsman bin Affan dengan cara yang sangat bijaksana dan beretika tanpa menimbulkan fitnah dan keresahan.

Imam Syafi’i berkata,”Barangsiapa yang menasihati temannya dengan rahasia, maka ia telah menasihati dan menghiasinya. Dan barangsiapa yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka ia telah mempermalukan dan merusaknya.”

Imam Fudhail bin Iyadh berkata,”Orang mukmin menasihati dengan cara rahasia; dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-maki.”

Syaikh bin Baz berkata,”Menasihati para pemimpin dengan cara terang-terangan melalui mimbar-mimbar atau tempat-tempat umum, bukan (merupakan) cara atau manhaj Salaf. Sebab, hal itu akan mengakibatkan keresahan dan menjatuhkan martabat para pemimpin. Akan tetapi, (cara) manhaj Salaf dalam menasihati pemimpin yaitu dengan mendatanginya, mengirim surat atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal untuk menyampaikan nasihat tersebut.”

MEMBUAT KEKACAUAN BERKEDOK JIHAD DAN AMAR MA’RUF

Dakwah kepada agama Allah merupakan tugas utama para rasul dan imam agama. Dan pada zaman sekarang, hukumnya bisa wajib bagi setiap individu sesuai kemampuan masing-masing. Allah berfirman, yang artinya: Serulah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. [An Nahl:125].

Adapun memecah-belah kaum muslimin menjadi berkelompok–kelompok, sehingga masing-masing mengklaim kelompoknyalah yang benar, sementara yang lain sesat -sebagaimana realita sekarang ini- jelas bukan merupakan manhaj dakwah yang benar. Setiap orang yang memiliki ilmu dan kemampuan yang cukup, wajib berdakwah kepada agama Allah atas dasar ilmu, walaupun hanya seorang diri. Antara yang satu dengan yang lain, hendaklah berkerja sama berlandaskan manhaj yang satu, yaitu manhaj yang ditempuh Rasulullah dan para sahabat.

Dakwah merupakan cara dan proses Islami dalam membimbing umat manusia menuju perubahan hidup yang hakiki, penuh dengan kesadaran serta merupakan bentuk sentuhan lembut yang mengetuk hati nurani, sehingga bangkit dan memiliki kemauan untuk berbuat kebaikan, meninggalkan berbagai macam pelanggaran.

Anggapan, bahwa praktek-praktek agitasi, kampanye, pengungkapan aib penguasa dan pengerahan massa untuk menekan penguasa sebagai metode yang berhasil dan bermanfaat, adalah anggapan yang keliru, jauh dari kebenaran dan menyalahi nash-nash syar’i. Kalau kita tengok penjelasan para ulama, seperti yang tertuang dalam buku Asy Syari’ah karya Al Ajurri, As Siayasah Asy Syar’iyah Ibnu Taimiyah dan buku Ath Thuruqul Hukmiyah Fis Siyasah Asy Syar’iyah karya Ibnu Qayyim, maka cara-cara seperti di atas sangat keliru dan sesat.

Asumsi, bahwa cara-cara seperti ceramah-cermah yang transparan, membukakan kebobrokan penguasa kepada masyarakat luas dan memprovokasi mereka untuk melawan penguasa sebagai cara yang efisien dan berguna, merupakan asumsi yang salah dan sangat jauh dari kebenaran, serta bertentangan dengan nash agama. Bahkan, semacam merupakan bentuk justifikasi terhadap aqidah dan pemikiran Khawarij.

BEKAL BAGI ORANG YANG MENASIHATI PEMIMPIN

Bagi setiap individu yang ingin memberikan nasihat kepada pemimpin, maka ia harus memperhatikan hal-hal berikut:

  • Pertama: Ikhlas dalam memberi nasihat.

Nabi Muhammad bersabda kepada Abdullah bin Amr: “Wahai, Abdullah bin Amr. Jika engkau berperang dengan sabar dan ikhlas, maka Allah akan membangkitkanmu sebagai orang yang sabar dan ikhlas. Dan jika engkau berperang karena riya, maka Allah akan membangkitkanmu sebagai orang riya dan orang yang ingin dipuji” . [HR Abu Dawud].

Imam Ibnu Nahhas berkata,”Orang yang menasihati pemimpin atau penguasa, hendaknya mendahulukan sikap ikhlas untuk mencari ridha Allah. Barangsiapa yang mendekati pemimpin untuk mencari popularitas atau jabatan atau sanjungan, maka ia telah berbuat kesalahan yang besar dan melakukan perbuatan sia-sia.”

  • Kedua: Menjahui segala macam ambisi pribadi.

Seseorang yang menasihati sebaiknya menanggalkan segala ambisi dan keinginan pribadi untuk mendapatkan sesuatu dari pemimpin atau penguasa. Para ulama salaf telah banyak memberikan contoh dan suri tauladan, seperti Sufyan Ats Atsauri. Beliau sering menolak pemberian para penguasa, karena khawatir pemberian tersebut menghalanginya untuk mengingkari kemungkaran.

  • Ketiga: Mendahulukan sikap kejujuran dan kebenaran.

Seorang yang ingin menasihati pemimpin atau penguasa, hendaknya bersikap jujur dan pemberani; sebagaimana sabda Nabi,”Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang zhalim.” [HR Abu Dawud]

  • Keempat: Berdo’a kepada Allah dengan do’a-do’a yang ma’tsur.

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata,”Jika kamu mendatangi penguasa yang kejam, maka berdo’alah:

Allah Maha Besar, Allah Maha Tinggi, dari semua makhlukNya, Allah Maha Tinggi dari semua yang saya takutkan dan khawatirkan. Saya berlindung kepada Allah yang tiada Sesembahan yang haq selainNya, Dialah yang menahan langit yang tujuh sehingga tidak jatuh ke bumi dengan izinNya, (dari) kejahatan hambaMu dan para pengikutnya, bala tentaranya dan para pendukungnya, baik dari jin atau manusia. Ya Allah, jadilah Engkau pendampingku dari kejahatan mereka, Maha Tinggi kekuasaan Allah dan Maha Agung serta Maha Berkah NamaNya, tiada Sesembahan yang berhaq disembah selain Engkau.” (Dibaca tiga kali). [HR Ibnu Abu Syaibah].

MENYEBUT PENGUASA DENGAN VONIS KAFIR

Pada masa sekarang timbul berbagai macam penyimpangan manhaj dan fitnah pemikiran, terutama dalam soal sikap kepada para penguasa yang zhalim dan tidak berhukum dengan hukum Allah. Sebagian orang yang gila popularitas dan ambisius, dengan gampang menebarkan pemikiran takfir (mengkafirkan) kepada para penguasa, para pemuda dan orang awam; dan dengan mengesampingkan manhaj Ahli Sunnah serta fatwa para ulama. Mereka kurang menyadari dampak dan akibat dari langkah yang mereka tempuh, sehingga keinginan mengajak umat manusia kepada kebaikan berbalik menjadi musibah dan fitnah yang mendatangkan banyak keburukan dan kesesatan. Mereka bersikap kerdil, picik, pengecut, emosional, keras kepala dan tidak kenal kompromi, kurang mempertimbangkan antara maslahat dan madharat.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan dalam kitab Muntaqa berkata,”Masalah pengkafiran terhadap orang per orang, terutama kepada para penguasa sangat berbahaya. Tidak semua orang boleh mengucapkan atas orang lain. Masalah ini merupakan wewenang hakim syar’i dan ahli ilmu yang mumpuni, yang mengetahui Dinul Islam dan pembatal-pembatalnya mengetahui situasi dan kondisi, serta keadaan manusia dan masyarakat. Merekalah yang berhak menjatuhkan vonis kafir. Adapun orang jahil, orang awam, pemula dalam menuntut ilmu, tidaklah berhak menjatuhkan vonis kafir.”

Syaikh Shalih bin Ghanim As Sadlan menegaskan, bahwa masalah pengkafiran terhadap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, membutuhkan penjelasan secara rinci. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir atas penguasa atau hakim yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak, sehingga mengetahui keadaan dan kondisinya dalam masalah ini.

Perlu diketahui, bahwa berhukum dengan hukum selain hukum Allah ada dua sebab. Pertama. Menghalalkan hukum selain Allah dan meyakini, bahwa syari’at Islam tidak layak diterapkan selamanya. Kedua. Meyakini, bahwa syari’at Islam layak diterapkan dan sudah sempurna, namun keputusan terakhir bukan di tangannya dan bukan pula di bawah kuasa seseorang.

Mengenai firman Allah “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. [Al Maidah: 44]

Apakah dalam ayat di atas terdapat perintah untuk membangkang dan memberontak penguasa? Karena memberontak dan membangkang kepada penguasa yang divonis kafir -bila tidak memiliki kekuatan yang berimbang- justru akan membahayakan kelangsungan dakwah dan keselamatan para da’i.

BERSABAR TERHADAP PEMIMPIN YANG ZHALIM

Pemimpin yang zhalim dan jahat, adalah sosok pemimpin yang hanya berambisi terhadap kekuasaan belaka. Perbuatan mereka tidak pernah sepi dari penganiayaan dan kezhaliman, dan tidak segan-segan melibas siapapun yang mencoba menggoyang kekuasaannya, meskipun dia melanggar syari’at. Dia juga tidak adil dalam memberikan hak-hak umat serta boros terhadap harta negara.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab rusaknya para pemimpin.

1. Lemahnya pengamalan prinsip agama.

2. Senang mengikuti hawa nafsu dan kesenangan dunia belaka.

3. Sikap kolusi dan nepotisme yang berlebihan.

4. Teman dan penasihat (orang kepercayaannya) yang tidak baik, atau menjadikan orang-orang kafir sebagai pembantu (kepercayaannya).

5. Menyerahkan kekuasaan dan jabatan kepada orang-orang yang tidak berjiwa patriot dan ikhlas.

6. Diktator dalam mengendalikan kekuasaan.

7. Tekanan internasional terhadap para pemimpin Islam.

8. Terpengaruh dengan sisitim negara-negara kafir dan meninggalkan sistim Islam.

Barangsiapa yang tidak memiliki kemampuan untuk menasihati pemimpin yang zhalim, maka sebaiknya berdiam diri dan bersabar, sebagaimana sabda Rasulullah,”Barangsiapa yang mendapatkan dari pemimpin(nya) sesuatu yang tidak menyenangkan, maka hendaklah bersabar. (Karena) sesungguhnya, barangsiapa yang keluar dari pemimpin, maka meninggal dalam keadaan jahiliyah.” [HR Al Bukhari].

Abdullah Ibnu Abbas berkata,”Pemimpin adalah ujian bagi kalian. Apabila mereka bersikap adil, maka dia mendapatkan pahala dan kamu harus bersyukur. Dan apabila dia zhalim, maka dia mendapatkan siksa dan kamu harus bersabar.”

Imam Nawawi berkata,”Barangsiapa yang mendiamkan kemungkaran seorang pemimpin, tidaklah dia berdosa, kecuali (jika) dia menunjukan sikap rela, setuju atau mengikuti kemungkaran itu.”

BATASAN HUBUNGAN ANTARA PEMIMPIN DENGAN RAKYAT

Syaikh Abdul Aziz bin Baz t menjelaskan kepada Majalah Syarq Al Ausath seputar manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah amar ma’ruf nahi munkar, metodologi menyampaikan nasihat, serta batasan-batasan hubungan secara syar’i antara penguasa dengan rakyat. Ulasan dan penjelasan beliau dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Beliau menjelaskan batasan-batasan hubungan antara penguasa dengan rakyat menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang wajib ditempuh seluruh umat sekarang ini.

2. Beliau juga mengajak kaum muslimin mengikuti manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan tidak mencontoh faham Khawarij maupun Mu’tazilah. Beliau berkata,”Mereka semestinya mengikuti madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sesuai dengan dalil-dalil syar’i yang ada. Mereka semestinya memegang teguh nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana adanya. Mereka tidak diperkenankan memberontak kepada penguasa, hanya karena penguasa itu jatuh dalam perbuatan maksiat. Mereka semestinya menasihati penguasa dan berdakwah dengan cara yang penuh hikmah, serta dengan pengajaran yang baik.

3. Beliau menjelaskan, bahwa kaum muslimin wajib mentaati waliyul amri dalam perkara-perkara yang ma’ruf. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan ta’atilah dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih baik akibatnya. [An Nisa’:59].

4. Jika penguasa memerintahkan kepada perkara yang munkar, maka tidak wajib dipatuhi, namun tidak berarti dibolehkan memberontak mereka, sebab Rasulullah bersada:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً.

Barangsiapa melihat sebuah perkara yang membuat ia benci pada pemimpinya, maka hendaknya ia bersabar dan janganlah ia membangkang kepada pemimpinnya. Sebab, barangsiapa melepaskan diri dari jama’ah, lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah. [HR Bukhari dan Muslim]

Sabda beliau:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada umara) ketika lapang maupun sempit pada perkara yang disukainya ataupun yang dibencinya, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat. [HR Bukhari dan Muslim].

5. Tidak boleh memberontak kepada penguasa kecuali dengan dua syarat. Pertama, telah tampak kekafiran secara nyata pada penguasa itu, dan memiliki keterangan yang jelas (tentang kekafirannya itu) dari Allah (Al Qur’an) dan As Sunnah. Kedua, memiliki kemampuan untuk menggantikan penguasa tersebut, tanpa harus merugikan rakyat banyak.

6. Jika tidak memiliki kemampuan, maka tidak boleh memberontak, meskipun telah terlihat kekafiran yang nyata. Hal ini demi menjaga kemaslahat bersama.

7. Kaidah syar’i yang harus disepakati bersama, bahwa tidak boleh menghilangkan kejahatan dengan kejahatan yang lebih buruk dari sebelumnya, namun mestinya perkara yang benar menghilangkan kejahatan itu atau menguranginya.

8. Tidak boleh memberontak penguasa jika akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, stabilitas keamanan terguncang, kesewenang-wenangan terhadap hak-hak asasi manusia dan pembunuhan orang-orang yang semestinya tidak boleh dibunuh.

9. Wajib bersabar, patuh dan taat dalam perkara yang ma’ruf, serta memberi nasihat kepada pemerintah, mendo’akan kebaikan bagi mereka, berusaha sekuat tenaga meminimalkan kejahatan dan menyebarkan sebanyak-banyaknya nilai-nilai kebaikan.

10. Barangsiapa beranggapan bahwa pemikiran semacam ini merupakan kekalahan dan kelemahan, maka sesungguhnya angapan seperti itu menunjukkan kekeliruan dan kedangkalan pemahamannya. Artinya, mereka tidak memahami dan tidak mengenal Sunnah Nabi sebagaimana mestinya. Dalam menghilangkan kemungkaran, mereka hanya dibakar oleh semangat dan emosi untuk menghilangkannya saja, sehingga (kemudian) mereka melanggar rambu-rambu syari’at, sebagaimana Khawarij dan Mu’tazilah.

11. Siapapun orangnya, baik pemuda atau bukan, tidaklah layak mencontoh Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka harus meniti madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.

12. Bagi yang memiliki semangat membela agama Allah dan para da’i, wajib untuk mengikatkan diri dengan ketentuan-ketentuan syari’at. Wajib memberi nasihat kepada para penguasa dengan perkataan yang bagus dan dengan cara yang baik.

13. Tidak dibolehkan membunuh kafir musta’min (orang kafir yang mendapat perlindungan pemerintah Islam) yang diterima oleh pemerintah yang berdaulat secara damai. Tidak boleh pula menghukum pelaku maksiat dan berbuat aniaya terhadap mereka. Namun kejahatan mereka diangkat ke mahkamah syari’at. Jika tidak ada, maka cukup dengan nasihat saja.

14. Wajib hukumnya mematuhi dan mentaati peraturan-peraturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan syari’at, seperti: peraturan lalu-lintas dan imigrasi (seperti kewajiban SIM pengendara dan paspor). Barangsiapa mengangggap dirinya memiliki hak untuk melanggarnya, maka perbuatannya itu bathil dan mungkar.

15. Diantara konsekuensi bai’at, yaitu menasihati waliyul amri (penguasa). Dan diantara wujud nasihat, yaitu mendo’akan kepada penguasa supaya mendapatkan taufiq dan hidayah.

16. Setiap individu rakyat wajib bekerja sama dengan pemerintah dalam mengadakan perbaikan dan menumpas kejahatan.

17. Maksud didirikan pemerintah, ialah untuk merealisasikan maslahat syar’i dan mencegah mafsadat. Maka setiap tindakan yang diinginkan darinya adalah kebaikan. Adapun yang dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar, maka hal itu dilarang.

18. Mendo’akan kebaikan bagi penguasa merupakan ibadah yang paling agung dan ketaatan yang paling utama. Al Fudhail bin Iyadh berkata,”Bila aku punya do’a yang terkabulkan, maka aku akan memanjatkan untuk penguasa. Karena baiknya mereka akan menentukan kebaikan orang banyak.”

____

Maraji:

  1. Al Ahkamus Sulthaniyah, karya Imam Abu Hasan Al Mawardi.
  2. As Siyasah Asy Syar’iyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
  3. Ath Thuruqul Hukmiyah Fi Siyasah Asy Syar’iyah, karya Ibnu Qayyim.
  4. Ash Shahwah Islamiyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
  5. Al Muntaqa Fi Fatawa, Syaikh Fauzan.
  6. Hakiqatul Amr Bil Ma’ruf Wan Nahyu ‘Anil Munkar, karya Dr. Hamd bin Nasir Al Ammar.
  7. Muraja’at Fi Fiqhil Waqi Asy Syiyasi Wal Fikri, Syaikh Bin Baz, Syaikh Fauzan dan Syaikh Shalih Sadlan.

Sumber: https://almanhaj.or.id/