Type Here to Get Search Results !

 


KHUSYUK DAN TUMA’NINAH DALAM SHALAT


Waktu shalat adalah waktu singkat yang sangat berharga bagi seorang muslim, karena ia sedang menghadap dan bermunajat kepada Rabbnya yang Maha tinggi dan Maha Agung, oleh karena itu hendaknya setiap dari kita berusaha untuk meninggalkan segala kesibukan duniawi dan menghadapkan wajah kita kepada Allah dengan penuh khusuk dan tunduk mengharapkan keridhoan-Nya, akan tetapi banyak diantara kita yang merasakan hilangnya atau berkurangnya khusyu dalam shalat kita, dan hal itu depangaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah:

  1. Karena kita tidak memahami makna doa-doa dan bacaan yang ada dalam shalat.
  2. Tidak merenungi isi dan kandungan shalat kita.
  3. Banyaknya beban pikiran atau urusan yang belum terselesaikan ketika kita hendak melakukan shalat.
  4. Tidak menghadirkan hati dan jiwa kita ketika mulai takbirattul ikhram sehingga pikiran kita melayang kemana-mana dan memikirkan hal-hal diluar shalat.
  5. Tidak menghadirkan kesadaran kita bahwa kita sedang berdiri dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Agung.
  6. Disamping itu kita juga sering tidak Tuma’ninah (tenang) dalam melakukan shalat, padahal itu termasuk kesalahan besar yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai sebuah pencurian, bahkan pencurian terbesar adalah pencurian dalam shalat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِيْ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهَا وَلاَ سُجُوْدَهَا

“Sejahat-jahatnya pencuri adalah orang yang mencuri dalam shalatnya”, mereka bertanya: “Bagaimana ia mencuri dalam shalatnya?” Beliau menjawab: “(Ia) tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya”.[1]

Meninggalkan  thuma’ninah[2], tidak meluruskan dan mendiamkan punggung sesaat ketika ruku’ dan sujud, tidak tegak ketika bangkit dari ruku’ serta ketika duduk diantara dua sujud, semuanya merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin.

Bahkan hampir bisa dikatakan, tak ada satu masjid pun kecuali di dalamnya terdapat orang-orang yang tidak thuma’ninah dalam shalatnya.

Thuma’ninah adalah rukun shalat, tanpa melakukannya shalat menjadi tidak sah. Ini sungguh persoalan yang sangat serius. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُجْزِئُ صَلاَةُ الرَّجُلِ حَتَّى يُقِيْمَ ظَهْرَهُ فِي الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ

“Tidak sah shalat seseorang, sehingga ia menegakkan (meluruskan) punggungnya ketika ruku’ dan sujud “.[3]

Tak diragukan lagi, ini suatu kemungkaran, pelakunya harus dicegah dan diperingatkan akan ancamannya.

Abu Abdillah Al Asy’ari Radhiyallahu anhu. berkata: “(suatu ketika) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama shahabatnya, kemudian beliau duduk bersama sekelompok dari mereka. Tiba-tiba seorang laki-laki masuk masjid dan berdiri menunaikan shalat. Orang itu ruku’ lalu sujud dengan cara mematuk[4], maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam barsabda:

 أَتَرَوْنَ هَذَا؟ مَنْ مَاتَ عَلَى هَذَا مَاتَ عَلىَ غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ، يَنْقُرُ صَلاَتَهُ كَمَا يَنْقُرُ الْغُرَابُ الدَّمَ، إِنَّمَا مَثَلُ الَّذِيْ يَرْكَعُ وَيَنْقُرُ فِيْ سُجُوْدِهِ كَالْجَائِعِ لاَ يَأْكُلُ إِلاَّ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَيْنِ فَمَاذَا يُغْنِيَانِ عَنْهُ

“Apakah kalian menyaksikan orang ini?, barang siapa meninggal dunia dalam keadaan seperti ini (shalatnya), maka dia meninggal dalam keadaan di luar agama Muhammad. Ia mematuk dalam shalatnya sebagaimana burung gagak mematuk darah. Sesungguhnya perumpamaan orang yang shalat dan mematuk dalam sujudnya bagaikan orang lapar yang tidak makan kecuali sebutir atau dua butir kurma, bagaimana ia bisa merasa cukup (kenyang) dengannya”. [5]

عَنْ زَيْدِ بْنَ وَهْبٍ قَالَ رَأَى حُذَيْفَةُ رَجُلًا لَا يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ قَالَ مَا صَلَّيْتَ وَلَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ الْفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Zaid bin Wahb rahimahullah berkata: “Hudzaifah pernah melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, ia lalu berkata: “Kamu belum shalat, seandainya engkau mati (dengan membawa shalat seperti ini), niscaya engkau mati di luar fitrah (Islam) yang sesuai dengan fitrah diciptakannya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam“.

Orang yang tidak thuma’ninah dalam shalat, sedang ia mengetahui hukumnya, maka wajib baginya mengulangi shalatnya seketika dan bertaubat atas shalat-shalat yang dia lakukan tanpa thuma’ninah pada masa-masa lalu. Ia tidak wajib mengulangi shalat-shalatnya di masa lalu, berdasarkan hadits:

 ِارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

“Kembalilah, dan shalatlah, sesungguhnya engkau belum shalat”.

Bagaimana Cara Agar Kita Dapat Khusyuk dan Tuma’ninah

Ada beberapa cara yang mungkin kita bisa tempuh agar kita bisa khusyuk dalam shalat kita, dan bisa merenungi makna dan kandungan doa-doa kita dalam shalat, serta menjauhkan godaan dan bisikan syetan yang merusak shalat kita, hal-hal tersebut diantaranya adalah:
  1. Merasakan keagungan Allah dan menghadirkan segenap perasaan kita ketika hendak atau sedang melakukan shalat. Ketika kita mengatakan  “ الله أكبر” (Allah Maha Besar), maka dibenak kita tidak ada yang lebih besar dari-Nya, dan meninggalkan seluruh urusan duniawi dibelakang kita, kita juga harus tahu bahwa tidaklah ada bagi seseorang dari pahala shalatnnya kecuali sesuai dengan apa yang ia sadari dan ia mengerti darinya, dengan kata lain jika kita lalai ditengah-tengah shalat kita dan tidak menyadari apa yang  sedang kita baca maka kita tidak akan memperoleh apa-apa dari shalat kita. Oleh karena itu ketika kita shalat hendaknya kita konsentrasi penuh untuk menjaga kesinambungan hubungan kita dengan sang Pencipta dan terus berusaha untuk memahami dan menyadari doa dan bacaan-bacaan yang kita lantunkan selama shalat.
  2. Mengikhlaskan niat hanya untuk Allah semata. Karena semua amal perbuatan kita tergantung kepada niatnya.
  3. Memperbanyak istighfar dan memohon ampun kepada Allah, karena dengan banyak beristighfar hati kita akan bersih dan tenang, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau beristighfar dalam sehari semalam tidak kurang dari tujupuluh kali.
  4. Meninggalkan maksiat. Karena ia menyebabkan kegundahan dan meninggalkan noda dihati.
  5. Memohon perlindungan kepada Allah dari gangguan syetan dan godaannya.
  6. Banyak berdoa kepada Allah, karena ia adalah senjata setiap muslim, mohonlah agar dimudahkan untuk menjalani ketaatan kepada-Nya dan dijauhkan dari fitnah dan cobaan baik yang nampak maupun yang tidak nampak.
Jika kita mengikuti dan mempraktekan langkah-langkah ini, insya Allah kita akan dimudahkan untuk bisa khusyuk dalam shalat dan semua ibadah kita.

Adapun Tuma’ninah dapat kita lakukan jika kita bisa tenang dan tidak tergesa-gesa dalam melakukan shalat, setiap gerakan dan perpindahan dari satu posisi keposisi lain kita lakukan dengan tenang dan perlahan serta tidak tergesa-gesa, terutama ketika ruku’, I’tidal (bangkit dari ruku’), sujud, dan duduk diantara dua sujud. Ketika kita ruku’, punggung harus lurus dengan tidak menunduk atau naik keatas, tetapi posisi punggung dan kepala rata kedepan, bahkan diriwayatkan bahwa Rasulullah ketika ruku’ seandainya diatas punggung beliau ditaruh bejana berisi air ia tidak tumpah. Sedangkan ketika bangkit dari ruku’ kita harus sampai berdiri tegak baru turun untuk sujud, dan tidak boleh tergesa-gesa turun sebelum kita benar-benar berdiri tegak lurus seperti ketika berdiri mebaca fatihah. Tuma’ninah merupakan rukun shalat yang jika kita tinggalkan maka shalat kita tidak sah dan wajib diulang.

[Disalin dari الخشوع في الصلاة Penulis Fahd At Tuwim, Penerjemah Team Indonesia, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2007 – 1428]
______
Footnote
[1] Hadits riwayat Imam Ahmad, 5/ 310 dan dalam Shahihul jami’ hadits no: 997.
[2] Thuma’ninah adalah diam beberapa saat setelah tenangnya anggota-anggota badan, para Ulama memberi batasan minimal dengan lama waktu yang diperlukan ketika membaca tasbih. Lihat fiqhus sunnah, sayyid sabiq: 1/ 124 ( pent).
[3] Hadits riwayat Abu Daud; 1/ 533, dalam shahihul jami’, hadits; No: 7224.
[4] Sujud dengan cara mematuk maksudnya: Sujud dengan cara tidak menempelkan hidung dengan lantai, dengan kata lain, sujud itu tidak sempurna, sujud yang sempurna adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  besabda: “Jika seseorang hamba sujud maka ia sujud denga tujuh anggota badan(nya), wajah, dua telapak tangan,dua lutut dan dua telapak kakinya”. HR. Jama’ah, kecuali Bukhari, lihat fiqhus sunnah, sayyid sabiq: 1/ 124.
[5] Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya: 1/ 332, lihat pula shifatus shalatin Nabi, Oleh Al Albani hal: 131


TUMA’NINAH DALAM SALAM

Pertanyaan:

Adakah tuma’ninah dalam gerakan salam di akhir shalat ? Maksudnya, salam ke kanan, berhenti sampai ucapan selesai. Kemudian ketika akan salam ke kiri, apakah kepala langsung diputar kearah kiri sambil mengucapkan salam atau berhenti (tuma’ninah) sejenak di tengah dengan menghadapkan wajah ke tempat sujud, baru setelah itu salam ke kir i? Mohon penjelasannya

Jawaban:

Mengucapkan salam dalam shalat dilakukan dua kali yaitu dengan menengok ke kanan dan ke kiri, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqâsh dalam shahîh Muslim yang berbunyi :

كُنْتُ أَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ حَتَّى أَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ

Aku pernah melihat Rasûlullâh mengucapkan salam kearah kanan dan kearah kiri hingga aku melihat pipinya yang putih

Dalam riwayat Tirmidzi dari Abdullâh bin Mas’ûd  Radhiyallahu anhu berbunyi:

أَنَّهُ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam kearah kanan dan kekiri mengucapkan, ” Assalamu’alaikum warahmatullah, assalamu’alaikum warahmatullah.”

Semua riwayat yang kami ketahui tentang praktik salam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang menjelaskan dengan gamblang masalah thuma’ninah dalam salam, seperti yang saudara tanyakan. Sehingga bila seorang mengucapkan salam dengan menengok kekanan dan kekiri walaupun tidak berhenti, maka itu sah. Terlebih lagi kalau melihat yang disampaikan para Ulama bahwa salam yang merupakan rukun shalat adalah salam yang pertama, sedangkan yang kedua adalah sunat. Ibnul Mundzir rahimahullah menukilkan  ijma’ tentang sahnya shalat orang yang hanya mengucapkan salam satu kali.

Wallahu a’lam. 

KHUSYU DALAM SHALAT

Pertanyaan:

Apakah benar atau tidak bahwa shalat yang tidak khusyu secara sempurna, Allah tidak akan menerimanya?

Jawaban

Alhamdulillah.

seharusnya seseorang menunaikan shalat dengan khusyu saat shalat dan menghadirkan hati. Karena Allah Ta’ala berfirman:

 قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ١ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam shalatnya”  [Al-Mukminun/23: 1-2]

Menghadirkan hati dalam shalat dan khusyu di dalamnya adalah (hal) yang sangat penting dan merupakan ruh shalat. Maka seyogyanya seseorang memperhatikan kekhusyu’an dan thuma’ninah dalam shalat. Sujud, ruku, duduk di antara dua sujud, setelah ruku ketika i’tidal, dilakukan dengan khusyu dan tuma’ninah serta jangan tergesa-gesa.

Kalau kekhusyu’an hilang sampai hingga (bagaikan burung) mematuk dalam shalat (gerakannya sangat cepat) dan tidak ada thuma’ninah, maka shalatnya batal. Akan tetapi jika shalatnya tenang, namun kadang dihinggapi perasaan atau sedikit lupa, maka hal ini tidak membatalkan shalat. Akan tetapi dia tidak mendapatkan (pahala) kecuali apa yang dia sadar, waktu khusyu dan kehadiran hati. Dia akan mendapatkan pahala (sebatas) itu, sedangkan bagian yang dia lalai, pahalanya hilang. Seharusnya bagi seorang hamba menghadirkan hatinya dengan total, thuma’ninah dan khusyu di dalamnya hanya karena Allah agar meraih pahala yang sempurna. Jadi (kalau ada sedikit ketidakkhusyu’an) tidak  membatalkan shalat kecuali apabila ada cacat dalam thuma’ninah, seperti kalau ruku tidak tuma’ninah, tergesa-gesa dan anggota badannya tidak tenang.

Seharusnya thuma’ninah sampai semua persendian (tubuh) kembali seperti semula, sekiranya memungkinkan baginya membaca ‘Subhanallah rabiyal aziimi’ dalam ruku, dan membaca ‘Subhanallah rabiyal a’la dalam sujud,  dan membaca “Rabbana walakal hamd….’ hingga seterusnya  setelah bangun dari ruku, dan membaca ‘Rabbig firli’ di antara dua sujud. Ini merupakan keharusan.

Ketika Nabi sallallahu’alaihi wasallam melihat seseorang tidak thuma’ninah dalam shalatnya bahkan (bagaikan) mematuk dalam shalatnya, (beliau) memerintahkan orang tersebut mengulangi shalatnya, seraya beliau bersabda:

صَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

“Shalatlah (kembali) kerena sesungguhnya engkau belum (sempurna) shalatnya”

Thuma’ninah adalah perkara khusyu yang paling penting, dia adalah khusyu yang wajib dalam shalat, dalam ruku, sujud, duduk di antara dua sujud, bangun dari ruku. Maka yang demikian dikatakan thuma’ninah, disebut pula khusyu. Thuma’ninah  merupakan keharusan sampai setiap persendian kembali seperti semula. Ketika ruku, harus tuma’ninah sampai tulang kembali ke tempatnya, dan persendian (kembali) ke tempatnya. Ketika bangun (dari ruku) thuma’ninah saat berdiri dari ruku. Kalau sujud tuma’ninah, pelan dan tidak tergesa-gesa sampai persendian (kembali) ke tempatnya.

Samahatus Syekh Abdul Azin bin Baz rahumahullah.


THUMA’NINAH

OlehSyaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr

Diantara kesalahan fatal yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dalam shalat mereka adalah meninggalkan thuma’ninah, padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggapkan orang yang tidak melakukannya sebagai pencuri terjelek.

Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad rahimahullah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِى يَسْرِقُ مِنْ صَلاتِهِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: “لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلاَ سُجُودَهَا

Pencuri terjelek adalah orang yang mencuri (sesuatu) dari shalatnya.’ Para Shahabat Radhiyallahu anhum bertanya, ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Bagaimana seseorang mencuri sesuatu dari shalatnya ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Dia tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya

Dalam hadits ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap orang yang mencuri sesuatu dari shalatnya lebih buruk daripada orang yang mencuri harta.

Thuma’nînah dalam shalat itu termasuk salah satu rukun shalat. Shalat tidak dianggap sah tanpa ada thuma’nînah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan kepada salah seorang shahabat yang melakukan shalat dengan buruk:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

Jika engkau berdiri hendak melakukan shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah ayat al-Qur’an yang mudah bagimu. Setelah itu, ruku’lah sampai engkau benar-benar ruku’ dengan thuma’nînah. Kemudian, bangunlah sampai engkau tegak berdiri, setelah itu, sujudlah sampai engkau benar-benar sujud dengan thuma’nînah. Kemudian, bangunlah sampai engkau benar-benar duduk dengan thuma’nînah. Lakukanlah itu dalam shalatmu seluruhnya![1]

Dari hadits ini, para ahli ilmu mengambil kesimpulan bahwa orang yang tidak meluruskan tulang punggungnya dalam ruku’ dan sujudnya, maka shalatnya tidak sah dan dia wajib mengulanginya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada salah shahabat yang melakukan shalatnya dengan tidak benar di atas:

ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

Kembalilah dan shalatlah ! karena sesungguhnya engkau belum melakukan shalat.

Dalam banyak hadits, sering disebutkan perintah agar kaum Muslimin mengerjakan dan menyempurnakan shalat serta peringatan keras dari perbuatan meninggalkan thuma’nînah atau menghilangkan salah satu rukun ataupun hal-hal yang diwajibkan dalam shalat. Diantara adalah hadits yang disebutkan di atas , juga hadits-hadits berikut :

Hadits riwayat al-Bukhâri dan Muslim dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَتِمُّوا الرُّكُوْعَ وَالسُّجُوْدَ

Sempurnakanlah ruku’ dan sujud kalian.[2]

Kesempurnaan itu akan terealisasi jika keduanya dilakukan dengan thuma’ninah

Diantara dalil juga adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dari Ali bin Syaiban, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan, “Kami shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu sepintas Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dengan mata beliau, ada seorang lelaki yang tidak meluruskan tulang punggungnya dalam ruku’ dan sujud. Setelah selesai shalat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِيْنَ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُقِيْمَ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ

Wahai kaum Muslimin, tidak ada shalat bagi orang yang tidak meluruskan tulang punggungnya dalam ruku’ dan sujud[3]

Maksudnya, dia tidak meluruskan punggungnya setelah ruku dan sujud. Jadi, hadits ini menunjukkan bahwa berdiri dan duduk serta thuma’nînah pada keduanya termasuk rukun.

Abu Ya’la rahimahullah meriwayatkan dalam Musnadnya (no. 7184; dan diriwayatkan juga oleh Ath-Thabarani di dalam al-Kabîr, no. 3840; dihasankan oleh al-Albani dalam Shifat Shalat, hlm. 131) dengan sanad yang hasan:

أَن ّرَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم رَأَى رَجُلا لا يُتِمَّ رُكُوعَهُ يَنْقُرُ فِي سُجُودِهِ وَهُوَ يُصَلِّي ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِهِ هَذِهِ مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku’nya, dan mematuk di dalam sujudnya, ketika dia sedang shalat, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang ini mati dalam keadaannya seperti itu, dia benar-benar mati tidak di atas agama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.

Ini adalah ancaman keras, dikhawatirkan pelakunya mengalami sû-ul khâtimah, yaitu mati tidak di atas agama Islam, kita berlindung kepada Allâh dari keadaan demikian.

Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ وَنَهَانِي عَنْ ثَلَاثٍ … وَنَهَانِي عَنْ نَقْرَةٍ كَنَقْرَةِ الدِّيكِ وَإِقْعَاءٍ كَإِقْعَاءِ الْكَلْبِ وَالْتِفَاتٍ كَالْتِفَاتِ الثَّعْلَبِ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahku dengan tiga perkara dan melarangku dari tiga perkara… melarangku dari mematuk seperti patukan ayam jantan, duduk iq’â seperti duduk iq’ânya anjing, dan menoleh seperti menolehnya musang. [HR. Ahmad, no. 8106; dihasankan oleh al-Albâni di dalam Shahîh at-Targhîb, no. 555]

Imam al-Bukhâri meriwayatkan dalam kitab Shahîhnya (no. 791):

أَنَّ حُذَيْفَةَ بْنَ اليَمَانِ رَأَى رَجُلًا لَا يُتِمُّ رُكُوعَهُ وَلَا سُجُودَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ قَالَ لَهُ حُذَيْفَةُ “مَا صَلَّيْتَ قَالَ وَأَحْسِبُهُ قَالَ لَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ سُنَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” –وفي رواية-: وَلَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ الْفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا

Bahwa Hudzaifah bin al-Yamân melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Ketika dia sudah menyelesaikan shalatnya, Hudzaifah berkata kepadanya: “Engkau belum mengerjakan shalat”. Perawi berkata, ‘Dan aku mengira Hudzaifah berkata kepadanya, “Jika engkau mati (padahal shalatmu seperti ini), engkau mati tidak di atas sunnah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Di dalam satu riwayat, “Jika engkau mati (padahal shalatmu seperti ini), engkau mati tidak di atas fithrah yang Allâh jadikan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas fathrah tersebut”.

Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Thalq bin ‘Ali Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى صَلَاةِ عَبْدٍ لَا يُقِيمُ فِيهَا صُلْبَهُ بَيْنَ رُكُوعِهَا وَسُجُودِهَا

Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak melihat shalat seorang hamba yang tidak di dalam shalatnya tidak menegakkan tulang punggungnya di antara ruku’ dan sujudnya.

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahîhnya (no. 498) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata:

وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ قَائِمًا وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ جَالِسًا

Dan beliau (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) jika mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau tidak akan turun bersujud sampai berdiri dengan sempurna. Dan jika beliau mengangkat kepalanya dari sujud, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersujud sampai duduk dengan sempurna.

Sesungguhnya banyak sekali hadits-hadits yang berisi perintah menjaga kesempurnaan ruku’, sujud dan bangkit dari keduanya, dan menunjukkan bahwa hal itu termasuk rukun shalat. Dan shalat itu tidak sah tanpa dia. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits, seperti al-Bukhâri, Muslim, Sunan Empat, dan lainnya. Sebagian hadits-hadits itu telah disebutkan di depan. Maka kewajiban setiap Muslim menjaga hal itu dengan sempurna dalam shalatnya. Dia harus menyempurnakan ruku’nya, i’tidalnya, sujudnya dan duduknya. Semua itu dilakukan dengan sempurna dalam shalatnya, dari awal sampai akhir, dengan cara yang bisa mendatangkan ridha Allâh Azza wa Jalla , sebagai pengamalan dari sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berpegang dengan sunnah beliau yang telah bersabda :

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat. [HR. Al-Bukhâri, no. 631, 6008, 7246; dari hadits Mâlik bin al-Huwairits Radhiyallahu anhu]

Diantara yang mengherankan, ada orang berada di dalam rumahnya, lalu dia mendengar adzan. Kemudian, dia segera berdiri, bersiap-siap dan keluar dari rumahnya hendak melaksanakan shalat, bukan untuk yang lain. Ada kemungkinan dia keluar pada waktu malam yang gelap lagi hujan, menginjak lumpur, melewati air sehingga bajunya basah; Jika dia keluar, disaat malam musim panas, maka dia pun tidak aman dari sengatan kalajengking dan serangga berbisa lainnya dalam gelapnya malam; Ada kemungkinan juga, dia berangkat keadaan sakit dan lemah, Meski demikian, dia tetap keluar menuju masjid. Dia siap menanggung semua itu karena ia lebih mengutamakan shalat dan karena cintanya kepada shalat juga karena niatnya untuk melaksanakan shalat. Dia tidak keluar rumah untuk selainnya. Namun ketika dia masuk shalat jama’ah bersama imam, setan mulai menipunya, akhirnya dia pun mendahului imam dalam rukû’, sujud, bangkit dan turun. Setan memperdayainya agar shalatnya batal dan amalannya gugur, sehingga dia keluar dari masjid tanpa mendapatkan pahala shalat.

Anehnya, mereka semua meyakini bahwa tidak ada seorang makmum pun di belakang imam yang boleh berpaling (selesai-red) dari shalatnya sampai imam berpaling. Semua menanti imam sampai mengucapkan salam. Namun (meskipun mereka meyakini itu-red), mereka semua mendahului imam di dalam ruku’, sujud, bangkit, dan turun –kecuali orang yang dikehendaki oleh Allâh- karena setan memperdaya mereka, menjadikan mereka meremehkan dan merendahkan shalat”[4].

Berdasarkan nash-nash di atas dan lainnya, yang telah shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para Ulama Islam berpendapat bahwa menegakkan rukun-rukun dalam rukû’, sujud, dan berdiri di antara keduanya, dan duduk di antara dua sujud, merupakan kewajiban dalam shalat dan termasuk rukun shalat. Shalat menjadi batal dengan meninggalkannya, dan orang yang melakukannya wajib mengulangi shalat.

Riwayat dari perkataan ulama tentang hal ini banyak sekali, tidak mungkin membawakan semuanya atau sebagiannya di kesempatan ini. Tetapi saya akan mencukupkan dengan satu riwayat tentang hal ini dari seorang imam yang agung, yaitu imam Qadhi Abu Yusuf, murid imam Abu Hanifah rahimahullah. Imam Abu Yusuf berkata:

تَعْدِيْلُ الْأَرْكَانِ الصَّلَاةِ وَهُوَ الطُّمَأْنِيْنَةُ فِي الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ، وَكَذَا إِتْمَامُ الْقِيَامِ بَيْنَهُمَا وَإِتْمَامُ الْقُعُوْدِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ فَرْضٌ تَبْطُلُ الصَّلَاةُ بِتَرْكِهِ

Menegakkan rukun-rukun shalat, yaitu tumakninah di dalam ruku’ dan sujud, demikian juga menyempurnakan berdiri di antara keduanya, dan menyempurnakan duduk di antara dua sujud, merupakan kewajiban, shalat menjadi batal dengan sebab meninggalkannya.

Banyak Ulama telah meriwayatkan perkataan ini dari imam Abu Yûsuf rahimahullah[5].

Sesungguhnya kewajiban setiap Muslim untuk menjaga shalatnya, dan menegakkan shalatnya dengan sempurna dalam menjaga syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannyadan sunah-sunahnya. Allâh Azza wa Jalla telah berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُون ﴿١﴾ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. [al-Mukminûn/23: 1-2]

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (Ashar). Berdirilah untuk Allâh (dalam shalatmu) dengan khusyu’. [Al-Baqarah/2: 238]

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. [Al-Ma’un/107: 4-5]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir ayat (yang artinya), “الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ  (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”, yaitu adakalanya (lalai dari pelaksanaan shalat-red) di awal waktunya, dia selalu atau sering menunda pelaksanaannya di akhir waktunya; Adakalanya (lalai) dari pelaksanaan shalat dengan memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya sesuai dengan yang telah diperintahkan; Atau adakalanya (lalai) dari khusyû’ dalam shalat dan tadabbur (merenungkan) makna-maknanya. Lafazh (ayat tersebut di atas) mencakup semua itu. Dan setiap orang yang memiliki sebagian sifat ini termasuk bagian dari (kandungan-red) ayat ini. Barangsiapa memiliki seluruh sifat itu, maka dia mendapatkan bagian yang sempurna dari ayat ini, dan (dengan demikian-red) sempurna pula padanya sifat nifaq amaliy (kemunafikan secara amalan)”[6].

Semoga Allâh melindungi kita dari hal di atas, dan semoga Dia memberikan taufiq kepada kita untuk mengamalkan kitab-Nya dan berpegang kepada sunah Nabi-Nya. Dan semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita orang-orang yang menegakkan shalat dengan menyempurnakan rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, dan kewajiban-kewajibannya. Dan semoga Allâh menerima dari kita perkataan yang baik dan amalan yang lurus, dan mengampuni kesalahan kita yang berupa kekeliruan, kekurangan, atau ketergelinciran.

Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
_______

Footnote:

[1] HR. al-Bukhâri,no. 757 dan Muslim,no. 397 dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[2] HR. al-Bukhâri,no. 6644 dan Muslim,no. 425
[3] HR. Ahmad, no. 16297; Ibnu Majah, no. 871. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahîhul Jâmi’, no. 7977
[4] Dari kitab ash-Shalât karya imam Ahmad, dimuat di dalam Thabaqat Hanabilah, 1/353
[5] Termasuk yang meriwayatkan perkataan ini darinya adalah Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab di dalam kitab at-Taudhîh ‘an Tauhîdil Khallâq, hlm. 260-261
[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8/493