Kami akan menyebutkan dalam bab ini, sebagian kebiasaan yang harus dijauhi secara mutlak, karena syari’at melarangnya. Karena kebiasaan-kebiasaan ini sering dilakukan ketika langsung-kannya pernikahan, maka tepat sekali bila kami mengemukakannya di sini.
Pertama:
MENCABUT ALIS.
Syaikh al-Albani mengatakan: “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa mencabut alisnya, sehingga menjadi seperti busur atau bulan sabit yang mereka lakukan untuk mempercantik diri menurut dugaan mereka, maka hal ini termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pelakunya dilaknat; berdasar-kan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَعَنَ اللهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ، وَالْوَاصِلاَتِ، وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ، وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ، الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ.
“Allah melaknat orang yang mentato dan wanita yang minta ditato, wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu), yang mencukur alis dan yang minta dicukur, dan wanita yang merenggangkan (mengikir) giginya untuk kecantikan, yang merubah ciptaan Allah.”[1]
Hal ini diharamkan, walaupun dilakukan untuk suami, karena terdapat larangan yang tegas.
Kedua:
MENTATO, MERENGGANGKAN (MENGIKIR) GIGI DAN MENYAMBUNG RAMBUT.
Disebutkan dalam kitab ash-Shahiihain dan selainnya, dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Allah melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, wanita yang mencukur alisnya, wanita yang merenggangkan giginya untuk kecantikan, yang me-rubah ciptaan Allah.”
Hal itu sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang (biasa) dipanggil Ummu Ya’qub, maka ia datang seraya mengatakan: “Telah sampai kepadaku darimu, bahwa engkau melaknat demikian dan demikian.” Ia (Ibnu Mas’ud) menjawab: “Mengapa aku tidak (boleh) melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang dilaknat dalam Kitabullah?” Ia mengatakan: “Aku telah membaca al-Qur-an dan aku tidak mendapati apa yang engkau katakan.” Dia menjawab: “Jika engkau telah membacanya, maka engkau (telah) mendapatinya. Bukankah engkau membaca:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
‘Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...’” [Al-Hasyr/59: 7].
Ia menjawab: “Tentu.” Dia mengatakan: “Sesungguhnya beliau telah melarangnya.” Ia mengatakan: “Aku melihat keluargamu melakukannya.” Dia mengatakan: “Pergilah, lalu lihatlah!” Kemudian ia pergi untuk melihatnya, tetapi ia tidak mendapati sesuatu pun dari apa yang ditujunya.” Dia mengatakan: “Seandainya ia demikian, niscaya aku tidak menggaulinya.”[2]
Dalam kitab ash-Shahiihain dari ‘Aisyah, bahwa seorang gadis dari Anshar telah menikah. Kemudian ia sakit sehingga rambutnya rontok, lalu ia ingin menyambung rambutnya, lantas mereka ber-tanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ.
“Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang meminta untuk disambung rambutnya.”[3]
An-naamishah ialah wanita yang mencukur bulu alis.
Al-wasyr ialah merenggangkan gigi dan mengikirnya dengan alat pengikir dan selainnya, sehingga menjadi indah. Inilah makna al-mutafallijaat lil husni, yakni wanita yang melakukannya untuk kecantikan.
Adapun al-wasym ialah menusuk anggota tubuh dengan jarum atau selainnya sampai darahnya mengalir, kemudian diberi celak atau selainnya sehingga menjadi biru. Kadangkala berbentuk hiasan atau selainnya. Pelaku atas semua perbuatan itu akan dilaknat.
Sedangkan arti laknat ialah dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Keberadaan tato itu najis, sebagaimana disebutkan oleh sebagian ulama karena darah tercampur di dalamnya. Oleh karena itu, harus dihilangkan walaupun dengan melukainya, jika hal itu memungkinkan.[4]
Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin berkata: “Merias itu ada dua macam:
Bersifat tetap dan berkelanjutan, seperti tato, memperindah gigi dan mencabut alis mata, maka semua ini diharamkan; bahkan termasuk dosa besar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku-
Merias yang bersifat sementara, maka hal ini tidak mengapa, seperti merias dengan celak, make up dan selainnya (yang dilakukan di rumah untuk suaminya-ed.).”[5]
Memakai Wig.
Syaikh al-Fauzan mengatakan: “Di antara menyambung rambut yang diharamkan adalah memakai wig yang dikenal pada zaman ini, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنِ امْرَأَةٍ تَجْعَلُ فِيْ رَأْسِهَا شَعْرًا مِنْ شَعْرِ غَيْرِهَا، إِلاَّ كَانَ زُوْرًا.
‘Tidaklah seorang wanita meletakkan rambut dari rambut selainnya, malainkan itu suatu penipuan.’
Wig adalah rambut buatan yang menyerupai rambut kepala, dan memakainya adalah sebuah penipuan.”[6]
Dan berdasarkan hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah Radhiyallahu anha tentang seorang gadis yang rambutnya rontok dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya menyambung rambutnya dengan rambut selainnya.[7]
Dari Humaid bin ‘Abdirrahman, bahwasanya ia mendengar Mu’awiyah Radhiyallahu anhu pada musim haji (berada) di atas mimbar seraya mengambil sejumlah rambut yang berada di tangan Horasi (hamba sahaya amir) lalu mengatakan, “Wahai penduduk Madinah, di mana-kah ulama-ulama kalian? Aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perbuatan semacam ini. Beliau bersabda:
إِنَّمَا هَلَكَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ حِيْنَ اتَّخَذَ هَذِهِ نِسَاؤُهُمْ.
‘Binasanya Bani Israil adalah ketika wanita-wanita mereka menggunakan ini.‘”[8]
Sebagian ulama menyebutkan bolehnya memakai wig pada saat rambut wanita tidak tumbuh, yakni botak, maka tidak me-ngapa memakai wig dalam keadaan demikian.
Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya: “Apakah wanita halal menggunakan wig, yaitu rambut palsu demi suaminya?
Beliau menjawab: “Wig itu diharamkan dan ia termasuk dalam ketegori menyambung rambut, meskipun tidak tersambung. Sebab, wig ini menampakkan rambut wanita yang lebih panjang dari rambut sebenarnya sehingga serupa dengan menyambung. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang meminta menyambungnya.
Tetapi jika sejak asal di kepala wanita tidak ada rambutnya, misalnya botak, maka tidak mengapa menggunakan wig untuk menutupi aib ini; karena menghilangkan aib itu adalah boleh. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan orang yang hidungnya terpotong di salah satu peperangan untuk membuat hidung dari emas. Permasalahan-nya lebih luas dari itu, sehingga -dengan demikian- masalah-masalah mempercantik diri disertai berbagai prosesnya seperti memperkecil hidung dan selainnya masuk dalam ketegorinya. Mempercantik bukan menghilangkan aib. Jika hal itu untuk menghilangkan aib, maka tidak mengapa, misalnya hidungnya bengkok lalu ia melurus-kannya atau menghilangkan bercak hitam, misalnya, maka tidak mengapa. Adapun jika bertujuan mengubahnya dengan menghilangkan aib, seperti tato misalnya, maka ini dilarang. Menggunakan wig, walaupun dengan seizin suami dan restunya, maka ini diharamkan; karena izin dan restu tidak berlaku dalam perkara yang diharamkan Allah.”[9]
Berkaitan dengan menghilangkan tato setelah mengetahui keharamannya atau setelah bertaubat dari hal itu, Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata: “Jika manusia mampu menghilangkannya, maka ia harus menghilangkannya. Jika tidak dapat dihilangkan dari aspek kedokteran, maka –alhamdulillah– ia mendapatkan udzur karena tidak mampu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu...” [At-Taghaabun/64: 16].”[10]
Ketiga:
MENCAT DAN MEMANJANGKAN KUKU.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ: اَلاِخْتِتَانُ، وَاْلاِسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبَ، وَتَقْلِيْمُ اْلأَظْفَارِ، وَنَتْفُ اْلإِبْطِ.
“Yang termasuk fitrah manusia itu ada lima; khitan, men-cukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.”[11]
Anas Radhiyallahu anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menentukan waktu bagi kami untuk memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan memotong rambut kemaluan, yaitu tidak dibiarkan lebih dari 40 malam.”[12]
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Inilah kebiasaan buruk yang ditularkan dari wanita-wanita berkelakuan buruk dari bangas Eropa kepada kebanyakan wanita muslimah, yaitu mencat kuku mereka dengan warna merah dan memanjangkan sebagiannya. Dan sebagian pemuda pun melakukannya.”[13]
Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata: “Tidak boleh memanjangkan kuku; karena memanjangkan kuku menyerupai binatang dan sebagian kaum kafir. Mencat kuku sebaiknya tidak dilakukan dan wajib menghilangkannya ketika berwudhu’, karena menghalangi sampainya air ke kuku.”[14] Kemudian beliau menyebutkan dua hadits tentang fitrah di atas.
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhari (no. 4886) kitab Tafsiirul Qur-aan, Muslim (no. 2125) kitab al-Libaas waz Ziinah (no. 2782) kitab al-Adab, an-Nasa-i (no. 5099) kitab az-Ziinah, Abu Dawud (no. 4169) kitab at-Tarajjul, Ibnu Majah (no. 1989) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 3871), ad-Darimi (no. 2647) kitab al-Isti’-dzaan.
[2] Telah ditakhrij sebelumnya.
[3] HR. Al-Bukhari (no. 5205) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 2123) kitab al-Libaas waz Ziinah, an-Nasa-i (no. 5097) kitab az-Ziinah, Ahmad (no. 24282).
[4] Kitab Ziinatul Mar-ah bainath Thibb wasy Syar’i, Muhammad al-Musnid (hal. 42, no.42), dan lihat Fat-hul Baari (X/372).
[5] Ziinatul Mar-ah bainath Thibb wasy Syar’i (hal. 42).
[6] Ibid (hal. 43), dan dinisbatkan kepada kitab ad-Da’wah (no. 1240).
[7] HR. Al-Bukhari (no. 5205) dan takhrijnya telah disebutkan.
[8] HR. Al-Bukhari (no. 5932) kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’, Muslim (no. 2127) kitab al-Libaas waz Ziinah, at-Tirmidzi (no. 2781) kitab al-Adab, Abu Dawud (no. 4167) kitab at-Tarajjul, Ahmad (no. 16388), Malik (no. 1765) kitab al-Jaami’.
[9] Fataawaa al-Mar-ah, dihimpun oleh Muhammad al-Musnid (hal. 183).
[10] Ziinatul Mar-ah bainath Thibb wasy Syari’ (hal. 43), dan dinisbatkan kepada ad-Da’wah (no. 1375).
[11] HR. Al-Bukhari (no. 5889), kitab al-Libaas, Muslim (no. 257) kitab ath-Thahaarah, at-Tirmidzi (no. 2756) kitab al-Adab, an-Nasa-i (no. 10) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 4198) kitab at-Tarajjul, Ibnu Majah (no. 292) kitab ath-Thahaarah, Ahmad (no. 7092), Malik (no. 1709) kitab al-Jimaa’.
[12] HR. Muslim (no. 258) kitab ath-Thahaarah, at-Tirmidzi (no. 2758) kitab al-Adab, an-Nasa-i (no. 14) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 4200) kitab at-Tarajjul, Ibnu Majah (no. 295) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuha, Ahmad (no. 11823).
[13] Aadaabuz Zifaaf, Syaikh al-Albani (hal. 204).
[14] Fataawaa al-Mar-ah, dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad al-Musnid, (hal. 167).