Pertanyaan:
Assalâmu`alaikum. Saya pelanggan As-Sunnah di Enrekang Sulawasi selatan. Imam di masjid saya merasa tidak di hargai kalau ada jama`ah yang tidak ikut doa bersama dan shalat sunah ba’diah. Dia juga menyuruh jam`ah berterima kasih dengan salaman kepadanya. Adakah dasar dalam Islam perilaku imam tersebut? Mohon uraian di majalah. Terima kasih. Ikhwan (Kamil) di Enrekang
Jawaban:
Di dalam pertanyaan ini ada dua perkara:
1.Imam shalat merasa tidak dihargai jika ada jama’ah yang tidak ikut berdoa bersama-sama, malahan melakukan shalat ba’diyah.
3. Imam shalat menyuruh jama’ah berterima kasih kepadanya dengan berjabat tangan dengannya setelah shalat.
Untuk menjelaskan masalah ini akan kami sampaikan beberapa perkara, sehigga masalah di atas semoga dapat diselesaikan dengan baik.
- Pertama: Perlu diketahui, bahwa imam shalat itu wajib diikuti sampai selesai shalat. Sehingga setelah selesai salam, makmum sudah tidak harus mengikuti imamnya.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّيْ إِمَامُكُمْ فَلاَ تَسْبِقُوْنِيْ بِالرُّكُوْعِ وَلاَ بِالسُّجُودِ وَلاَ بِالْقِيَامِ وَلاَ بِالاِ نْصِرَافِ
Dari Anas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari shalat mengimami kami. Setelah selesai shalat beliau menghadapkan wajahnya kepada kami lalu bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imam (shalat) kamu, maka janganlah kamu mendahuluiku dengan ruku’, sujud, berdiri, atau salam!” [HR. Muslim, no. 426]
Ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam berdoa setelah shalat adalah dengan sendiri-sendiri, sebagaimana di dalam hadits berikut ini:
عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ قَالَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ رَبِّ قِنِيْ عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ أَوْ تَجْمَعُ عِبَادَكَ
Dari al-Bara’, dia berkata: “Kami (para Sahabat) dahulu, jika melakukan shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kami suka berada disebelah kanan beliau, karena beliau akan menghadapkan wajahnya kepada kami”. Al-Bara’ juga berkata: “Aku pernah mendengar beliau berdoa: “Wahai Rabb-ku, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau akan membangkitkan atau mengumpulkan hamba-hamba-Mu”. [HR.Muslim, no. 709]
- Kedua: Berjabat tangan itu dianjurkan ketika bertemu dan keutamaannya akan menggugurkan dosa orang Islam yang berjabat tangan tersebut. Adapun kebiasaan berjabat tangan setelah shalat, maka hal ini diingkari oleh banyak Ulama’, kecuali bagi orang yang belum bertemu sebelumnya.
Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah berkata: “Berjabat tangan setelah shalat subuh dan ashar [2] termasuk perkara-perkara bid’ah, kecuali bagi orang yang baru datang sebelum shalat bertemu dengan orang yang berjabat tangan dengannya. Karena berjabat tangan itu disyari’atkan pada waktu datang. Dan kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah shalat adalah melakukan dzikir-dzikir yang disyari’atkan dan beristighfar tiga kali, kemudian pergi. Dan diriwayatkan beliau berdoa (setelah shalat) “Rabbi qinî ‘adzâbaka yauma tab’atsu ‘ibâdaka” (Wahai Rabb-ku jagalah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau akan membangkitkan atau mengumpulkan hamba-hamba-Mu)[3] ; dan seluruh kebaikan itu adalah didalam ittibâ’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “[4].
Imam Al-Laknawi rahimahullah berkata: “Sesungguhnya mereka (para Ulama’) telah sepakat bahwa jabat tangan ini (yakni setelah shalat-red) tidak ada dalilnya dari syari’at. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang makrûh atau mubahnya. Jika suatu perkara berkisar antara makrûh dan mubâh, sepantasnya difatwakan dengan larangan padanya, karena menolak bahaya lebih utama daripada mendatangkan kebaikan. Bagaimana tidak menjadi lebih utama, karena orang-orang yang berjabat tangan (setelah shalat) di zaman kita ini menganggapnya sebagai perkara yang baik, dan mereka mencela dengan keras terhadap orang-orang yang tidak melakukannya”. [5]
Inilah jawaban kami terhadap pertanyaan saudara. Namun, hendaklah kita bersikap santun dan sabar di dalam usaha mengajak umat menuju Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , agar lebih mudah diterima. Wallâhul Musta’ân.
_______
Footnote:
[1]. Majmû’ Fatâwa 22/512-513
[2]. Ini di zaman beliau, adapun di zaman sekarang kebasaan berjabat tangan itu berkembang, dilakukan setelah shalat lima waktu,shalat jum’at, shalat hara raya, dan shalat tarawih.
[3]. HR.Muslim, no. 709
[4]. Fatâwa al-‘Izz bin Abdis Salâm, hlm. 46-47; dinukil dari Al-Qaulul Mubîn fî Akh-thâil Mushalîn, hlm. 294
[5]. As-Siyâ’ah fî Kasyfi ‘ammâ fî Syarhil Wiqâyah, hlm. 265; dinukil dari Al-Qaulul Mubîn fî Akh-thâil Mushalîn, hlm. 296.
Referensi: https://almanhaj.or.id/