Type Here to Get Search Results !

 


JUAL BELI VALAS MELALUI E-WALET

 

Jual Beli Mata Uang (Fatwa MUI)

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum

Ustadz, bagaimana tanggapan ustadz terhadap Fatwa MUI tentang Jual Beli Mata Uang berikut ini:

FATWA

DEWAN SYARI’AH NASIONAL

NO: 28/DSN-MUI/III/2002

Tentang

JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF)

Menimbang:

Mengingat:

Memperhatikan:

Memutuskan:

Menetapkan: 

FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF)

  • Pertama:

Ketentuan Umum:

Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)

b. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)

c. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).

d. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

  • Kedua: Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing

a. Transaksi Spot

Yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari ( ِمَّما لاَ ُبَّد مِنْهُ) dan merupakan transaksi internasional.

b.Transaksi Forward

Yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).

c.Transaksi Swap

Yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

d.Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

Ketiga:

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Jazakumullah khairan

Tim PengusahaMuslim.com

Jawaban:

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Amiin.

Langsung saja, berhubungan dengan fatwa MUI yang membolehkan transaksi spot dengan alasan bahwa itu dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak dapat dihindari dan merupakan transaksi internasional, maka sebatas ilmu yang saya miliki itu tidak dapat diterima dengan beberapa alasan berikut:

1. Telah jelas dalil-dalil yang menunjukkaan bahwa jual-beli mata uang yang dalam hal ini dihukumi dengan hukum emas dan perak (dinar dan dirham) harus dilakukan dengan kontan, tanpa ada yang terhutang sedikitpun.

Diantara dalil yang menunjukkan akan hukum ini ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ. رواه مسلم

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, korma dijual dengan korma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barang siapa yang menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, pemberi dan penerima dalam hal ini sama.” (HRS Muslim)

Sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ ، وَلاَ تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ ، وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ. رواه البخاري ومسلم

“Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan.” (Riwayat Al Bukhary dan Muslim)

Demikianlah Syari’at Islam mengajarkan kita dalam jual beli emas, perak dan yang serupa dengannya, yaitu mata uang yang ada pada zaman kita sekarang ini. Pembayaran harus dilakukan dengan cara kontan alias tunai dan lunas tanpa ada yang terhutang sedikitpun.

Hukum ini merupakan hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama’ dalam setiap mazhab fiqih.

Kisah berikut dapat menjadi dalil yang memperjelas maksud dari pembayaran kontan yang dimaksudkan oleh hadits-hadits di atas:

عَن ْابن شهاب أن مَالِكِ بْنِ أَوْسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ الْتَمَسَ صَرْفًا بِمِائَةِ دِينَارٍ ، فَدَعَانِى طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ فَتَرَاوَضْنَا ، حَتَّى اصْطَرَفَ مِنِّى ، فَأَخَذَ الذَّهَبَ يُقَلِّبُهَا فِى يَدِهِ ، ثُمَّ قَالَ حَتَّى يَأْتِىَ خَازِنِى مِنَ الْغَابَةِ ، وَعُمَرُ يَسْمَعُ ذَلِكَ ، فَقَالَ وَاللَّهِ لاَ تُفَارِقُهُ حَتَّى تَأْخُذَ مِنْهُ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ . صلى الله عليه وسلم . الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ . رواه البخاري

Ibnu Syihab mengisahkan bahwa Malik bin Aus bin Al Hadatsan menceritakan kepadanya bahwa pada suatu hari ia memerlukan untuk menukarkan uang seratus dinar (emas), maka Thalhah bin Ubaidillah pun memanggilku. Selanjutnya kamipun bernegoisasi dan akhirnya ia menyetuji untuk menukar uangku, dan iapun segera mengambil uangku dan dengan tangannya ia menimbang-nimbang uang dinarku. Selanjutnya Thalhah bin Ubaidillah berkata: Aku akan berikan uang tukarnya ketika bendaharaku telah datang dari daerah Al Ghabah (satu tempat di luar Madinah sejauh + 30 KM), dan ucapannya itu didengar oleh sahabat Umar (bin Al Khatthab), maka iapun spontan berkata kepadaku: Janganlah engkau meninggalkannya (Thalhah bin Ubaidillah) hingga engkau benar-benar telah menerima pembayarannya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Emas ditukar dengan emas adalah riba kecuali bila dilakukan secara ini dan ini alias tunai, gandum ditukar dengan gandum adalah riba, kecuali bila dilakukan dengan ini dan ini alias tunai, sya’ir (satu verietas gandum yang mutunya kurang bagus -pen) ditukar dengan sya’ir adalah riba kecuali bila dilakukan dengan ini dan ini alias tunai, korma ditukar dengan korma adalah riba, kecuali bila dilakukan dengan ini dan ini alias tunai.” (Riwayat Bukhari)

Pada riwayat lain sahabat Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu lebih tegas lagi menjelaskan makna tunai yang dimaksudkan pada hadits-hadits di atas:

لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقِ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالذَّهَبِ أَحَدُهُمَا غَائِبٌ وَالْآخَرُ نَاجِزٌ وَإِنْ اسْتَنْظَرَكَ إِلَى أَنْ يَلِجَ بَيْتَهُ فَلَا تُنْظِرْهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرَّمَاءَ وَالرَّمَاءُ هُوَ الرِّبَا رواه مالك والبيهقي

“Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan emas, salah satunya tidak diserahkan secara kontan sedangkan yang lainnya diserahkan secara kontan. Dan bila ia meminta agar engkau menantinya sejenak hingga ia masuk terlebih dahulu ke dalam rumahnya sebelum ia menyerah barangnya, maka jangan sudi untuk menantinya. Sesungguhnya aku khawatir kalian melampaui batas kehalalan, dan yang dimaksud dengan melampaui batas kehalalan ialah riba.” (Riwayat Imam Malik dan Al Baihaqi)

2. Apa yang dijadikan alasan dalam fatwa MUI bahwa tempo 2 hari sebagai batas waktu paling minimal untuk proses penyelesaian yang tidak dapat dihindari, tidak dapat diterima. Yang demikian itu, dikarenakan proses pembayaran pada zaman sekarang jauh lebih mudah dibanding zaman dahulu. Bila pada keterangan Khalifah Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu tidak dibenarkan untuk menunda walau hanya sekejap, yaitu sekedar anda masuk ke dalam rumah lalu keluar lagi, maka tempo dua hari lebih layak untuk dilarang. Terlebih-lebih proses pemindahan uang pada zaman sekarang jauh lebih mudah bila dibanding zaman dahulu. Anda hanya membutuhkan kepada beberapa detik saja untuk mentransfer dana walau dalam jumlah besar, yaitu melalui jasa internet banking atau yang semisal. Atau transfer biasa dengan cara mendatangi kantor cabang salah satu bank yang ada di masyarakat.

Sebagai seorang  muslim yang benar-benar taat kepada Allah anda pasti akan senantiasa berusaha untuk menundukkan hukum pasar di bawah hukum Allah, dan bukan sebaliknya. Iman anda pasti memanggil anda untuk merubah pola dan peraturan pasar agar sesuai dengan hukum Allah dan tidak sebaliknya merubah hukum Allah agar sesuai dengan hukum pasar. Terlebih-lebih bila pola dan hukum pasar yang ada adalah hasil dari rekayasa musuh-musuh anda, yang sudah dapat dipastikan tidak perduli dengan halal dan haram.

3. Memberi kelonggaran kepada kedua belah pihak untuk menunda pembayaran hingga dua hari berarti memberi peluang kepada para pemakan riba, para spekulator yang telah menjual dananya dengan skema spot untuk melangsungkan kejahatannya. Misalnya melalui penjualan dalam skema short selling, sebagaimana yang banyak terjadi pada pasar valas. Seorang broker yang bernama A pada awal pembukaan pasar valas di pagi hari, menjual uang dolar Amerika sebesar 10.000 US dolar kepada seorang pedagang valas bernama B, dengan harga Rp 100 juta.

Dengan demikian secara teori setelah akad ini A memiliki dana 100 juta rupiah, sedangkan B memiliki dana 10.000 US dolar. Akan tetapi pada kenyataanya B hanya mentransfer sebesar 10 % yaitu sebesar Rp 10 juta, dari dana yang wajib ia bayarkan ke A.

Pada penutupan pasar di sore hari, B berkewajiban menjual kembali uang dolarnya kepada sang broker dengan kurs yang berlaku pada sore hari. Bila pada sore hari kurs dolar terhadap rupiah melemah sehingga menjadi 1 : 9.900 maka B beruntung, karena dari setiap 1 US dolar ia mendapatkan keuntungan Rp 100. Dan sebaliknya bila dolar menguat terhadap rupiah, sehingga menjadi 1 : 10.100, maka B merugi tiap 1 US dolar sebesar Rp 100. Transaksi semacam inilah salah satu penyebab terjadinya gonjang-ganjing pada kurs suatu mata uang, oleh karena itu berbagai negara membatasinya sedemikian rupa, bahkan melarangnya.

4. Apa yang disebutkan pada fatwa MUI bahwa transaksi valas hanya dibolehkan bila ada keperluan misalnya untuk berjaga-jaga dan tidak untuk spekulasi (untung-untungan) –sebatas ilmu saya- adalah persyaratan  yang tidak memiliki dasar hukum, alias tanpa dalil. Karena transaksi valas (As Sharf) adalah salah satu bentuk transaksi mukayasah yang didasari oleh keinginan mendapatkan keuntungan, dan tidak termasuk transaksi yang bertujuan memberikan jasa atau uluran tangan. Dengan demikian, transaksi ini semestinya dibolehkan kapan saja, walau dengan tujuan mencari keuntungan, asalkan dilakukan dengan cara tunai tanpa ada yang terhutang sedikitpun dan bila penukaran uang dilakukan antara mata uang yang sama maka nilainya harus sama tanpa ada kelebihan sedikitpun.

5. Apa yang saya tulis di sini adalah sebatas ilmu yang saya miliki, bila ada kebenaran, maka itu datangnya hanya dari Allah dan bila terdapat kesalahan maka itu adalah dari setan dan kebodohan diri saya, sehingga sayapun mohon ampunan kepada Allah Ta’ala. Wallahu a’lam.

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.

Sumber: https://konsultasisyariah.com/

SYARAT PENJUALAN VALAS 

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah, wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ila yaumil qiyamah. Pembahasan untuk memahami syarat penjualan valuta asing ini amatlah urgent bagi setiap orang yang hendak terjun di dunia bisnis atau yang ingin bermuamalah dalam penukaran uang (valas). Jika ia sudah memahami hal ini, ia akan memahami kenapa syari’at Islam yang mulia memasukkan suatu hal ke dalam transaksi ribawi. Ini semua karena syari’at yang indah ini dibangun di atas kemaslahatan dan ingin mencegah bahaya. Bahasan ini adalah bahasan sekitar jual beli uang (valas) dan emas, yang di mana ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi dalam jual beli tersebut. Moga bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Daftar Isi 

  1. Ketika Uang Menjadi Komoditi Dagang
  2. Kaedah Jual Beli Uang
  3. Bentuk Jual Beli yang Tidak Mengindahkan Kaedah di Atas

Ketika Uang Menjadi Komoditi Dagang

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,

“(Mata uang) dinar dan dirham asalnya bukan untuk dimanfaatkan zatnya. Tujuannya adalah sebagai alat ukur (untuk mengetahui nilai suatu barang). Dirham dan dinar bukan bertujuan untuk dimanfaatkan zatnya, keduanya hanyalah sebagai media untuk melakukan transaksi. Oleh karena itu fungsi mata uang tersebut hanyalah sebagai alat tukar, berbeda halnya dengan komoditi lainnya yang dimanfaatkan zatnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 19/251-252)

Imam Al Ghozali rahimahullah menjelaskan,

Orang yang melakukan transaksi riba dengan (mata uang) dinar dan dirham, sungguh ia telah kufur nikmat dan telah berbuat kezholiman. Karena (mata uang) dinar dan dirham diciptakan hanya sebagai media dan bukan sebagai tujuan. Maka bila mata uang tersebut diperdagangkan, maka ia akhirnya akan menjadi komoditi dan tujuan. Hal ini bertentangan dengan tujuan semula uang diciptakan. Oleh karena itu, tidak dibolehkan menjual (mata uang) dirham dan dengan dirham yang berbeda nominalnya dan tidak dibolehkan menjualnya secara berjangka. Maksud dari hal ini adalah agar mencegah orang-orang yang ingin menjadikan mata uang tersebut sebagai komoditi. Syarat ini jelas mendesak para pendagang untuk tidak meraup keuntungan. (Ihya’ ‘Ulumuddin, 4/88)

Kaedah Jual Beli Uang

Kaedah yang akan kami utarakan disebutkan dalam hadits berikut:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ ».

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya.” (HR. Muslim no. 1587, dari ‘Ubadah bin Shomith)

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ

“Menukar emas dan emas adalah riba kecuali jika dilakukan dengan cara tunai.” (HR. Bukhari no. 2134 dan Muslim no. 1586)

Dari hadits di atas dapat disimpulkan beberapa syarat dalam transaksi penukaran mata uang, yaitu:

Pertama:

Menukar mata uang sejenis, seperti menukar uang rupiah dengan pecahan rupiah yang lebih kecil, syaratnya ada dua:

  • Jumlah nominalnya harus sama.
  • Serah terima dilakukan secara tunai.

Menukar emas dengan mata uang, artinya membeli emas harus memenuhi dua syarat yang dikemukakan di atas karena emas dan mata uang adalah barang yang sejenis.

Kedua:

Menukar mata uang yang berlainan jenis, seperti menukar uang rupiah dengan riyal, syaratnya hanya satu:

–          Serah terima harus dilakuakan secara tunai. Artinya berlangsung sebelum berpisah dari majelis akad dan tidak disyaratkan jumlahnya sama). Maka dibolehkan jumlah nominal keduanya berbeda sesuai dengan kurs pasar di hari itu atau keduanya sepakat dengan kurs sendiri.

Kaedah penting dalam sistem moneter di atas jelas diabaikan oleh para ekonom di zaman ini. Mereka melalaikan syarat penukaran mata uang yang sejenis yang menjerumuskan mereka terjerumus dalam riba. Akibat tidak mengindahkan hal ini, nilai mata uang akhirnya mengalami fluktuasi setiap saat yang menyebabkan kezhaliman kepada seluruh pemegang uang.

Bentuk Jual Beli yang Tidak Mengindahkan Kaedah di Atas

1. Transaksi Spot

Transaksi spot adalah transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari.

Comment: Transaksi ini tidak memenuhi syarat penukaran mata uang, yaitu harus tunai (berlangsung sebelum berpisah dari majelis akad)[1]

2. Transaksi Forward

Transaksi forward adalah transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun.

Comment: Transaksi ini jelas tidak dibolehkan karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati.[2]

3. Pembayaran pembelian emas dengan menggunakan kartu kredit (ATM)

Comment: Karena ketika itu emas tidak diserahkan secara tunai.

Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

___

Reference:

  1. Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’
  2. Kajian Ustadz Erwandi Tirmidzi, MA (sedang menempuh Doktoral di Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud-Riyadh KSA), Fiqh Jual Beli Kontemporer (Jual Beli Uang dan Saham), 17 Desember 2010 (11 Muharrom 1432 H), Riyadh, KSA

____

Catatan kaki:

[1] [1] Transaksi spot ini dibolehkan oleh DSN dalam Fatwa DSN no. 28/DSN-MUI/III/2002. Alasannya karena mereka menganggap transaksi tersebut tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.

Kami menilai bahwa fatwa ini tidaklah tepat karena syarat yang diberikan oleh syari’at dalam penukaran mata uang adalah harus tunai. Jelas sekali bahwa penundaan sampai dua hari itu bukanlah tunai karena sudah berpisah jauh waktu dari majelis akad.

[2] Transaksi forward ini dibolehkan oleh DSN jika ada hajah (butuh) dalam Fatwa DSN no. 28/DSN-MUI/III/2002.

Kami menilai bahwa fatwa ini adalah fatwa yang tidak tepat karena kondisi hajah (butuh) bukan berlaku setiap saat dan kondisi hajah hanya sekadarnya saja.

Sumber https://rumaysho.com/1536-syarat-penjualan-valuta-asing.html

ATURAN JUAL BELI EMAS DAN TUKAR VALAS

Hukum Jual Beli Emas dan Tukar Valas

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Ustadz

Sebelumnya saya berprofesi sebagai seorang trader di salah satu perusahaan pialang berjangka yang bergerak di bidang transaksi mata uang dan emas secara online. Selama saya bekerja di perusahaan tersebut, saya masih ragu apakah bisnis di perusahaan yang saya jalankan ini halal atau haram, tapi sekarang saya memutuskan untuk tidak di bisnis ini lagi.

Saya berusaha untuk mencari bisnis yang halal dan berkah, walaupun sebenarnya keahlian saya memang di bidang ini, karena saya sudah hampir 10 tahun berkecimpung di bidang ini.

Mohon pencerahan dari Ustadz, apakah yang saya lakukan ini benar atau salah?

Dari: Yudi

Jawaban:

Wa’alaikumussalam

Permasalahan ini telah dikupas di majalah Pengusaha Muslim edisi 28. Berikut Salah satu artikel itu:

Tukar-menukar emas dengan emas, emas dengan uang, atau uang dengan uang yang sejenis atau berlainan jenis dinamakan oleh para ulama dengan sharf. Yang disyaratkan harus tunai, serta harus sama nominalnya jika ditukar sejenis. Dan bila berlainan jenis hanya disyaratkan tunai saja. Bila salah satu persyaratan ini tidak terpenuhi, maka akad ini dikategorikan riba bai’.

Definisi Riba Ba’I Dalam Komoditi Emas/Mata Uang

Riba ba’i yaitu: riba yang objeknya adalah akad jual-beli.

Riba ini terbagi 2:

Pertama, Riba fadhl yaitu menukar (emas, perak, dan mata uang) dengan yang sejenis dan ukuran berbeda.

Misalnya: menukar 10 gr emas 22 karat dengan 11 gr emas 20 karat.

Kedua, Riba nasi’ah: menukar salah satu harta riba dengan harta riba lainnya yang sejenis atau berlainan jenis akan tetapi ‘illat-nya sama (sama-sama alat tukar) dengan cara tidak tunai.

Misalnya: menukar 10 gr emas batangan dengan 10 gr kalung emas tidak tunai, termasuk hal ini adalah beli emas secara kredit.

Dalil Tentang Riba Ba’i 

Dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, dan sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, haruslah sama ukuran dan takarannya serta tunai. Apabila jenisnya berbeda, ukurannya juga boleh berbeda dengan syarat tunai.” (HR. Muslim).

Lebih dari itu, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa serah-terima komoditi riba disyaratkan tunai dan disyaratkan sama ukurannya bila ditukar dengan komoditi yang sejenis, dan bila berlainan jenis  dan masih satu illat disyaratkan tunai saja berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Ijma’ ini dinukil oleh An Nawawi  (al-Majmu’, jilid X, hal 40).

Ibnu Munzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa dua orang yang saling menukar uang bila berpisah sebelum melakukan serah-terima uangnya maka transaksinya tidak sah.”  (al-Ijma’, hal 92).

Kaidah Riba Ba’i Emas dan Perak

Dalam tukar-menukar emas dan perak ada 2 kemungkinan yang terjadi:

1. Menukar harta riba dengan harta riba yang sejenis, seperti: emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, termasuk rupiah ditukar dengan rupiah.

Untuk keabsahan akad ini dibutuhkan 2 syarat:

a. Ukuran keduanya harus sama, baik berat –jika satuan barang berdasarkan timbangan– ataupun volume –jika satuan barangnya berupa liter-.

b. Serah terima kedua barang harus tunai di majelis akad.  Tidak boleh menukar emas X 10 gr dengan emas Y 10 gr, sementara penyerahan salah satunya tertunda.

Jika syarat pertama tidak terpenuhi, akad ini dinamakan riba fadhl, dan jika syarat kedua tidak terpenuhi, akad ini dinamakan riba nasi’ah dan jika kedua syarat tidak terpenuhi akad ini dinamakan riba fadhl-nasi’ah.

2. Menukar harta riba dengan harta riba yang tidak sejenis tapi satu illat, seperti menukar emas dengan perak. Untuk keabsahan akad ini dibutuhkan satu syarat saja, yaitu serah-terima kedua barang harus tunai dan tidak disyaratkan ukurannya sama.

Karena itu, boleh menukar 1 gr emas dengan 20 gr perak dengan syarat harus tunai, dimana barang diserah-terimakan di majelis akad.

Sekali lagi, tidak boleh ada yang tertunda. Tidak boleh menukar 1 gr emas diterima sekarang dan 20 gr perak yang diserahkan besok atau pekan depan. Termasuk dalam hal ini adalah jual beli emas tidak tunai atau secara kredit. Akad ini disebut riba nasi’ah.

Apakah Uang Kartal Dapat Disamakan dengan Emas dan Perak?

Emas dan perak yang merupakan mata uang utama di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dapat disamakan dengan mata uang sekarang. Keterangan ini merupakan hasil keputusan para ulama se-dunia yang tergabung dalam Rabithah Alam Islami (Muslim World League) dalam muktamar ke V di Mekkah pada tahun 1982, dinyatakan, “Berdasarkan penelitian yang diajukan kepada Majelis Lembaga Fikih Islam tentang uang kartal (real money) serta hukumnya menurut syariat, setelah ditelaah, dikaji, dan didiskusikan oleh para anggota majlis, maka diputuskan sebagai berikut:

Pertama: berdasarkan bahwa asal uang adalah emas dan perak, dan berdasarkan illat berlakunya riba pada emas dan perak adalah mutlaq tsamaniyah (sebagai alat tukar) menurut pendapat ulama yang terkuat. Dan berdasarkan pendapat ulama bahwa mutlaq tsamaniyah tidak terbatas pada emas dan perak saja, sekalipun statusnya adalah logam mulia yang menjadi patokan.

Dan berdasarkan bahwa uang kartal pada masa sekarang dianggap sebagai alat tukar, menggantikan emas dan perak, dan sebagai alat ukur harga, karena tidak ada lagi orang yang menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar. Dan uang kartal telah dipercaya orang untuk menginvestasikan, dan menyimpan hartanya, serta digunakan sebagai alat pembayar kewajiban, sekalipun nilai uang kartal bukan pada zat fisiknya, akan tetapi nilainya berasal dari kepercayaan pengguna untuk dipindahtangankan, dari hal itulah sifat tsamaniyah (nilai) dihasilkan. Dan karena pendapat yang terkuat tentang illat riba pada emas dan perak adalah mutlaq tsamaniyah dan hal itu terdapat pada uang kartal.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka majlis memutuskan bahwa uang kartal adalah uang yang berdiri sendiri. Hukum uang kartal sama dengan uang emas dan perak, maka wajib mengeluarkan zakat dari uang kartal. Riba fadhl dan nasi’ah juga berlaku pada uang kartal, layaknya emas dan perak, maka hukum-hukum yang berkenaan dengan emas dan perak juga berlaku pada uang kartal.

Kedua: uang kartal adalah uang yang berdiri sendiri, sama seperti uang emas dan perak. Uang kartal terdiri dari berbagai jenis, sesuai dengan jenis negara yang mengeluarkannya. Maka mata uang Arab Saudi satu jenis, mata uang Amerika jenis yang lain, dan seterusnya setiap mata uang sebuah negara merupakan jenis tersendiri.

Dengan demikian, dapat terjadi riba fadhl dan nasi’ah pada setiap mata uang sebagaimana terjadi riba fadhl dan nasi’ah pada uang emas dan perak.

Konsekuensi dari keputusan ini adalah sebagai berikut:

a. Tidak boleh menukar satu mata uang dengan mata uang negara yang lain, atau dengan emas dan perak dengan cara tidak tunai.

Misalnya:

Menukar Riyal Arab Saudi dengan mata uang lain dengan cara tidak tunai (serah-terima kedua mata uang tidak di tempat akad berlangsung),  tidak dibolehkan.

b. Tidak boleh menukar uang menjadi pecahan dalam satu mata uang dengan nominal yang berbeda, sekalipun dilakukan tunai.

Misalnya:

Satu lembar nominal S.R. 10.00 ditukar dengan 11 lembar nominal S.R. 1.00 tidak boleh.

c. Boleh menukar mata uang yang berlainan jenis berbeda nominalnya dengan syarat berlangsung tunai.

Misalnya:

Menukar 1 Dollar Amerika dengan 3 Riyal Saudi dengan cara tunai dibolehkan.

Ketiga: wajib mengeluarkan zakat uang kartal bila nominalnya senilai salah satu nishab zakat emas atau perak, atau menggenapkan nishab bersama harta yang lain seperti harta perniagaan.

Keempat: boleh menjadikan uang kartal sebagai modal pada akad jual-beli salam dan sebagai modal dalam berserikat. Wallahu a’lam.

Demikian juga keputusan Muktamar ke III para ulama Islam se-dunia di bawah OKI yang diselenggarakan di Amman, Yordania pada tahun 1986.

Dengan demikian, maka 1 lembar uang Rp 100.000,00 harus ditukar dengan nominal uang rupiah pecahan yang sama (dengan 10 lembar uang Rp10.000,00) dan harus tunai. Bila tidak tunai maka terjadilah riba nasi’ah.

Dari hasil keputusan muktamar di atas, maka 100 Dollar Amerika boleh ditukar dengan, misalnya, Rp 900.000,00 dengan syarat harus tunai.

Begitu juga jual-beli emas. Tidak boleh membeli emas dengan cara kredit. Karena antara emas dan uang kartal illat-nya sama yaitu: tsamaniyah, hanya jenisnya yang berbeda. Maka disyaratkan antara barang emas dan uang harus diserahkan-terimakan tunai di majelis akad berlangsung (Dr. Sulaiman At Turki, Ba’i taqsith wa Ahkamuhu, hal 141).

Juga termasuk riba ba’i membeli emas dengan cara memberikan uang muka/DP (down payment) kemudian melunasi sisanya pada waktu yang ditentukan dan emas diterima.

Kasus tentang jual beli emas dengan membayar DP saja pernah ditanyakan kepada lembaga fatwa kerajaan Arab Saudi, nomor fatwa: 3211, berbunyi,

Pertanyaan: Seorang pelanggan datang ingin membeli emas ke tokoku, ia hanya membawa uang tunai cukup untuk bayar DP saja. Ia berkata, “Saya beli emas yang ini, saya hanya bawa DP saja, mohon emasnya disisihkan dan ini uangnya! Nanti saya datang untuk melunasinya”. Beberapa waktu kemudian ia datang melunasi dan menerima emas tersebut. Apa hukum jual-beli ini?

Jawab: Jual-beli ini tidak dibolehkan, karena serah-terima barang tidak tunai”. (Fatawa Lajnah Daimah, jilid XIII, hal 476.)

Termasuk bentuk riba ba’i membeli emas via internet. Di mana pembeli melakukan transaksi beli emas melalui website dari salah satu pedagang emas (dinar) dan membayar tunai harganya dengan fasilitas kartu kredit atau internet banking. Setelah transaksi jual beli dilakukan, pedagang mengirimkan emas yang dipesan ke pembeli, yang tentunya akan diterima pembeli setelah beberapa waktu transaksi dilakukan. Ini termasuk riba ba’i karena illat emas dan uang kartal adalah sama. Namun, serah terima barang dan uang tidak tunai. Uang sudah diterima penjual, sementara pembeli belum emas tersebut.

Juga termasuk riba ba’i yaitu jual-beli emas melalui telepon, karena serah-terima komoditi riba yang sama illat-nya tidak tunai.

Hal ini pernah ditanyakan kepada lembaga fatwa kerajaan Arab Saudi, fatwa No. 3211, yang berbunyi,

Soal: Terkadang pemilik toko emas membeli emas dalam jumlah besar dari salah satu agen emas di luar kota melalui telepon, dan jenis emas yang dipesan jelas. Setelah terjadi kesepakatan harga, kemudian pembeli mengirim uang kepada penjual melalui transfer rekening bank, apakah transaksi ini dibolehkan, atau apa yang harus dilakukan?

Jawab: Transaksi ini hukumnya tidak boleh, karena serah-terima barang emas dan uang tidak tunai, padahal keduanya adalah komoditi riba. Transaksi ini termasuk riba nasi’ah, hukumnya haram. Solusinya, pada saat uang diterima, akad jual-beli diulang kembali agar akad berlangsung tunai. (Fatawa Lajnah Daimah, jilid XIII, hal 475).

Keterangan di atas adalah artikel yang ditulis oleh Dr. Erwandi Tarmidzi dan diterbitkan oleh majalah Pengusaha Muslim edisi 28. Pada edisi ini, majalah Pengusaha Muslim secara khusus mengupas tentang konsep mata uang, Dinar – Dirham dan bisnis emas. Bagi anda yang berminat, bisa mendapatkan versi cetak di: majalah.pengusahamuslim.com

Sumber: https://konsultasisyariah.com/