Jual Beli ‘Urbun, Jual Beli Barang yang Tidak Dimiliki dan yang Belum Diterima
Yaitu seseorang membeli barang, lalu ia membayar panjar (uang muka) kepada si penjual sebagian dari harga barang dengan catatan apabila jual beli di antara keduanya telah sempurna, maka uang muka yang sudah dibayar dihitung sebagai harga barang. Dan jika jual beli tersebut tidak sempurna, maka uang panjar itu menjadi milik penjual.
Dalam jual beli ini si pembeli berhak menentukan pilihan. Jika jual belinya sempurna, maka uang panjar itu menjadi bagian dari harga barang dan jika jual beli tidak sempurna, maka uang panjar itu menjadi miliknya setelah habis masa khiyar (hak untuk menentukan pilihan antara melanjutkan jual beli atau tidak).
Madzhab Hanabilah berpendapat bahwa masa menunggunya harus diikuti dengan waktu tertentu, namun sebagian mereka menyatakan bahwa masa khiyar tidak bisa dibatasi oleh waktu tertentu.
Pendapat Uulama Tentang Jual Beli Ini:
Imam Ahmad membolehkannya dan beliau berdalil dengan hadits yang telah diriwayatkan ‘Abdurrazzaq dalam Mushannafnya dari hadits Zaid bin Aslam bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang panjar (membayar DP) dalam jual beli, lalu beliau menghalalkannya.
Imam asy-Syaukani menyebutkan bahwa hadits ini dha’if (lemah) dan dalam sanadnya ada Ibrahim bin Abi Yahya.
Madzhab Hanabilah juga berdalil dengan apa yang telah diriwayatkan dari Nafi’ bin Harits bahwa ia membeli untuk ‘Umar rumah yang akan dijadikan penjara dari Shafwan bin Umayyah dengan harga 4000 dirham. Jika ‘Umar ridha, maka jual beli akan dibayar kontan dan jika ia tidak ridha, maka Shafwan mendapatkan 400 dirham.
Jumhur ulama berpendapat tidak bolehnya melakukan jual beli dengan memakai panjar. Mereka menyebutkan bahwa jual beli tersebut tidak sah karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli de-ngan cara membayar panjar. Mereka menyebutkan bahwa jual beli ini termasuk pintu gharar dan terdapat bahaya yang akan mengancam salah satu pihak dengan kerugian atau memakan harta tanpa pengganti. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Malik, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya Radhiyallahu anhum, ia berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli ‘urbun.”
Dalam hadits ini ada kelemahan. Ash-Shan’ani berkata, “Hadits ini memiliki beberapa jalan yang tidak pernah kosong dari perkataan/komentar (ulama).”
Asy-Syaukani berkata, “Hadits ini Munqa-thi’.”[1]
Saya (penulis) lebih condong kepada pendapat yang membolehkan jual beli dengan sistem panjar karena syarat di antara keduanya adalah menunggu dan barang masih tetap berada di tangan penjual. Dan belum terjadi jual beli sampai si pembeli kembali (untuk memutuskan jual beli) dan memilih barang. Jual beli seperti ini jauh dari adanya unsur ketidakjelasan.
Atas dasar ini sah-sah saja si penjual mengambil panjar dalam keadaan berikut ini:
Adanya syarat di antara keduanya, karena kaum muslimin bermuamalah atas dasar syarat-syarat yang sudah mereka sepakati bersama.
Bahwa si pembeli, selama masa khiyar telah menghabiskan kesempatan si penjual untuk melakukan jual beli (dengan pihak lain), karena menunggu (keputusan si pembeli).
Jual beli seperti ini termasuk jual beli yang sudah dikenal manusia, di mana mereka biasa melakukan jual beli dengan cara memegang barang terlebih dahulu dan tidak langsung melakukan jual beli sampai si pembeli kem-bali dan memilihnya.
Baca Juga Jual Beli Muqayadhah, Murathalah, Sharf
Yaitu jual beli barang yang dimiliki orang lain tanpa diminta untuk menjualkan barangnya atau menjual sesuatu yang belum berlangsung serah terima barang.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak boleh menjual barang yang tidak dimilikinya, yaitu dengan melakukan jual beli barang yang diinginkan pembeli dan menyerahkan barang tersebut kepadanya.”
Hal tersebut berdasarkan hadits Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ.
“Janganlah engkau menjual barang yang tidak ada padamu.” [HR. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”]
Hadits ini menjelaskan bahwasanya tidak boleh dan tidak sah jual beli sesuatu yang tidak dimilikinya dan tidak ada padanya atau barang tersebut tidak dalam kekuasaannya. Maksudnya ialah melarang melakukan jual beli sesuatu dalam kepemilikan orang lain. Hal ini seperti jual beli barang yang tidak ada dalam kepemilikannya.
Misalnya seorang pembeli datang kepada penjual dan meminta mobil miliknya, lalu si penjual menjual mobil sesuai dengan yang disifati (diinginkan) si pembeli, baik ia menerima atau tidak menerima uang darinya. Lalu akad jual beli pun mereka nyatakan selesai padahal barangnya (yang berupa mobil) tidak berada dalam kepemilikan si penjual. Jual beli ini tidak boleh.
Solusi: Seharusnya si penjual membeli barang dan memilikinya terlebih dahulu, kemudian setelah itu ia baru menjualnya walaupun si pembeli meminta barang tersebut sebelum itu.
JUAL BELI BARANG YANG BELUM DITERIMA
Jual beli ini tidak boleh karena si pembeli tidak memiliki wewenang (penguasaan) penuh terhadap barang yang dibelinya. Dalam jual beli ini juga masih terdapat hubungan keterikatan antara si penjual dengan barang yang telah dijualnya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah aku telah banyak melakukan jual beli, manakah jual beli yang di halalkan untukku dan mana yang di haramkan?’ Lalu beliau menjawab:
إِذَا اشْتَرَيْتَ شَيْئًا فَلاَ تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ.
‘Apabila engkau membeli sesuatu, maka janganlah engkau menjualnya kembali sampai engkau menerima (barang tersebut).’”
Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Jual Beli Sesuatu Yang Belum Diterimanya:
Al-Ahnaf (madzhab Hanafiyyah) berpendapat bahwa tidak boleh bertasharruf (bertransaksi) apa pun terhadap jual beli barang yang bisa di-pindahkan sebelum serah terima, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli barang sebelum diserahteri-makan. Larangan ini berlaku jika barang tersebut bukan berupa barang yang tak bergerak (seperti rumah, tanah dan sebagainya). Mereka berpen-dapat bahwa gedung, tanah, dan rumah boleh dijualbelikan walaupun sebelum diserahterimakan, karena mereka melihat bahwa untuk barang yang tidak bergerak tidak ada unsur gharar (penipuan) karena harta seperti itu tidak mungkin hancur.
Malikiyyah berpendapat bahwa tidak boleh menjual beli makanan sebelum serah terima, hal itu berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ.
“Barangsiapa membeli makanan, maka ia tidak boleh menjualnya kembali sebelum ia menerimanya.”
Adapun selain makanan, maka boleh jual beli sebelum serah terima menurut mereka.
Adapun ‘illat (sebab) dilarangnya jual beli makanan sebelum serah terima, mereka berpendapat bahwa menjual makanan sebelum diserah-terimakan bisa menjadi sarana untuk sampai pada riba nasi-ah, maka dari itu hal ini diharamkan untuk mencegah dari hal-hal yang diharamkan.
Asy-Syafi’iyyah berpendapat bahwa tidak boleh menjual sesuatu yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Larangan ini berlaku untuk semua barang, baik barang yang tidak bergerak ataupun barang yang mudah dipindahtangankan. Larangan ini menurut mereka berdasarkan keumuman larangan jual beli sesuatu yang belum diterimanya. Hal tersebut berdasarkan hadits Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu yang sudah disebutkan pada pembahasan terdahulu.
Disebutkan pula bahwa jual beli ini mengandung unsur gharar karena barang tersebut belum tetap menjadi miliknya karena bisa saja barang tersebut rusak, maka larangan di sini karena mengandung unsur gharar.
Al-Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh jual beli makanan sebelum diserahterimakan jika makanan tersebut merupakan sesuatu yang ditakar, ditimbang ataupun dihitung. Mereka berdalil dengan hadits (dari Ibnu ‘Abbas-ed) yang telah di sebutkan pada pembahasan terdahulu.
Adapun barang-barang yang tidak bergerak seperti tanah dan rumah, maka menurut mereka boleh menjualnya walaupun barang tersebut be-lum diserahterimakan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh jual beli barang apa pun sebelum diserahterimakan dalam keadaan bagaimanapun, dan itu termasuk dari kebaikan-kebaikan syari’at.”
Lalu beliau kembali berkata, “(Tidak bolehnya) jual beli barang yang berupa makanan sebelum diserahterimakan, telah tetap larangannya dengan nash. Adapun untuk barang selain makanan, maka larangannya bisa melalui qiyas nazhar atau melalui qiyasul aula. Dan inilah pendapat yang benar. Wallaahu a’lam.”
Penulis: Syaikh ‘Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy
[Disalin dari Kitab Al-Buyuu’: Al-Jaa-izu minhaa wa Mamnuu’ Penulis Syaikh ‘Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy, Judul dalam Bahasa Indonesia Jual Beli Yang Dibolehkan Dan Yang Dilarang, Penerjemah Ruslan Nurhadi, Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1427 H – Februari 2006 M]
_____
Footnote
[1]. Hadits munqathi’ ialah hadits yang gugur (hilang) seorang perawi atau dua perawi dalam sebuah sanad selain dari Sa-habat dan Tabi’in,-penj.
Referensi: https://almanhaj.or.id/