Type Here to Get Search Results !

 


HUKUM ISI SALDO DI E-WALET

   

Hukum jasa top up dompet virtual/elektronik/digital

Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk)

Berikut adalah hasil kajian kami dalam jurnal yang sudah terbit di scopus Q4 pada “Journal of Research Administration” mengenai hukum Islam tentang isi saldo di dompet digital (Gopay, OVO, DANA, dkk). Silakan dikaji lebih dalam. Tulisan ini sekaligus meralat tulisan kami sebelumnya “Riba dalam e-wallet, dompet digital (Go Pay, OVO, dkk)”.

Pendahuluan/Tujuan Utama: Penelitian ini bertujuan untuk menggali hukum Islam seputar isi ulang saldo pada dompet digital yang umum digunakan saat ini dengan membandingkannya dengan peraturan hukum formal Bank Sentral Indonesia yang menjelaskan secara detail tentang keberadaan dana simpanan. dan perusahaan dompet digital.

Latar Belakang Permasalahan: Meskipun penggunaan dompet digital tersebar luas, penelitian mengenai hukum Islam terkait dompet digital masih perlu lebih luas. Umat Islam perlu mengetahui hukum Islam tentang hal ini agar dapat menggunakan dan menyimpan dana di dompet digital tanpa ragu-ragu.

Kebaruan: Penelitian ini mengulas empat akad dalam hukum Islam yang belum pernah dibahas sebelumnya, yaitu wadīʻa (penitipan uang), qarḍ (pinjaman), ʼijāra (pembayaran jasa), atau ṣarf (penukaran uang).

Metode Penelitian: Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kajian pustaka dengan menelusuri berbagai kitab fikih klasik dan terkini.

Temuan/Hasil: Penelitian ini menunjukkan bahwa pengisian dana di dompet digital lebih dekat dengan akad sharf dibandingkan tiga akad lainnya, sesuai peraturan Bank Sentral Indonesia.

Kesimpulan: Ketika pengguna menambahkan uang ke dompet digital mereka, uang tersebut diubah menjadi data elektronik, yang dikenal sebagai e-money. Penelitian yang diharapkan kedepannya adalah pembahasan hukum fiqh terkait transaksi yang dilakukan melalui dompet digital, serta dapat mengkaji hukum fiqh berdasarkan fatwa para ulama di Dewan Syariah Nasional yang fatwanya lebih mutakhir.

Kata Kunci: dompet digital, e-wallet, review akad, hukum Islam, hukum fikih, transaksi keuangan, isi ulang saldo


Hati-hati dalam transaksi di e-walet ada riba

1. Pendahuluan

Dompet digital, juga dikenal sebagai dompet elektronik atau pembayaran digital, adalah aplikasi atau platform elektronik yang berfungsi sebagai pengganti dompet tradisional secara modern. Dompet ini memungkinkan pengguna untuk menyimpan, mengelola, dan melakukan berbagai transaksi keuangan dengan mudah menggunakan ponsel cerdas mereka.

Sejak merebaknya pandemi Covid-19 akibat adanya tuntutan untuk menjaga jarak sosial dan mencegah penyebaran virus, penggunaan dompet digital mulai meningkat (Aji et al., 2020; Daragmeh et al., 2021; Ojo et al., 2020; Daragmeh et al., 2021; Ojo et al., 2022). Dompet digital adalah aplikasi elektronik yang digunakan untuk bertransaksi tanpa melibatkan uang fisik dan tanpa menggunakan kartu, hanya dengan perangkat untuk melakukan pembayaran dan mengisi saldo (Daragmeh et al., 2021; Sasongko et al., 2022; Yang et al., 2021). Di Thailand, dompet digital yang terkenal adalah Worldcoin. Perempuan dan generasi muda yang lebih sering menggunakan dompet digital (Kraiwanit et al., 2023). Zaid Kilani dkk. (2023) membahas penggunaan dompet digital di Yordania. Bank Sentral Yordania mengakui beberapa dompet elektronik, termasuk Aya Wallet, MEPS, EMP, dan eFAWATEERcom. Menurut Bhatia-Kalluri dan Caraway (2023), Paytm, layanan dompet elektronik populer di India, menawarkan berbagai metode pembayaran, termasuk solusi pembayaran unik berbasis kode QR.

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, dompet digital merupakan layanan sistem pembayaran yang diawasi langsung dan tidak langsung oleh Bank Indonesia di mana di antara larangan bagi penyelenggaranya adalah memiliki dan/atau mengelola nilai uang yang digunakan di luar lingkup penyedia jasa sistem pembayaran (Indonesia, 2016).

Dompet digital ini dapat menampung dana dan melakukan pembayaran dengan praktis, nyaman, dengan waktu transaksi efisien, serta pembayaran lebih cepat dan mudah. Jenis dompet digital yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah e-money Ovo, Gopay, Linkaja, dan Mandiri. Pemanfaatan dompet digital pun beragam, ada yang digunakan untuk belanja online, membayar jasa transportasi, membayar jasa pesan-antar makanan, dan berbagai kebutuhan sehari-hari (Widayat et al., 2020). Ovo dan Shopeepay merupakan dompet digital yang sering digunakan untuk keperluan belanja online (Budiarani et al., 2021). Penggunaan dompet digital merupakan hal yang lumrah dalam transaksi online. Platform ini menawarkan diskon dan hadiah untuk mendorong loyalitas pengguna (Yudha Kurniawan dkk., 2022; Bagla dan Sancheti, 2018).

Kajian kritis terkait dompet digital berkisar membahas empat hal, yaitu: (1) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan dompet digital seperti yang diteliti oleh Aji dkk. (2020); Ariffin dkk. (2021); Daragmeh dkk. (2021); Yang dkk. (2021), (2) faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas pengguna dan dompet digital, termasuk nilai yang dirasakan, keamanan yang dirasakan, kepercayaan, promosi penjualan seperti yang telah diteliti oleh Kurnia et al. (2023); Yeoh (2022), (3) dampak pengaruh penggunaan dompet digital terhadap perilaku konsumtif sebagaimana diteliti oleh Almukhlisah dkk. (2023), (4) mengukur kepuasan pelanggan terhadap kualitas layanan dompet digital meliputi Model Kano, seperti dijelaskan oleh Budiarani et al. (2021).

Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengatasi kesenjangan pemahaman pandangan hukum Islam mengenai akad pada dompet digital di Indonesia. Umat Islam memperhatikan masalah hukum Islam untuk menghindari melakukan aktivitas terlarang. Namun ketidakjelasan permasalahan hukum ini berdampak pada penggunaan diskon dan cashback yang ditawarkan konsumen saat berbelanja melalui dompet digital. Untuk mengatasi kesenjangan ini, penelitian ini menganalisis berbagai akad, yaitu wadi’ah (penitipan uang), qarḍ (pinjaman), ijarah (pembayaran layanan), atau ṣarf (penukaran uang), terkait dengan uang yang disimpan dalam dompet digital. Penelitian tersebut mempunyai implikasi signifikan terhadap kemajuan ekonomi dan budaya konsumeris masyarakat. Ini akan menyimpulkan perspektif hukum Islam tentang penggunaan atau penolakan dompet digital, tanpa keraguan.


2. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan tinjauan pustaka yang bertujuan untuk memahami hukum Islam mengenai dompet digital. Empat jenis akad–wadi’ah (penitipan uang), qardh (pinjaman), ijarah (pembayaran jasa), dan sharf (penukaran uang)–akan dikaji secara rinci menggunakan buku-buku fikih klasik dan kontemporer. Referensi tersebut akan membantu menjelaskan ketentuan masing-masing akad, yang kemudian akan dibandingkan dengan peraturan formal dari Bank Sentral Indonesia mengenai dompet digital. Penjelasan hukum fikih dan aturan formal dapat menentukan akad yang sesuai dari keempat akad tersebut di atas. Selain itu, penelitian ini akan membantu untuk memahami hukum Islam mengenai penggunaan diskon dan cashback yang diperoleh saat melakukan pembayaran dengan uang elektronik di dompet digital.

3. Hasil dan Diskusi

Dompet digital, juga dikenal sebagai dompet elektronik, adalah metode pembayaran digital yang memungkinkan pengguna menyimpan dan bertransaksi uang secara elektronik menggunakan aplikasi ponsel pintar. Keuntungan utama menggunakan e-wallet adalah memungkinkan masyarakat melakukan pembelian dengan mudah dan cepat tanpa membawa uang tunai atau kartu kredit. Artinya, pengguna tidak perlu khawatir kehilangan uang atau kartu kreditnya, dan beberapa aplikasi dompet elektronik juga menawarkan fitur keamanan tambahan seperti verifikasi sidik jari atau PIN untuk melindungi akun pengguna. Selain itu, banyak aplikasi dompet digital menawarkan promosi dan diskon kepada penggunanya, yang dapat membantu mereka menghemat uang atau menerima manfaat seperti cashback atau reward points. Beralih ke sistem non-tunai juga memungkinkan pengguna untuk melacak dan mengelola pengeluaran mereka dengan lebih baik, karena aplikasi e-wallet seringkali menyediakan fitur untuk melihat riwayat transaksi dan mengkategorikan pengeluaran. Hal ini dapat membantu pengguna mengelola keuangan mereka dengan lebih baik dan membuat perencanaan dengan lebih efektif (Daragmeh et al., 2021; Widayat et al., 2020). Selama pandemi COVID-19, dompet elektronik telah menjadi alternatif pembayaran yang lebih aman tanpa berinteraksi secara fisik dengan uang tunai atau orang lain. Hal ini membantu mencegah penyebaran virus melalui kontak fisik dengan uang kertas atau koin (Yunoh et al., 2023). Penting untuk dicatat bahwa manfaat dari penggunaan non-tunai dapat bervariasi tergantung pada negara, platform dompet elektronik yang digunakan, dan preferensi individu (Chelvarayan et al., 2022).

Menurut Ariffin dkk. (2021), salah satu keuntungan menggunakan e-wallet adalah insentif yang ditawarkan, seperti diskon dan cashback. Diskon dapat memberikan keuntungan finansial kepada pengguna dengan menawarkan harga yang lebih rendah atau pengurangan biaya, sementara cashback memberikan insentif kepada pengguna untuk terus menggunakan dompet elektronik dan memberikan keuntungan finansial tambahan.

Menurut Yang dkk. (2021), di Indonesia, tiga e-wallet terbukti stabil dan populer: Go-Pay, OVO, dan DANA. OVO telah menjalin kemitraan dengan Grab, layanan ride-hailing terbesar di Asia Tenggara, dan Tokopedia, pemain terkemuka di pasar e-commerce Indonesia. Kemitraan ini telah membantu OVO untuk terus berkembang. Sementara DANA yang diperkenalkan pada tahun 2018 berhasil meningkatkan popularitasnya dan menggantikan Linkaja di peringkat ketiga pada kuartal kedua tahun 2019. Go-Pay, OVO, dan DANA berhasil mengintegrasikan layanan pembayaran dari bank-bank milik negara sehingga berkontribusi terhadap stabilitasnya. di pasar e-wallet Indonesia.

Berikut empat akad yang dapat dijadikan akad isi ulang dompet digital: qardh, wadi’ah, ijarah madhfu’ah muqaddaman, dan sharf.

  • Qardh

Qard secara etimologi berarti memotong, memakan, menggigit. Al-qardh sendiri berarti pinjaman (Munawwir, 1997, p. 1108). Qardh disebut seperti itu karena muqridh (da’in, kreditur) yang memberikan pinjaman harta memotong potongan harta untuk diserahkan kepada muqtaridh (madin, debitur) (Al-Anshari, 2000, p. 2/140; Al-Khin et al., 2009, p. 3/89)

Qardh secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama.

Dalam Takmilah Al-Majmu’, Muhammad Najib Al-Muthi’i berkata tentang akad qardh adalah,

وهو أن يقول ملكتك هذا على أن ترد على بدله فإن قال ملكتك ولم يذكر البدل كان هبة،

“Seseorang mengatakan, saya menyerahkan kepadamu dan nantinya akan ada pengganti. Jika yang disebutkan, saya menyerahkan kepadamu dan tidak menyebutkan adanya pengganti, maka hukumnya menjadi hibah.” (Al-Muthi’i, 2006, pp. 12/206-207)

Dalam Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh Ath-Thalib dan Fath Al-Wahhab bi Syarh Minhaj Ath-Thullab, Zakaria bin Muhammad Al-Anshari rahimahullah (1420 – 1520 Masehi) berkata,

الْإِقْرَاضِ وهو تَمْلِيكُ الشَّيْءِ على أَنْ يُرَدَّ بَدَلُهُ

“Iqradh (qardh) adalah memiliki sesuatu dan nantinya akan diberikan penggantinya.” (Al-Anshari, 2000, p. 2/140; 2016, p. 307). Pengertian yang serupa juga disebutkan oleh Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Muhammad Al-Malibari (1531 – 1618 Masehi) rahimahullah dalam Fath Al-Mu’in (Al-Malibari, 2022, p. 384).

Dalam I’anatu Ath-Tholibin, Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatho Ad-Dimyathi rahimahullah (1849 – 1893 Masehi) berkata,

والمراد أنه في حكم القرض في وجوب رد المثل

“Yang dimaksud dengan hukum qardh, wajib dikembalikan dengan nilai yang semisal.” (Ad-Dimyathi, 1997, p. 3/61)

Dalam Al-Asybah wa An-Nazhair, Imam Jalaluddin ‘Abdurrahman As-Suyuthi rahimahullah (1445 – 1505 Masehi) berkata,

من صيغ القرض: ملكتكه على أن ترد بدله

“Di antara ucapan akad qardh adalah aku memilikinya dan penggantinya yang dikembalikan.” (As-Suyuthi, p. 1/101)

Dalam As-Siraj Al-Wahaj, Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawi rahimahullah berkata,

الاقراض بمعنى الاعطاء والتمليك للشيء على أن يرد بدل

“Al-iqradh bermakna memberi dan memiliki sesuatu dan penggantinya yang dikembalikan.” (Al-Ghamrawi, p. 1/210)

Dalam Al-Fiqh Al-Manhaji disebutkan mengenai pengertian al-qardh adalah,

تمليك شيء مالي للغير على أن يردّ بدله من غير زيادة

“Suatu harta yang diserahkan kepada yang lain dengan menuntut adanya pengganti, tetapi tidak boleh ada tambahan.” (Al-Khin et al., 2009, p. 3/89)

Dalam Ensiklopedia Fikih, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan,

دَفْعُ مَالٍ إِرْفَاقًا لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيُرَدُّ بَدَلُهُ

“Menyerahkan harta pada orang yang mengambil manfaatnya dalam rangka berbuat baik (menolong) dan penggantinya yang dikembalikan.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 2012, p. 33/111)

Nama lain dari qardh adalah salaf, sebagaimana disebut oleh penduduk Hijaz (Al-Khin et al., 2009, p. 3/89)

Hukum qardh adalah boleh (jaiz). Seseorang boleh meminta qardh (pinjaman) ketika ia membutuhkannya. Bahkan yang dimintai qardh (pinjaman) disunnahkan (dianjurkan) untuk membantunya.

Dalil qardh dari Al-Qur’an Al-Karim adalah firman Allah Ta’ala,

مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥٓ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (QS. Al-Baqarah: 245)

مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥ وَلَهُۥٓ أَجْرٌ كَرِيمٌ

“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11)

إِنَّ ٱلْمُصَّدِّقِينَ وَٱلْمُصَّدِّقَٰتِ وَأَقْرَضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 18)

إِن تُقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ

“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (QS. At-Taghabun: 17)

وَأَقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا

“Dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.” (QS. Al-Muzammil: 20)

Dalil qardh dari hadits adalah dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً

“Muslim mana saja yang meminjamkan muslim lainnya utang sebanyak dua kali, maka itu sama dengan sedekah sekali.” (HR. Ibnu Majah, no. 2430. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini dhaif).

Hadits di atas dikuatkan dengan hadits,

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلِهِ صَدَقَةٌ “، قَالَ: ثُمَّ سَمِعْتُهُ يَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ “، قُلْتُ: سَمِعْتُكَ يَا رَسُولَ اللهِ تَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلِهِ صَدَقَةٌ “، ثُمَّ سَمِعْتُكَ تَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ “، قَالَ لَهُ: ” بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ ‌يَحِلَّ ‌الدَّيْنُ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ»)

Dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Barang siapa memberi penangguhan pada orang yang kesusahan, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai piutangnya setiap harinya.’ Buraidah berkata, ‘Kemudian aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa memberi penangguhan kepada orang yang kesusahan membayar utang, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah dua kali senilai piutangnya setiap harinya.’ Aku berkata: aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa yang memberi penangguhan kepada orang yang kesusahan membayar utang, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai piutangnya setiap harinya.’ Kemudian aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa yang memberi penangguhan pada orang yang kesusahan membayar utang, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai dua kali piutangnya setiap harinya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ia mendapat pahala sedekah setiap harinya sebelum utang jatuh tempo. Jika telah jatuh tempo, lantas masih memberikan tenggang waktu, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah senilai dua kali piutangnya setiap harinya.’” (HR. Ahmad, 5:360. Sanad hadits ini sahih sesuai syarat Muslim, perawi-perawinya tsiqqah (terpercaya), termasuk perawi Syaikhain selain Sulaiman bin Buraidah, ia adalah perawi Muslim).

Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah (1002 – 1083 Masehi) menyatakan,

وَيَجِبُ عَلَى المسْتَقْرِض رَدُّ المثْلِ فِيْمَا لَهُ مِثْل، لِاَنَّ مُقْتَضَى القَرْض رَدُّ المِثْل

“Wajib bagi yang meminjam mengembalikan utang seperti awal jika memiliki yang sepadan karena berutang itu wajib mengembalikan yang semisal.” (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/189). Muhammad Najib Al-Muthi’i rahimahullah dalam penyempunaan kitab Al-Majmu’ menjelaskan bahwa jika ada yang meminjam sesuatu seperti biji-bijian, minyak, dirham, atau dinar, ia wajib mengembalikan dengan yang semisal karena itu lebih mendekati. Hal ini berbeda jika meminjam sesuatu yang tidak ada yang sepadan dengannya seperti baju, hewan, maka ada beda pendapat dalam hal ini. Ada pendapat yang memerintahkan mengembalikan dengan yang senilai (Al-Muthi’i, 2006, p. 12/215).

Ibnu Taimiyah rahimahullah (1262 – 1327 Masehi) dalam Majmu’ah Al-Fatawa menyatakan,

القَرْضُ مُوْجِبُهُ رَدُّ المِثْلِ

“Berutang itu diwajibkan mengembalikan yang semisal.” (Al-Harrani, 2011, pp. 29/52, 30/84)

Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menyebutkan,

الْقَرْضِ فَإِنَّهُ لَا يَجِبُ فِيهِ إلَّا رَدُّ الْمِثْلِ بِلَا زِيَادَةٍ

“Utang piutang haruslah dikembalikan semisal tanpa ada tambahan.” (Al-Harrani, 2011, p. 29/535)

Yang dicontohkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah,

أَنَّهُ فِي الْقَرْضِ يَجِبُ فِيهِ رَدُّ الْمِثْلِ وَإِذَا اقْتَرَضَ حَيَوَانًا رَدَّ مِثْلَهُ

“Utang piutang mesti dikembalikan dengan yang semisal. Jika yang dipinjam adalah hewan, maka dikembalikan yang semisal pula.” (Al-Harrani, 2011, p. 20/563)

Sebagaimana diterangkan dalam kitab Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii, hukum yang berkenaan dengan qardh adalah:

(1) qardh menjadi sempurna jika sudah terjadi pemindahan kepemilikan harta, lantas pihak debitur (muqtaridh, yang diberi pinjaman) boleh memanfaatkannya semaunya;

(2) pihak kreditur (muqridh, yang memberi pinjaman) boleh meminta kepada debitur (muqtaridh) untuk membayar pinjaman pada waktu kapan pun setelah adanya qabdh (penyerahan) harta pada debitur, baik ditetapkan waktu tertentu ataukah tidak,

(3) debitur (muqtaridh) hendaklah mengembalikan pinjaman dengan yang semisal;

(4) jika pihak kreditur (muqridh) tidak mensyaratkan tambahan dalam pinjaman, maka seperti itu boleh;

(5) jika pihak kreditur (muqridh) mensyaratkan adanya tambahan dalam pengembalian pinjaman atau mensyaratkan dikembalikan dengan lebih bagus, akad tersebut tidaklah sah karena setiap pinjaman yang ada manfaat di dalamnya termasuk riba. Utang piutang sejatinya termasuk membantu dan menolong, bukan mencari untung (Az-Zuhaili, 2015, pp. 3/169-174).

Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad qardh, uang yang disetorkan dimiliki oleh perusahaan dompet digital melalui skema peminjaman. Uang ini diwujudkan dalam saldo uang elektronik. Perusahaan tersebut dapat menggunakan uang pengguna dan berkomitmen untuk mengembalikannya kapan pun pengguna membutuhkannya. Jika akadnya adalah qardh, pengguna dompet digital tidaklah boleh mendapatkan manfaat diskon karena termasuk keuntungan yang diperoleh pihak kreditur (muqridh).

  • Wadiah

Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548). Lebih jelasnya, pengertian wadiah secara etimologi adalah meninggalkan sesuatu pada orang lain dan memintanya untuk menjaganya. Adapun pengertian wadiah secara istilah adalah,

تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ

“Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015).

Dalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58)

Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ

“Tunaikanlah amanat kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih)

Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

“Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649).

Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad wadiah, uang disetorkan melalui top up merupakan titipan dari pengguna kepada perusahaan dompet digital yang bisa diambil kapan pun. Uang ini tidak boleh digunakan oleh pihak perusahaan. Uang ini tidak wajib dikembalikan jika terjadi kejadian yang bukan merupakan kesalahan dari perusahaan dompet digital.

  • Ijarah

Ijarah secara etimologi adalah istilah untuk sesuatu yang disewakan pada orang yang melakukan sesuatu sebagai bagian dari pekerjaan. Ajr adalah istilah untuk balasan di akhirat. Ujrah adalah istilah untuk balasan di dunia (Al-Khin et al., 2009, p. 121).

Ijarah secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama.

Dalam Nihayah Az-Zain, Imam bin ‘Umar Nawawi Al-Jawi rahimahullah (1813 – 1897 Masehi) berkata,

الإجارة هي عقد على منفعة مقصودة معلومة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم

“Akad kemanfaatan yang dituju dan sudah tertentu sebagai timbal balik dari adanya bayaran tertentu.” (Nawawi, 2002, p. 252). Hal yang sama juga disampaikah oleh Al-Ghazzi (2023, p. 393) dan Asy-Syathiri (2020, p. 178)

Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, ijarah adalah,

بَيْعُ عَمَلٍ تَكُونُ الْعَيْنُ فِيهِ تَبَعًا

“Jual beli atas suatu pekerjaan, sedangkan barang hanya ikutan.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 2012, p. 3/326)

Ijarah ini dibolehkan karena kebutuhan untuk memanfaatkan tempat, peralatan, dan lain sebagainya. Ijarah itu sah dalam jual beli manfaat pada barang tertentu, misal ijarah (menyewa) rumah untuk tempat tinggal, ijarah (membayar upah) menyusui dari seorang wanita, ijarah seseorang untuk haji atau untuk jual beli, dan ijarah hewan untuk ditunggangi (Asy-Syirazi, 2021, p. 444).

Tentang ijarah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

“Bila mereka menyusui anak-anak mereka dari kalian dengan upah, maka bayarlah upah mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 6)

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, sahih).  Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.

Ijarah harus dengan syarat waktu tertentu, tidak bisa ijarah itu tanpa batasan waktu. Asalnya upah ijarah itu segera ditunaikan, kecuali ada syarat penundaan. Orang yang menyewa sesuatu berarti memegang amanah. Maka ia tidak diperintahkan ganti rugi kecuali karena kecerobohannya (Hamid, 2011, p. 261). Sesuatu yang disewakan haruslah sesuatu yang punya nilai atau ada upah yang dikeluarkan seperti menyewa rumah (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/219).

Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad ijarah (atau ijarah madfu’ah muqaddaman, uang atau upah yang disetorkan terlebih dahulu), maka uang yang disetorkan menjadi saldo top up, selanjutnya digunakan untuk membeli jasa tertentu yang dihadirkan oleh perusahaan yang sama dengan perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi dengannya.

  • Sharf

Sharf merupakan bagian dari akad buyu’ (jual beli), termasuk jual beli ribawiyah di mana ada syarat dan aturan tersendiri yang mesti dipenuhi.

Sharf secara etimologi memiliki beberapa makna, yaitu (1) tambahan, (2) menolak, (3) memindahkan (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/126).

Sharf secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama.

Menurut Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili dalam kitab Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii, sharf adalah,

بيع النقد بالنقد من جنسه أوغير جنسه

“Pertukaran uang dengan uang atau uang dengan lainnya yang beda jenis.” (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/126).

Menurut Syaikh Dr. ‘Abdurrahman bin Humud Al-Mathiri dalam kitab Fiqh Al-Mua’amalat Al-Maliyyah Al-Muyassar, sharf adalah,

بيع نقد بنقد سواء اتحاد الجنس أو اختلف

“Menukar uang dengan uang, baik sama atau berbeda jenis.” (Al-Mathiri, 2018, p. 161). Kalimat yang sama juga disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali bin Muhammad Al-Musyaiqih dalam Al-Mukhtashar fi Al-Mu’amalat(Al-Musyaiqih, 2012, p. 77).

Hukum akad sharf adalah boleh sebagaimana hukum jual beli secara umum (Al-Khin et al., 2009, p. 3/83).

Dalil syari yang membicarakan tentang sharf adalah sebagai berikut.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, burr (gandum) dijual dengan gandum, sya’ir (gandum kualitas rendah) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1584)

Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, burr (gandum) dijual dengan gandum, sya’ir (gandum kualitas rendah) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim, no. 1587)

Aturan tukar menukar barang ribawi:

Menukar emas dan emas, juga perak dan perak, harus: (1) mutamatsilan (sama jumlah) dan (2) naqdan (tunai, tidak ada yang terlambat).

Menukar emas dan perak, boleh mutafaadhilan (berlebih ukurannya), tetapi harus: naqdan (haalan, seketika itu juga; qabdh, serah terima saat itu sebelum berpisah).

Menukar sesama makanan yang sejenis, harus: (1) mutamatsilan (sama jumlah) dan (2) naqdan (tunai, tidak ada yang terlambat).

Menukar makanan dengan yang beda jenis, boleh mutafaadhilan (berlebih ukurannya), tetapi harus: naqdan(haalan, seketika itu juga; qabdh, serah terima saat itu sebelum berpisah). (Al-Bajuri, 2020, pp. 2/609-610; Al-Ghazzi, 2023, p. 333; Hamid, 2011, p. 218)

Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad sharf, saldo top up dari pengguna dimiliki oleh perusahaan dompet digital lalu ditukar dengan saldo uang digital yang diterbitkan oleh perusahaan dompet digital dengan izin dari otoritas terkait.

Tinjauan terhadap dana yang disetorkan dari sudut pandang hukum formal

Hakikat dana yang disetor telah disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik, Pasal 1 angka 3 bahwa  uang elektornik adalah instrumen pembayaran yang memenuhi unsur sebagai berikut: (a) diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit; (b) nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip; dan (c) nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. Sedangkan di angka 4 disebutkan bahwa nilai uang elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana.

Yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor telah disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 49 angka 1 bahwa dana float hanya dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban Penerbit kepada Pengguna dan Penyedia Barang dan/atau Jasa, dan dilarang digunakan untuk kepentingan lain.

Risiko saldo hilang dibahas dalam website bi.go.id bahwa risiko uang elektronik hilang dan dapat digunakan oleh pihak lain, karena prinsipnya uang elektronik sama seperti uang tunai yang apabila hilang tidak dapat diklaim kepada penerbit.

Izin usaha perusahaan dompet digital dijelaskan dalam Peraturan Bank Indonesia no. 20/6/PBI/2018 Pasal 5 dan 6 bahwa permohonan izin sebagai penyelenggara diajukan berdasarkan pengelompokkan penyelenggara jasa sistem pembayaran.

Tujuan top up saldo pada dompet digital lebih mengarah kepada definisi alat pembayaran dibandingkan kepada penyimpanan dana maupun pembelian jasa di depan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 4 bahwa nilai uang elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana. Juga terdapat batas maksimal saldo yang tersimpan dalam dompet digital sebagaimana diterangkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 45 bahwa batas nilai uang elektronik yang dapat disimpan untuk Uang Elektronik unregistered paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah); dan untuk Uang Elektronik registered paling banyakRp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Adapun batas nilai transaksi Uang Elektronik dalam 1 (satu) bulan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Kenyataan dari pengguna bahwa dipastikan sebagian besar pengguna melakukan top up saldo secukupnya saja untuk membantu mempermudah transaksi sehari-hari. Saldo yang tersimpan bukan ditujukan untuk ditarik kembali (meskipun bisa dan penarikan ini bukan akad utama), sehingga definisi qardh dan wadiah kurang sesuai.

Kaidah fikih menyebutkan,

العِبْرَةُ فِي العُقُوْدِ بِالمَقَاصِدِ وَالمَعَانِي، لاَ بِالأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي

“Yang dianggap di dalam akad adalah maksud-maksud dan maknanya, bukan dilihat dari lafaz atau bentuk perkataan.”

Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 61 disebutkan bahwa penerbit dilarang menerbitkan Uang Elektronik dengan Nilai Uang Elektronik yang lebih besar atau lebih kecil daripada nilai uang yang disetorkan kepada Penerbit. Nilai uang yang disetorkan ke dalam Uang Elektronik harus dapat digunakan atau ditransaksikan seluruhnya sampai bersaldo nihil.

Dari keempat akad di atas, ada beberapa poin penting yang perlu ditinjau, yaitu: (1) hakikat dana disetor dan saldo digital, (2) yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor, (3) risiko saldo hilang, (4) izin usaha perusahaan dompet digital, (5) tujuan top up saldo.

Kelima poin di atas dapat diringkas dalam tabel 1 berikut.

Tabel 1 : Dompet digital dari berbagai tinjauan

Tinjauan Qardh Wadiah Ijarah Madfuah Muqaddaman Sharf

Hakikat dana yang disetor dan saldo Utang di mana perusahaan dompet digital wajib mengembalikan dana yang disetorkan apa pun keadaannya Dana titipan di mana perusahaan dompet digital wajib mengembalikan dana ketika diminta kecuali dalam kejadian yang menyebabkan kerugian yang bukan merupakan kesalahan perusahaan dompet digital Nilai jasa untuk mengganti jasa perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi dengan wajib menghadirkan jasa yang dijanjikan ketika diminta Instrumen pembayaran elektronik di mana perusahaan dompet digital menukarkan dana yang disetor dengan saldo digital yang diterbitkan perusahaan dompet digital dengan izin BI

Yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor Boleh digunakan untuk hal apa pun Tidak boleh digunakan, hanya boleh disimpan Boleh digunakan untuk hal apa pun Saldo elektronik tidak boleh digunakan

Risiko saldo hilang Ditanggung oleh perusahaan dompet digital apa pun keadaannya Ditanggung oleh pengguna kecuali jika perusahaan dompet digital melakukan kesengajaan atau kelalaian Tanggung jawab perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi Saldo elektronik ditanggung oleh pengguna kecuali jika terjadi kesengajaan atau kelalaian dari perusahaan dompet digital

Izin usaha perusahaan Lembaga keuangan yang memiliki izin menghimpun dana dari masyarakat Lembaga keuangan Perusahaan jasa Penerbit uang elektronik

Tujuan top up saldo Menyimpan dana Menyimpan dana Mendapatkan jasa Membantu proses pembayaran

Sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI), penambahan dana ke dompet digital dinilai lebih dekat dengan akad sharf dibandingkan tiga akad lainnya. Akad sharf mengacu pada konversi uang yang ditransfer ke perusahaan dompet digital menjadi uang elektronik atau saldo elektronik. Pengisian saldo di dompet digital biasanya dilakukan untuk memudahkan proses pembayaran, bukan untuk menyimpan dana, karena kecil kemungkinan dana di dompet digital disimpan dalam jumlah besar melebihi 10 juta rupiah. Pengguna bertanggung jawab atas saldo elektronik mereka, bukan perusahaan dompet digital. Apalagi sesuai PBI, perusahaan dompet digital tidak diperbolehkan menggunakan saldo tersebut.

4. Kesimpulan dan Saran

Sesuai Peraturan Bank Indonesia, layanan pengisian dompet digital dan transaksi yang paling dekat adalah melalui akad sharf. Ketika pengguna menambahkan uang ke dompet digital mereka, uang tersebut diubah menjadi data elektronik yang dikenal sebagai uang elektronik. Uang tersebut sama dengan uang rupiah. Hal ini sama seperti penukaran rupiah ke dollar, ringgit, dan riyal. Artinya uang diubah menjadi data digital. Diskon, bonus, pengiriman gratis, atau uang kembali apa pun yang ditawarkan adalah hibah promosi yang bertujuan membangun ekosistem dan menarik lebih banyak pengguna. Diskon tersebut hanya berlaku bagi pengguna dompet digital dan diberikan berdasarkan transaksi jual beli, bukan berdasarkan saldo di dompet. Berbeda dengan akad qardh, seperti transaksi yang terjadi saat menyetorkan uang ke rekening bank, di mana bunga diperoleh secara otomatis tanpa ada tindakan apa pun dari pihak pengguna.

Salah satu bidang penelitian yang dapat dikaji lagi adalah hukum fikih terkait transaksi yang dilakukan melalui dompet digital. Transaksi yang umum dilakukan melalui dompet digital antara lain pemesanan makanan, transportasi, pembayaran tagihan, dan pembelian pulsa. Bidang penelitian lain terkait dompet digital adalah mengkaji fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) yang menggunakan kesimpulan hukum lebih mutakhir. Selain itu, hal lain yang dapat dipelajari adalah apakah aset yang disimpan dalam dompet digital dapat dianggap sebagai aset digital yang berharga, yang dapat menimbulkan perselisihan kepemilikan di masa depan. Kajian-kajian ini dapat bermanfaat bagi umat Islam karena mereka perlu mengetahui apa yang halal (boleh) dan apa yang haram (dilarang) dalam menggunakan dompet digital. Seorang muslim yang bijaksana adalah yang menjauhi hukum yang tidak jelas dan bertakwa kepada Allah dengan menjauhi yang haram.

Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc  

____

Referensi

  1. Ad-Dimyathi, S. A. B. M. S. (1997). I’anatu Ath-Tholibin ‘ala Halli Alfazhi Fathi Al-Mu’in I’anatu Ath-Tholibin ‘ala Halli Alfazhi Fathi Al-Mu’in. Mawqi’ Ya’sub.
  2. Aji, H. M., Berakon, I., & Md Husin, M. (2020). COVID-19 and e-wallet usage intention: A multigroup analysis between Indonesia and Malaysia. Cogent Business & Management, 7(1), 1804181. https://doi.org/10.1080/23311975.2020.1804181
  3. Al-Anshari, Z. b. M. (2000). Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh Ath-Thalib. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
  4. Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibni Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Dar Al-Minhaj.
  5. Al-Ghamrawi, M. A.-Z. As-Siraj Al-Wahaj. Dar Al-Ma’rifah.
  6. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath Al-Qarib Al-Mujib bi Syarh Alfazh At-Taqrib. Dar Adh-Dhiya.
  7. Al-Harrani, A. b. T. (2011). Majmu’ah Al-Fatawa. Dar Ibnu Hazm.
  8. Al-Khin, M., Al-Bugha, M., & Asy-Syirbaji, A. (2009). Al-Fiqh Al-Manhaji. Dar Al-Qalam.
  9. Al-Malibari, Z. A. b. M. A.-G. (2022). Fath Al-Mu’in. Dar Al-Fayha.
  10. Al-Mathiri, A. b. H. (2018). Fiqh Al-Mua’amalat Al-Maliyyah Al-Muyassar. Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi.
  11. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. (2012). Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait.
  12. Al-Musyaiqih, K. b. A. b. M. (2012). Al-Mukhtashar fi Al-Mu’amalat. Maktabah Ar-Rusyd.
  13. Al-Muthi’i, M. N. (2006). Takmilah Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syirazi. Dar Alam Al-Kutub.
  14. Almukhlisah, G. S., Wiralaga, H. K., & Iranto, D. (2023). The effect of use of e-commerce and the existence of e-wallet facilities on consumptive behavior in the milenial generation in Jakarta. CASHFLOW: CURRENT ADVANCED RESEARCH ON SHARIA FINANCE AND ECONOMIC WORLDWIDE, 2(2), 285-292. https://doi.org/10.55047/cashflow.v2i2.505
  15. An-Nawawi, A. Z. Y. b. S. (2005). Minhaj Ath-Thalibin. Dar An-Nasyr Al-Islamiyyah.
  16. Ariffin, S. K., Abd Rahman, M. F. R., Muhammad, A. M., & Zhang, Q. (2021). Understanding the consumer’s intention to use the e-wallet services. Spanish Journal of Marketing-ESIC, 25(3), 446-461. https://doi.org/10.1108/SJME-07-2021-0138
  17. As-Suyuthi, J. A. Al-Asybah wa An-Nazhair. Dar Al-Kutub Al-‘Imiyyah.
  18. Asy-Syathiri, A. b. U. (2020). Al-Yaqut An-Nafis fi Madzhab Ibni Idris. Dar Al-Minhaj.
  19. Asy-Syirazi, A. I. (1996). Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafii. Dar Al-Qalam.
  20. Asy-Syirazi, A. I. I. b. A. (2021). At-Tanbih fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Dar Alim Quraisy.
  21. Az-Zuhaili, M. (2015). Al-Mutamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Dar Al-Qalam.
  22. Bhatia-Kalluri, A., & Caraway, B. R. (2023). Transformation of the Digital Payment Ecosystem in India: A Case Study of Paytm. Social Inclusion, 11(3), 320-331.
  23. Budiarani, V. H., Maulidan, R., Setianto, D. P., & Widayanti, I. (2021). The kano model: How the pandemic influences customer satisfaction with digital wallet services in Indonesia. Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB), 36(1), 61-82.
  24. Chelvarayan, A., Yeo, S. F., Yi, H. H., & Hashim, H. (2022). E-wallet: a study on cashless transactions among university students. F1000Research, 11. https://doi.org/10.12688/f1000research.73545.1
  25. Daragmeh, A., Sági, J., & Zéman, Z. (2021). Continuous intention to use e-wallet in the context of the covid-19 pandemic: Integrating the health belief model (hbm) and technology continuous theory (tct). Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 7(2), 132. https://doi.org/10.3390/joitmc7020132
  26. Hamid, H. A.-K. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja. Dar Al-Manar.
  27. Indonesia, B. (2016). Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Jakarta: Bank Indonesia.
  28. Kraiwanit, T., Limna, P., Wattanasin, P., Asanprakit, S., & Thetlek, R. (2023). Adoption of worldcoin digital wallet in Thailand. Research in Globalization, 7, 100179. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.resglo.2023.100179
  29. Kurnia, P. R., Pangaribuan, J. H., & Sitio, R. P. (2023). Digital wallet users in Indonesia: Factors affecting consumer satisfaction and consumer loyalty. Business Innovation and Engineering Conference,
  30. Munawwir, A. W. (1997). Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (14 ed.). Pustaka Progressif.
  31. Nawawi, M. b. U. b. A. b. N. A.-J. A. A. M. t. (2002). Nihayah Az-Zain fi Irsyad Al Mubtadiin. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
  32. Ojo, A. O., Fawehinmi, O., Ojo, O. T., Arasanmi, C., & Tan, C. N.-L. (2022). Consumer usage intention of electronic wallets during the COVID-19 pandemic in Malaysia. Cogent Business & Management, 9(1), 2056964. https://doi.org/10.1080/23311975.2022.2056964
  33. Sasongko, D. T., Handayani, P. W., & Satria, R. (2022). Analysis of factors affecting continuance use intention of the electronic money application in Indonesia. Procedia Computer Science, 197, 42-50. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.procs.2021.12.116
  34. Widayat, W., Masudin, I., & Satiti, N. R. (2020). E-Money payment: Customers’ adopting factors and the implication for open innovation. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 6(3), 57.https://doi.org/10.3390/joitmc6030057
  35. Yang, M., Mamun, A. A., Mohiuddin, M., Nawi, N. C., & Zainol, N. R. (2021). Cashless transactions: A study on intention and adoption of e-wallets. Sustainability, 13(2), 831. https://doi.org/10.3390/su13020831
  36. Yeoh, G. L. (2022). Factors affecting users’ behavioural intention towards touch ‘N Go E-Wallet in Malaysia. International Journal of Applied Business and International Management (IJABIM), 7(3), 108-120. https://doi.org/10.32535/ijabim.v7i3.2069
  37. Yunoh, M. N. M., Hashim, N. S. M., Musa, Z. C., Muhamad, M., & Bahari, N. (2023). Understanding the factors influencing the adoption of e-wallets by Malaysian youth. Telecommunication Computing Electronics and Control, 21(6), 1298-1307. https://doi.org/10.12928/telkomnika.v21i6.24082
  38. Zaid Kilani, A. A.-H., Kakeesh, D. F., Al-Weshah, G. A., & Al-Debei, M. M. (2023). Consumer post-adoption of e-wallet: An extended UTAUT2 perspective with trust. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 9(3), 100113. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.joitmc.2023.100113
  39. https://www.bi.go.id/id/publikasi/peraturan/Pages/pbi_184016.aspx
  40. https://www.bi.go.id/id/edukasi/Pages/Apa-itu-Uang-Elektronik.aspx

Sumber https://rumaysho.com/