selamat membaca.
Pertanyaan :
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga.
Ustadz, bagaimana hukum beli barang lewat marketplace (seperti Laza*a atau Sho*ee), dengan cara COD (Cash On Delivery), apakah boleh dalam islam?
(Disampaikan oleh Sahabat Belajar Bimbingan Islam)
Jawaban :
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.
Seiring dengan berkembangnya peradaban berkembang pulalah teknologi, dan seiring dengan berkembangnya teknologi berkembang pulalah macam kebutuhan manusia, semua ini Sunnatulloh yang tidak bisa dihindari. Itulah mengapa para Ulama menyusun sebuah kaidah tentang hukum asal urusan muamalah dunia atau non ibadah adalah halal
الأصل في المعاملات الحل والإباحة
“Hukum asal dalam muamalah adalah halal dan mubah”
Berkebalikan dengan hukum asal urusan ibadah yang Harom
الأصل في العبادات التحريم
“Hukum asal ibadah adalah harom (sampai adanya dalil)”
Kenapa demikian? Karena zaman terus berubah, teknologi semakin maju, dan kebutuhan pun semakin bermacam-macam. Dahulu kakek buyut kita belanja pakai uang logam, sekarang banyak macam e-money. Dulu kita pergi ke pasar harus keluar rumah, sekarang diatas tempat tidur pun bisa. Para pedagang yang biasanya membawa barang dagangannya ke Pasar, sekarang modal foto dan kata-kata pun sudah bisa untung. Semua sarana prasarana, fasilitas dan teknologi ini hukum asalnya mubah, berbeda dengan urusan Ibadah yang telah dipatenkan Alloh dan RosulNya.
3 Poin Berjualan Beli Online dan Offline
Maka transaksi jual beli atau pemenuhan kebutuhan manusia melalui marketplace tentu saja termasuk urusan muamalah dunia yang halal, namun tetap saja ada catatan yang perlu diperhatikan, dan diantara catatan yang tidak boleh dilupakan adalah 3 poin utama berikut ini
1) Poin tentang barang dagangan, termasuk barang harom atau tidak, termasuk komoditi riba atau tidak. Jika barangnya harom maka jelas tinggalkan. Jika barangnya komoditi riba, apalagi ‘illah nya sama (kesamaan sebab sebagai nilai atau mata uang) seperti emas, perak, atau mata uang maka harus tunai atau offline. Nabi kita yang mulia sholallohu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti kita
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ مِثْلًا بِمِثْلٍ … ، فَمَنْ زَادَ أَوْ ازْدَادَ فَقَدْ أَرْبَى، بِيعُوا الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ كَيْفَ شِئْتُمْ يَدًا بِيَدٍ
“Emas (ditukar) dengan emas jika sama ukuran berat timbanganya, perak (ditukar) dengan perak jika sama berat timbangannya… Barangsiapa menambah atau meminta tambahan sungguh ia telah melakukan riba. Jual lah emas dengan perak bagaimana pun kalian suka namun secara tunai”
[HR Tirmidzi 1161]
2) Poin tentang pelaku transaksi, termasuk penjual sudah yang memiliki barang dagangan, penjual yang belum memiliki barang dagangan, atau sebagai pembeli.
Jika penjual yang memiliki barang dagangan, jangan sampai salah atau ada kecurangan dalam menuliskan keterangan, ingatlah sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang menipu kami, maka ia tidak termasuk golongan kami”
[HR Muslim 146]
Jika penjual yang belum memiliki barang, jangan lupa perjelas dulu akad dengan pemilik barang dan juga pembeli, entah itu sebagai agen atau distributor, jangan sampai ketika akad terjadi status kepemilikan barang masih belum jelas, Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda Hakim bin Hizam
لا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu”
[HR Abu Daud 3503]
Jika sebagai pembeli, silahkan cek dulu rating atau tingkat Amanah dari sang penjual, sebab crosscheck atau tabayyun dalam rangka kehati-hatian memang dibolehkan selama tetap menjaga adab, sebagaimana penjelasan dari Salman Al-Farisi
إِنِّي لَأَعُدُّ العُرَّاقَ عَلَى خَادِمِي مَخَافَةَ الظنِّ
“Saya menghitung jumlah tulang kering (al-Urraq) yang dikirim oleh pembantuku, untuk mencegah dugaan yang tidak diinginkan”
(Al-Adab Al-Mufrad 168)
3) Poin adab, yakni kejujuran dan komitmen terhadap akad. Entah itu sebagai penjual atau pembeli jangan lupakan 2 adab penting ini. Jujur dalam menjelaskan kondisi barang dan tidak menutup-nutupi kekurangan yang ada, Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga”
[HR Muslim 2607]
Juga komitmen terhadap akad, baik itu dalam pembayaran cash atau kredit, entah itu nominal besar atau kecil
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ
“Kaum Muslimin itu harus memenuhi persyaratan yang telah mereka sepakati”
[HR Abu Daud 3120]
Dan masih banyak hal lainnya yang bisa diperdalam lagi seputar jual beli online, Insya Alloh akan lebih mudah dipahami jika penjelasannya per kasus, bukan global seperti ini.
Kesimpulan Hukum COD
Lalu bagaimana jika mencari barangnya online di marketplace tapi transaksinya offline alias COD? Jelas boleh, sebab COD adalah cara paling aman untuk menghilangkan kekhawatiran dan bebas pengecualian. Dengan COD kita bisa beli segala macam barang termasuk komoditi riba seperti emas dan perak, dengan COD kita bisa mengecek keaslian barang, dengan COD kita bisa memperjelas komitmen akad, dan semisalnya.
Catatannya adalah, COD bukanlah suatu tanda kesepakatan transaksi, melainkan salah satu cara dalam transaksi. Sehingga ketika ada yang tidak cocok dalam COD, entah itu barang yang berbeda dengan deskripsi, atau di luar ekspektasi, lalu tidak cocok dan batal transaksi ya sah-sah saja.
Wallohu A’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh: Ustadz Rosyid Abu Rosyidah, S.Ag., M.Ag
Sumber: https://bimbinganislam.com/