Type Here to Get Search Results !

 


10 KIAT ISTIQOMAH PART 2

KIAT KELIMA :

“Istiqomah itu terkait dengan ucapan, perbuatan, dan niat”

Istiqomah itu terkait dengan ucapan, perbuatan dan niat, maksudnya bahwa hati dan anggota tubuh lahiriyah seorang hamba tertuntut berada di atas jalan istiqomah.

Niat seorang hamba hendaklah lurus sesuai dengan syariat Allah, ucapan dan perbuatanpun tertuntut untuk sesuai dengan syariat Allah.

Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya Madarijus Salikin mengatakan:

والاستقَامةُ تتعلَّق بالأقوالِ والأفعالِ والأحوالِ والنِّياتِ

“Istiqomah itu terkait dengan ucapan, perbuatan dan niat”.

Dalam Musnad Imam Ahmad dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ ، وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ

“Tidaklah istiqomah iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya, dan tidaklah istiqomah hatinya sampai istiqomah lisannya.” (HR. Imam Ahmad, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).

Ibnu Rajab rahimahullah di dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam:

وأعظمُ ما يُراعى استقامتُه بعدَ القلبِ مِنَ الجوارح اللِّسانُ، فإنَّه تُرجمانُ القلب والمعبِّرُ عنه

“Perkara terbesar yang patut diperhatikan keistiqomahannya setelah hati dari anggota tubuh yang zahir adalah lisan, karena sesungguhnya lisan itu penerjemah hati dan pengungkap isinya”.

Dari sini, nampak betapa vitalnya kedudukan hati dan lisan bagi seorang hamba terhadap keistiqomahan dirinya, oleh karena itu pantaslah apabila di antara ulama ada yang menyatakan:

المرءُ بأصْغَريْه : قلبِه ولسانِه

“Seorang hamba tergantung kepada dua anggota tubuh terkecilnya, yaitu: hati dan lisannya”.

Hati adalah sekerat daging yang kecil sekali, lisanpun juga sepotong daging yang kecil sekali, akan tetapi keistiqomahan seorang hamba amat dipengaruhi oleh dua anggota tubuh terkecilnya ini!

Apabila hati dan lisan seorang hamba lurus, maka akan lurus anggota tubuh lainnya. Seluruh anggota tubuh mengikuti hati dan lisan! Keistiqomahan hati dan lisan membuahkan keistiqomahan anggota tubuh lainnya.

Dalil keistiqomahan seseorang tergantung kepada hati adalah hadits dalam Shahihain, dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

Saya telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ , وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

“Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad, dan apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”

Adapun dalil bahwa lisan sangat mempengaruhi keisitiqomahan seseorang adalah hadits Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ ، وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ

“Tidaklah istiqomah iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya, dan tidaklah istiqomah hatinya sampai istiqomah lisannya” (HR. Imam Ahmad dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).

Dan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أصْبَحَ ابْنُ آدَمَ، فَإنَّ الأعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسانَ، فتَقُولُ: اتَّقِ اللهَ فِينَا؛ فَإنَّما نَحنُ بِكَ؛ فَإنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا، وإنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

“Apabila seorang manusia keturunan Nabi Adam memasuki waktu pagi, maka seluruh anggota tubuhnya mengingkari lisan(nya), seluruh anggota tubuh tersebut mengatakan: ‘Bertakwalah kepada Allah dalam urusan kami, karena sesungguhnya kami tergantung kepadamu, apabila kamu lurus, maka kamipun lurus, namun apabila kamu bengkok, maka kamipun bengkok!’” (HR. At-Tirmidzi, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).


Lisan adalah penerjemah hati dan wakilnya dalam mengutarakan isinya, apabila hati memerintahkan lisan dengan suatu perintah, maka lisan akan melaksanakannya, karena lisan itu pasukan hati.

Oleh karena itulah, memperhatikan hati adalah kewajiban seorang hamba, hendaklah ia memohon kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala agar berkenan memperbaiki hatinya dan menyembuhkan berbagai penyakit hati yang menjangkitinya yang bisa menghalangi sampainya taufik Allah Tabaraka wa Ta’ala kepada hatinya.

Apabila hati seorang hamba itu baik, maka baik pula ucapan dan perbuatan lahiriyahnya sehingga menjadi orang yang jika berucap dan beramal, ia dicintai oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala, diridhai-Nya dan diterima oleh-Nya.

Sumber ke-11

KIAT KEENAM:

“Istiqomah tidak terwujud kecuali dengan ikhlas karena Allah dan dengan pertolongan Allah, serta sesuai dengan perintah Allah”

Keistiqomahan seorang hamba tidaklah terwujud kecuali dengan tiga perkara, yaitu:

Dengan ikhlas karena Allah (Lillah), maksudnya: seorang hamba dalam beristiqomah meniti jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala yang lurus dan melaksanakan agama Islam ini haruslah ikhlas karena Allah Tabaraka wa Ta’ala, dalam rangka melaksanakan perintah Allah Tabaraka wa Ta’ala, mengharap perjumpaan dengan-Nya, pahala-Nya dan ridho-Nya.

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al-Bayyinah: 5).

فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ

“Maka istiqomahlah (dengan mengikhlaskan ibadah) kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya” (QS. Fushshilat: 6).

Faidah:

Seorang hamba yang ikhlas karena Allah dalam beristiqomah dan meniti jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala yang lurus, maka terhindar dari riya’ dan seluruh bentuk kesyirikan.

Dengan pertolongan Allah (Billah), maksudnya: seorang hamba dalam merealisasikan istiqomah dalam niat, ucapan maupun perbuatan serta agar tetap terjaga keistiqomahannya haruslah memohon pertolongan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala semata.

Sesungguhnya hal ini adalah pengamalan firman Allah Tabaraka wa Ta’ala:

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ

“Maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya” (QS. Hud: 123).

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah, dan hanya kepada Engkau-lah kami meminta pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 5).

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah,  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بالله

“Semangatlah mendapatkan perkara yang bermanfaat bagimu dan memohonlah pertolongan kepada Allah.”

Faidah:

Seorang hamba dalam beribadah dan menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala dengan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala berarti telah menggabungkan dua perkara yang termulia dan teragung, yaitu:

Pertama, beribadah kepada Allah Ta’ala yang merupakan tujuan termulia bagi seorang hamba.

Kedua, memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan bertawakal kepada-Nya semata yang merupakan sarana yang teragung.

Dengan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam beribadah kepada-Nya, maka seorang muslim akan terjaga dari ‘ujub, membangga-banggakan amalannya dan merendahkan saudaranya.

Sesuai dengan perintah Allah (‘Ala amrillah), maksudnya: hati dan anggota tubuh lahiriyah dalam berucap dan berbuat dan dalam beristiqomah haruslah sesuai dengan syariat Allah dan sesuai dengan Ash-Shirooth Al-Mustaqiim.

Sebagaimana tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu terhadap firman Allah:

ثُمَّ اسْتَقَامُوا

“…kemudian mereka istiqomah…”, beliau berkata:

أي استَقاموا في أداءِ الفَرائض

“Maksudnya: istiqomah dalam menunaikan kewajiban”.

Al-Hasan rahimahullah mengatakan:

استقاموا على أمْر الله فعَملُوا بطاعتِه، واجتَنبوا معصيتَه

“Mereka istiqomah di atas perintah Allah sehingga mereka mengamalkan amalan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi maksiat kepada-Nya”.

Dan maksud dari “perintah Allah” di dalam ucapan Al-Hasan rahimahullah tersebut adalah syariat-Nya (agama Islam) yang Dia utus Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dengannya.

Faidah:

Tatkala seorang hamba meniti Ash-Shirooth Al-Mustaqiim sesuai dengan perintah Allah, maka akan terhindar dari kebid’ahan dan terhindar dari melakukan ibadah dengan tata cara selain ajaran Islam.

Sumber keduabelas

KIAT KETUJUH:

“Seorang hamba, meski bagaimanapun tingginya tingkat istiqomahnya, maka ia tidak boleh bersandar kepada amalnya”

Kewajiban seorang hamba adalah tidak bersandar kepada amalnya, meski bagaimanapun tingginya tingkat istiqomahnya, walaupun bagaimanapun tingginya keshalehannya.

Jangan sampai ia tertipu dan silau dengan ibadahnya, shalatnya, puasanya, dzikirnya ataupun ketaatan lainnya yang ia lakukan.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:

والمطلوبُ منَ العبد الاستقامةُ وهيَ السَّداد، فإنْ لمْ يَقدِر عليهَا فالمُقارَبَة، فإنْ نَزل عنهَا فالتَّفريطُ والإضَاعةُ،

“Yang tertuntut dari seorang hamba adalah istiqomah, yaitu sadaad, jika ia tidak mampu maka bersikaplah muqaarabah. Adapun jika melakukan di bawah muqaarabah, berarti terjerumus ke dalam mengurangi batasan (syar’i) dan menelantarkan(nya)”.

Sebagaimana di dalam Ash-Shahihain dari hadits A’isyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، فَإِنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ الجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ، قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ الله!؟ قَالَ: وَلَا أَنَا؛ إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ الله مِنْهُ بِمَغْفِرَةٍ ورَحْمَةٍ

“Bersikaplah kalian sesuai dengan (sunah) dan mendekatilah, serta bergembiralah, karena sesungguhnya amal seseorang tidaklah memasukkan dirinya kedalam surga”. Para sahabat bertanya: “Tidak pula Anda wahai Rasulullah?”, beliau menjawab: “Tidak pula saya, hanya saja Allah melimpahkan kepadaku ampunan dan rahmat dari-Nya”.

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggabungkan seluruh kedudukan-kedudukan dalam agama Islam ini, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan (umatnya) untuk istiqomah, yaitu: lurus dan benar dalam seluruh niat, ucapan dan perbuatan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan dalam hadits Tsauban, yaitu:

استَقِيمُوا ولنْ تُحْصُوا، واعْلَمُوا أنَّ خَيْرَ أعْمَالِكُم الصَّلاة

“Istiqomahlah dan kalian tidaklah akan mampu (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah), dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat” (HR. Imama Malik dalam Al-Muwaththa` dan Ibnu Majah, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Bahwa mereka tidak mampu (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah), sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengalihkan kepada muqaarabah, yaitu: agar mereka mendekat kepada istiqomah sesuai dengan kemampuan mereka, seperti orang yang membidik suatu sasaran, maka jika tidak tepat mengenai sasaran, setidaknya mendekati sasaran tersebut! (Madarijus Salikin: 2/105).

Selanjutnya, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kandungan lain dari  hadits A’isyah radhiyallahu ‘anha dalam Ash-Shahihain di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

فأخبَرهُم أنَّ الاستقَامَة والمقارَبة لا تُنْجي يومَ القِيامةِ، فلا يَرْكَن أحدٌ إلى عمَلِه ، ولا يَعْجَب به ، ولا يَرى أنَّ نَجاتَه به ؛ بَل إنَّما نجاتُه برحمةِ الله وعفوِه وفضلِه

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengabarkan bahwa istiqomah (sadaad) dan muqaarabah tidaklah menyelamatkan (pelakunya) pada hari kiamat kelak, maka janganlah seseorang bersandar kepada amalnya (merasa aman) dan janganlah ia bangga/silau dengan amalannya, serta janganlah ia memandang bahwa hakekatnya keselamatan dirinya ditentukan oleh amalnya, akan tetapi hakekatnya keselamatan dirinya adalah karena rahmat Allah, maaf-Nya dan karunia-Nya” (Madarijus Salikin: 2/105).

Sumber Ketiga belas

KAEDAH KEDELAPAN 

“Buah Istiqamah di Dunia adalah Istiqamah di atas Jembatan (Ash-Shirath) pada Hari Kiamat”

“Buah istiqamah di dunia adalah istiqamah di atas jembatan (Ash-Shirath) pada hari Kiamat”, maksudnya adalah barangsiapa yang diberi petunjuk sewaktu di dunia hingga ia berhasil meniti Ash-Shirathul Mustaqim (Syariat Islam) dan istiqamah di atasnya, maka ia akan berhasil meniti jembatan (Ash-Shirath) di akhirat.”

Hal ini sesuai dengan kaidah dalam Al-Qur`an Al-Jaza` min jinsil ‘Amal bahwa balasan itu sejenis dengan amal yang diperbuat. Tatkala amalan seseorang adalah istiqamah di dunia, maka iapun memetik buahnya berupa istiqamah di akhirat. Ketika ia berhasil meniti Ash-Shirath yang lurus di dunia, maka iapun berhasil meniti Ash-Shirath di akhirat.

Di akhirat kelak, akan dibentangkan jembatan (Ash-Shirath) di atas neraka Jahannam. Ciri khas jembatan tersebut lebih tajam daripada pedang dan lebih tipis daripada rambut. Manusia diperintahkan melewatinya. Berhasil atau tidaknya seseorang dalam melewatinya sesuai dengan tingkatan istiqamahnya meniti Ash-Shirathul Mustaqim (Syariat Islam) sewaktu di dunia, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثُمَّ يُؤْتَى بِالْجسْرِ فَيُجْعَلُ بَيْنَ ظَهْرَيْ جَهَنَّمَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْجسْرُ قَالَ مَدْحَضَةٌ مَزِلَّةٌ عَلَيْهِ خَطَاطِيفُ وَكَلَالِيبُ وَحَسَكَةٌ مُفَلْطَحَةٌ لَهَا شَوْكَةٌ عُقَيْفَاءُ تَكُونُ بِنَجْدٍ يُقَالُ لَهَا السَّعْدَانُ

“Kemudian didatangkan jembatan lalu dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam. Kami (para Sahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana (bentuk) jembatan itu?’ Jawab beliau, ‘Licin (lagi) mengelincirkan. Di atasnya terdapat besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Najd, dikenal dengan pohon Sa’dan …’” (Muttafaqun ‘alaih).

Sebagaimana pula hadits tentang macam-macam nasib orang yang melewati jembatan (Ash-Shirath) di akhirat,

فَنَاجٍ مُسَلَّمٌ ، وَمَخْدُوشٌ مُرْسَلٌ ، وَمَكْدُوسٌ فِي نَارِ جَهَنَّمَ

“Maka ada yang selamat tanpa luka, namun ada yang terkoyak lalu selamat, dan adapula yang jatuh kedalam neraka Jahannam” (H.R. Muslim).

Kecepatan Melintasi Ash-Shirath (Jembatan) pada Hari Kiamat Berbanding Lurus dengan Keistiqamahan di Dunia

Adapun tingkat kecepatan dan kesuksesan dalam melintasi Ash-Shirath (jembatan) pada hari Kiamat berdasarkan amal pelintasnya dan berdasarkan keistiqamahan dalam berpegang teguh dengan Ash-Shirathul Mustaqim di dunia.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Madarijus Salikin 1/10 berkata,

فمَنْ هُدِي في هذه الدَّار إلى صراطِ الله المستقيمِ الَّذي أرسَل به رسُلَه وأنْزَل به كُتبَه هُدِيَ هُناك إلى الصِّراط المستقيم الموصِل إلى جنَّتِه ودار ثَوابِه ، وعلى قَدر ثُبوتِ قَدمِ العبدِ على هذا الصِّراط الَّذي نَصبَه الله لعبادِه في هذه الدَّار يكونُ ثُبوت قدمِه على الصِّراط المنصُوب على مَتنِ جهنَّم ، وعلى قَدر سَيْره على هذه الصِّراط يكونُ سَيْرُه على ذاك الصِّراط

“Maka barangsiapa yang diberi petunjuk ke jalan Allah yang lurus di dunia ini -yang para rasul-Nya diutus dengannya dan Allah turunkan Kitab-Kitab-Nya dengan sebabnya, maka ia akan diberi petunjuk di (akharat) sana kepada jalan lurus yang menghantarkan kepada surga-Nya dan tempat pahala-Nya.”

Sekadar tegarnya kaki seorang hamba meniti jalan yang Allah tetapkan untuk hamba-Nya di dunia ini, maka sekadar itu pulalah tegarnya kaki seorang hamba meniti jembatan yang dibentangkan di atas Jahannam. Dan sesuai dengan kadar perjalanan seorang hamba meniti jalan lurus (Ash-Shirathul Mustaqim di dunia ini), maka sekadar itu pulalah kadar perjalanannya di atas jalan Ash-Shiroth (jembatan pada hari Kiamat).”

Sumber Keempat belas

Apa yang disampaikan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Madarijus Salikin, bahwa tingkat kecepatan dan kesuksesan dalam melintasi Ash-Shirath (Jembatan) pada hari kiamat berdasarkan amal pelintasnya dan berdasarkan keistiqamahannya dalam berpegang teguh dengan Ash-Shirathul Mustaqim di dunia, hal ini sesuai dengan kandungan hadits berikut ini,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْل الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((وَتُرْسَلُ الْأَمَانَةُ وَالرَّحِمُ فَتَقُومَانِ جَنَبَتَيْ الصِّرَاطِ يَمِينًا وَشِمَالًا فَيَمُرُّ أَوَّلُكُمْ كَالْبَرْقِ))، قَالَ : قُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي أَيُّ شَيْءٍ كَمَرِّ الْبَرْقِ ؟ قَالَ: ((أَلَمْ تَرَوْا إِلَى الْبَرْقِ كَيْفَ يَمُرُّ وَيَرْجِعُ فِي طَرْفَةِ عَيْنٍ؟ ثُمَّ كَمَرِّ الرِّيحِ ثُمَّ كَمَرِّ الطَّيْرِ وَشَدِّ الرِّجَالِ تَجْرِي بِهِمْ أَعْمَالُهُمْ وَنَبِيُّكُمْ قَائِمٌ عَلَى الصِّرَاطِ يَقُولُ رَبِّ سَلِّمْ سَلِّمْ حَتَّى تَعْجِزَ أَعْمَالُ الْعِبَادِ حَتَّى يَجِيءَ الرَّجُلُ فَلَا يَسْتَطِيعُ السَّيْرَ إِلَّا زَحْفًا قَالَ وَفِي حَافَتَيْ الصِّرَاطِ كَلَالِيبُ مُعَلَّقَةٌ مَأْمُورَةٌ بِأَخْذِ مَنْ أُمِرَتْ بِهِ فَمَخْدُوشٌ نَاجٍ وَمَكْدُوسٌ فِي النَّارِ)) رواه مسلم.

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Lalu diutuslah amanah dan rahim (tali persaudaraan). Keduanya berdiri di samping kiri-kanan shirath tersebut. Orang yang pertama lewat seperti kilat.’ Aku bertanya, ‘Dengan bapak dan ibuku (aku korbankan) demi engkau. Adakah sesuatu seperti kilat?’ Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidakkah kalian pernah melihat kilat bagaimana ia lewat dalam sekejap mata?’ Kemudian ada yang melewatinya seperti angin, kemudian seperti burung, dan seperti larinya orang. Mereka berjalan sesuai dengan amalan mereka. Nabi kalian waktu itu berdiri di atas shirath sambil berkata, ‘Ya Allah selamatkanlah, selamatkanlah. Kemudian ada para hamba yang lemah amalannya, sampai-sampai datang seseorang yang tidak bisa lewat kecuali dengan merangkak.’ Beliau menuturkan (lagi), ‘Di kedua tepi shirath terdapat besi pengait yang bergantungan untuk diperintahkan menyambar siapa saja yang diperintahkan untuk disambar. Maka ada yang terkoyak namun selamat dan ada pula yang dijerumuskan ke dalam neraka’” (HR. Muslim).

Pada Dua Sisi Ash-Shirath Tergantung Banyak Pengait yang Menyambar Orang-Orang yang Sewaktu Di Dunia Tersambar Syubhat dan Syahwat

Ketahuilah bahwa kedua sisi Ash-Shirath tergantung banyak pengait-pengait yang menyambar. Bentuknya seperti batang besi pengait daging, berujung bengkok, dan berkawat duri sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Muttafaqun ‘alaihi di atas. Karena balasan itu sejenis dengan amalan, maka pengait-pengait di kedua sisi Ash-Shirat (jembatan) tersebut pun akan menyambar orang-orang yang sewaktu di dunia tersambar oleh syubhat dan syahwat. Berkenaan dengan hal ini, Syaikh Abdur Razzaq rahimahullah mengutarakan,

مَن كانَ في هذه الحياة الدُّنيا تَخطَفُه الشُّبهات عن الصِّراط المستقيم ، وتَخطَفُه الشَّهواتُ عن الصِّراط المستقيم ، فأيضاً الكلاليبُ الَّتي على جَنبَتي الصِّراط يوم القيامة تخطفه مثلَ ما خطفَته الشُّبهات والشَّهوات في هذه الحياة الدُّنيا

“Maka barangsiapa yang di kehidupan dunia ini disambar oleh syubhat sehingga terhalangi dari meniti jalan yang lurus, dan disambar oleh syahwat sehingga terhalangi dari meniti jalan yang lurus (pula), maka pengait-pengait yang berada di atas sisi  jembatan (Ash-Shirath) pada hari Kiamat itu akan menyambarnya semisal sambaran syubhat dan syahwat yang menyambarnya di kehidupan dunia ini.

Sumber Kelima belas

KIAT KESEMBILAN

Penghalang istiqamah adalah syubhat yang menyesatkan, atau syahwat yang menggelincirkan”

Seorang hamba yang meniti jalan lurus akan menyimpang dari jalan tersebut dengan salah satu dari dua perkara, yaitu syubhat yang menyesatkan, atau syahwat yang menggelincirkan, karena keduanya merupakan penghalang keistiqamahan seseorang. Perhatikanlah. Bahwa setiap orang yang menyimpang dalam beragama Islam, pastilah karena penyakit mengikuti syahwat atau tekena penyakit syubhat.

Dua Kekuatan Hati yang Harus Dijaga

Hati memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan ilmu, dan kekuatan kehendak yang membuahkan amal. Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan min Mashaidisy Syaithan,

لما كان فى القلب قوتان: قوة العلم والتمييز، وقوة الإرادة والحب. كان كماله وصلاحه باستعمال هاتين القوتين فيما ينفعه، ويعود عليه بصلاحه وسعادته.

Tatkala dalam hati terdapat dua kekuatan hati, yaitu:

  1. Kekuatan mengetahui dan membedakan (quwwatul ‘ilmi wat tamyiz).
  2. Kekuatan kehendak dan cinta (quwwatul iradah wal hubb).

maka kesempurnaan dan kebaikan hati itu diperoleh dengan menggunakan dua kekuatan ini dalam perkara yang bermanfaat bagi hati dan dalam perkara yang kebaikan dan kebahagiaan hati tersebut kembali kepadanya”.

Lalu beliau rahimahullah menyatakan,

أن حياة القلب وصحته لا تحصل إلا بأن يكون مدركا للحق مريدا له، مؤثرا له على غيره.

“Bahwa kehidupan hati dan kesehatannya tidak akan diperoleh kecuali dengan mengenal kebenaran (kekuatan ilmiyah) lagi menginginkannya serta memilihnya, mengalahkan selainnya (kekuatan kehendak atau kekuatan amaliah).”

Oleh karena itu selayaknyalah seorang hamba yang ingin istiqamah dalam meniti jalan yang lurus benar-benar menggunakan kekuatan hatinya dengan sebaik-baiknya.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kepada kita bagaimana cara menggunakan kekuatan hati pertama, yaitu kekuatan mengetahui dan membedakan (quwwatul ‘ilmi wat tamyiz).

فكماله باستعمال قوة العلم فى إدراك الحق، ومعرفته، والتمييز بينه وبين الباطل

“Kesempurnaan hati diperoleh dengan menggunakan kekuatan ilmu untuk menemukan dan mengenal kebenaran (dengan baik) serta membedakan antara kebenaran dengan kebatilan (dengan baik).”

Adapun tentang cara menggunakan kekuatan hati kedua:

kekuatan kehendak dan cinta (quwwatul iradah wal hubb),

وباستعمال قوة الإرادة والمحبة فى طلب الحق ومحبته وإيثاره على الباطل

“(Kesempurnaan hati diperoleh) dengan menggunakan kekuatan kehendak dan cinta dalam mencari kebenaran dan mencintainya serta memilihnya, mengalahkan selainnya.”

Sumber Keenam belas

Dalil tentang kekuatan hati

Ucapan emas bagi orang yang menyayangi hatinya agar bisa istiqamah

Banyak dalil yang menunjukkan adanya kekuatan hati berupa kekuatan ilmiah dan amaliah, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 1-5, 186, dan 177, Al-A‘raaf: 157, serta surat Al-Ashr. Berikut ini penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah tentang surat Al-Ashr,

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

“Dengan hanya menyebut setiap nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

وَالْعَصْرِ

(1) Demi masa.

إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ

(2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

(3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan surat tersebut,

فأقسم سبحانه وتعالى بالدهر الذى هو زمن الأعمال الرابحة والخاسرة، على أن كل واحد فى خسر، إلا من كمل قوته العلمية بالإيمان بالله، وقوته العملية بالعمل بطاعته. …… فكمل نفسه بالعلم النافع والعمل الصالح، وكمل غيره بتعليمه إياه ذلك، ووصيته له بالصبر عليه

Allah subhanahu wa ta‘ala (dalam surat ini) bersumpah dengan masa yang merupakan waktu untuk beramal, baik amal yang menguntungkan maupun yang merugikan (pelakunya) bahwa setiap orang berada dalam kerugian, kecuali orang yang menyempurnakan kekuatan ilmiah dengan beriman kepada Allah dan menyempurnakan kekuatan amaliah dengan taat kepada-Nya. Maka ia menyempurnakan dirinya dengan ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih, serta menyempurnakan orang lain dengan mengajarkan kepadanya hal itu, dan berwasiat kepadanya dengan bersabar atas hal itu.

Ucapan emas bagi orang yang menyayangi hatinya agar bisa istiqamah

Ibnul Qayyim rahimahullah bertutur dalam Ighatsatul Lahfan min Mashaidisy Syaithan, hal. 22, “Hendaknya (seorang hamba) ketahui bahwa kedua kekuatan (hati) ini tidak pernah berhenti beraktifitas, bahkan (kemungkinan yang ada) yaitu:

Jika tidak ia gunakan kekuatan ilmiahnya untuk mengenal kebenaran dan mencarinya, maka ia akan gunakan kekuatan tersebut untuk mengetahui sesuatu yang selaras dan cocok dengan kebatilan.

Begitu pula, jika tidak ia gunakan kekuatan kehendak amalnya untuk beramal shalih, maka ia akan gunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan amal shalih.

Jadi, (Kesimpulannya) bahwa manusia itu, secara tabiat, disifati dengan harits dan hammam, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ta’ala ‘alaihi wa alihi wa sallam,

أَصْدَقُ الأَسْمَاءِ: حَارِثٌ وَهَمَّامٌ

“Nama yang paling jujur adalah Harits dan Hammam.”

Harits adalah orang yang (suka) beraktifitas. Sedangkan hammam adalah orang yang banyak berkeinginan/selera ham. Karena sesungguhnya jiwa itu sifatnya dinamis dan gerakannya sesuai kehendak jiwa itu. Hal ini adalah bagian dari konsekuensi dzatnya.”

Sedangkan kehendak itu mengharuskan bahwa sesuatu yang dikehendaki akan tergambar pada jiwanya dan memiliki keistimewaan tersendiri menurut jiwanya. Jadi, jika jiwa (manusia) tidak menggambarkan kebenaran, mencarinya dan menghendakinya, maka akan menggambarkan kebatilan, mencarinya dan menghendakinya. Dan itu pasti!”

Setelah kita mengetahui penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah maka dapat disimpulkan bahwa keistiqamahan seorang hamba dipengaruhi oleh dua kekuatan hati tersebut, karena apabila kekuatan hati itu baik, maka baik pula ucapan dan amalan seluruh anggota tubuh lainnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ , وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

“Ingatlah seseungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad, dan apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati” (Hadits dalam Shahihain).

Sebaliknya, apabila dua kekuatan hati itu rusak, maka hal itu akan merusak keistiqamahan seorang hamba, dan ketahuilah bahwa syahwat dan syubhat adalah induk penyakit yang merusak dua kekuatan hati.

Sumber Ketujuh belas

Mengikuti syahwat dan syubhat adalah induk penyakit yang merusak kekuatan hati!

Adapun induk penyakit yang merusak keimanan seorang hamba adalah mengikuti syahwat dan syubhat.

Allah Ta’ala mensucikan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua induk penyakit ini, Allah Ta’ala berfirman :

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَىٰ

(1) Demi bintang ketika terbenam.

مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ

(2) kawanmu (Nabi Muhammad) tidak sesat dan tidak pula menyimpang. [Q.S. An-Najm: 1-2].

Dua penyakit yang ditiadakan dari diri Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ayat yang mulia tersebut adalah penyakit sesat (dholal) atau mengikuti syahwat dan menyimpang (ghoy) atau mengikuti syubhat.

Allah Ta’ala berfirman tentang adanya penyakit syubhat:

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

(10) Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. [Q.S. Al-Baqarah: 10].

Pakar Tafsir dikalangan tabi’in : Mujahid dan Qotadah rahimahumallah menafsirkan “penyakit dalam hati” dalam ayat yang mulia tersebut, yaitu : keraguan, dan ini termasuk penyakit syubhat.

Dan Allah Ta’ala pun berfirman tentang adanya penyakit mengikuti syahwat :

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

(32) Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. [Q.S. Al-Ahzaab: 32].

Ikrimah rahimahullah menafsirkan “penyakit dalam hati” dalam ayat yang mulia tersebut yaitu : syahwat zina. Hal ini menunjukkan adanya penyakit syahwat yang merusak hati.                                                                                      Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ighotsatul Lahfan min Mashaidisy Syaithan kembali menjelaskan :

جماع أمراض القلب هي: أمراض الشبهات وأمراض الشهوات، والقرآن شفاء للنوعين

“Induk penyakit hati adalah penyakit mengikuti syahwat dan penyakit mengikuti syubhat, sedangkan dalam Al-Qur`an terdapat obat bagi dua macam induk penyakit tersebut!” 

Beliau juga menerangkan :

والفتن التي تعرض على القلوب هي أسباب مرضها، وهي فتن الشهوات و فتن الشبهات، فتن الغي و الضلال، فتن المعاصي و البدع، فتن الظلم و الجهل.

فالأولى توجب فساد القصد و الإرادة، و الثانية توجب فساد العلم و الاعتقاد

“Fitnah yang terpampang kepada hati itulah yang merupakan sebab hati berpenyakit, yaitu : fitnah syahwat, dan fitnah syubhat, (yaitu) fitnah menyimpang (syubhat) dan sesat (syahwat), fitnah maksiat (syahwat) dan bid’ah (syubhat), fitnah kezholiman (syahwat) dan kebodohan (syubhat).

Fitnah pertama (fitnah syahwat) menjerumuskan kepada kerusakan tujuan dan kehendak, adapun fitnah yang kedua (fitnah syubhat) menjerumuskan kepada kerusakan ilmu dan keyakinan”

Penyakit mengikuti syahwat itu akan menjerumuskan seseorang kedalam kerusakan amal, sedangkan syubhat itu mengelincirkan seseorang dari jalan yang lurus dengan kerusakan ilmu yang ada dalam dirinya.

Sumber Kedelapan belas

Kebenaran hanya satu, sedangkan kebatilan itu banyak, namun semuanya kembali kepada dua fitnah : mengikuti syahwat dan syubhat!

Allah Ta’ala berfirman :

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’am:153)

Ayat di atas dijelaskan maksudnya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad berkata :

خَطَّ لَنَا رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ الله، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ، ثُمَّ قَرَأَ

﴿وَإِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ ، فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ﴾

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaris sebuah garis untuk kami, kemudian beliau bersabda : ‘Ini adalah jalan Allah’, kemudian beliau menggaris garis-garis di kanannya dan di kirinya, kemudian beliau bersabda: ‘Ini adalah jalan-jalan (lain), pada setiap jalan dari jalan-jalan tersebut ada setan yang mengajak (manusia) kepadanya’, kemudian beliau membaca (ayat yang artinya) :

‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya.’ ”.

Setan yang disebutkan dalam hadits di atas mengajak kepada kesesatan (jalan setan), maka ketahuilah ajakan setan itu ada dua macam, dan kedua macam ajakan setan itu diibaratkan dua kelompok jalan di kedua sisi jalan yang lurus dalam hadits di atas.

Dua macam ajakan setan

Adapun kedua ajakan atau godaan setan itu adalah ajakan kepada mengikuti syahwat, dan mengajak kepada mengikuti syubhat.

Setan tidak peduli dengan ajakan yang mana ia berhasil menyesatkan manusia. Apabila setan melihat tipe orang yang suka teledor dan malas, maka ia goda orang itu dengan jebakan mengikuti syahwat.

Namun apabila setan melihat tipe orang yang semangat beribadah dan suka menjaga diri dari maksiat, maka ia goda orang itu dengan jebakan syubhat.

Sebagaimana ucapan sebagian Salafush Sholeh:

ما أمر الله سبحانه بأمر إلا وللشيطان فيه نزغتان: إما إلى تفريط وتقصير، وإما إلى مجاوزة وغلوّ. ولا يبالى بأيهما ظفر<

“Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan dengan suatu perintah kecuali setan memiliki dua model tipu daya: (Pertama) jebakan menelantarkan dan teledor (terhadap perintah-Nya), atau jebakan melampaui batas dan berlebihan. Sedangkan setan tak peduli dengan model tipu daya mana ia dapat berhasil (menggoda manusia)”.

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan :

 وقَد نصَبَ الله سبحانه الجسرَ الَّذي يمُرُّ النَّاس منْ فوقِه إلى الجنَّة، ونصبَ بجانِبَيه كلاليبَ تَخطف النَّاسَ بأعمالهم ، فهكَذا كَلاليبُ الباطل مِن تَشْبيهات الضَّلال وشَهوات الغَيِّ تمنَع صاحبَها من الاستقامة على طريق الحقِّ وسلوكِه ، والمعصومُ من عصَمَه الله

“Allah Subhanahu telah memasang jembatan (Ash-Shiroth) yang manusia melalui diatasnya untuk sampai ke surga, dan Allah-pun memasang di kedua sisi jembatan tersebut besi-besi penyambar yang menyambar manusia sesuai dengan perbuatan mereka (sewaktu di dunia), maka demikian pula ‘penyambar-penyambar yang batil’, baik berupa fitnah syubhat yang menyesatkan dan fitnah syahwat yang menyimpangkan (dari kebenaran), keduanya menghalangi dari istiqomah di jalan yang haq dan menghalngi (seseorang) ketika menitinya. Sedangkan orang yang terjaga (dari penyambar-penyambar) tersebut adalah orang yang dijaga oleh Allah”

Al-Qur`an Al-Karim obat penyakit hati

Dan obat dari dua induk penyakit hati tersebut adalah Al-Qur`an Al-Karim, Allah Ta’ala berfirman dalam surat Yunus ayat ke-57:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan obat bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus : 57)

Dan Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bahwa makna ayat ini adalah didalam Al-Qur`an Al-Karim terdapat obat untuk mengobati berbagai penyakit dalam hati yang meliputi penyakit kebodohan, dan obatnya adalah berilmu dan mendapatkan petunjuk, serta meliputi pula penyakit penyimpangan, dan obatnya adalah mengamalkan ilmu dan petunjuk (rusyd). Dan kedua obat itu ada dalam Al-Qur`an Al-Karim.

Sumber Kesembilan belas

Penutup

KIAT KESEPULUH :

“Tasyabbuh (meniru) orang kafir termasuk penghalang istiqomah terbesar”

Perhatikanlah, sesungguhnya makna kaidah ini terkandung dalam firman Allah Ta’ala berikut ini:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus,

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [Al-Fatihah]

Dalam firman Allah Ta’ala tersebut di atas, Allah Ta’ala sebutkan tiga golongan, yaitu :

Orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah Ta’ala berupa ilmu yang bermanfaat dan amal sholeh.

Orang-orang yang dimurkai oleh Allah Ta’ala, karena rusak amal mereka, seperti yahudi yang rusak amalan mereka. Yahudi tahu kebenaran, tapi mereka tak mengamalkannya.

Orang-orang yang sesat, karena rusak ilmu mereka, seperti nashoro. Nashoro beramal dan beribadah tanpa ilmu yang benar.

Dan seseorang muslim bisa terjerumus kedalam kerusakan ilmu dengan menyerupai nashoro, dan bisa pula ia terjerumus kedalam kerusakan amal dengan menyerupai yahudi.

Syaikhul Islam menamai kitabnya dengan :

اقتضَاءُ الصِّراط المستقيم مخالفةَ أصحابِ الجحِيم

“Tuntutan (meniti) jalan yang lurus adalah menyelisihi penduduk neraka!”, dalam kitab tersebut beliau ingin menjelaskan bahwa meniti jalan yang lurus dan beristiqomah dalam beragama Islam itu tidaklah didapatkan dengan baik kecuali dengan menghindari jalan hidup penduduk neraka.

Oleh karena itu beliau menyebutkan dalam kitab tersebut beberapa ciri khas Ahlul Kitab yang menjadi fitnah bagi umat Islam, dengan maksud agar umat Islam menjauhinya serta tidak terjatuh kedalam jalan orang-orang yang dimurkai oleh Allah Ta’ala dan orang-orang yang sesat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

“Sesunguhnya kalian akan mengikuti kebiasaan umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, selengan demi selengan, sehingga seandainya mereka masuk lubang dhab (sejenis kadal besar), niscaya akan kalian ikuti,” maka para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (maksudmu) orang-orang Yahudi dan Nasrani?” (Jawab Rasulullah): “Siapa lagi?!” [HR al-Bukhâri dan Muslim]

Penutup

Di akhir kitab Asyru Qowa’id fil Istiqomah, sang penulis : Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafizhahullah. menutup kitabnya dengan ungkapan yang indah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau berkata :

أعظمُ الكرامَةِ لزُومُ الاستقامَة

“ Karomah yang paling mulia adalah berpegang teguh dengan istiqomah”.

Beliau juga berkata dalam kitabnya Al-Furqon baina Auliya`ir Rahman wa Auliya`isy Syaithon :

وإنَّما غايةُ الكرامَةِ لزومُ الاستقامةِ

“Tujuan (diberi) karomah itu hanyalah agar dapat berpegang teguh dengan istiqomah”.

Oleh karena itu Ibnul Qoyyim rahimahullah menukilkan perkataan yang indah dalam kitabnya Madarijus Salikin:

كُن صاحبَ الاستقامَةِ لا طالِبَ الكَرامة ، فإنَّ نفسَك متحرِّكَةٌ في طلَبِ الكرامةِ، وربُّك يُطالبُكَ بالاستقامةِ

“Jadilah orang yang beristiqomah, (dan) jangan menjadi pencari karomah, karena (sifat) jiwamu itu tergerak mencari karomah, sedangkan Rabb-mu menuntutmu untuk istiqomah!”.

Maksud pernyataan-pernyataan di atas adalah selayaknya seorang hamba selalu bersungguh-sungguh untuk istiqomah di atas jalan Allah yang lurus, dan berusaha menjaga dirinya agar selalu taat kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Penyusun memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-Nya yang husna dan sifat-Nya yang ulya agar menganugerahkan kepada kita keistiqomahan dalam meniti jalan-Nya yang lurus,dan menjauhkan kita dari jalan orang-orang yang dimurkai oleh-Nya Ta’ala dan jalan orang-orang yang sesat, serta menjadikan kita semua menjadi golongan orang-orang yang diberi nikmat oleh-Nya.

Penyusun tutup risalah berseri ini dengan firman Allah yang telah penyusun sebutkan di awal-awal risalah ini :

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

(30) Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka istiqomah, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kalian takut dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian”.

نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ

(31) Kamilah adalah pelindung-pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan akhirat, di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta.

نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ

(32)Sebagai hidangan (bagi kalian) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Q.S. Fushshilat : 30-32].

Allah Ta’ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

(13) Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.

أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

(14)Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.

وصلَّى الله وسلَّم وبارك وأنعم على عبدِه ورسولِه نبيِّنا محمَّد وآله وصحبِه أجمعين

وآخر دعوانا أن الحمدُ لله ربِّ العالمين

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/