Bagaimana Cara Istiqamah?
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ. نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ.
Di antara perkara yang banyak ditanyakan masyarakat kepada ulama, para penuntut ilmu syar’i, dan para da’i adalah tentang masalah istiqamah (meniti jalan yang lurus), dan perkara-perkara yang dapat membantu seseorang untuk dapat tetap tegar meniti jalan Allah yang lurus (As-Shiratul Mustaqim). Sesungguhnya pembahasan istiqamah adalah pembahasan yang sangat penting, dan ajaran yang agung, layak bagi setiap muslim dan muslimah untuk memperhatikannya dengan perhatian yang besar. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ. نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah.’ Kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah kalian takut dan janganlah merasa sedih, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian. Kami adalah pelindung-pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan akhirat, di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Sebagai hidangan (bagi kalian) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. Fushshilat: 30-32).
Istiqamah dengan meniti jalan Allah Ta’ala yang lurus, membuahkan akibat yang baik dan buah manis berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat, keberuntungan yang hakiki, dan kebaikan seluruh urusan seorang hamba. Maka selayaknyalah seseorang yang menginginkan kebahagiaan, keselamatan, dan kebaikan di dunia dan akherat memperhatikan masalah istiqamah ini dengan sungguh-sungguh, baik dengan mempelajarinya, mengamalkan tuntutannya, maupun menjaga agar tetap istiqamah sampai meninggal dunia, dengan terus menerus hati bersandar kepada Allah Ta’ala semata.
Penjelasan sepuluh kiat istiqamah ini diringkas dari buku "Asyru Qowa’id fil Istiqamah yang ditulis oleh Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafizhahullah." Dalam buku tersebut, sang penulis hafizhahullah memaparkan dengan indah, singkat, dan jelas tentang pengertian istiqamah, dan kiat-kiat agar seseorang mampu untuk istiqamah di dalam hidupnya. Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafizhahullah yang kini telah meraih gelar profesor doktor tersebut, menyebutkan sepuluh bab tentang istiqamah. Kendati buku ini tergolong buku yang tipis (kutaib), namun dengan taufik Allah sang penulis berhasil menjelaskan masalah istiqamah dengan baik melalui 10 bab tersebut, yaitu:
- Istiqamah adalah anugerah dari Allah Ta’ala.
- Hakikat istiqamah adalah meniti jalan yang lurus (Islam).
- Dasar istiqamah adalah keistiqamahan hati.
- Istiqamah yang tertuntut adalah sesuai Sunnah, apabila tidak mampu, maka mendekatinya.
- Istiqamah terkait dengan ucapan, perbuatan, dan niat.
- Istiqamah tidak terwujud kecuali dengan ikhlas karena Allah, dan dengan pertolongan Allah, serta sesuai dengan perintah Allah.
- Seorang hamba, meski bagaimanapun ketinggian tingkat istiqamahnya, maka ia tidak boleh bersandar kepada amalnya.
- Buah istiqamah di dunia adalah istiqamah di atas jembatan (Ash-Shiroth) pada hari kiamat.
- Penghalang istiqamah adalah syubhat yang menyesatkan, atau syahwat yang menggelincirkan.
- Tasyabbuh (meniru) orang kafir termasuk penghalang istiqamah terbesar.
KIAT PERTAMA
Istiqamah Itu Anugrah, Mintalah Pada Sang Pemberi Anugerah
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ ۖ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتً. وَإِذًا لَآتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًاا. وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا.
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَاعْتَصَمُوا بِهِ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَىٰ دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ ۗ مَنْ يَشَإِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَنْ يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
لَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ ۚ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعَالَمينْ لمن شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيم َوَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Istiqamah Itu Anugrah, Mintalah Pada Sang Pemberi Anugerah
Di dalam Al-Qur`an terdapat banyak ayat yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala menyandarkan kepada diri-Nya hidayah jalan yang lurus dan seluruh urusan itu ada di tangan-Nya. Allah Ta’ala lah yang memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan menyesatkan orang yang Dia kehendaki pula. Di tangan Allah-lah hati seluruh hamba-Nya, maka barangsiapa yang Allah kehendaki lurus hatinya, Allah-pun akan meluruskannya sebagai karunia dari-Nya! Namun, barangsiapa yang hatinya Allah ketahui enggan untuk lurus, maka Allah simpangkan hatinya sesuai dengan keadilan-Nya. Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S. An-Nisa`.
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ ۖ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتً. وَإِذًا لَآتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًاا. وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا.
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka). dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami. Dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus” (Q.S. An-Nisa`:66-68).
Allah Ta’ala berfirman dalam ayat yang lainnya, masih dalam surat yang sama,
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَاعْتَصَمُوا بِهِ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat (yang khusus) dari-Nya dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya” (Q.S.An-Nisa: 175).
Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S. Yunus: 25,
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَىٰ دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)” (QS.Yunus: 25).
Allah Ta’ala juga berfirman Q.S. Al-An’am, An-Nur, dan At-Takwir,
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ ۗ مَنْ يَشَإِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَنْ يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli, bisu, dan berada dalam gelap yang pekat. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus” (Q.S. Al-An’am: 39).
لَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ ۚ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan. Dan Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus” (Q.S. An-Nur: 46).
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعَالَمينْ لمن شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيم َوَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Al-Qur`an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam” (Q.S. At-Takwir: 27-29).
Kesungguhan dalam bersandar, berharap, dan memohon kepada Allah termasuk diantara kaedah istiqomah yang pertama-tama dan asasi!
Tahukah anda doa yang banyak dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
نَعَمْ، إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ، يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ
Inilah kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat malam!
إنك تهدي من تشاء إلى صراط مستقيم
Kewajiban memohon kepada Allah Ta’ala hidayah jalan yang lurus dalam setiap shalat kita!
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Kesungguhan dalam bersandar, berharap, dan memohon kepada Allah termasuk diantara kaedah istiqomah yang pertama-tama dan asasi!
Demikianlah saudaraku, ayat-ayat yang menunjukkan bahwa hidayah itu ada di tangan Allah Ta’ala banyak jumlahnya.
Jadi, hidayah itu karunia Allah Ta’ala yang Allah Ta’ala berikan kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Mengetahui siapa diantara hamba-hamba-Nya yang benar-benar bersungguh-sungguh untuk mendapatkan petunjuk-Nya dan layak mendapatkan petunjuk-Nya, dan siapa yang enggan mendapatkannya!
Oleh karena itulah, termasuk diantara kaedah istiqomah yang pertama kali perlu diperhatikan dan sangat mendasar adalah kesungguhan seorang hamba dalam bersandar, berharap, dan memohon kepada Allah Ta’ala, karena hidayah istiqomah itu hanyalah ada di tangan-Nya. Allah Ta’ala yang memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya jalan yang lurus.
Tahukah anda doa yang banyak dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Karena istiqomah itu ada di tangan Allah Ta’ala, maka pantaslah apabila doa yang banyak dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah doa mohon ketetapan hati di atas agama-Nya.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu menuturkan:
“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak berdoa :
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Wahai Sang Pembolak-balik hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu”.
Lalu akupun berkata:
“Wahai Rasulullah, kami beriman kepadamu, dan beriman kepada ajaran Islam yang engkau bawa, maka apakah engkau mengkhawatirkan kami?”.
Beliau menjawab :
نَعَمْ، إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ، يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ
“Ya! Sesungguhnya hati (para hamba) itu berada diantara dua jari dari jari-jemari Allah, Dia membolak-balikkannya sesuai dengan yang Dia kehendaki!”. [HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan selainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi 2140].
Jadi, istiqomah itu di tangan Allah Ta’ala, maka barangsiapa yang ingin bisa istiqomah dalam hidupnya, maka mohonlah kepada Allah Ta’ala semata, hendaklah ia menghiba, merengek-rengek, dan memelas dalam memohonnya kepada Allah Ta’ala.
Inilah kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat malam!
Oleh karena istiqomah itu di tangan Allah Ta’ala, maka pantaslah apabila diantara kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat malam adalah membuka shalat malam dengan doa istiftah yang diantara kalimatnya, yaitu:
إنك تهدي من تشاء إلى صراط مستقيم
“ٍSesungguhnya Engkau memberi petunjuk orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus” [HR. Muslim dalam Shahihnya].
Kewajiban memohon kepada Allah Ta’ala hidayah jalan yang lurus dalam setiap shalat kita!
Oleh karena istiqomah itu di tangan Allah Ta’ala, maka pantaslah apabila kita diwajibkan berdoa pada setiap shalat-shalat yang kita lakukan dengan memohon hidayah kepada-Nya jalan yang lurus! Bahkan, Allah Ta’ala mewajibkan kita berdoa dengan doa itu berulang kali dalam sehari semalam!
Doa tersebut adalah sebuah doa yang terdapat dalam surat Al-Fatihah,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus,
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [QS. Al-Fatihah]
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
تأملت أنفع الدعاء فإذا هو سؤال العون على مرضاته ، ثم رأيته في الفاتحة في {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
هُم الَّذين لم يُشركوا بالله شيئًا
ثُمَّ اسْتَقَامُوا
على شهادة أن لا إله إلَّا الله
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
لم يَرُوغوا رَوَغان الثَّعلب
Doa yang Paling Manfaat
Para ulama mengingatkan hendaklah kita menyadari bahwa suatu ucapan dalam shalat yang berbunyi
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
adalah sebuah doa yang Allah Ta’ala wajibkan bagi kita untuk diulang-ulang sebanyak tujuh belas kali dalam sehari semalam, yaitu sebanyak jumlah rakaat shalat wajib lima waktu dalam sehari semalam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
تأملت أنفع الدعاء فإذا هو سؤال العون على مرضاته ، ثم رأيته في الفاتحة في {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Saya perhatikan doa yang paling bermanfaat, maka (saya dapatkan) berupa permohonan pertolongan untuk meraih ridha-Nya, kemudian saya mendapatkan doa tersebut terdapat dalam surat Al-Faatihah pada ayat iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan).”
KIAT KEDUA
Hakikat istiqamah adalah meniti jalan yang lurus (Islam).
Agar kita dapat memahami istiqamah dengan baik, maka kita perlu mengenal beberapa perkataan sahabat dan tabi’in dalam menjelaskan makna istiqamah. Berikut ini beberapa nukilan dari Salafush Shalih rahimahumullah.
Abu Bakar Ah-Shidddiq radhiyallahu ‘anhu menjelaskan firman Allah Ta’ala
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka istiqamah.”
sebagai berikut.
هُم الَّذين لم يُشركوا بالله شيئًا
“Orang-orang yang istiqamah adalah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun.”
Abu Bakar Ah-Shidddiq radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa dasar istiqamah dan intinya adalah tauhid, mengesakan Allah Ta’ala. Barangsiapa yang benar-benar mengesakan Allah Ta’ala, maka ia akan menunaikan hak dan kesempurnaan tauhid, yaitu taat kepada Allah dengan meniti jalan-Nya yang lurus.
Pakar Tafsir di kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhu, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan ayat berikut
ثُمَّ اسْتَقَامُوا
“…kemudian mereka istiqamah…”
sesuai dengan tafsiran Abu Bakar Ah-Shidddiq radhiyallahu ‘anhu di atas. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan ayat tersebut.
على شهادة أن لا إله إلَّا الله
“(Mereka istiqamah) di atas syahadat tiada Sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah”
Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa tatkala beliau di atas mimbar, beliaupun membaca ayat
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka istiqamah.”
dengan tafsiran berikut.
لم يَرُوغوا رَوَغان الثَّعلب
“Mereka tidak berjalan ke kanan dan ke kiri sebagaimana berjalannya musang.”
Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa orang-orang yang istiqamah adalah orang-orang yang berjalan lurus, meniti jalan Allah, Ash-Shirath Al-Mustaqim.
Tafsiran istiqamah seperti inilah yang disimpulkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah, sebagaimana akan disebutkan setelah ini, in syaallah.
ثُمَّ اسْتَقَامُوا
استقاموا على طاعة الله
استقامُوا على أداءِ فرائضِه
الاستقامة : هي سلوك الطريق المستقيم، وهو الدين القويم من غير تعويج عنه يمنة و لا يسرة، و يشمل ذلك فعل الطاعات كلها الظاهرة و الباطنة و ترك المنهيات كلها كذلك
فالاستقامةُ كلمة جامعةٌ آخذةٌ بمَجامِع الدِّينِ ؛ وهي القيامُ بينَ يدي الله على حقيقةِ الصِّدقِ والوَفاء بالعهدِ
KIAT KETIGA
“Dasar istiqamah adalah keistiqamahan hati”
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ
فأصلُ الاستقامةِ استقامةُ القلب على التَّوحيد، كما فسَّر أبو بكر الصِّدِّيق وغيرُه قولَه {إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا} بأنَّهم لم يلتفتوا إلى غيره ، فمتَى استقامَ القلبُ على معرفةِ الله، وعلى خشيتِه، وإجلاله، ومهابتِه، ومحبَّتِه، وإرادته، ورجائه، ودعائه، والتوكُّلِ عليه، والإعراض عمَّا سواه، استقامَت الجوارحُ كلُّها على طاعتِه، فإنَّ القلبَ هو ملِكُ الأعضاء وهي جنودهُ ؛ فإذا استقامَ الملِكُ استقامَت جنودُه ورعاياه.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
Ahli Tafsir di kalangan tabi’in, Qatadah rahimahullah menafsirkan ayat,
ثُمَّ اسْتَقَامُوا
“…kemudian mereka istiqamah…”
استقاموا على طاعة الله
“Mereka istiqamah di atas ketaatan kepada Allah.”
Hal ini sesuai dengan sebuah riwayat yang dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
استقامُوا على أداءِ فرائضِه
“Mereka istiqamah di atas penunaian kewajiban-kewajiban dari Allah.”
Ibnu Rajab rahimahullah mendefinisikan istiqamah dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam,
الاستقامة : هي سلوك الطريق المستقيم، وهو الدين القويم من غير تعويج عنه يمنة و لا يسرة، و يشمل ذلك فعل الطاعات كلها الظاهرة و الباطنة و ترك المنهيات كلها كذلك
“Istiqamah adalah meniti jalan yang lurus, yaitu agama (Islam) yang lurus, tak bengkok ke kanan dan ke kiri, dan mencakup pelaksanaan semua ketaatan, baik yang zhahir maupun batin, dan menghindari semua larangan-larangan (Allah).”
Beberapa tafsir tentang istiqamah tersebut di atas berdekatan maknanya dan saling menafsirkan satu sama lainnya. Karena istiqamah adalah sebuah kata yang mencakup seluruh ajaran dalam Islam.
Oleh karena itulah Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan hal itu dalam ucapannya,
فالاستقامةُ كلمة جامعةٌ آخذةٌ بمَجامِع الدِّينِ ؛ وهي القيامُ بينَ يدي الله على حقيقةِ الصِّدقِ والوَفاء بالعهدِ
“Jadi, istiqamah adalah kata yang mencakup ajaran-ajaran agama (Islam) ini, yaitu (melakukan perjalanan hidup) menuju kepada Allah dengan benar-benar jujur dan memenuhi perjanjian.”
KIAT KETIGA
“Dasar istiqamah adalah keistiqamahan hati”
Dasar istiqamah dan pondasinya adalah keistiqamahan hati, maka barangsiapa yang memperbaiki hatinya, maka ia akan baik ucapan dan perbuatan anggota tubuh lahiriyyahnya. Dalam sebuah hadits yang dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah, diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa bersabda,
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ
“Tidak akan istiqamah (lurus) keimanan seorang hamba sampai istiqamah (lurus) hati-Nya.”
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,
فأصلُ الاستقامةِ استقامةُ القلب على التَّوحيد، كما فسَّر أبو بكر الصِّدِّيق وغيرُه قولَه {إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا} بأنَّهم لم يلتفتوا إلى غيره ، فمتَى استقامَ القلبُ على معرفةِ الله، وعلى خشيتِه، وإجلاله، ومهابتِه، ومحبَّتِه، وإرادته، ورجائه، ودعائه، والتوكُّلِ عليه، والإعراض عمَّا سواه، استقامَت الجوارحُ كلُّها على طاعتِه، فإنَّ القلبَ هو ملِكُ الأعضاء وهي جنودهُ ؛ فإذا استقامَ الملِكُ استقامَت جنودُه ورعاياه.
“Dasar istiqamah adalah keistiqamahan hati di atas tauhid, sebagaimana Abu Bakr Ash-Shiddiq dan selainnya menafsirkan firman Allah,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka istiqamah (mereka tidak berpaling kepada selain-Nya). Selama hati (seseorang) lurus di atas ma’rifatullah, takut kepada Allah, mengagungkan-Nya, memuliakan-Nya, mencintai-Nya, menghendaki-Nya, mengharapkan-Nya, berdoa kepada-Nya, tawakkal kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya, maka luruslah anggota tubuh seluruhnya di atas ketaatan kepada-Nya, karena sesungguhnya hati adalah raja bagi seluruh anggota tubuh, sedangkan anggota tubuh adalah pasukannya. Apabila raja itu lurus, maka lurus pula pasukannya dan rakyatnya.”
أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ , وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
{يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ}
{إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ}
{يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ}
{وَلَا بَنُونَ}
{إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ}
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ قَلْباً سَلِيمًا
Di dalam Shahihain, dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Aku telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
“Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam mukadimah kitabnya Ighatsatul Lahfan:
ولما كان القلبُ لهذه الأعضاء كالملِكِ المتصرِّف في الجنُود الَّذي تصدُرُ كلُّها عن أمرِه، ويستعمِلُها فيما شاءَ، فكلُّها تحتَ عبوديتِه وقهرِه وتكتسِبُ منه الاستقامَةَ والزَّيغ، وتَتْبَعه فيما يعقِدُه من العَزم أو يحلُّه، قال النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم : «أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً, إِذَا صَلَحَتْ, صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ القَلْبُ»،هو مَلِكُها وهيَ المنفِّذَة لمَا يأمرُها به، القابلةُ لِمَا يأتِيها منْ هَديَّتِه، ولا يستقيمُ لها شيءٌ مِنْ أعمالها حتَّى تَصدُرَ عن قَصدِه ونيتِه، وهو المسئُول عنها كلِّها
“Tatkala hati kedudukannya bagi badan seperti raja yang berkuasa mengatur pasukannya, semua (pergerakkan)nya berasal dari perintahnya dan sang raja menggerakkannya sesuai dengan kehendaknya maka semua (anggota badan) di bawah pengaturan (hati) dan kekuasaannya. Dari (hati) inilah dihasilkan kelurusan dan penyimpangan. Badan mengikuti tekad kuat hati atau mengikuti sesuatu yang tidak dikehendaki oleh hati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ , وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
“Ingatlah seseungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”
Hati adalah raja dari seluruh anggota badan, dan badan itu taat terhadap perintah hati, siap menerima petunjuk hati.Tidaklah lurus suatu amal sehingga amal tersebut berasal dari tujuan dan niat hati, dan hati itu bertanggungjawab atas seluruh (amalan badan)”.
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
{يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ}
“Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna”,
{إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ}
“kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat” (QS. Asy-Syu’araa`:88-89).
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan dua ayat di atas di dalam kitab tafsir beliau,
“Firman Allah:
{يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ}
“Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna”,
maksudnya adalah harta seseorang tidaklah bisa melindunginya dari azab Allah walaupun ditebus dengan emas sepenuh bumi.
{وَلَا بَنُونَ}
“dan anak-anak laki-laki”,
maksudnya adalah meskipun ditebus dengan semua anak-anak laki-laki yang ada di muka bumi.
Pada hari itu, tidaklah bermanfaat kecuali keimanan kepada Allah, memurnikan ketaatan untuk-Nya semata (ikhlas) dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya. Oleh karena itu, Allah berfirman:
{إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ}
“kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat”,
maksudnya: selamat dari kotoran (dosa) dan kesyirikan.”
Diantara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ قَلْباً سَلِيمًا
“Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu hati yang selamat” (H.R. Ahmad dan An-Nasa`i, Lihat: Ash-Shahihah: 2328).
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
ميسر مسهل في عقائده وأخلاقه وأعماله ، وفي أفعاله وتُروكه
والمعنى لا يتعمق أحد في الأعمال الدينية ويترك الرفق إلا عجز وانقطع فيغلب
فَسَدِّدُوا
أي : الزموا السداد وهو الصواب من غير إفراط ولا تفريط ، قال أهل اللغة : السداد التوسط في العمل
والسَّدادُ : أن تصيبَ السُّنَّة
فالسَّداد هو حقيقةُ الاستقامةِ ، وهو الإصابةُ في جميعِ الأقوالِ والأعمالِ والمقاصدِ كالَّذي يَرمي إلى غرضٍ فيصيبُه
وَقَارِبُوا
أي : إن لم تستطيعوا الأخذ بالأكمل فاعملوا بما يقرب منه
والمقارَبة أن يُصيب ما يقرُب منَ الغَرض إنْ لم يُصِب الغَرَض نفسَه
وَأَبْشِرُوا
أي : بالثواب على العمل الدائم وإن قل ، والمراد تبشير من عجز عن العمل بالأكمل بأن العجز إذا لم يكن من صنيعه لا يستلزم نقص أجره
KIAT KEEMPAT
“Istiqomah yang tertuntut adalah beribadah kepada Allah sesuai dengan sunah, apabila tidak mampu maka mendekatinya”
Agar seseorang bisa istiqomah, maka perlu memperhatikan dua perkara:
Pertama: Beribadah dan taat kepada Allah Ta’ala, serta beramal shaleh sesuai dengan sunah (syariat Islam).
Kedua: Apabila tidak mampu, maka mendekati sunah (syariat Islam).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا
“Sesungguhnya agama (Islam) ini mudah, dan tidaklah seseorang memperberat diri dalam beragama Islam kecuali ia akan terkalahkan (sendiri), maka bersikaplah kalian sesuai dengan (sunah) dan mendekatilah, serta bergembiralah!” (HR. Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan makna
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
“Sesungguhnya agama ini mudah” dengan mengatakan:
ميسر مسهل في عقائده وأخلاقه وأعماله ، وفي أفعاله وتُروكه
“(Agama Islam) ini mudah, lagi gampang, baik dalam akidah, akhlak, amal, dalam melakukan (perintah) maupun dalam sikap meninggalkan (larangan)”.
Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, beliau menyatakan:
والمعنى لا يتعمق أحد في الأعمال الدينية ويترك الرفق إلا عجز وانقطع فيغلب
“Maksudnya adalah tidaklah seseorang berlebihan dalam mengamalkan agama (Islam) dan meninggalkan sikap pertengahan kecuali ia akan tak mampu dan terputus (amalannya), lalu kalah!”
Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
فَسَدِّدُوا
“Maka bersikaplah kalian sesuai dengan (sunah)”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan:
أي : الزموا السداد وهو الصواب من غير إفراط ولا تفريط ، قال أهل اللغة : السداد التوسط في العمل
“Maksudnya: tetaplah lurus (As-Sadad), yaitu benar tanpa melampui batasan (syariat) dan tanpa menguranginya. Ahli bahasa Arab berkata: As-Sadad adalah tengah-tengah dalam beramal”.
Syaikh Abdurrazzaq hafizhahullah menjelaskan makna As-Sadad dengan mengatakan:
والسَّدادُ : أن تصيبَ السُّنَّة
“As-Sadad adalah anda (beramal) sesuai dengan sunah (syariat Islam).”
Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami’ul Ulum wal Hikam juga menjelaskan makna As-Sadad:
فالسَّداد هو حقيقةُ الاستقامةِ ، وهو الإصابةُ في جميعِ الأقوالِ والأعمالِ والمقاصدِ كالَّذي يَرمي إلى غرضٍ فيصيبُه
“As-Sadad adalah hakekat dari istiqomah, yaitu: benar dalam seluruh ucapan, perbuatan dan niat. Ibarat orang yang membidik suatu sasaran lalu tepat (bidikannya) mengenai sasaran tersebut”.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَقَارِبُوا
“Dan mendekatilah”
dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah:
أي : إن لم تستطيعوا الأخذ بالأكمل فاعملوا بما يقرب منه
“Maksudnya: apabila kalian tidak mampu melakukan amalan yang paling sempurna, maka lakukan amalan yang mendekatinya”.
Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami’ul Ulum wal Hikam menjelaskan makna “mendekati (muqarabah)”:
والمقارَبة أن يُصيب ما يقرُب منَ الغَرض إنْ لم يُصِب الغَرَض نفسَه
“Mendekati adalah anda melakukan (amalan) mendekati tujuan (sunah), meski tidak tepat sesuai dengan tujuannya (sunah)”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَأَبْشِرُوا
“Serta bergembiralah!”,
أي : بالثواب على العمل الدائم وإن قل ، والمراد تبشير من عجز عن العمل بالأكمل بأن العجز إذا لم يكن من صنيعه لا يستلزم نقص أجره
“Maksudnya: bergembiralah dengan pahala atas amalan yang senantiasa terjaga meskipun amalan tersebut sedikit. Maksud perintah bergembira di sini adalah bergembira saat tidak mampu melakukan amalan yang paling sempurna, bahwa ketidakmampuan itu jika bukan karena kesengajaan untuk meninggalkan (amalan paling sempurna), maka tidak berkonsekuensi berkurangnya pahalanya.”
Berdasarkan penjelasan yang telah lalu, maka dalam ajaran Islam seorang hamba diperintahkan untuk melakukan as-sadad dalam melaksanakan ajaran Islam, dan jika ia tidak mampu maka beralih kepada muqarabah.
Jadi, seorang hamba teruntut untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan as-sadad, dan ia tidak menyengaja untuk meninggalkan as-sadad.
Namun jika ia tidak mampu untuk melakukan as-sadad barulah ia beralih kepada muqarabah, sehingga ia tidak menyengaja untuk bersikap muqarabah, karena muqarabah ia tempuh ketika ia tidak mampu melakukan as-sadad.
Sedangkan as-sadad adalah anda beramal sesuai dengan sunah (syariat Islam), melakukan amalan yang paling sempurna dan benar tanpa melampui batasan syariat serta tanpa menguranginya, benar dalam seluruh ucapan, perbuatan dan niat. Ibarat orang yang membidik suatu sasaran lalu tepat bidikannya mengenai sasaran tersebut.
Adapun muqarabah adalah anda melakukan amalan mendekati tujuan (sunah) dan mendekati amalan yang paling sempurna, meski tidak tepat sesuai dengan tujuannya (sunah) dan tidak sampai paling sempurna karena ketidakmampuan anda.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitabnya Fathul Bari syarhu Shahihil Bukhari menukilkan perkataan Ibnul Munir rahimahullah, beliau berkata:
في هذا الحديث علم من أعلام النبوة ، فقد رأينا ورأى الناس قبلنا أن كل متنطع في الدين ينقطع
“Dalam hadits ini terdapat salah satu dari tanda-tanda kenabian, kami telah menyaksikan (sendiri), demikian pula orang-orang sebelum kamipun menyaksikan bahwa setiap orang yang melampui batasan (syariat) akan terputus (amalannya)”,
وليس المراد منع طلب الأكمل في العبادة فإنه من الأمور المحمودة ، بل منع الإفراط المؤدي إلى الملال ، أو المبالغة في التطوع المفضي إلى ترك الأفضل ، أو إخراج الفرض عن وقته
“Bukanlah maksudnya: melarang dari mencari amalan yang paling sempurna dalam beribadah, karena sesungguhnya hal itu termasuk perkara yang terpuji, akan tetapi yang dimaksud adalah melarang dari bersikap melampui batas (syariat) yang menyebabkan kebosanan atau berlebihan dalam amalan sunah (amalan yang tidak wajib) yang mengakibatkan kepada sikap meninggalkan amalan yang lebih utama (afdhal) atau mengeluarkan amalan wajib dari waktunya”,
كمن بات يصلي الليل كله ويغالب النوم إلى أن غلبته عيناه في آخر الليل فنام عن صلاة الصبح في الجماعة ، أو إلى أن خرج الوقت المختار ، أو إلى أن طلعت الشمس فخرج وقت الفريضة
“Misalnya seseorang tidak tidur semalam suntuk untuk melakukan shalat malam lalu tertidur sampai kedua matanya tak mampu terbuka di penghujung malam, sehingga tertinggal dari shalat subuh berjamaah atau sampai keluar dari waktu shalat yang diperbolehkan diakhirkan (mukhtar) atau sampai matahari terbit sehingga lewatlah waktu shalat wajib”.
Ibnul Munir rahimahullah berkata pula pada kalimat yang lainya:
وقد يستفاد من هذا الإشارة إلى الأخذ بالرخصة الشرعية ، فإن الأخذ بالعزيمة في موضع الرخصة تنطع ، كمن يترك التيمم عند العجز عن استعمال الماء فيفضي به استعماله إلى حصول الضرر
“(Dari hadits ini) dapat diambil isyarat kepada tuntutan mengambil keringanan (rukhshah) syar’i, karena tidak mengambil keringanan pada saat tertuntut mengambilnya merupakan sikap melampui batas, seperti sikap meninggalkan tayamum ketika tidak mampu menggunakan air sehingga (jika nekad) menggunakan air akan menjerumuskan kepada bahaya”.
"Istiqomah yang tertuntut adalah beribadah kepada Allah sesuai dengan sunah, apabila tidak mampu, maka mendekatinya”
Kaidah ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:
فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
“Maka istiqomahlah (dengan mengikhlaskan ibadah) kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. (QS. Fushshilat: 6), karena di dalam ayat ini terdapat penyebutan istigfar setelah perintah istiqomah yang mengandung isyarat bahwa seorang hamba pastilah ada kekurangannya, meskipun ia telah bersungguh-sungguh untuk istiqomah.
Ibnu Rajab rahimahullah di dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam menjelaskan ayat di atas:
وفي قوله عز وجل {فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ}إشارةٌ إلى أنَّه لابُدَّ من تقصيرٍ في الاستقامةِ المأمورِ بها ، فيُجبَرُ ذلكَ بالاستغفارِ المقتَضِي للتَّوبة، والرُّجوعِ إلى الاستقامَةِ
“Di dalam firman-Nya Azza wa Jalla: “Maka istiqomahlah (dengan mengikhlaskan ibadah) kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya” terdapat isyarat bahwa pastilah (seorang hamba) ada kekurangannya dalam beristiqomah yang diperintahkan, maka hal itu ditutup dengan istigfar yang mengantarkan kepada taubat dan mengantarkan kepada kemampuan beristiqomah kembali”.
Oleh karena itu di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اِستَقِيمُوا وَلَن تُحصُوا
“Istiqomahlah dan kalian tidaklah akan mampu (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah)” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah, dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani).
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan hadits di atas:
وقد أخبر النَّبيُّ- صلى الله عليه وسلم- أنَّ الناس لن يُطيقوا الاستقامةَ حقَّ الاستقامةِ، كما خرَّجه الإمام أحمد وابن ماجه من حديثِ ثوبانَ عن النَّبيِّ -صلى الله عليه وسلم-
قال: ((استَقيموا ولن تُحْصوا))
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa manusia tidaklah mampu untuk istiqomah dengan sebenar-benar istiqomah sebagaimana hadits yang dikeluarkan (diriwayatkan) oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari hadits Tsauban dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata:
اِستَقِيمُوا وَلَن تُحصُوا
“Istiqomahlah dan kalian tidaklah akan mampu (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah).”
Dalam hadits riwayat Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali radhiyallahu ‘anhu tatkala Ali radhiyallahu ‘anhu meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengajarkan kepadanya sebuah doa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«قُلْ: اللَّهُمَّ اهْدِنِي وَسَدِّدْنِي»
“Ucapkanlah: “Allahummah dinii wa saddidnii” (Ya Allah berilah aku petunjuk dan jadikanlah aku benar dan lurus dalam seluruh perkaraku).”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan Ali radhiyallahu ‘anhu:
وَاذْكُرْ بِالهُدَى هِدَايَتَكَ الطَّرِيقَ، وَالسَّدَادِ سَدَادَ السَّهْمِ
“Dan ingatlah petunjuk (yang anda ucapkan dalam doamu) adalah sebagaimana anda mendapatkan petunjuk ketika meniti jalan dan ingatlah kelurusan (yang anda ucapkan dalam doamu) adalah ibarat lurusnya anak panah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberi petunjuk berupa sebuah doa:
قُلْ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالسَّدَادَ
“Ucapkanlah: “Allahumma innii as`alukal hudaa was sadaad” (Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk dan kebenaran/kelurusan)” (H.R. Muslim).
Kesimpulan :
Seorang hamba di dalam niat, ucapan dan perbuatannya tertuntut untuk bersungguh-sungguh sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (As-Sadaad) sebagaimana orang yang meniti sebuah jalan berusaha untuk melaluinya dengan sesuai rambu-rambu penunjuk jalan, dan iapun berusaha meluruskan niat, ucapan dan perbuatannya sebagaimana seorang pemanah berusaha untuk membidikkan anak panah dengan lurus sehingga tepat sasaran.
Namun apabila ia tidak mampu untuk meraih hal itu, maka hendaklah ia berupaya untuk Muqaarabah dengan meraih target yang mendekati kelurusan dan kesempurnaan yang tertinggi.
Sumber: https://muslim.or.id/
Lanjutan: Istiqomah part 2