Type Here to Get Search Results !

 


NAFKAH UNTUK ISTRI DAN ANAK

 

Parenting Islami (51): Nafkah untuk Istri dan Anak-anak

Seorang ayah atau suami memiliki tanggung jawab atas dirinya sendiri, istri, dan anak-anaknya. Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Ada seorang lelaki dari Bani ‘Udzrah yang memerdekakan budaknya. Lalu berita itu sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Apakah kamu masih punya harta selain ini?” Lelaki tersebut menjawab, “Tidak ada.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapakah yang mau membeli budak ini?” Lalu Nu’aim bin ‘Abdullah Al-‘Adawi membelinya dengan harga 800 dirham. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa uang itu dan memberikannya kepada lelaki tersebut sembari bersabda,

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا

“(Gunakanlah ini) untuk memenuhi kebutuhanmu dahulu, maka bersedekahlah dengannya untuk (mencukupi kebutuhan) dirimu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada keluargamu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada kerabatmu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada ini dan itu.” (HR. Muslim no. 997)

Memenuhi nafkah keluarga merupakan kewajiban dan juga benilai sedekah di sisi Allah Ta’ala. Salah satu dalilnya adalah hadits tersebut di atas. Dalil lainnya yang lebih gamblang adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ، فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ، فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ ، فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ، فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ

“Sesuatu apa pun yang Engkau berikan sebagai makanan kepada dirimu, maka itu merupakan sedekah. Demikian pula yang Engkau berikan sebagai makanan kepada anakmu, istrimu, bahkan kepada budakmu, itu semua merupakan sedekah.” (HR. Ahmad no. 17179 dengan sanad yang shahih)

Bahkan, hal itu merupakan sebaik-baik harta yang diinfaqkan seorang suami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

“Dinar yang Engkau infaqkan di jalan Allah (perang -pen), dinar yang Engkau infaqkan untuk membebaskan seorang budak, dinar yang Engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang Engkau infaqkan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah infaq yang Engkau berikan kepada keluargamu.” (HR. Muslim no. 995)

Apabila seorang suami menahan hak orang-orang yang menjadi tanggungannya (tidak menunaikan kewajiban nafkah kepada mereka), maka itu ternilai sebagai sebuah dosa. Dalilnya sebuah hadits yang termaktub di Shahih Muslim berikut ini.
“Ketika kami (Khaitsamah) duduk bersama Abdullah bin ‘Amr, datanglah dua orang wakilnya. Kemudian beliau menemui mereka lalu beliau bertanya, “Apakah Engkau telah memberikan para budak kebutuhan mereka?” Wakil tersebut menjawab, “Belum.”
‘Abdullah pun memerintahkan, “Kembalilah kalian tunaikan kebutuhan mereka.” Beliau pun bertutur, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ، عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ

“Cukuplah sebagai dosa bagi seseorang bila dia menahan kebutuhan orang yang berada di bawah kuasanya (budak -pen).” (HR. Muslim no. 996)

Permasalahan memberikan nafkah kepada keluarga memiliki hukum dan aturan sebagaimana permasalahan lainnya. Aturan fiqih tentang nafkah kepada keluarga ini dibangun berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا ؛ إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara berlebihan. Sesungguhnya orang yang berlebihan (pemboros-pemboros itu) adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 26-27)

Dan juga firman Allah Ta’ala,

وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. Al-Baqarah [17]: 205)

Berdasarkan dalil-dalil yang ada terkait permasalahan ini, dapat disimpulkan bahwa anak diberikan nafkah sesuai dengan kebutuhannya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ بِالْمَعْرُوْفِ

“Ambillah darinya (suami) untukmu (istri) dan anakmu dengan ma’ruf (sesuai kebutuhan).” (HR. Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714)

Janganlah orang tua berlebihan (“jor-joran”) dalam memberikan nafkah kepada mereka, sehingga anak menjadi sombong di hadapan keluarga dan teman-temannya sehingga lambat laun menyebabkan kerusakan dan kejelekan. Sebaliknya, orang tua jangan pula terlalu pelit kepada anaknya sehingga sang anak pun merasa hina, rendah diri, “ngiler” (sangat menginginkan) dengan apa yang dimiliki oleh teman-temannya.

Perhatikan pula bagaimana cara anak dalam menggunakan nafkah yang kita berikan. Ada anak yang menghabiskan sebagian uangnya untuk hal-hal yang bermanfaat bagi agama dan dunianya, juga memberikan (sebagiannya) kepada fakir miskin. Porsi nafkah kepada anak yang demikian ini tidak sama dengan anak yang menghabiskan uangnya untuk membeli rokok, bir (minuman keras), dan bahkan narkoba. Tentu dalam memberikan uang kepada keduanya pun harus dengan yang ma’ruf.

Membantu dam memotivasi orang untuk berbuat kebaikan merupakan sebuah perkara yang diperintahkan dalam syari’at. Demikian pula melarang, mencegah, dan menutup menuju kemungkaran merupakan salah satu tujuan syariat.

Anak yang memperuntukkan uangnya untuk membeli kaset murottal dan kajian Islam, tentu tidak sama porsi nafkahnya dengan anak yang menghabiskan uangnya untuk membeli kaset yang berisi musik, pacaran, dan berbuat keburukan. Porsi uang yang diberikan kepada anak kecil tentu tidak sama dengan anak yang sudah dewasa. Porsi uang yang diberikan kepada anak yang kuliah di universitas juga tidak sama dengan anak kecil yang belum masuk sekolah atau yang baru belajar. Keperluan anak perempuan pun tentu berbeda dengan anak laki-laki.

Oleh karena itu, memberikan nafkah kepada masing-masing anak itu sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun harus pertengahan di antara sikap pelit dan terlalu berlebihan. Inilah pendapat yang paling kuat dan sesuai dengan dalil-dalil syar’i.

Tidaklah mengapa memberikan kelebihan uang kepada anak yang sudah berakal dan mampu menimbang mana yang baik dan mana yang buruk. Adapun anak yang kurang akalnya dalam membelanjakan harta, yaitu yang tidak mampu menimbang mana yang baik, mana yang manfaat, dan mana yang buruk atau sia-sia, maka ini memerlukan perhatian yang lebih mendalam terkait mashlahat dan mudharat, serta manfaat dan resiko buruk terkait memberikan uang kepadanya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS. An-Nisa’ [4]: 5)

Tags