Type Here to Get Search Results !

 


MEMAHAMI TAKDIR ALLAH TA’ALA

 


MEMAHAMI TAKDIR ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA MENURUT PERSPEKTIF AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

OlehUstadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A

Iman kepada takdir dan ketentuan Allâh Azza wa Jalla bagi semua makhluk-Nya termasuk bagian dari prinsip dasar agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya, keimanan seorang hamba tidak akan menjadi benar di sisi Allâh Azza wa Jalla kecuali setelah memahami dan meyakini masalah ini dengan benar[1].

Karena iman kepada takdir Allâh Azza wa Jalla secara khusus berkaitan erat dengan tauhid rububiyah (mengesakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam perbuatan-perbuatan-Nya yang khusus bagi-Nya, seperti menciptakan, mengatur dan memberi rizki kepada semua makhluk-Nya), sekaligus berkaitan dengan tauhidul asmâ wash shifât karena menakdirkan dan menetapkan termasuk sifat kesempurnaan-Nya[2].

Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Di antara sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Dia Maha (kuasa) berbuat apa yang dikehendaki-Nya, tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali dengan kehendak-Nya dan tidak ada yang luput dari kehendak-Nya. Tidak ada sesuatu pun di alam ini yang lepas dari takdir-Nya dan semuanya terjadi dengan pengaturan-Nya. Oleh sebab itu, tidak ada seorang pun yang (mampu) melepaskan diri dari takdir yang ditentukan-Nya dan melampaui ketentuan yang telah dituliskan-Nya dalam Lauhul Mahfuzh. Dia Azza wa Jalla Maha menghendaki semua yang dilakukan oleh seluruh makhluk di alam semesta. Seandainya Dia Azza wa Jalla berkehendak menjaga mereka semua, niscaya mereka tidak akan melanggar perintah-Nya, dan seandainya Dia Azza wa Jalla menghendaki mereka semua menaati-Nya, niscaya mereka akan menaati-Nya. Allâh lah yang menciptakan semua makhluk beserta semua perbuatan mereka, menakdirkan (menetapkan) rezki dan ajal mereka. Allâh lah yang memberikan hidayah (petunjuk) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah[3]-Nya.”[4]

DEFINISI AL-QADAR (TAKDIR ALLAH) DAN AL-QADHA’ (KETETAPAN-NYA)

Secara bahasa, al-qadar berarti akhir dan batas dari sesuatu[5], maka pengertian “menakdirkan sesuatu” adalah mengetahui kadar dan batasannya[6].

Adapun pengertian al-qadar dalam syariat adalah keterkaitan ilmu dan kehendak Allâh Azza wa Jalla yang terdahulu terhadap semua makhluk (di alam semesta) sebelum Dia Azza wa Jalla menciptakannya. Maka, tidak ada sesuatu pun yang terjadi (di alam ini) melainkan Allâh Azza wa Jalla telah mengetahui, menghendaki dan menetapkannya[7], sesuai dengan kandungan hikmah-Nya yang maha sempurna[8].

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa keyakinan para pengikut kebenaran adalah menetapkan (mengimani) takdir Allâh, yang berarti bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan takdir segala sesuatu secara azali (terdahulu), dan Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu (tertentu), dan di tempat-tempat (tertentu) yang diketahui-Nya, yang semua itu terjadi sesuai dengan ketetapan takdir-Nya.[9]”

Sedangkan pengertian al-qadha’ secara bahasa adalah hukum. Adapun dalam syariat, pengertiannya kurang lebih sama dengan al-qadar, kecuali jika keduanya disebutkan dalam satu kalimat secara bersamaan maka masing-masing mempunyai arti tersendiri[10].

Ketika menjelaskan perbedaan antara keduanya, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, “al-Qadar adalah apa yang Allâh Azza wa Jalla takdirkan secara azali (terdahulu) yang berkaitan dengan apa yang akan terjadi pada (semua) makhluk-Nya. Sedangkan al-qadhâ’ adalah ketetapan Allâh Azza wa Jalla pada (semua) makhluk-Nya, dengan menciptakan, meniadakan (mematikan) dan merubah (keadaan mereka). Ini berarti takdir Allâh Azza wa Jalla mendahului (al-qadhâ).[11]”

DALIL-DALIL PENETAPAN TAKDIR ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Dasar-dasar penetapan takdir terdapat dalam al-Qur`ân dan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antaranya:
1. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir) [al-Qamar/54:49]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Para Imam Ahli Sunnah memegangi ayat yang mulia ini sebagai dasar (wajibnya) menetapkan takdir Allâh Azza wa Jalla yang mendahului semua makhluk-Nya, yang berarti (meyakini bahwa) Dia Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, dan Dia telah menuliskannya (dalam Lauhul Mahfûzh) sebelum menciptakannya.[12]”

2. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfûzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allâh [al-Hadiid/57:22]

3. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.[13]”

4. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada seorangpun dari kalian kecuali Allâh telah menetapkan tempatnya di surga atau tempatnya di neraka.” Para Sahabat Radhiyallahu anhum bertanya, “Wahai Rasûlullâh, (kalau demikian) apakah kita tidak bersandar saja pada ketentuan takdir kita dan tidak perlu melakukan amal (kebaikan) ? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lakukanlah amal (kebaikan), karena setiap manusia akan dimudahkan (untuk melakukan) apa yang telah ditetapkan baginya, manusia yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia (masuk surga) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang berbahagia, dan manusia yang termasuk golongan orang-orang yang celaka (masuk neraka) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang celaka.” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ﴿٥﴾ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ ﴿٦﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ ﴿٧﴾ وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ﴿٨﴾ وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ﴿٩﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allâh) dan bertakwa (kepada-Nya), dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan memudahkan baginya (jalan) yang mudah (kebaikan). Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (berpaling dari petunjuk-Nya), serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (keburukan) [al-Lail/92:5-10][14]

TINGKATAN-TINGKATAN IMAN KEPADA TAKDIR ALLAH AZZA WA JALLA[15]

Syaikh Muhammad bin ShâlIh al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, “Iman kepada takdir Allâh Azza wa Jalla tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani empat perkara :

1. Mengimani bahwa Allâh Azza wa Jalla mengetahui segala sesuatu yang terjadi secara global maupun terperinci dengan ilmu-Nya yang terdahulu, sebagaimana dalam firman-Nya, yang artinya, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allâh mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi ? Sesungguhnya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauhul Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allâh [al-Hajj/22:70]

2. Mengimani bahwa Allâh Azza wa Jalla menulis semua ketetapan takdir bagi segala sesuatu dalam Lauhul Mahfûzh, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (al-Lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allâh [al-Hadîd/57:22]

Dan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Allâh telah menuliskan atau menetapkan ketentuan takdir semua makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi”[16]

3. Mengimani bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi di langit dan di bumi kecuali dengan kehendak Allâh yang bersumber dari kasih-sayang maupun hikmah-Nya. Dia Azza wa Jalla memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan kasih sayang-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia Azza wa Jalla tidak pantas ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, karena kesempurnaan sifat hikmah dan kekuasaan-Nya. Manusialah yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan mereka. Segala sesuatu yang terjadi (di alam semesta) adalah sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu dan dengan ketetapan yang ditulis-Nya dalam Lauhul Mahfûzh. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir) [al-Qamar/54:49]

4. Mengimani bahwa segala sesuatu (yang ada) di langit dan di bumi adalah makhluk Allâh Azza wa Jalla , tidak ada pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta selain-Nya, sebagaimana dalam firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ketentuan takdirnya [al-Furqân/25:2].

Juga dalam firman-Nya tentang ucapan Nabi Ibrahim Alaihssallam, yang artinya, Padahal Allâh-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu [ash-Shâffât/37:96]”[17]

PEMBAGIAN TAKDIR ALLAH

Takdir Allâh Azza wa Jalla ada dua macam:

Pertama: Takdir (yang bersifat) umum dan meliputi semua makhluk yang tertulis dalam Lauhul Mahfûzh. Karena Allâh Azza wa Jalla telah menuliskan di dalamnya ketetapan takdir segala sesuatu sampai hari Kiamat tiba. Dasarnya riwayat dalam Sunan Abu Dawud rahimahullah dari ‘Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘(Makhluk) yang Allâh ciptakan pertama kali adalah al-qalam (pena). Kemudian Allâh berfirman kepadanya, “Tulislah!” . Maka dia bertanya, “Wahai Rabb-ku, apa yang akan aku tulis?” Allâh berfirman, “Tulislah ketetapan takdir segala sesuatu sampai terjadinya hari Kiamat.[18]”

Kedua: Takdir (khusus) yang memerinci takdir umum. Ini terbagi menjadi 3 macam takdir:

    Takdir (sepanjang) umur (ketetapan takdir sepanjang hidup setiap makhluk), sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat) Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu[19] tentang ketentuan takdir yang dituliskan bagi janin ketika dalam kandungan ibunya, berupa ketetapan ajal, rezki, amal perbuatan, celaka atau bahagia.

    Takdir tahunan, yaitu takdir yang di tetapkan (oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala) pada saat lailatul qadr tentang kejadian-kejadian sepanjang tahun. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ﴿٣﴾ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

Sesungguhnya Kami menurunkan al-Qur’an pada suatu malam yang diberkahi (lailatul qadr) dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu ditetapkan dengan terperinci segala urusan (ketetapan takdir sepanjang tahun[20]) yang muhkam (tidak bisa berubah) [ad-Dukhân/44:3-4].

    Takdir harian, yaitu takdir yang di tetapkan (oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) tentang kejadian-kejadian dalam sehari, berupa kematian, kehidupan (kelahiran), kemuliaan, kehinaan, dan lain sebagainya[21]. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

Setiap hari Dia (mengatur) urusan (semua makhluk-Nya) [ar-Rahmaan/55:29][22]

MENGINGKARI TAKDIR ALLAH AZZA WA JALLA SAMA DENGAN BERBURUK SANGKA KEPADA-NYA

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ۖ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ ۗ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ

Mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allâh seperti persangkaan (orang-orang) jahiliyah, mereka berkata, “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini ?” Katakanlah, “Sesungguhnya urusan (ketetapan takdir) itu seluruhnya di tangan Allah. [Ali ‘Imrân/3:154]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan arti “zhannal jaahiliyyah” dalam ayat ini, beliau berkata, “Persangkaan orang-orang Jahiliyah di sini ditafsirkan (oleh para ulama ahli tafsir) dengan mengingkari hikmah dan takdir Allâh (atas seluruh makhluk-Nya), atau mengingkari bahwa Allâh akan memenangkan agama (yang dibawa) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengunggulkannya di atas agama-agama lainnya.

Inilah persangkaan buruk kepada Allâh Azza wa Jalla yang dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang musyrik (yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan) dalam firman-Nya, yang artinya, “Dan supaya Allâh mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan, yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allâh memurkai, mengutuk serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah seburuk-buruk tempat kembali”[al-Fath/48:6]

Persangkaan ini (disebut) persangkaan buruk, dan persangkaan Jahiliyah yang dinisbatkan kepada orang-orang jahil (bodoh), serta persangkaan yang tidak benar, karena ini merupakan prasangka yang tidak cocok bagi nama-nama Allâh yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi serta zat-Nya yang maha suci dari segala keburukan dan celaan

Termasuk berprasangka buruk kepada-Nya, orang yang mengingkari ketetapan takdir-Nya atas semua yang berlaku di alam semesta, (dan Dia menakdirkan semua itu) dengan hikmah-Nya yang maha sempurna dan untuk tujuan kebaikan (bagi hamba-hamba-Nya), yang dengan itu Dia berhak untuk dipuji (oleh hamba-hamba-Nya)…Maka Dia tidaklah menciptakan dan menakdirkan semua itu dengan sia-sia dan tanpa tujuan. (Allah Azza wa Jalla berfirman), yang artinya, “Yang demikian itu adalah prasangka (buruk) orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka”[Shâd/38:27].”[23]

Prasangka buruk ini, disamping dosanya sangat besar bahkan bisa sampai pada tingkat kekafiran, tentu saja akibatnya pun sangat fatal dan buruk bagi pelakunya. Karena Allâh Azza wa Jalla akan memeperlakukan hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّّ عَبْدِي بِي

Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku[24].

Makna hadits ini yaitu Allâh akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut.[25]

PENGERTIAN TAKDIR YANG BURUK?

Dalam beberapa hadits yang shahih disebutkan bahwa ada takdir buruk dari Allâh Azza wa Jalla, misalnya dalam hadits Jibril yang terkenal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk.”[26]

Juga dalam doa qunut saat shalat Witir, yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada cucu kesayangan beliau, Hasan bin Ali Radhiyallahu anhuma, “…(Ya Allah) jagalah diriku dari keburukan takdir yang Engkau tetapkan.”[27]

Apakah arti takdir-Nya yang buruk ? Apakah ada perbuatan Allâh yang buruk? Bukankah Allâh Azza wa Jalla Maha Indah dan sempurna semua sifat dan perbuatan-Nya, serta Maha Suci dari semua bentuk keburukan? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam doa iftitah, “…Kebaikan itu semua ada di tangan-Mu dan keburukan itu tidaklah ada pada-Mu…”[28]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab pertanyaan di atas[29] dengan mengatakan, “Keburukan (yang ada) pada takdir bukanlah ditinjau dari takdir Allâh (perbuatan-Nya menakdirkan), akan tetapi keburukan tersebut (ada pada) al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya), karena (kata) al-qadar (bisa) berarti at-taqdîr (perbuatan Allâh yang menakdirkan) dan (bisa) berarti al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya). Sebagaimana (kata al-khalqu bisa berarti) menciptakan dan (bisa berarti) makhluk (yang diciptakan-Nya)…

Oleh karena itu, (jika) ditinjau dari perbuatan Allâh yang menakdirkan maka tidak ada keburukan (sedikitpun padanya) bahkan semuanya adalah kebaikan, meskipun tidak sesuai dengan (keinginan) manusia dan menyakitkan. Adapun kalau ditinjau dari al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) maka kita katakan: ada yang baik dan ada yang buruk. Sehingga arti (kalimat) “takdir yang baik dan yang buruk” adalah al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) ada yang baik dan ada yang buruk.

Kita bisa menjadikan contoh dalam masalah ini dengan firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Telah nampak kerusakan (bencana) di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (dosa) manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”[ar-Rûm/30:41].

Dalam ayat ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kerusakan (bencana) yang terjadi (di muka bumi), beserta sebab dan hikmahnya. Kerusakan (bencana) adalah keburukan, sebabnya adalah perbuatan buruk manusia, dan tujuan bencana tersebut adalah supaya mereka merasakan sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Maka terjadinya keburukan (bencana) di daratan dan di lautan adalah dengan hikmah (yang agung), meskipun bencana itu sendiri adalah keburukan, akan tetapi karena padanya ada hikmah yang agung (yaitu agar manusia kembali ke jalan yang benar), maka dengan ini (berarti) perbuatan Allâh menakdirkan bencana tersebut adalah kebaikan.

Demikian pula perbuatan maksiat dan kekafiran adalah keburukan, dan semuanya (terjadi) dengan ketetapan takdir-Nya, akan tetapi (Dia menakdirkannya) dengan hikmah yang agung, kalau bukan karena (hikmah tersebut) maka akan sia-sialah hukum-hukum syariat (yang Allâh Azza wa Jalla turunkan) dan (jadilah) penciptaan manusia tanpa tujuan dan makna.[30]”

FAIDAH DAN MANFAAT MENGIMANI TAKDIR-NYA[31]
  1.     Iman kepada takdir-Nya adalah penyempurna keimanan seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak akan benar keimanan seorang hamba tanpa ini, karena mengimani takdir Allâh Azza wa Jalla termasuk rukun iman.
  2.     Iman kepada takdir-Nya termasuk penyempurna tauhid Rububiyyah dan tauhid nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
  3.     Mendatangkan ketenangan dan kelapangan jiwa serta tidak gelisah dalam menghadapi kesulitan di dunia ini, karena semuanya terjadi dengan ketetapan Allâh Azza wa Jalla dan tidak mungkin dihindari.
  4.     Meringankan beban saat tertimpa musibah, sehingga mudah baginya untuk bersabar dan meraih pahala dari Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu” [at-Taghâbun/64:11]. Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maknanya, seseorang yang ditimpa musibah dan dia yakin musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Azza wa Jalla ), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh tersebut, maka Allâh akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya”[32].
  5.     Orang yang mengimani takdir akan selalu mengembalikan semua urusannya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , karena jika dia mengetahui bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir dan ketetapan-Nya maka dia akan selalu kembali kepada-Nya dalam memohon taufik dan kebaikan baginya dan menolak keburukan darinya, serta menyandarkan semua kebaikan dan nikmat kepada-Nya semata. Inilah landasan utama segala kebaikan bagi seorang hamba dan sebab utama meraih taufik dari Allâh Azza wa Jalla[33].
  6.     Menyadarkan seseorang terhadap kekurangan dan kelemahan dirinya, sehingga dia tidak merasa bangga dan lupa diri ketika melakukan kebaikan.
  7.      Menjadikan orang yang beriman semakin mengetahui kesempurnaan hikmah Allâh Azza wa Jalla.
  8.     Menjadi motivasi bagi orang yang beriman untuk semakin semangat berbuat kebaikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat.
  9.     Berani dan tegar dalam menegakkan agama Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan tidak takut terhadap celaan manusia dalam kebenaran.
  10.     Merasa kaya/berkecukupan dalam hati. Inilah kekayaan yang hakiki. Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “…Ridhalah (terimalah) bagian yang Allâh tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”[34].
PENUTUP

Demikianlah, semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk mencapai kesempurnaan iman dan tauhid, yang dengan sebab itu kita akan meraih semua kebaikan, keutamaan dan kedudukan yang mulia dalam agama-Nya, dengan rahmat dan kerunia-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi maha Mengabulkan permohonan hamba-Nya.

_____

Footnote:

[1] at-Tamhîd Lisyarhi Kitâbit Tauhîd, hlm. 549
[2] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimîn dalam al-Qaulul Mufîd ‘alâ Kitâbit Tauhîd, 3/159
[3] Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari kesempurnaan ilmu Allah Azza wa Jalla. Lihat Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 131
[4] Lum’atul I’tiqâd hlm. 114
[5] Mu’jamu Maqâyîsil Lughah 5/51
[6] al-Irsyâd ilâ Shahîhil I’tiqâd hlm. 226
[7] al-Irsyâd ilâ Shahîhil I’tiqâd hlm. 226
[8] Syarhu Ushûlil Imân hlm. 50
[9] Kitab “Syarhu shahihi Muslim” (1/154).
[10] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimîn dalam Syarhul ‘Aqîdatul Wâsithiyyah (2/187-188)
[11] Syarhul ‘Aqîdatul Wâsithiyyah 2/188
[12] Kitab Tafsîr Ibnu Katsîr (4/341).
[13] HR Muslim (no. 8).
[14] HR al-Bukhâri (no. 4666) dan Muslim (no. 2647).
[15] Lihat al-Aqidatul Wasithiyyah hlm.22, Syarhu Ushulil Iman hlm.50, al-Irsyad ila Shahihil I’tiqad hlm.226-227
[16] HR.Muslim no. 2653
[17] Syarhu Lum’atil I’tiqâd hlm. 92-93
[18] HR Abu Dâwud no. 4700, at-Tirmidzi no. 3319. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni
[19] HR. al-Bukhâri no. 1226 dan Muslim no. 2643
[20] Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/175
[21] Lihat Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 830
[22] al-Irsyâd ilâ Shahîhil I’tiqâd hlm. 227
[23] Zâdul Ma’âd 3/196
[24] HR. al-Bukhâri no. 7066- cet. Daru Ibni Katsir dan Muslim no. 2675
[25] Lihat Faidhul Qadîr 2/312 dan Tuhfatul Ahwadzi 7/53
[26] HR. Muslim no. 8
[27] HR Abu Dâwud no. 1425, an-Nasâ’i no. 1745, Ibnu Mâjah no. 1178. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni
[28] HR. Muslim (no. 771).
[29] Lihat juga keterangan Imam Nawawi dalam Syarhu Shahîhi Muslim 6/59
[30] Syarhul ‘Aqîdatul Wâsithiyyah 2/191-192
[31] Pembahasan ini kami rangkum dari kitab-kitab berikut: Syarhul ‘Aqîdatul Wâsithiyyah 2/189-190, “al-Irsyâd ilâ Shahîhil I’tiqâd hlm.229-231, Syarhu Ushûlil Imân (hal. 55-56) dan Arkânul Islâm wal Imân” (78-81).
[32] Tafsir Ibnu Katsir (8/137).
[33] al-Fawâid karya Ibnul Qayyim hlm. 97
[34] HR at-Tirmidzi no. 2305 dan Ahmad 2/310, dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albâni

Tags