Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Sebelum membahas Al-Asma’ Al-Husna satu per satu secara rinci, sebagai pendahuluan penulis akan memaparkan beberapa kaidah penting yang berkaitan dengan Al-Asma’ Al-Husna. Kaidah-kaidah tersebut adalah:
Pertama: Syarat-syarat Al-Asma’ Al-Husna
Allah ﷻ menyebut kalimat الأَسْمَاءُ الحُسنَى di dalam Al-Qur’an pada empat ayat.
Pertama, firman Allah ﷻ,
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
“Katakanlah (Muhammad), “Serulah Allah atau serulah Ar-Raḥman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Al-Asma’ Al-Husna). (QS. Al-Isra’: 110)
Kedua, firman Allah ﷻ,
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
“(Dialah) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang mempunyai nama-nama yang terbaik.” (QS. Thaha: 8)
Ketiga, firman Allah ﷻ,
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia memiliki nama-nama yang indah.” (QS. Al-Hasyr: 24)
Keempat, firman Allah ﷻ,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Dan Allah memiliki Al-Asma’ Al-Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-Asma’ Al-Husna itu” (QS. Al’-A’raf: 180)
Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika mendefinisikan Al-Asma’ Al-Husna beliau mendefinisikan dengan,
الأَسْمَاءُ الحُسْنَى المَعْرُوْفَةُ هِيَ الَّتِي يُدْعَى اللهُ بِهَا، وَهِيَ الَّتِي جَاءَتْ فِي الكِتَابِ وَالسُنَّةِ وَهِيَ الَّتِي تَقْتَضِي المَدْحَ وَالثَّنَاءَ بِنَفْسِهَا
“Al-Asma’ Al-Husna yang dikenal adalah nama-nama Allah ﷻ yang disyariatkan untuk berdoa dengannya, datang di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dan juga menunjukkan pujian dengan sendirinya.”([1])
Dalil yang menjadi landasan Ibnu Taimiyah rahimahullah membuat definisi di atas adalah firman Allah ﷻ,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Dan Allah memiliki Al-Asma’ Al-Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-Asma’ Al-Husna itu” (QS. Al’-A’raf: 180)
Dari definisi ini maka Al-Asma’ Al-Husna memiliki tiga syarat. Jika tidak terpenuhi salah satu dari tiga syarat ini, maka suatu nama tidak pantas menjadi Al-Asma’ Al-Husna. Syarat-syarat tersebut adalah:
- Pertama, datang di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
- Kedua, disyariatkan untuk berdoa dengannya.
- Ketiga, menunjukkan pujian dengan sendirinya.
Datang Di Dalam Al-Qur’an Dan Sunnah
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
سَمَّيْتَ بهِ نَفْسَكَ
“Yang nama tersebut engkau namakan diri-Mu dengannya.”([2])
Hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada yang berhak memberikan nama-nama kepada Allah ﷻ kecuali Allah ﷻ sendiri, sebab Allah ﷻ lebih tahu tentang nama-nama yang berhak untuk diri-Nya.
Dari sini maka tidak dibenarkan seseorang memberikan nama-nama tertentu kepada Allah ﷻ tanpa dalil. Di antara contoh penamaan yang keliru terhadap Allah ﷻ adalah Al-‘Aaqil (العَاقِلُ) dan Wajib Al-Wujud (وَاجِبُ الوُجُوْدِ). Hal ini karena dua nama ini tidak datang di dalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Di antara hal yang tidak dibenarkan dalam memberikan nama kepada Allah ﷻ adalah menggunakan kias, hal ini diingatkan oleh Al-Khattabi rahimahullah.([3]) Ketika mengingatkan hal ini beliau rahimahullah memberikan contoh-contoh. Di antara contoh-contoh tersebut adalah:
Di dalam Al-Qur’an maupun sunnah disebutkan bahwa Allah ﷻ memiliki nama Al-Jawad (الجَوَادُ) yaitu Maha dermawan. Tidak dibenarkan seseorang mengiaskan nama tersebut dengan menamakan Allah ﷻ adalah As-Sakhi’ (السَّخِيْ), meskipun secara bahasa keduanya memiliki makna yang mirip yaitu dermawan atau murah hati. Hal ini dikarenakan penamaan Allah ﷻ dengan As-Sakhi’ (السَّخِيْ) tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Al-Khattabi rahimahullah menjelaskan bahwa walaupun keduanya memiliki makna yang sama, namun jika diteliti secara detail maka akan didapati perbedaan antara Al-Jawad (الجَوَادُ) dan As-Sakhi’ (السَّخِيْ). Al-Jawad (الجَوَادُ) memiliki makna السَّعَةُ yaitu kelapangan atau luas, jadi kedermawanan Allah ﷻ Adapun As-Sakhi’ (السَّخِيْ), memiliki makna Al-Luyunah (اللُّيُوْنَةُ) atau Ar-Rakhawah (الرَّخَاوَةُ) yaitu kelemahan, sehingga tidak pas atau kurang layak jika disandarkan kepada Allah ﷻ.([4])
Di antara nama-nama Allah ﷻ adalah Al-Qawiy (القَوِيُّ) yaitu Maha perkasa. Tidak dibenarkan seseorang mengiaskan nama tersebut dengan menamakan Allah ﷻ dengan Al-Jalad (الجَلَدُ) meskipun secara bahasa keduanya memiliki makna yang mirip. Hal ini karena tidak ada dalil dari Al-Qur’an maupun sunnah yang menunjukkan bahwa nama Allah ﷻ adalah Al-Jalad (الجَلَدُ). Selain itu juga, Al-Jalad (الجَلَدُ) secara bahasa menunjukkan adanya At-Takalluf (التَّكَلُّفُ) yaitu usaha, sehingga jika dimaknai maka seakan-akan kuat tersebut tidak muncul dengan sendirinya. Dari sini Allah ﷻ tidak boleh dinamakan dengan Al-Jalad (الجَلَدُ).
Di antara nama-nama Allah ﷻ adalah Al-‘Alim (العَلِيْمُ) yaitu Maha berilmu. Tidak dibenarkan seseorang mengiaskan nama tersebut dengan menamakan Allah ﷻ dengan Al-‘Arif (العَارِفُ) meskipun secara bahasa keduanya memiliki makna yang mirip. Hal ini karena tidak ada dalil dari Al-Qur’an maupun sunnah yang menunjukkan bahwa nama Allah ﷻ adalah Al-‘Arif (العَارِفُ). Selain itu juga Al-‘Arif (العَارِفُ) didahului dengan kebodohan, tidaklah seseorang dikatakan Al-‘Arif (العَارِفُ) kecuali ia telah melalui tahapan-tahapan sehingga ia menjadi tahu. Dari sini Allah ﷻ tidak boleh dinamakan dengan Al-‘Arif (العَارِفُ).
Disyariatkan berdoa dengannya
Nama-nama Allah ﷻ bisa digunakan untuk berdoa. Contoh seseorang berdoa dengan mengatakan, يَا غَفَّارُ اغفِرْلِيْ “Wahai Maha Pengampun, ampunilah aku”, atau mengatakan يَا رَحِيْمُ ارْحَمْنِيْ “Wahai Maha pengasih, rahmatilah aku”.
Menunjukkan pujian dan keindahan dengan sendirinya
Dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah Allah ﷻ menyifati nama-nama-Nya dengan Al-Husna (الحُسْنَى). Al-Husna (الحُسْنَى) adalah isim muannats dari Al-Ahsan (الأَحْسَنُ) artinya adalah yang terindah, mencapai puncak keindahan dengan sendirinya. Karenanya, tidak semua sifat atau perbuatan Allah ﷻ yang datang dalam Al-Qur’an maupun sunnah bisa dijadikan sebagai nama Allah ﷻ. Contohnya:
Allah ﷻ berfirman,
صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ
“(Itulah) perbuatan Allah yang membuat dengan sempurna segala sesuatu.” (QS. An-Naml: 88)
Allah ﷻ tidak dinamai dengan Ash-Shani’ (الصَانِعُ) yaitu pembuat, sebab nama ini tidak menunjukkan keindahan dengan sendirinya secara jelas, makna yang terkandung ambigu.
Allah ﷻ berfirman,
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
“Shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? (QS. Al-Baqarah: 138)
Allah ﷻ tidak dinamai dengan Ash-Shabig (الصَابِغُ) yaitu penyelup, sebab nama ini tidak menunjukkan keindahan dengan sendirinya secara jelas, makna yang terkandung ambigu.
Allah ﷻ berfirman,
فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
“Mahakuasa berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Buruj: 16)
Allah ﷻ tidak dinamai dengan Al-Fa’aal (الفَعَّالُ) atau Al-Faa’il (الفَاعِلُ), sebab nama ini tidak menunjukkan keindahan dengan sendirinya secara jelas, makna yang terkandung ambigu.
Sifat-sifat Allah ﷻ yang datang secara terikat, seperti:
Firman Allah ﷻ,
وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Dan mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-sebaik pembalas tipu daya.” (QS. Ali ‘Imran: 54)
Allah ﷻ tidak dinamai dengan Al-Maakir (المَاكِرُ) yaitu sang pembuat makar, sebab nama ini secara sendirinya tidak menunjukkan keindahan atau pujian. Akan menjadi suatu keindahan atau pujian jika dilakukan kepada orang-orang yang berbuat makar.
Firman Allah ﷻ,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ
“Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka.” (QS. An-Nisa: 142)
Allah ﷻ tidak dinamai dengan Al-Mukhaadi’ (المُخَادِعُ) yaitu sang penipu, sebab nama ini secara sendirinya tidak menunjukkan keindahan atau pujian. Akan menjadi suatu keindahan atau pujian jika tipuan dilakukan untuk membalas tipuan.
Berbeda halnya dengan nama-nama Allah ﷻ, misalnya الرَّحِيْمُ (Maha Pengasih), القَدِيْرُ (Maha kuat), الجَمِيْلُ (Maha indah), الغَفُوْرُ (Maha pengampun), العَلِيْمُ (Maha berilmu), dan seterusnya. Nama-mana ini secara sendirinya menunjukkan keindahan secara jelas, tidak menimbulkan makna ambigu.
Kedua: Setiap nama Allah ﷻ adalah sifat bagi Allah ﷻ (أَعْلَامٌ وَأَوْصَافٌ)
Hal ini karena setiap nama Allah ﷻ mengandung sifat bagi Allah ﷻ. Contoh, Allah ﷻ dinamakan dengan Al-‘Alim (العَلِيْمُ) yaitu Maha berilmu karena memiliki sifat العِلْمُ (ilmu). Allah ﷻ juga dinamakan Al-Gahfuur (الغَفُوْرُ) yaitu Maha Pengampun karena memiliki sifat الغُفْرَانُ (ampun), dan seterusnya. Oleh karenanya nama-nama Allah ﷻ jika ditinjau dari satu sisi bisa sebagai nama dan jika ditinjau dari sisi yang lain bisa sebagai sifat.
Nama-nama Allah ﷻ jika ditinjau sebagai nama maka seluruh nama-nama Allah ﷻ adalah sama, tidak ada bedanya. Contoh seperti, Al-‘Alim (العَلِيْمُ), Al-Jamil (الجَمِيْلُ), Ar-Rahim (الرَّحِيْمُ), Ar-Rahman (الرَّحْمَنُ), Al-Malik (المَلَكُ), seluruh nama-nama Allah ﷻ kembali kepada zat yang satu yaitu Allah ﷻ.
Akan tetapi nama-nama Allah ﷻ jika ditinjau dari kandungan sifat-Nya maka setiap sifat yang terkandung dari satu nama berbeda dengan nama yang lain. Contoh, Al-‘Alim (العَلِيْمُ) tidak sama dengan Al-Jamil (الجَمِيْلُ), sebab Al-‘Alim (العَلِيْمُ) menunjukkan sifat ilmu adapun Al-Jamil (الجَمِيْلُ) menunjukkan sifat indah. Begitu juga Al-Malik (المَلَكُ) tidak sama dengan Ar-Rahman (الرَّحْمَنُ), sebab Al-Malik (المَلَكُ) menunjukkan sifat kekuasaan adapun Ar-Rahman (الرَّحْمَنُ) menunjukkan sifat penyayang.
Kaidah ini dibuat oleh para ulama guna membantah pemikiran Muktazilah yang mana mereka meyakini bahwa nama-nama Allah ﷻ hanya sekadar nama, tidak mengandung sifat. Sehingga mereka mengatakan bahwa Al-‘Alim (العَلِيْمُ) sama dengan Al-Jamil (الجَمِيْلُ), juga sama dengan Ar-Rahman (الرَّحْمَنُ). Ketiga nama-nama ini adalah sama, begitu juga dengan nama-nama Allah ﷻ yang lainnya adalah sama, tidak ada bedanya antara satu dengan yang lainnya, sebab nama-nama Allah ﷻ tidak mengandung sifat. Pemikiran ini berdasarkan syubhat yang ada pada diri mereka yang pada intinya berkesimpulan bahwa menyatakan Allah ﷻ memiliki sifat adalah kesyirikan.
Ketiga: Nama-nama Allah ﷻ jumlahnya tidak terbatas dengan bilangan tertentu
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
Nabi Muhammad ﷺ pernah berdoa,
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ
“Aku meminta kepada-Mu dengan seluruh Nama yang Engkau miliki, yang Engkau menamakannya untuk Diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau yang Engkau simpan dalam ilmu gaib yang ada di sisi-Mu.”([5])
Sabda Nabi Muhammad ﷺ “Engkau simpan dalam ilmu gaib yang ada di sisi-Mu” menunjukkan bahwa ada nama-nama Allah ﷻ yang hanya diketahui oleh Allah ﷻ sendiri.
Ketika Nabi Muhammad ﷺ sujud di padang mahsyar untuk memberi syafaat, beliau ﷺ berkata,
يفتحُ اللَّهُ عليَّ من محامدِهِ وحُسنِ الثَّناءِ عليْهِ شيئًا لم يفتحْهُ لأحدٍ قبلي
“Allah memberitahukan kepadaku (saat di padang mahsyar) pujian-pujian kepada-Nya dan (ucapan) tanda terima kasih yang baik kepada-Nya. Dia tidak membukakannya bagi seorang pun selain kepadaku.”([6])
Dalam riwayat yang lain Nabi Muhammad ﷺ berkata,
فأحمدُ ربي بمحامدَ يفتحُها عليَّ لا أحسنُها الآن
“Aku memuji Allah ﷻ dengan pujian-pujian yang Allah ﷻ ajarkan kepadaku (saat di padang mahsyar), yang pada saat ini aku tidak mengetahui pujian-pujian tersebut.”([7])
Hadits di atas menunjukkan bahwa ada nama-nama Allah ﷻ yang baru Allah ﷻ ajarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ nanti ketika di padang mahsyar.
Doa Nabi Muhammad ﷺ dalam salat witir.
لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أنْتَ كَمَا أثْنَيْتَ علَى نَفْسِكَ
“Aku tidak bisa menyebut semua pujian untuk-Mu, sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri.”([8])
Makna dari hadits ini adalah tidak satu pun yang mampu memuji Allah ﷻ secara keseluruhan, sebab tidak ada yang mengetahui seluruh nama-nama Allah ﷻ.
Jumlah nama Allah ﷻ di dalam Al-Qur’an dan hadits jika dijumlahkan lebih dari 100 nama.
Hadits 99 nama Allah
Timbul pertanyaan, bagaimana dengan hadits yang menyebutkan bahwa Allah ﷻ memiliki 99 nama. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وتِسْعِينَ اسْمًا، مِائَةً إلَّا واحِدًا، مَنْ أحْصَاهَا دَخَلَ الجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, siapa yang menguasai maka dia masuk surga.”([9])
Dari konteks hadits di atas diketahui bahwa Allah ﷻ memiliki 99 nama. Bagaimana menggabungkan hadits ini dengan kaidah yang telah di jelaskan di atas?
Para ulama menjelaskan penyebutan 99 bukanlah pembatasan bahwasanya nama Allah ﷻ hanya 99 nama, tetapi maknanya adalah dari sekian banyak nama-nama Allah ﷻ maka ada 99 nama Allah ﷻ yang spesial. ([10]) Oleh karenanya, sabda Nabi Muhammad ﷺ “siapa yang menguasainya maka dia masuk surga” merupakan na’at (sifat) dari nama spesial tersebut. Sehingga hadits di atas bisa diartikan dengan “Sesungguhnya Allah ﷻ memiliki 99 nama yang memiliki sifat khusus, barang siapa yang menguasainya maka ia masuk surga”.
Contoh sederhana:
Jika seseorang berkata, “saya punya dua anak perempuan”, apakah akan dipahami bahwa orang ini hanya memiliki dua anak saja? Jawabannya tentu tidak. Pemahaman yang benar adalah ia memiliki 2 anak yang sifat jenis kelaminnya perempuan. Hal ini membuka kemungkinan juga ia memiliki 1 atau 2 atau 3 anak laki-laki. Jadi bisa jadi ia memiliki anak yang jumlahnya lebih dari 2.
Jika seseorang berkata, “saya memiliki 2 mobil yang rusak”. Salah jika dipahami bahwa ia hanya memiliki dua mobil saja, sebab bisa jadi ia memiliki mobil yang tidak rusak.
Contoh dua permisalan di atas sama halnya dengan konteks hadits yang sedang di bahas. Oleh karenanya ketika Nabi Muhammad ﷺ mengatakan bahwa Allah ﷻ memiliki 99 nama yang barang siapa menguasainya akan masuk surga, maknanya bukan berarti nama Allah ﷻ hanya sebatas jumlah 99 saja.
______
Footnote:
([1]) Syarah Al-Aqidah Al-Ashfahaaniyah (31).
([2]) HR. Ahmad No. 3712, dan dinyatakan shaih oleh Al-Albani.
([3]) Lihat: Sya’nu Ad-Dua’ (111).
([4]) Lihat: Sya’nu Ad-Dua’ (111).
([5]) HR. Ahmad No. 3712, dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([6]) HR. Bukhari No. 4712.
([7]) Majmu’ Al-fatawa (22/337).
([8]) HR. Muslim No. 486.
([9]) HR. Bukhari No. 7392.
([10]) Lihat: Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim (17/5).
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/