Type Here to Get Search Results !

 


BERBUAT ADIL KEPADA ANAK

 

Parenting Islami (50): Berbuat Adil dalam Pemberian dan Hadiah kepada Anak-Anak

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk berbuat adil berkaitan dengan hadiah yang diberikan untuk anak-anak mereka. Akan tetapi,jumhur (mayoritas) ulama memaknai perintah ini sebagai perintah anjuran (sunnah),bukan perintah yang bersifat wajib. Sebagian ulama, di antaranya adalah Thawusbin Kaisan, Sufyan ats-Tsauri,Imam Ahmad, Ishaq bin Rahuyah, Imam Bukhari, dan Ibnu Hazm rahimahumullah, berpendapat bahwa perintah tersebut adalah perintah wajib. [1]

Para ulama yang berpendapat wajib menyandarkan kesimpulan mereka dari hadits yang diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, dimana beliau berkata ketika sedang berkhutbah di atas mimbar,

أَعْطَانِي أَبِي عَطِيَّةً، فَقَالَتْ عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لاَ أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنِّي أَعْطَيْتُ ابْنِي مِنْ عَمْرَةَ بِنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فَأَمَرَتْنِي أَنْ أُشْهِدَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: أَعْطَيْتَ سَائِرَ وَلَدِكَ مِثْلَ هَذَا؟ ، قَالَ: لاَ، قَالَ: فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ ، قَالَ: فَرَجَعَ فَرَدَّ عَطِيَّتَهُ

“Bapakku (Basyir) memberiku sebuah hadiah [2].”‘Amrah binti Rawahah berkata, “Aku tidak rela sampai Engkau mempersaksikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Bapakku kemudian menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Aku memberikan hadiah kepada anakku dari ‘Amrah binti Rawahah [3], namun dia memerintahkanku untuk mempersaksikannya kepada Anda, wahai Rasulullah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah semua anakmu engkau beri hadiah seperti ini?”Bapakku menjawab, “Tidak.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Bertakwalah kalian kepada Allah dan berbuat adil-lah terhadap anak-anak kalian.”

Nu’man bin Basyir kemudian berkata, “Dia pun menarik pemberiannya [4] danbeliau (‘Amrah) juga menolak pemberian bapakku.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

فَلَا تُشْهِدْنِي إِذًا، فَإِنِّي لَا أَشْهَدُ عَلَى جَوْرٍ

“Kalau  begitu, jangan memintaku menjadi saksi, karena sesungguhnya aku tidak maubersaksi atas (pemberian) yang dzalim ini.” (HR. Muslim no. 1623)

Dalam riwayat Muslim lainnya disebutkan,

فَقَالَ: أَلَهُ إِخْوَةٌ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: أَفَكُلَّهُمْ أَعْطَيْتَ مِثْلَ مَا أَعْطَيْتَهُ؟ ، قَالَ: لَا، قَالَ: فَلَيْسَ يَصْلُحُ هَذَا، وَإِنِّي لَا أَشْهَدُ إِلَّا عَلَى حَقٍّ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah anakmu memiliki saudara?” Dia menjawab, “Iya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah semua mereka Engkau beri sebagaimana Engkau memberikan kepada anakmu yang ini(Nu’man)?” Dia menjawab, “Tidak.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hal ini tidak baik. Sesungguhnya saya tidak ingin menjadi saksi, kecuali di atas kebenaran.” (HR. Muslim no. 1624)

Dalam riwayat ke tiga dari Imam Muslim disebutkan, 

فَقَالَ: أَكُلَّ بَنِيكَ قَدْ نَحَلْتَ مِثْلَ مَا نَحَلْتَ النُّعْمَانَ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي ، ثُمَّ قَالَ: أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا إِلَيْكَ فِي الْبِرِّ سَوَاءً؟ قَالَ: بَلَى، قَالَ: فَلَا إِذًا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah semua anakmu telah Engkau beri sebagaimana pemberianmu kepada Nu’man?” Dia menjawab, “Tidak.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mintalah saksi kepada orang lain selainku.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Apakah Engkau tidak ingin mereka berbakti kepadamu dengan kadar yang sama?” Bapakku menjawab, “Tentu saja.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika begitu, jangan Engkau lakukan perbuatan itu lagi.”(HR. Muslim no. 1623)

Hadits di atas menjadi dalil bagi jumhur ulama yang mengatakan bahwa perintah itu bersifat anjuran karenaNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Basyir untuk mencari saksi orang lain, bukan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.

Akan tetapi, perkataan beliau “Mintalah saksi kepada orang lain selainku” tersebut lebih tepat jika dimaknai sebagai bentuk celaan dan ancaman, bukan untuk membolehkan. Karena bagaimana mungkin Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam membolehkan orang lain untuk bersaksi di atas kezaliman?

Selain itu, hadiah yang tidak adil tersebut akan menyebabkan anak menjadi iri sehingga mendorong mereka (yang mendapatkan hadiah lebih sedikit) untuk durhaka kepada orang tua, sedangkan durhaka kepada orang tua adalah perbuatan haram. Hal ini sebagaimana sabda Nabi dalam hadits di atas, “Apakah Engkau tidak ingin mereka berbakti kepadamu dengan kadar yang sama?”

Oleh karena itu, dalam masalah ini,yang lebih tepat adalah pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa berbuat adil dalam hadiah kepada anak-anak itu hukumnya wajib. Wallahu a’lam.

Perlu diketahui bahwa pemberian kepada anak bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:
  • Pertama, pemberian karena latar belakang kebutuhan. Misalnya, salah satu anaknya mengalami sakit menahun. Tentu saja, pemberian kepada anak ini akan lebih dari anak-anak lainnya yang sehat dan baik-baik saja, karena kebutuhan untuk berobat dan kebutuhan lainnya yang tentu saja lebih membutuhkan perhatian khusus. Dalam kondisi ini, tidak mengapa orang tua mengeluarkan uang lebih banyak untuk anaknya yang sakit dibandingkan untuk anaknya yang sehat.
Akan tetapi, jika anak lainnya yang sehat itu di kemudian hari jugamengalami sakit yang kurang lebih sama, maka wajib diberikan perhatian danbiaya yang sama dengan anak sebelumnya yang sakit. Jika anak sebelumnya berobatsampai dokter spesialis, maka demikian juga dengan anak lainnya yang ikutsakit. Juga wajib dibawa berobat kepada dokter spesialis, tidak boleh hanya dibawa ke Puskesmas, karena orang tua akan terjatuh ke dalam sikap tidak adil terhadap anak-anaknya.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

“Diriwayatkan dari Imam Ahmad tentang bolehnya melebihkan pemberian kepada salah seorang anak jika terdapat sebab tertentu, misalnya salah seorang anak membutuhkan biaya pengobatan karena sakit menahun (kronis), membayar hutang,atau yang lainnya.” (Fathul Bari, 5 : 214)
  • Kedua, pemberian karena semata-mata pemberian (hadiah). Misalnya, ketika orang tua sedang diberi kelapangan rezeki atau pada momen tertentu (seperti lebaran), mereka membagi-bagi uang kepada anak-anaknya. Dalam kondisi ini, wajib adil dalam memberi uang kepada semua anaknya.
Akan tetapi, jika terdapat sebab tertentu, diperbolehkan untuk membedakan pemberian semacam ini. Syaikh Musthafa bin al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala menjelaskan bahwa dalam kondisi-kondisi yang didasari oleh latar belakang tertentu, boleh bagi orangtua untuk melebihkan hadiah dan pemberian kepada salah seorang anak. Beberapa kondisi yang beliau contohkan adalah berikut ini:

Contoh pertama,ada orang tua memiliki dua orang anak. Anak pertama adalah anak yang shalih, bertakwa, dan bisa mengatur pengeluaran dengan baik, sedangkan anak kedua adalah anak yang nakal dan tidak bisa diatur. Anak pertama suka membelanjakan uang pemberian orang tuanya untuk hal-hal bermanfaat dan amal kebaikan,sedangkan anak kedua lebih  suka membelanjakan uang pemberian orang tua untuk maksiat, hura-hura, minum khamar, zina, dan perbuatan dosa lainnya.

Dalam kondisi ini, boleh bagi orang tua untuk melebihkan pemberian kepada anak pertama sehingga dia mendapatkan lebih dari yang didapatkan oleh anak kedua. Supaya anak kedua tidak semakin sering berbuat maksiat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolongdalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah [5] : 2)

Juga firman Allah Ta’ala,

وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. Al-Baqarah [2] : 205)

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا، أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ؟ قَالَ: تَحْجُزُهُ، أَوْ تَمْنَعُهُ، مِنَ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ

“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim atau yang dizalimi.” Ada laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, saya menolongnya jika dia dizazlimi. Namun, bagaimana kami menolong orang yang berbuat zalim?” Rasulullah menjawab, “Yaitu Engkau menahannya atau mencegahnya agar tidak berbuat zalim. Itulah cara menolongnya.” (HR. Bukhari no. 6952 dan Muslim no. 2584. Lafadz hadits ini milikBukhari)

Contoh kedua, orang tua yang memiliki dua orang anak. Anak pertama kuliah di luar kota,sehingga membutuhkan biaya sekolah dan biaya hidup yang banyak, sedangkan anak kedua, dia memilih tidak kuliah dan lebih suka membantu orang tua dalam bekerja menambah penghasilan keluarga. Dalam kondisi ini, boleh bagi orang tua untuk melebihkan hadiah kepada anak kedua sebagai kompensasi sehingga kurang lebih sama dengan pemberian (karena kebutuhan) yang telah diberikan kepada anak pertama. (Lihat Fiqh Tarbiyatil Abna`, hlm. 114)

Kesimpulan, hendaknya orang tua bertakwa kepada Allah Ta’ala dalam memberikan kepada anak-anaknya dengan bersikap adil. Jika orang tua berkeinginan melebihkan pemberian kepada salah satu anak dibandingkan anak lainnya, maka hendaknya hal itu karena sebab, alasan, dan faktor pendorong tertentu yang bisa dibenarkan.

Penulis: Aditya Budiman dan M. Saifudin Hakim
____

Catatan kaki:

[1]   Hadiah tersebut adalah seorang budak.

[2]   Sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar rahimahullahu Ta’ala dalam Fathul Bari, 5 : 214.

[3]   Artinya, Basyir memiliki beberapa istri, salah satunya adalah ‘Amrah binti Rawahah. Nu’man adalah anak Basyir dari salah satu istrinya, yaitu ‘Amrah.

[4]   Dalil bolehnya orang tua menarik kembali pemberian yang telah diberikan kepada anaknya.

Tags