Di antara contoh kesalahan dalam masalah nama dan sifat Allah yang sudah tersebar luas di kalangan kaum muslimin adalah keyakinan mereka bahwa Allah Ta’ala hanya memiliki tujuh atau dua puluh sifat saja. Kedua puluh sifat tersebut juga telah dihafal oleh banyak kaum muslimin sehingga sering pula kita dengarkan melalui masjid-masjid di antara adzan dan iqomah. Pemahaman seperti ini sebetulnya berasal dari para tokoh yang menisbatkan diri kepada madzhab Asy’ariyyah.
MENGENAL AQIDAH ASY'ARIYAH
Madzhab Asy’ariyyah adalah madzhab yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullahu Ta’ala (wafat tahun 324 H). Pada fase awal (fase pertama) kehidupan beliau, beliau tenggelam dalam aqidah Mu’tazilah. Dalam masalah nama dan sifat Allah Ta’ala, madzhab Mu’tazilah ini hanya menetapkan nama untuk Allah Ta’ala, namun menolak sifat-sifat Allah Ta’ala seluruhnya. Dengan kata lain, bagi kaum Mu’tazilah, nama Allah Ta’ala hanyalah sekedar nama, namun tidak menunjukkan sifat yang mulia. Beliau tenggelam dalam madzhab Mu’tazilah karena pengaruh didikan ayah tirinya selama 40 tahun, yaitu Abu ‘Ali Al-Juba’i, seorang tokoh besar Mu’tazilah ketika itu yang berdomisili di kota Bashrah (Irak).
Sayangnya, setelah bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah, beliau justru terjerumus dalam madzhab Kullabiyah, yaitu madzhab yang dinisbatkan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Muhammad bin Kullab Al-Bashri (wafat tahun 240 H). Namun, Allah Ta’ala ternyata menghendaki kebaikan (hidayah) untuk beliau. Sehingga pada akhir-akhir kehidupannya, beliau menyatakan bertaubat dari pemikirannya tersebut (Kullabiyah) dan kembali mengikuti aqidah ahlus sunnah, yaitu aqidah yang dipegang oleh Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal rahimahullahu Ta’ala dan para imam ahli hadis yang lainnya. [2]Dalam salah satu kitab terakhir karya beliau, yaitu kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuul Ad-Diyaanah, sangat jelas pernyataan dari beliau bahwa beliau bertaubat dari madzhab Mu’tazilah dan Kullabiyah dan rujuk (kembali) ke ‘aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Beliau rahimahullahu Ta’ala dengan sangat jelas dan tegas berkata,
قولنا الذي نقول به، وديانتنا التي ندين بها، التمسك بكتاب ربنا عز وجل، وسنة نبينا محمد صلى الله عليه وسلم، وما روى عن الصحابة والتابعين وأئمة المحدثين، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل – نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته – قائلون، ولما خالف قوله مخالفون؛ لأنه الإمام الفاضل، والرئيس الكامل، الذي أبان الله به الحق، ودفع به الضلال، وأوضح به المنهاج، وقمع به بدع المبتدعين، وزيع الزائغين، وشك الشاكين …
“Pendapat yang kami nyatakan, dan agama yang kami anut adalah berpegang teguh dengan Kitabullah dan sunnah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, (juga berpegang teguh dengan) apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in, para imam ahli hadits. Kami berpegang teguh dengan prinsip tersebut. (Kami juga berpegang teguh) dengan (aqidah) Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Semoga Allah Ta’ala mengelokkan wajah beliau, mengangkat derajat beliau, melimpahkan pahala bagi beliau. Kami juga menyelisihi orang-orang yang menyelisihi aqidah beliau. Karena beliau adalah imam yang fadhil (memiliki keutamaan) dan pemimpn yang sempurna. Melalui diri beliau, Allah Ta’ala membuat terang (jalan) kebenaran dan menolak kesesatan, menjelaskan manhaj, memberantas bid’ah yang dilakukan oleh ahli bid’ah, (serta memberantas) penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang menyimpang dan keraguan orang-orang yang ragu … ” [3]
Kembalinya beliau ke aqidah ahlus sunnah juga ditegaskan di dua kitab beliau lainnya, yaitu Maqaalat Islamiyyin wa Ikhtilaafil Musholliin [4] dan kitab Risaalah ila Ahli Tsaghr [5].
Salah seorang ulama besar madzhab Asy-Syafi’i, yaitu Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa di antara sebab kembalinya Abul Hasan Al-‘Asy’ari ke dalam aqidah ahlus sunnah adalah pertemuan beliau dengan Zakaria As-Saaji (wafat tahun 307 H), yaitu ulama ahli hadits yang tinggal di kota Bashrah dan beraqidah ahlus sunnah. [6]Adz-Dzahabi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata ketika menyebutkan biografi Zakaria As-Saaji,
وَكَانَ مِنْ أَئِمَّةِ الحَدِيْثِ. أَخَذَ عَنْهُ: أَبُو الحَسَنِ الأَشْعَرِيّ مَقَالَة السَّلَف فِي الصِّفَات، وَاعتمد عَلَيْهَا أَبُو الحَسَنِ فِي عِدَّة تآلِيف.
“Beliau adalah imam ahli hadits. Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil pendapat ulama salaf (ahlus sunnah) darinya dalam masalah terkait sifat-sifat (Allah). Abul Hasan Al-Asy’ari juga berpegang dengannya (As-Saaji) dalam beberapa karya tulis beliau.” [7]
Dan telah kita maklumi bersama, bagaimanakah aqidah ahlus sunnah dalam masalah nama dan sifat Allah. Ahlus sunnah menetapkan seluruh nama dan sifat yang telah Allah Ta’ala tetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan dzahirnya, tanpa tahrif (takwil), ta’thil, takyif, dan tasybih. Ahlus sunnah meyakini dan menetapkan sifat as-sam’u (mendengar) bagi Allah, sesuai keagungan dan kebesaran Allah, tidak serupa dengan makhluk-Nya. Ahlus sunnah juga menetapkan sifat dua tangan (yadain) yang hakiki (bukan majas yang ditakwil menjadi nikmat atau kekuatan), sesuai dengan keagungan Allah dan tidak sama dengan makhluk-Nya. Dan demikian seterusnya. [8]
Namun sangat disayangkan, bahwa aqidah yang tersebar sampai saat ini adalah ‘aqidah beliau pada fase kedua, yaitu fase Kullabiyah. Dan dalam beberapa masalah, justru mirip dengan aqidah Mu’tazilah. Namun mereka menyangka bahwa aqidah mereka saat ini (yang hakikatnya adalah ‘aqidah Kullabiyah, namun mereka sebut dengan ‘aqidah Asy’ariyyah) masih mengikuti ‘aqidah Abul Hasan Al-Asy’ari. Padahal beliau sendiri telah bertaubat dari ‘aqidah Kullabiyah dan kembali jalan ahlus sunnah, sebagaimana yang telah beliau tegaskan sendiri dalam tiga kitab tersebut. Oleh karena itu, kaum (golongan) Asy’ariyyah (Asyaa’irah) pada hakikatnya bukanlah pengikut sejati dari Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah, sebagaimana yang akan kami bahas di seri-seri selanjutnya dari tulisan ini. Contohnya, aqidah Asy’ariyyah yang menetapkan hanya tujuh atau dua puluh sifat saja bagi Allah.AQIDAH (SEBAGIAN) ULAMA ASY'ARIYAH YANG MENETAPKAN HANYA 7 SIFAT BAGI ALLAH DENGAN DALIL AKAL (LOGIKA)
Dalam aqidah Asy’ariyyah yang dipegang oleh Abul Ma’ali Al-Juwaini, Allah Ta’ala hanya disifati dengan tujuh sifat tersebut saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
لكن الأشاعرة لا يثبتون إلا هذه الصفات السبع فقط؛ لأنهم يرون أن هذه الصفات السبع دل عليها العقل فأثبتوها لدلالة العقل عليها، وأما ما سواها فإن العقل لا يدل عليها فيجب أن تأول
“ … akan tetapi kelompok Asy’ariyyah, tidaklah mereka menetapkan sifat (Allah) kecuali tujuh sifat ini saja. Karena mereka berpendapat bahwa ketujuh sifat ini ditunjukkan oleh akal mereka. Maka mereka menetapkannya berdasarkan dalil akal. Adapun sifat-sifat lainnya, maka tidak ditunjukkan oleh akal mereka, sehingga harus ditakwil.” [10]
Jadi, tujuh sifat ini pun tidak ditetapkan oleh Asy’ariyyah berdasarkan dalil syar’i, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun, mereka tetapkan dan mereka yakini berdasarkan dalil akal (logika). Bagaimana akal dan logika mereka bisa sampai menetapkan tujuh sifat tersebut?
BEGINILAH ALUR BERPIKIRNYA
Adanya makhluk menunjukkan adanya qudrah (kekuasaan) Allah. Adanya sesuatu yang baru (makhluk) menunjukkan kekuasaan dari dzat yang menjadikan makhluk tersebut, yaitu Allah. Teraturnya makhluk di alam semesta ini menunjukkan Allah memiliki sifat ‘ilmu. Karena jika bodoh, tentu tidak bisa mengatur. Lalu, adanya keunikan dan kekhususan masing-masing makhluk menunjukkan bahwa Allah memiliki kehendak (iradah). Ada matahari, ada bulan, ada bumi, ada langit, ada hewan dengan berbagai jenisnya, semua ini menunjukkan adanya iradah. Allah menghendaki untuk menciptakan langit, maka jadilah langit, dan seterusnya.
Tiga sifat ini (qudrah, ilmu, dan iradah) tidak mungkin ada kecuali pada dzat yang hidup (hayyun). Sehingga mereka pun menetapkan sifat yang ke empat ini.
Jika sifat hayyun telah ditetapkan, maka bisa jadi dzat tersebut memiliki pendengaran (sama’); penglihatan (bashar); dan berbicara (kalam) atau kebalikan dari tiga hal tersebut (tuli, buta dan bisu). Tiga sifat tersebut (tuli, buta dan bisu) adalah sifat tercela (aib) sehingga tidak mungkin Allah ditetapkan dengan ketiga sifat aib tersebut. Sehingga yang kita tetapkan adalah sifat sebaliknya, yaitu Allah memiliki sifat sama’, bashar dan kalam. [11]
Setelah mereka menetapkan tujuh sifat ini, mereka pun menolak untuk menetapkan sifat lainnya, seperti sifat mahabbah (mencintai), ridho (meridhai), ghadhab (murka), karena tidak ditunjukkan oleh akal mereka. [12] Sifat-sifat tersebut harus ditolak (atau dalam bahasa mereka: ditakwil) semuanya, sesuai dengan “petunjuk akal” mereka.
Tujuh sifat ini ditambah satu lagi oleh golongan Maturidiyyah, pengikut Abul Manshur Muhammad Al-Maturidi (wafat tahun 333 H) sehingga menjadi delapan sifat. Sifat ke delapan tersebut adalah sifat at-takwiin (membentuk atau pembentukan). [13]
Tujuh sifat yang ditetapkan oleh Asy’ariyyah tersebut dinamakan dengan صفات المعاني (shifaat ma’ani). Kemudian dari tujuh sifat tersebut, dibentuklah tujuh sifat lainnya, yaitu صفات معنوية (shifat ma’nawiyyah), yaitu sifat-sifat yang kembali ke tujuh shifaat ma’ani. Ketujuh sifat ma’nawiyyah tersebut adalah:
وكونه تعالى قادرا، مريدا، عالما، حيا، سميعا، بصيرا، متكلما.
"Kaunuhu Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu ‘Aliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Sami’an, Kaunuhu Bashiran, Kaunuhu Mutakalliman.”
Mereka pun menambahkan lagi enam sifat yang mereka sebut dengan صفات سلبية (shifat salbiyyah). Artinya, sifat yang meniadakan. Disebut dengan shifat salbiyyah, karena penetapan sifat ini -menurut mereka- akan menafikan (meniadakan) sesuatu yang serupa dengan Allah Ta’ala. Shifat salbiyyah menurut mereka adalah:
الوجود، القدم، البقاء، مخالفة الحوادث، القيام بالنفس، الوحدانية
“Wujud, Qidam, Baqa’, Mukholafatuhu Ta’ala lil Hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyah.”
Sehingga jumlah totalnya menjadi dua puluh sifat. Namun, dua puluh sifat ini intinya kembali ke tujuh sifat di awal, yaitu shifat ma’ani. Inilah sejarah singkat dua puluh sifat wajib bagi Allah, yang banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin saat ini. [13]
Kedua puluh sifat ini adalah “sifat wajib” bagi Allah berdasarkan akal pula. Menurut akal mereka, tidaklah tergambar kalau kedua puluh sifat ini tidak ada, sehingga harus (wajib) ditetapkan untuk Allah Ta’ala. [14]
Kesimpulannya, tokoh-tokoh yang mengaku bermadzhab Asy’ariyyah, mereka hanya menetapkan sifat Allah hanya berdasarkan akal, bukan berdasarkan dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah)