Sesungguhnya Nabi telah menjelaskan secara detail segala sesuatu yang diperlukan oleh seorang hamba, tidak ada satu pun amalan yang mendekatkan kepada Allah ﷻ kecuali telah Nabi Muhammad ﷺ jelaskan, demikian pula tidak ada satu pun amalan yang menjauhkan dari neraka Jahanam kecuali telah Nabi Muhammad ﷺ jelaskan. Bahkan perkara-perkara yang dianggap sepele, mulai dari adab makan, adab buang hajat, adab berhubungan suami istri, dan seterusnya secara sempurna diajarkan oleh Nabi. Sungguh benar firman Allah ﷻ,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah : 3)
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata,
تَرَكَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِيْ الْهَوَاءِ، إِلَّا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا، قَالَ: فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Rasulullah ﷺ telah meninggalkan kita, tidaklah seekor burung mengepak-epakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menyebutkan ilmunya.” Abu Dzar radhiallahu ‘anhu melanjutkan: Rasulullah ﷺ pun telah bersabda, ‘Tidak tersisa sedikit pun apa-apa yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian’.” ([1])
Dalam ayat yang lain Allah ﷻ berfirman,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah : 128
Nabi Muhammad ﷺ disifatkan dengan حَرِيصٌ عَلَيْكُم, yaitu bersemangat untuk menjelaskan segala kebenaran dan kebatilan untuk umatnya. Dari sini, tidak mungkin Nabi Muhammad ﷺ hanya menjelaskan adab makan, adab buang hajat, adab berhubungan suami istri, dan seterusnya sedangkan perkara-perkara yang lebih urgen seperti tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat tidak diajarkan.
Dengan demikian, perkara akidah merupakan perkara yang paling gamblang yang telah dijelaskan oleh Nabi. Sehingga akidah yang diajarkan dan dijelaskan secara rinci oleh Nabi Muhammad ﷺ tidak membutuhkan lagi tambahan yang sulit dari ahli filsafat, ahli kalam, dan ahli bid’ah lainnya, melainkan cukup diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat dan para salaful ummah. Oleh karena itu, tidak dijumpai perselisihan di antara para sahabat dalam masalah akidah terkhusus dalam masalah tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَلِهَذَا كَانَ مَا فَهِمَهُ الصَّحَابَةُ مِنَ الْقُرِآنِ أَوْلَى أَنْ يُصَارَ إِلَيْهِ مِمَّا فَهِمَهُ مَنْ بَعْدَهُمْ فَانْضَافَ حُسْنُ قَصْدِهِمْ إِلَى حُسْنِ فَهْمِهِمْ فَلَمْ يَخْتَلِفُوا فِي التَّأْوِيْلِ فِي بَابِ مَعْرِفَةِ اللهِ وَصِفَاتِهِ وَأَسْمَائِهِ وَأَفْعَالِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحْفَظُ عَنْهُمْ فِي ذَلِكَ خِلاَفٌ لاَ مَشْهُوْرٌ وَلاَ شَاذٌّ، فَلَمَّا حَدَثَ بَعْدَ انْقِضَاءِ عَصْرِهِمْ مَنْ سَاءَ فَهْمُهُ وَسَاءَ قَصْدُهُ وَقَعُوا فِي أَنْوَاعٍ مِنَ التَّأْوِيْلِ بِحَسَبِ سُوْءِ الْفَهْمِ وَفَسَادِ الْقَصْدِ وَقَدْ يَجْتَمِعَانِ وَقَدْ يَنْفَرِدَانِ وَإِذَا اجْتَمَعَا تَوَلَّدَ مِنْ بَيْنِهِمَا جَهْلٌ بِالْحَقِّ وَمُعَادَاةٍ لِأَهْلِهِ وَاسْتِحْلاَلِ مَا حَرَّمَ اللهُ مِنْهُمْ.
“Karenanya apa yang dipahami oleh para sahabat terhadap Al-Qur’an lebih utama untuk dijadikan rujukan daripada pemahaman orang-orang setelah mereka. Maka tergabungkanlah niat baik mereka (para sahabat) dengan baiknya pemahaman mereka, sehingga mereka tidak berselisih dalam penafsiran dalam pembahasan mengenal Allah ﷻ, sifat-sifat-Nya, nama-nama dan perbuatan-perbuatan-Nya. Demikian juga dalam permasalahan hari akhirat. Tidak dinukilkan dari mereka dalam perkara-perkara tersebut adanya perselisihan pada mereka, tidak juga khilaf yang masyhur maupun yang syadz. Tatkala setelah berlalu generasi mereka muncullah orang-orang yang buruk pemahamannya dan juga buruk niatnya (maksud dan tujuannya) maka terjerumuslah dalam berbagai macam takwil berdasarkan buruknya pemahaman dan buruknya niat. Terkadang kedua faktor ini terkumpul dan terkadang salah satunya saja. Jika kedua faktor tersebut terkumpul maka muncullah dari mereka kejahilan akan kebenaran dan juga sikap memusuhi ahlul hak (yang di atas kebenaran) serta muncul sikap menghalalkan apa yang Allah ﷻ haramkan.”([2])
Oleh karena itu, perkara akidah pada dasarnya adalah perkara yang mudah dan gamblang. Hingga datang masa di akhir-akhir masa Khulafaur Rasyidin, mulailah muncul penyimpangan-penyimpangan dan penolakan-penolakan terhadap sifat Allah ﷻ dengan berbagai macam syubhatnya yang mengharuskan kita untuk mempelajari syubhat-syubhat tersebut dengan tujuan untuk membantahnya.
Baca-baca juga: Tauhid Asma Wa Sifat
Awal Mula Munculnya Bid’ah Dalam Islam
Sesungguhnya Nabi Muhammad ﷺ telah mengajarkan akidah yang murni kepada para sahabat hingga beliau wafat. Kemudian para khulafaur rasyidin dan para sahabat berusaha mempertahankan akidah tersebut, hingga di akhir-akhir masa khulafaur rasyidin mulailah tumbuh bibit-bibit bid’ah. Hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam sabdanya,
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah ﷻ Azza wa Jalla, dan untuk mendengar serta taat (kepada pimpinan) meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya, barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian (para sahabat), niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun –orang-orang yang mendapat petunjuk- sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.” ([3])
Bibit-bibit bid’ah tersebut mulai tumbuh sejak terbunuhnya khalifah Utsman bin ‘Affan pada tahun 35H, ketika Abdullah bin Saba’ memprovokasi masa untuk membunuh Útsman bin Áffan radhiallahu ‘anhu dan akhirnya beliau dikepung oleh ribuan masa, lalu belia pun terbunuh di rumah beliau dalam kondisi sedang membaca Al-Qur’an. Kemudian di masa kekhilafahan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mulailah muncul dua jenis bid’ah yaitu bid’ah khawarij yang memerangi ‘Ali dan bid’ah Rafidhah yang berlebihan terhadap ‘Ali.
Setelah ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu wafat lalu berlalu masa, di akhir-akhir masa sahabat shighar junior (zaman sahabat berakhir sekitar tahun 110 H([4])) mulailah muncul bid’ah Qadariyah yang dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani, sebagaimana yang disebutkan di awal kitab Shahih Muslim. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Yahya bin Ya’mar, beliau mengatakan,
كَانَ أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَاجَّيْنِ – أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ – فَقُلْنَا: لَوْ لَقِينَا أَحَدًا مَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلْنَاهُ عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ، فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ، فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ، وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ، فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ، فَقُلْتُ: أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ، وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ، وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ، وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ، قَالَ: «فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي»، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ «لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ»
“Orang yang pertama kali berbicara masalah takdir di Bashrah adalah Ma’bad Al Juhani. Aku dan Humaid bin ‘Abdirrahman kemudian pergi berhaji –atau ‘umrah- dan kami mengatakan, “Seandainya kita bertemu salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ kita akan mengadukan pendapat mereka tentang takdir tersebut”
Kami pun bertemu dengan Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma yang sedang memasuki masjid. Lalu kami menggandeng beliau, satu dari sisi kanan dan satu dari sisi kiri. Aku menyangka sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku sehingga aku pun berkata kepada Ibnu ‘Umar, “Wahai Abu ‘Abdirrahman (panggilan Ibnu ‘Umar –pen), sungguh di daerah kami ada sekelompok orang yang berpandangan takdir itu tidak ada, dan segala sesuatu itu baru ada ketika terjadinya (tidak tertulis di catatan takdir dan tidak pula diketahui oleh Allah ﷻ sebelumnya).
Maka Ibnu ‘Umar berkomentar, “Kalau kamu bertemu dengan mereka, beritahukan mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku! Demi Dzat yang Ibnu ‘Umar bersumpah dengan-Nya, seandainya mereka memiliki emas sebanyak gunung Uhud lantas menginfakkannya, niscaya Allah ﷻ tidak akan menerima infak mereka tersebut sampai mereka mau beriman kepada takdir.” ([5])
Pemahaman Qadariyah tersebut telah dibantah oleh para sahabat junior seperti Ibnu ‘Umar sendiri, Ibnu ‘Abbas, dan selainnya. Namun di kurun waktu ini belum muncul bid’ah tentang tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat.
Lalu di zaman Tabiin yaitu pada zaman Hasan Al-Bashri (zaman tabi’in berakhir sekitar tahun 181 H([6])), mulailah muncul bid’ah berikutnya yaitu bid’ah Muktazilah yang dipelopori oleh Washil bin ‘Atha yang merupakan murid Hasan Al-Bashri sendiri. Di antara keyakinan Muktazilah yaitu pelaku dosa besar di dunia statusnya fi manzilah baina manzilatain (tidak kafir dan juga tidak mukmin) namun di akhirat statusnya tetap kekal di neraka. Pemahaman inilah yang dibawa oleh Washil bin ‘Atha sehingga ia keluar (iítzal) dari majelis Hasan Al-Bashri karena bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Hasan Al-Bashri yaitu status pelaku dosa besar itu imannya kurang tetapi tidak kafir dan di akhirat kelak di bawah kehendak Allah ﷻ, apakah akan diampuni oleh Allah ﷻ atau diadzab. Inilah Akidah Ahlusunah, dan inilah yang benar sebagaimana firman Allah ﷻ,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah ﷻ tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah ﷻ, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa : 48)
Karena Washil bin Átha keluar (i’tizal/menyempal) dari majelis Al-Hasan maka ia dan para pengikutnya dikenal dengan Muktazilah (golongan yang menyempal).
Washil bin Átha kemudian diikuti oleh seorang yang bernama ‘Amr bin ‘Ubaid. ‘Amr bin ‘Ubaid adalah seorang perawi hadis yang ahli ibadah dan zuhud, sehingga pemahaman ini mulai laris karena manusia tertipu dengan ‘Amr. Namun bid’ah Muktazilah ini masih belum menyentuh masalah tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat, tetapi masih banyak berputar di permasalahan status pelaku dosa besar dan bercampur dengan bid’ah Qadariyah.
Awal Mula Muncul Bid’ah dalam Al-Asma’ wa ash-Shifat
JAHMIYAH
Bid’ah penolakan sifat-sifat Allah ﷻ (at-Ta’thil) ditenarkan oleh Al-Jahm bin Shafwan. Beliau adalah Abu Muhriz, Al-Jahm bin Shafwan As-Samarqandi, maula Raasib. Seorang filsuf, biang kesesatan, pentolan Jahmiyah, dan ia adalah seorang yang cerdas dan lihai berdebat. Ia mengingkari seluruh sifat Allah ﷻ. Ia dibunuh oleh Salm bin Ahwaz Al-Muzani di kota Merv, di akhir masa kekuasaan Bani Umayyah([7]).
Dialah yang pertama kali menyebarkan ideologi at-ta’thil di tengah-tengah umat, di akhir zaman Tabiin, pada masa kekhilafahan Hisyam bin Abdul Malik([8]). Dialah pendiri sekte Jahmiyah.
Al-Jahm sendiri mengadopsi ideologi at-Ta’thil dari gurunya, Al-Ja’d bin Dirham yang dibunuh oleh Khalid bin Abdullah Al-Qasri, gubernur Irak. Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Muhammad bin Habib bin Abi Habib, dari ayahnya dari kakeknya berkata,
شَهِدْتُ خَالِدَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْقَسْرِيَّ بِوَاسِطَ، فِي يَوْمِ أَضْحًى، وَقَالَ: «ارْجِعُوا فَضَحُّوا تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنْكُمْ، فَإِنِّي مُضَحٍّ بِالْجَعْدِ بْنِ دِرْهَمٍ، زَعَمَ أَنَّ اللَّهَ لَمْ يَتَّخِذْ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَلَمْ يُكَلِّمْ مُوسَى تَكْلِيمًا، تَعَالَى اللَّهُ عُلُوًّا كَبِيرًا عَمَّا يَقُولُ الجعد بْنُ دِرْهَمٍ، ثُمَّ نَزَلَ فَذبَحَهُ»، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: قَالَ قُتَيْبَةُ: «بَلَغَنِي أَنَّ جَهْمًا كَانَ يَأْخُذُ الْكَلَامَ مِنَ الْجَعْدِ بْنِ دِرْهَمٍ»
“Aku menyaksikan pada hari raya ‘Idul ‘Adha di kota Wasith, Khalid bin Abdullah Al-Qashri mengatakan pada manusia, “Kembalilah kalian untuk menyembelih binatang kurban semoga Allah ﷻ menerimanya. Sesungguhnya aku akan menyembelih al-Ja’ad bin Dirham, yang menyangka bahwa Allah ﷻ tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya dan Musa tidak berbicara langsung kepada-Nya, Maha Tinggi Allah ﷻ dari apa yang dikatakan oleh Ja’ad bin Dirham”.
Kemudian dirinya turun dari mimbar lalu menyembelih Ja’ad bin Dirham.” ([9])
Setelah itu Imam Bukhari berkata,
قَالَ قُتَيْبَةُ: «بَلَغَنِي أَنَّ جَهْمًا كَانَ يَأْخُذُ الْكَلَامَ مِنَ الْجَعْدِ بْنِ دِرْهَمٍ»
“Qutaibah berkata : Telah sampai kepadaku bahwasanya Jahm (bin Shafwan) mengambil ilmu kalam dari al-Ja’d bin Dirham.” ([10])
Sebagian ahli sejarah mengutarakan bahwa ia bertemu dengan Al-Ja’d di Kufah, dalam pelariannya dari Bani Umayyah. Ibn Katsir mengisahkan “Al-Ja’d menetap di Damaskus, dan mencetuskan ideologi bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Bani Umayyah pun memburunya, ia lantas kabur dan menetap di Kufah. Di kota itulah ia bertemu dengan Al-Jahm bin Shafwan, yang kemudian mengadopsi ideologi tersebut darinya” ([11])
Adapun Al-Ja’d, ia telah mengadopsi ideologi at-Ta’thil dari Aban bin Sam’an, dan Aban mengambilnya dari Thalut, keponakannya Labid bin Al-A’sham, dan Thalut mengambilnya dari si penyihir Yahudi Labid Al-A’sham yang telah menyihir Nabi Muhammad g, sebagaimana keterangan para ulama, di antaranya adalah Syaikhul Islam([12]), As-Shafadi([13]), Ibnul Atsir ([14]), dan Ibn Katsir([15])
MUKTAZILAH
Selanjutnya pemikiran Jahmiyah dilanjutkan oleh Muktazilah.
Sekte Muktazilah tumbuh di penghujung kekhilafahan Umawiyyah, dan mencapai puncak persebarannya pada masa kekhilafahan Abbasiyyah.
Kelompok ini menjadikan akal sebagai landasan utama nan tunggal dalam memahami akidah Islam, sesuai dengan pengaruh yang mereka serap dari para filsuf Yunani dan India.
Dan perlu diketahui, bahwa generasi awal dari Muktazilah –yang sezaman dengan Washil dan Amr bin Úbaid- tidaklah membawa pemikiran Jahmiyah. “Mereka hanyalah memiliki sikap yang sesat dalam persoalan ancaman Allah ﷻ bagi para pelaku dosa dan mengingkari takdir Allah ﷻ. Adapun ideologi yang men-ta’thil sifat-sifat Allah ﷻ, ia muncul dalam tubuh mereka sepeninggal generasi mutaqadimin tersebut.
Oleh karena itu, Imam Ahmad –rahimahullah- ketika membantah kelompok Jahmiyah dengan mematahkan dalih Al-Jahm, Beliau mengatakan,
“Kemudian (Al-Jahm) diikuti oleh sekelompok pengikut Amr bin Ubaid dan selainnya. Dan ucapan semacam ini –ta’thil sifat Allah ﷻ- juga populer dari Abul Hudzail Al-Allaf, An-Nadzzam, dan para ahli kalam semisal keduanya.” ([16])
Mazhab ta’thil itu sendiri tidaklah berkembang pesat semasa hidup Al-Jahm bin Shafwan, kecuali di beberapa wilayah timur. Namun, ia mulai menguat dan mengakar setelah terbunuhnya Al-Jahm bin Shafwan. Pemikiran ini semakin dipopulerkan pada masa kekuasaan Al-Ma’mun (salah satu khalifah dinasti Abbasiyyah) oleh para penganut ideologi ini, seperti Bisyr Al-Marrisi (Wafat: 218H), para dai kelompok Muktazilah, seperti Ahmad bin Abi Du’ad (Wafat: 240H), dan selain keduanya. ([17])
Dan di antara bukti bahwa Muktazilah sejalan dengan Jahmiyah dalam menyikapi persoalan sifat-sifat Allah ﷻ, adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibn Asakir, dari Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad Al-Gasili, bahwa ia pernah ditanya:
“Dari siapa Ibnu Abi Du’ad mengadopsi pemikiran tersebut (at-Ta’thil)?”
Ia (Abu Ishaq) pun menjawab, “Ia berguru kepada Bisyr Al-Marrisi, Bisyr mengambilnya dari Jahm bin Shafwan, Jahm mengambilnya dari Al-Ja’d bin Dirham, Al-Ja’d berguru kepada Aban bin Sam’an, Aban mengambilnya dari Thalut keponakan dan iparnya Labid, dan Thalut berguru kepada si penyihir Yahudi yang menyihir Nabi g, Labid bin A’sham.” ([18])
Jadi, Muktazilah lah yang berperan utama dalam menyebarkan dan mempopulerkan pemikiran Jahmiyah. Oleh karena itu dapat kita saksikan bahwa para ulama yang membantah para pen-ta’thil sifat-sifat Allah ﷻ menyebut Muktazilah sebagai Jahmiyah. Seperti Imam Ahmad –rahimahullah- yang menulis kitab Ar-Radd ala al-Jahmiyah, dan juga Imam Bukhari, dan yang mereka maksud dengan Jahmiyah adalah Muktazilah. ([19])
KULLABIYAH
Di akhir-akhir zaman sahabat dan di awal-awal zaman Tabiin, banyak orang ‘Ajam (luar Arab) yang berbondong-bondong masuk Islam. Seiring berjalannya waktu, mulailah pemerintahan-pemerintahan dipegang oleh orang-orang ‘Ajam, lalu mereka berinisiatif untuk menerjemahkan buku-buku dari Yunani ke dalam Bahasa Arab, sehingga buku-buku tersebut dibaca oleh orang-orang Arab dan perlahan-lahan pemikiran-pemikiran Filsafat tersebut merasuk ke dalam tubuh umat Islam. Mulailah mereka berani untuk berbicara dalam masalah akidah dengan akal mereka dan meletakkan fondasi bid’ahnya dengan asas yang mencocoki akal dan hawa nafsunya, mereka berkata Allah ﷻ seperti ini dan seperti itu dan lama-lama mulai menolak sifat Allah ﷻ.
Oleh karena itu, sebagaimana yang telah berlalu sebelumnya bahwa awalnya Muktazilah tidak berbicara dalam permasalahan al-Asma’ wa ash-Shifat, akhirnya mereka terpengaruh pemahaman Jahmiyah. Sehingga Muktazilah dalam akidah al-Asma’ wa ash-Shifat mereka mencocoki Jahmiyah, karenanya Imam Ahmad menulis sebuah kitab berjudul “Ar-Radd ‘alal Jahmiyah waz Zanadiqah” yang sebenarnya ditujukan kepada kaum Muktazilah. Kemudian setelah Muktazilah, muncullah sekte lain yang dinamakan dengan Kullabiyah yang dipelopori oleh Ibnu Kullab.
Adapun Ibnu Kullab beliau adalah Abdullah bin Sa’id bin Kullab Al-Qatthan, Abu Muhammad Al-Basri. Salah seorang ahli kalam di zaman pemerintahan Al-Ma’mun. Di antara karya tulisnya adalah Ash-Shifat, Khalq al-Af’al, dan Ar-Radd ala al-Muktazilah. Disebutkan pula bahwa di antara murid-murid Beliau adalah Al-Harits Al-Muhasibi dan Daud Adz-Dzahiri. Diperkirakan wafatnya sebelum tahun 240H.([20]) Sekte Kullabiyah menetapkan sebagian sifat-sifat Allah ﷻ yaitu sifat-sifat dzatiyah.
ASYA'IRAH
Selanjutnya muncullah Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (wafat 324H) yang awalnya membawa pemahaman Muktazilah, karena berguru dari bapak tirinya Abu ‘Ali Al-Jubba’i. Lalu Abul Hasan Al-Asy’ari bertemu dengan sebagian penganut mazhab Kullabiyah([21]), dia berguru kepadanya sehingga dia melepaskan jubah Muktazilahnya (setelah menganutnya selama 40 tahun) dan menjadi penganut mazhab Kullabiyah. Sebelum akhirnya beliau rujuk kepada pemahaman Imam Ahmad bin Hanbal yaitu mazhab salaf dan berlepas diri dari pemahaman-pemahamannya yang terdahulu. Dalam pertobatannya tersebut beliau menulis empat kitab yang memuat bagaimana Akidah Ahlusunah, di antaranya Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, Al-Maqalat Al-Islamiyyin, Risalah ila Ahlits Tsagr, Al-Luma’, walaupun masih dijumpai debu-debu pemikiran sisa bid’ah akibat masa lalu beliau.
Lalu muncullah kaum Asya’irah belakangan yang menyelisihi akidah Pendiri mereka Abul Hasan al-Asyári. Jika Abul Hasan dan murid-muridnya berakidah seperti Kullabiyah -yaitu menetapkan seluruh sifat dzatiyah-, adapun kaum Asya’irah belakangan (Ar-Razi dan Al-Amidi) maka mereka menolak mayoritas sifat-sifat dzatiyah dan hanya menetapkan 7 sifat saja dari sifat-sifat dzatiyah, adapun sifat-sifat yang lainnya ditakwilkan dan dibawa maknanya kepada salah satu dari 7 sifat tersebut.
MATURIDIYAH
Lalu para ulama dari mazhab Hanafi mengembangkan pemahaman Asya’irah ini, hingga datanglah Abu Manshur Al-Maturidi (wafat tahun 333H) yang berusaha mengembangkan pemahaman Asya’irah. Meskipun dijumpai adanya sedikit perbedaan dengan Asya’irah, sehingga orang-orang mengenal mazhab/sekte Maturidiyah.([22])
- Akidah Mu’aththilah (Para Penolak Sifat)
Siapa saja yang melakukan at-Ta’thil, yaitu mengingkari dan meniadakan salah satu dari sifat-sifat Allah ﷻ, maka ia disebut sebagai Mu’atthil.
Syaikh Zaid bin Abdul Aziz Al-Fayyadl([23])mengatakan, “Para pengingkar sifat Allah ﷻ dinamakan sebagai Mu’atthil karena mereka meniadakan dan melepaskan Allah ﷻ dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya”([24])
Penggunaan istilah Mu’atthilah juga telah eksis sejak generasi para Salaf. Berikut beberapa nukilan yang memperkuat hal tersebut:
Abu Zur’ah Ar-Razi([25]) mengatakan: “Mu’attilah Nafiyah adalah mereka yang mengingkari sifat-sifat Allah ﷻ yang Ia telah menyifati diri-Nya dengannya dalam Al-Qur’an dan melalui lisan Nabi-Nya ﷺ.
Mereka mendustakan dalil-dalil sahih yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad ﷺ tentang sifat-sifat Allah ﷻ, dan malah menakwilnya berdasarkan hawa nafsu rusak mereka, agar selaras dengan keyakinan mereka yang sesat. Tidak hanya sampai di situ, mereka juga menjuluki mereka yang meriwayatkan dan meyakini kandungan dalil-dalil tersebut dengan Musyabbihah.
Siapa saja yang menjuluki mereka yang menyifati Tuhan mereka dengan apa yang Ia menyifati diri-Nya dengannya, dan apa yang Rasul-Nya menyifati-Nya dengannya, tanpa disertai tamtsil atau pun tasybih, dengan julukan Musyabbihah, maka ia adalah seorang Mu’atthil nan Nafi. Dan julukan Musyabbihah yang ia berikan kepada mereka, adalah bukti bahwa ia seorang Mu’atthil nan Nafi.
Demikianlah keterangan para ulama dahulu, seperti Abdullah bin Al-Mubarak([26]) dan Waki’ bin Al-Jarrah([27])” ([28])
Ishaq bin Rahawaih([29]) rahimahullah mengatakan, “Ciri khas Jahm dan para pengekornya adalah memfitnah Ahlusunah dengan julukan Musyabbihah. Justru merekalah yang Mu’atthilah!
Bahkan mungkin saja jika dikatakan bahwa mereka juga merupakan Musyabbihah, karena mereka mengatakan bahwa Allah ﷻ Maha sempurna di mana pun Ia berada, baik di langit tertinggi maupun di lapisan terbawah bumi, semua sama!
Sungguh ucapan mereka tersebut adalah kedustaan, dan mereka dapat divonis dengan kekafiran!”([30])
Abu Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi([31]) mengatakan, “Apa yang tertera dalam Al-Qur’an dan sunah, seperti:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Tangan Allah ﷻ terbelenggu’, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu.” (QS. Al-Ma’idah: 64)
Dan seperti firman-Nya ﷻ,
وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 67)
Dan yang semisal dengannya, tidaklah boleh kita tambah-tambahi (maknanya), atau pun kita (coba-coba) tafsirkan (tanpa dalil). Kita mencukupkan diri dengan apa yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan sunah.
Kita meyakini bahwa,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arasy.” (QS. Thaha : 5)
Barang siapa yang meyakini selain keyakinan ini, maka ia adalah seorang Mu’atthil nan Jahmi.”([32])
Dapat disimpulkan dari 3 nas para Salaf di atas, bahwa lafaz Mu’atthil menurut mereka mencakup 2 jenis kelompok, yaitu:
- Pertama: Kelompok yang menganut paham at-Ta’thil secara kulli (totalitas/tulen).
Ini jelas sekali, dimana ucapan dan celaan dari mereka yang utama terarah kepada kelompok Mu’attilah yang mereka jumpai di zaman mereka, yaitu Jahmiyah dan Muktazilah.
Adapun kelompok yang menganut at-Ta’thil secara juz’i (parsial dan tidak totalitas), seperti Asya’irah dan Maturidiyah, mereka muncul setelah para penganut ta’thil kulli.
Kedua : Kelompok yang menganut paham at-Ta’thil secara juz’i (parsial tidak totalitas).
Pernyataan para Salaf juga mencakup mereka, dimana istilah “Mu’atthil” juga mereka tujukan kepada setiap orang yang menyelisihi pemahaman Ahlusunah seputar sifat-sifat Allah ﷻ, tanpa merinci bentuk penyelisihan tersebut. Dan inilah yang dapat disimpulkan dari ucapan Abu Zur’ah Ar-Razi dan Abu Bakr Al-Humaidi.
Hal ini juga dibuktikan oleh dua poin berikut:
- Para Salaf dahulu memvonis seseorang dengan Mu’atthil ketika mereka mendapati dirinya menjuluki orang yang menetapkan sifat-sifat Allah ﷻ dengan sebutan Musyabbih.
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Dahulu mereka (para Salaf) memvonis seorang yang selalu meniadakan tasybih (antromorfis) namun tanpa disertai isbat terhadap sifat-sifat Allah ﷻ, dengan sebutan Jahmi (penganut ideologi Jahmiyah) nan Mu’atthil.
Ini banyak sekali ditemukan di sela-sela pernyataan para Salaf. Karena Jahmiyah dan Muktazilah –sampai saat ini- menamai orang yang menetapkan salah satu dari sifat Allah ﷻ dengan julukan Musyabbih. Dan penamaan tersebut adalah bentuk kedustaan dan rekayasa mereka semata.”([33])
Dan sudah dimaklumi bahwa para Mu’atthilah dengan berbagai warnanya, mereka menjuluki Ahlusunah dengan Musyabbihah (pelaku tasybih).
Bahkan Mu’atthilah memvonis siapa pun yang menetapkan sifat Allah ﷻ dengan Musyabbihah, walaupun hanya satu sifat.
Bahkan Muktazilah pun menjuluki Asya’irah dengan Musyabbihah (karena Asya’irah menetapkan sebagian sifat-sifat Allah ﷻ).([34])
- Para imam Ahlusunah sepeninggal mereka (Abu Zur’ah dan Al-Humaidi) yang menghadapi bid’ah yang dibawa oleh Asya’irah –seperti Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah– juga menamai Asya’irah dengan Jahmiyah.([35])
Secara umum paham Ta’thil (menolak sifat Allah ﷻ) terbagi ke dalam dua jenis:
Ta’thil Kully (menolak seluruh sifat Allah ﷻ)
Kelompok-kelompok yang menolak seluruh sifat Allah ﷻ adalah:
Jahmiyah
Di antara ketergeliciran kelompok Jahmiyah adalah mereka menolak seluruh sifat Allah ﷻ dan juga menolak seluruh nama Allah ﷻ.
Mereka melakukan hal tersebut karena mereka berpikir bahwa apabila seseorang menetapkan nama dan sifat Allah ﷻ maka dia telah melakukan tasybih (menyerupakan Allah ﷻ dengan makhluk) karena yang memiliki nama dan sifat adalah makhluk.
Muktazilah
Di antara ketergeliciran kelompok Muktazilah adalah mereka juga menolak seluruh sifat Allah ﷻ, bedanya dengan Jahmiyah mereka menetapkan seluruh nama Allah ﷻ namun nama-nama tersebut tidak punya makna
Ta’thil Juz’iy (menolak sebagian sifat Allah ﷻ)
Kelompok-kelompok yang menolak sebagian sifat Allah ﷻ adalah :
Kullabiyah
Di antara ketergeliciran kelompok Kullabiyah adalah mereka menetapkan seluruh sifat Dzatiyyah Allah ﷻ seperti wajah, tangan, ketinggian, dan seterusnya, tetapi mereka menolak seluruh sifat Fi’liyyah Allah ﷻ dengan alasan Allah ﷻ tidak menerima sifat huduts (sesuatu yang baru)
Asya’irah
Kelompok Asya’irah sendiri terbagi ke dalam dua golongan, yaitu:
- Mutaqaddimin (para pendahulu) : Mereka akidahnya sama dengan Kullabiyah yaitu menetapkan sifat Dzatiyyah dan menolak sifat Fi’liyyah
- Mutaakhkhirin (belakangan) : Mereka menolak seluruh sifat Allah ﷻ kecuali tujuh sifat saja yaitu Al-Hayah (hidup), Al-‘Ilmu (berilmu), Al-Iradah (berkehendak), As-Sama’ (mendengar), Al-Bashar (melihat), Al-Kalam (berbicara), Al-Qudrah (berkuasa)
Maturidiyah
Aqidah Maturidiyah sama dengan Akidah Asya’irah Muta’akhkhirin, hanya saja mereka menambah sifat yang ke delapan yaitu sifat At-Takwin (penciptaan) ([36]).
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_____
([1]) HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir 1647, disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadis ash-Shahihah 1803.
([2]) As-Shawaíq al-Mursalah (2/509-510).
([3]) HR. Ahmad No. 17142, Abu Dawud No. 4607, At-Tirmidzi No. 2676, dan Ibnu Majah No. 42 dan disahihkan oleh Al-Albani dan Al-Arnauth.
([4]) Yaitu dengan wafatnya sahabat Nabi yang terakhir yaitu Abu at-Thufail Áamir bin Waatsilah pada tahun 110 H.
([5]) HR. Muslim No. 8.
([6]) Yaitu dengan wafatnya tabií yang terakhir yaitu Kholaf bin Kholiifah al-Kufiy al-Muámmar pada tahun 181 H.
([7]) Lihat: Al-Milal wa an-Nihaal (1/97-99), Majmu’ al-Fatawa (13/182), Siyar A’lam an-Nubala’ (6/26), dan Mizan al-I’tidal (2/159).
([8]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (20/302).
([9]) Khalq Af’Alil ‘Ibad (29).
Kisah Khalid al-Qasri membunuh al-Jaád bin Dirham disebutkan juga oleh Ad-Darimi dalam kitabnya Ar-Radd ála al-Jahmiyah, beliau berkata:
وَأَمَّا الْجَعْدُ فَأَخَذَهُ خَالِدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْقَسْرِيُّ فَذَبَحَهُ ذَبْحًا بِوَاسِطَ، فِي يَوْمِ الْأَضْحَى عَلَى رُؤُوسِ مَنْ شَهِدَ الْعِيدَ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، لَا يَعِيبُهُ بِهِ عَائِبٌ وَلَا يَطْعَنُ عَلَيْهِ طَاعِنٌ بَلِ اسْتَحْسَنُوا ذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِ، وَصَوَّبُوهُ مِنْ رَأْيِهِ
“Adapun al-Jaád bin Dirham maka ditangkap oleh Khalid bin Abdillah al-Qasri lalu ia menyembelihnya di kota Wasith di hadapan kaum muslimin yang menghadiri shalat íed bersama beliau. Tidak seorang pun yang mencela beliau bahkan mereka menganggap baik perbuatan beliau dan membenarkan pendapat beliau” [Ar-Radd ála al-Jahmiyah, Ad-Darimi, (21)]
Wajar jika para ulama ketika itu -yaitu para tabiín- memfatwakan untuk membunuh al-Jaád bin Dirham. Hal ini karena al-Jaád telah menolak dua sifat yang Allah ﷻ sebutkan dalam Al-Qur’an.
Pertama: Sifat berbicara Allah ﷻ yang telah ditunjukkan oleh firman Allah ﷻ,
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah ﷻ telah berbicara dengan Musa dengan benar-benar pembicaraan” (QS An-Nisa: 164)
Kedua: Dan sifat al-Khullah (cinta Allah ﷻ) yang telah ditunjukkan oleh firman Allah ﷻ,
وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
Dan Allah ﷻ mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya (QS An-Nisa: 125)
Kedua sifat ini berkaitan dengan sifat al-ikhtiyariah (sifat fi’liyah) yang berkaitan dengan kehendak Allah ﷻ. Dan inilah asal syubhat yang menjadi landasan pokok bagi seluruh penolak sifat untuk menolak sifat-sifat Allah ﷻ.
([10]) Khalq Af’Alil ‘Ibad (29).
([11]) Al-Bidayah wa an-Nihayah (13/147).
([12]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (5/20-22).
([13]) Lihat: Al-Wafi bi al-Wafayat (11/67-68).
([14]) Lihat: Al-Kamil fi at-Tarikh (6/149).
([15]) Lihat: Al-Bidayah wa an-Nihayah (13/147).
([16]) Syarh al-Aqidah al-Ashfahaniyyah (170).
([17]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (13/183-184).
([18]) Mukhtashar Tarikh Dimasyq, karya Ibn Manzur (6/51).
([19]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (12/119) dan Tarikh al-Jahmiyah wa al-Mu’tazilah (59).
([20]) Lihat: Al-Fahrasat karya An-Nadim (230), Siyar A’lam an-Nubala’ (11/174), Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra karya As-Subki (2/299), dan Lisan al-Mizan (4/486).
([21]) Lihat Mauqif Ibn Taimiyah min al-Asya’irah, karya DR. Abdurrahman bin Shalih Al-Mahmud : (1/331 – 2/696).
([22]) Sebuah kelompok yang menisbahkan diri mereka kepada Abu Mansur Al-Maturidi Al-Hanafi.
Maturidiyah sendiri tidaklah berkembang pesat semasa hidup Abu Mansur. Kelompok ini malah berhasil eksis dalam jangka waktu yang panjang di puncak keemasannya sepeninggalnya, dengan peran penting para ulama mazhab Hanafi. Dan ini salah satu penyebab biografinya (Abu Mansur) tidaklah disebutkan dalam kitab-kitab sejarah.
Ibnul Atsir dalam Al-Kamil, Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnul Imad dalam Syuzurat adz-Dzahab, Ibn Khalikan dalam Wafayat al-A’yan, Ibnun Nadim dalam Al-Fahrasat, As-Shafadi dalam Al-Wafi bi al-Wafayat, As-Sam’ani dalam Al-Ansab, Adz-Dzahabi dalam As-Siyar, Ibn Hajar dalam Al-Lisan, dan As-Suyuthi dalam Tabaqat al-Mufassirin, mereka semua tidak menyebutkan biografinya, padahal pada kitab yang sama mereka menyebutkan biografi orang-orang yang sezaman dengannya.
Demikian pula kitab-kitab ensiklopedi agama dan kelompok Islam, tidak menyertakan biografi Abu Mansur, padahal Maturidiyah merupakan salah satu kelompok Sifatiyyah.
Dan karena itu pula, tidak ditemukan komentar rinci Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -yang telah menyingkap kesesatan dan penyimpangan seluruh kelompok sesat- seputar Maturidiyyah ini dalam berbagai karyanya. [Lihat: Al-Maturidiyyah Dirasah wa Taqwima : (79-109)]
([23]) Zaid bin Abdul Aziz bin Zaid bin Abdul Aziz bin Abdul Wahhab bin Muhammad bin Nasir bin Fayyad, salah satu ulama Najd. Beliau telah berguru kepada banyak ulama, di antaranya Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, Abdul Lathif bin Ibrahim Alu Syaikh, Abdurrahman bin Qasim, Abdul Aziz bin Baz, dan Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi –rahimahumullah-. Beliau banyak memiliki karya tulis dalam bidang akidah, dan juga bantahan-bantahan terhadap berbagai ideologi sesat. Beliau wafat pada tahun 1416H. [Lihat: Ulama’ Najd khilal Tsamaniyah Qurun : (2/203-208)].
([24]) Ar-Raudah an-Nadiyyah Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah (29)
([25]) Abu Zur’ah Ubaidullah bin Abdul Karim bin Yazid bin Fakhru Ar-Razi, maula kaum Quraisy. Beliau adalah seorang imam, hafiz, dan yang terbaik di zamannya, baik dari segi hafalan, kecerdasan, kebaikan agama, keikhlasan, wawasan, dan pengaplikasian ilmu.
Abu Hatim rahimahullah mengatakan:
مَا خَلَفَ أَبُوْ زُرْعَةَ بَعْدَهُ مِثْلهُ
“Tidak seorang pun sepeninggal Abu Zur’ah yang setara dengannya” [Lihat: Tadzkirah al-Huffazh (2/577)].
([26]) Abdullah bin Al-Mubarak bin Wadih Al-Marwazi, maula Bani Hanzhalah. Seorang imam, hafiz, dan Syaikhul Islam. Beliau memiliki banyak karya tulis yang kaya faedah.
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah mengatakan, “4 imam besar Islam: Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Hammad bin Zaid, dan Abdullah bin Al-Mubarak”
Beliau wafat pada tahun 81/82H.[Lihat: Wafayat al-A’yan (3/32) dan Tadzkirah al-Huffazh (1/274)].
([27]) Waki’ bin Al-Jarrah bin Malih Ar-Ru’asi Al-Kufi. Seorang imam, hafiz, tsabt, tokoh ahli hadis di Irak, dan salah satu imam besar umat Islam.
Ahmad bin Hanbal –rahimahullah- mengatakan, “Aku tidak pernah menemukan sosok yang serupa dengan Waki’. Ia banyak menghafal hadis, mengulang hafalannya sembari menyebutkan fikihnya dengan baik, tambah lagi sifat wara’ dan kesungguhan yang tinggi, serta tidak pernah membicarakan siapa pun”
Beliau wafat pada tahun 197H. [Lihat: Tadzkirah al-Huffazh (1/306)]
([28]) Al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah (1/178 dan 1/196-197).
([29]) Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad bin Ibrahim, Abu Ya’qub Al-Hanzhali, salah seorang imam besar umat Islam. Beliau melakukan perjalanan menuntut ilmu ke Irak, Hijaz, Yaman, Syam, kemudian kembali dan menetap di Naisabur.
Muhammad bin Aslam At-Thusi –rahimahullah- mengatakan ketika Ishaq bin Rahawaih wafat, “Aku tidak pernah menyaksikan sosok yang lebih besar rasa takutnya kepada Allah ﷻ daripada Ishaq. Ia adalah manusia yang paling alim. Sungguh jika ia hidup di zaman Sufyan Ats-Tsauri, pasti Ishaq akan dibutuhkan olehnya”
Beliau wafat pada tahun 238H. [Lihat: Shafwah ash-Shafwah (2/766-768)]
([30]) Syarh Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah (2/588).
([31]) Abdullah bin Az-Zubair bin Isa Al-Qurasyi Al-Asadi Al-Makki, Abu Bakr Al-Humaidi. Penulis Al-Musnad dan salah satu murid Imam Asy-Syafi’i.
Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah- mengatakan, “Al-Humaidi menurut kami adalah seorang imam besar”
Beliau wafat pada tahun 219H. [Lihat: Al-Bidayah wa an-Nihayah (14/238) dan Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra (2/140)].
([32]) Dzamm at-Ta’wil (1/24) .
([33]) Majmu’ al-Fatawa (5/110).
([34]) Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan, “Oleh karena itu para Salaf ketika melihat seseorang yang berlebihan dalam mencela Musyabbihah, mereka langsung mengetahui bahwa ia adalah seorang Jahmi nan Mu’atthil. Hal itu didasari pengetahuan mereka bahwa Jahmiyah telah memvonis dengan julukan tersebut (Musyabbihah) setiap orang yang beriman dengan nama-nama Allah ﷻ dan sifat-sifat-Nya.
Siapa pun yang meniadakan uluw-nya (tingginya) Allah ﷻ di atas Arasy-Nya, pastilah akan menamai orang yang mengakuinya sebagai Musyabbih.
Siapa pun yang meniadakan sifat-sifat khabariyyah dan ainiyyah Allah ﷻ, pastilah ia akan memvonis mereka yang meyakininya sebagai Musyabbihah.
Dan sudah dimaklumi bahwa Ar-Razi –salah satu penggawa Asya’irah- dan yang sepaham dengannya, telah divonis oleh Muktazilah dan yang sepaham dengan mereka sebagai Musyabbihah.” [Lihat: Bayan Talbis al-Jahmiyah (1/379)]
Dan kitab-kitab rujukan Muktazilah adalah saksi akan hal ini, dimana ia sarat akan penjulukan Asya’irah dengan Musyabbihah.
([35]) Syaikhul Islam rahimahullah menyebutkan bahwa Jahmiyah memiliki 3 tingkatan, yaitu:
Pertama : Kelompok ekstremis yang meniadakan seluruh nama-nama Allah ﷻ dan sifat-sifat-Nya. Sekalipun terkadang mereka menyebut Allah ﷻ dengan salah satu al-Asma’ al-Husna, mereka berdalih bawah itu hanyalah majas/kiasan belaka.
Kedua : Jahmiyah dari kalangan Muktazilah. Mereka mengakui nama-nama Allah ﷻ secara umum, namun mengingkari sifat-sifat-Nya c. Dan mereka ini adalah yang paling populer dari kalangan Jahmiyah.
Ketiga : Kelompok Shifatiyyah yang menetapkan nama-nama Allah ﷻ dan sifat-sifat-Nya, namun mereka terpengaruhi ideologi Jahmiyah. Seperti mereka yang mengakui nama-nama Allah ﷻ dan sifat-sifat-Nya secara umum, namun mengingkari dan menakwil sebagian nama-nama Allah ﷻ dan sifat-sifat-Nya, baik sifat khabariyyah atau pun selainnya. [Lihat: At-Tis’iniyyah : (1/265-271)].
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menamai kitabnya yang membantah Ar-Razi –salah satu pentolan Asya’irah- dengan : Bayan Talbis al-Jahmiyah, yang artinya: “Menyingkap Tipu Daya Jahmiyah”.
([36]) Peringatan : Pembahasan yang lebih detail tentang sifat-sifat Allah disertai bantahan terhadap syubhat-syubhatnya telah penulis jabarkan di dua kitab penulis :
Pertama : Tesis yang berjudul أَجْوِبَةُ شَيْخِ الإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ عَنِ الشُّبُهَاتِ التَّفْصِيْلِيَّةِ لِلْمُعَطِّلَةِ فِي الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ “Jawaban Ibnu Taimiyyah tentang syubhat-syubat terperinci yang dilontarkan oleh para penolak sifat untuk menolak sifat-sifat dzatiyah” (dan ini sudah dicetak buku berbahasa arabnya dan juga terjemahannya)
Kedua: Syarah al-Aqidah al-Washithiyah (masih dalam proses penyusunan).
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/