Type Here to Get Search Results !

 


CARA BERTAUBAT DARI GHIBAH

 

Oleh Dr. Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja, Lc. M.A

Baca sebelumnya: Bahaya Menggunjing [Ghibah]

Berkata Syaikh Utsaimin : “…Yaitu engkau membicarakan dia dalam keadaan dia tidak ada, dan engkau merendahkan dia dihadapan manusia dan dia tidak ada. Untuk masalah ini para ulama berselisih. Diantara mereka ada yang berkata (bahwasanya) engkau (yang menggibah) harus datang ke dia (yang digibahi) dan berkata kepadanya :”Wahai fulan sesungguhnya aku telah membicarakan engkau dihadapan manusia, maka aku mengharapkan engkau memaafkan aku dan merelakan (perbuatan)ku”. Sebagian ulama (yang lainnya) mengatakan (bahwasanya) engkau jangan datang ke dia, tetapi ada perincian : Jika yang digibahi telah mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya, maka engkau harus datang kepadanya dan meminta agar dia merelakan perbuatanmu. Namun jika dia tidak tahu, maka janganlah engkau mendatanginya (tetapi hendaknya) engkau memohon ampun untuknya dan engkau membicarakan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat engkau mengghibahinya. Karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan bisa menghilangkan kejelekan-kejelekan. Dan pendapat ini lebih benar, yaitu bahwasanya ghibah itu, jika yang dighibahi tidak mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya maka cukuplah engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat kamu mengghibahinya dan engkau memohon ampun untuknya, engkau berkata :”Ya Allah ampunilah dia” sebagaimana yang terdapat dalam hadits:

كَفَّارَةُ مَنِ اغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُ

Kafarohnya orang yang kau ghibahi adalah engkau memohon ampunan untuknya[58]

Berkata Ibnu Katsir :”…Berkata para ulama yang lain :”Tidaklah disyaratkan dia (yang mengghibah) meminta penghalalan (perelaan dosa ghibahnya-pent) dari orang yang dia ghibahi. Karena jika dia memberitahu orang yang dia ghibahi tersebut bahwa dia telah mengghibahinya, maka terkadang malah orang yang dighibahi tersebut lebih tersakiti dibandingkan jika dia belum tahu, maka jalan keluarnya yaitu dia (si pengghibah) hendaknya memuji orang itu dengan kebaikan-kebaikan yang dimiliki orang itu di tempat-tempat dimana dia telah mencela orang itu…”[59]

Berkata Ibnul Qoyyim, “Yang benar yaitu tidak perlu untuk memberitahu kepada yang dighibahi, akan tetapi cukup dengan beristighfar (bagi yang dighibahi) dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat yang dulu ia menghibahinya. Dan ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[60] dan yang lainnya[61]. Mereka yang berpendapat harus mengabarkan orang yang dighibahi (bahwa ia telah menggibahnya) menjadikan ghibah seperti hak-hak yang berkaitan dengan harta, padahal perbedaan antara keduanya jelas. Hak-hak yang berkaitan dengan harta, orang yang dizholimi akan mendapatkan manfaat dengan kembalinya haknya kepadanya, jika dia ingin maka bisa ia ambil atau ia sedekahkan. Adapun ghibah maka hal ini tidaklah mungkin, dan hal ini terwujudkan dengan mengabarkan kepada yang dighibahi kecuali akibatnya bertolak belakang dengan tujuan Syari’at. Karena pengabaran ini akan memanaskan hatinya dan menyakitinya jika ia mendangar tuduhan-tuduhan yang terlontarakan kepadanya. Bahkan bisa jadi akan mengobarkan permusuhan dan tidak akan hilang selama-lamanya. Maka keadaan yang seperti ini tidak akan diperbolehkan oleh syari’at yang bijaksana dan tidak akan dibenarkan, apalagi sampai diperintahkan dan diwajibkan. Dan tujuan syari’at berputar sekitar  peniadaan mafsadah-masadah dan meminimalisirnya, bukan untuk menimbulkan mafsadah dan menyempurnakannya”[62]

Berkata Al-Hasan Al-Bashri, كَفَّارَةُ   الْغِيْبَةِ   أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِمَنِ اغْتَبْتَهُ “Penebus dosa ghibah adalah engkau meminta ampunan bagi orang yang engkau ghibahi”[63]

Cara menghindarkan diri dari ghibah

Untuk menghindari ghibah kita harus sadar bahwa segala apa yang kita ucapkan semuanya akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ta’ala. 

Allah ta’ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.(Q 18)

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً

Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban) (Al-Isro’ 36)

Hendaknya sebelum berucap kita renungkan dahulu akibat yang timbul dari ucapan-ucapan kita. Ibnul Qoyyim berkata, “Adapun menjaga ucapan-ucapan maka caranya adalah janganlah seseorang sampai mengeluarkan sebuah lafalpun dengan sia-sia. Bahkan janganlah ia berbicara kecuali tentang sesuatu yang mendatangkan keuntungan atau tambahan bagi agamanya. Jika ia hendak mengucapkan suatu perkataan maka hendaknya ia renungkan terlebih dahulu, apakah perkataan tersebut mendatangkan keuntungan dan berfaedah atau tidak?. Jika tidak ada untungnya maka hendaknya ia menahan lisannya dan tidak mengucapkannya. Kemudian jika pada perkataan tersebut ada keuntungannya maka ia renungkan lagi apakah ia bisa mengungkapkannya dengan perkataan lain yang lebih baik dan berfaedah daripada perkataan yang pertama?, jika ada maka janganlah sia-siakan perkataan tersebut dan lantas mengucapkan perkataan pertama (yang kurang faedahnya)..”[64].

Dan jika kita tidak menjaga lisan kita -sehingga kita bisa berbicara seenak kita tanpa kita timbang-timbang dahulu yang akhirnya mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah atau yang lainnya- maka hal ini akibatnya sangat fatal. Sebab lisan termasuk sebab yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟

Bukankah tidak ada yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka melainkan akibat lisan-lisan mereka ?

Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ

Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.[65]

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ  رضي الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ : إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً يَهْوِيْ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ

Dari Abu Huroiroh radliyallahu ‘anhu bahwasanya beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Sungguh seorang hamba benar-benar akan mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah yang dia tidak menganggap kalimat itu, akibatnya dia terjerumus dalam neraka jahannam gara-gara kalimat itu”. (Bukhori)

Sehingga karena saking sulitnya menjaga lisan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ  رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله ِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Dari Sahl bin Sa’d radliyallahu ‘anhu dia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Barangsiapa yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang ada diantara dagunya (yaitu lisannya) dan apa yang ada diantara kedua kakinya (yaitu kemaluannya) maka aku jamin baginya surga”. (Bukhori dan Muslim)

Berkata Imam Nawawi : “Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang buruk, dan ghibah merupakan keburukan yang paling tersebar pada manusia sehingga tidak ada yang selamat dari ghibah ini kecuali hanya segelintir manusia” [66]

Berkata Imam Syafi’i:

اِحْفَظْ لِسَانَكَ أَيُّهَا الإِنْسَـانُ      لاَ يَـلْدَغَنَّكَ فَإِنـَّهُ ثُعْـبَانٌ

كَمْ فِيْ الْمَقَايِرِ مِنْ قَتِيْلِ لِسَانِهِ      كَانَتْ تَهَابُ لِقَائَهُ الشُّجْعَانُ

Jagalah lisanmu wahai manusia

Janganlah lisanmu sampai menyengat engkau, sesungguhnya dia seperti ular

Betapa banyak penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya

Padahal dulu orang-orang yang pemberani takut bertemu dengannya

Sebagian orang tidak bisa mengendalikan lisannya, tidak peduli dengan apa yang diucapkannya, tidak peduli siapapun yang sedang ia bicarakan, yang sedang ia rendahkan, yang ia jatuhkan harga dirinya, tidak peduli siapa yang sedang ia ghibahi.

Apalagi ghibah yang ia lakukan berkaitan dengan agama seseorang

Berkata Al-Qurthubhi, “..Para ulama sejak masa awal dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in setelah mereka, tidak ada ghibah yang lebih parah menurut mereka dari ghibah yang berkaitan dengan agama (seseorang), karena aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib yang terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada jika disinggung (cacat) tubuhnya”[67]

Bahkan para ulamapun tidak selamat dari lisannya. Tidak hanya ulama di masanya yang tidak selamat dari lisannya bahkan ulama masa lalupun tidak selamat dari lisannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِي جَهَنَّمَ

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang menjadikan Allah murka dan ia tidak perduli dengan perkataan tersebut maka iapun terjerumus dalam neraka Jahannam”[68]

Dia tidak tahu bahwasanya bisa jadi orang yang ia ghibahi atau yang ia rendahkan  dan ia lecehkan kedudukannya disisi Allah sangatlah agung. Ia tidak menyangka bahwa ucapannya tersebut yang terasa sangatlah ringan di lisannya ternyata sangatlah berat di sisi Allah.

وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ (النور : 15 )

Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (QS. 24:15)

Ia tidak tahu bahwa satu kalimat yang ia keluarkan untuk menggibahi orang tersebut atau merendahkan kedudukannya dan harga dirinya bisa menghancurkan kabaikan-kebaikannya yang banyak yang seukuran gunung yang telah ia kumpulkan bertahun-tahun dengan penuh perjuangan dan keletihan…

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكاَةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Tahukah kalian apa yang disebut dengan orang yang bangkrut?”, mereka (para sahabat) berkata, “Orang bangkrut yang ada diantara kami adalah orang yang tidak ada dirhamnya dan tidak memiliki barang”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan sholat, puasa, dan zakat. Dia datang dan telah mencela si fulan, telah menuduh si fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan memukul si fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si fulan dan si fulan. Jika kebaikan-kebaikan telah habis sebelum cukup untuk menebus kesalahan-kesalahannya maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah ia dzolimi) kemudian dipikulkan kepadanya lalu iapun dilemparkan ke neraka”[69]

Dikatakan kepada Al-Hasan Al-Bashri bahwasanya si fulan telah mengghibahmu. Maka beliaupun mengirim sepiring makanan yang manis kepada orang yang telah mengghibahnya tersebut lalu berkata kepadanya, “Telah sampai kabar kepadaku bahwasanya engkau telah menghadiahkan (pahala) kebaikan-kebaikanmu kepadaku maka aku ingin membalas kebaikanmu tersebut”[70]

Berkata seorang penyair:

يُشَارِكُ لَكَ الْمُغْتَابُ فِي حَسَنَاتِهِ      وَيُعْطِيْكَ أَجْرَ صَوْمِهِ وَصَلاَتِهِ

فَكَافِهِ بِالْحُسْنَى وَقُلْ رَبِّ جَازِهِ             بِخَبْرٍ وَكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ

فَيَا أَيُّهَا الْمُغْتَابُ زِدْنِي فَإِنْ بَقِيَ        ثَوَابُ صَلاَةٍ أَوْ زَكاَةٍ فَهَاتِهِ

Orang yang mengghibahmu bersamamu bersyerikat dalam memiliki kebaikan-kebaikannya

Dan ia menghadiahkan kepadamu pahala puasa dan sholatnya

Maka hendaklah engkau membalasnya dengan kebaikan dan katakanlah, “Wahai Tuhanku balaslah dia dengan kebaikan dan hapuslah dosa-dosanya”

Wahai orang yang menggibahku tambahlah hadiahmu kepadaku…

Jika masih tersisa pahala solatmu dan zakatmu maka berikanlah kepadaku.

Orang yang menyadari akan berharganya sebuah kebaikan di akhirat kelak tatkala amalannya ditimbang dihadapan Allah Yang Maha Adil maka ia tidak akan rela satu kebaikannyapun diambil oleh orang lain pada hari kiamat kelak, apalagi banyak kebaikan-kebaikannya yang diambil !!. Oleh karena itu ia tidak akan rela mengghibah saudaranya yang mengakibatkan kebaikan-kebaikannya diambil oleh saudaranya yang ia ghibahi tersebut pada hari kiamat.

Dari Al-Hasan Al-Bashri bahwasanya ada seseorang yang berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau telah mengghibahku!”. Maka beliau berkata, ماَ بَلَغَ قَدْرُك عِنْدِي أَنْ أُحَكِّمَكَ فِي حَسَنَاتِي “Kedudukanmu tidaklah cukup di sisiku sehingga aku membiarkan engkau berhukum (seenaknya) pada (pahala) kebaikan-kebaikanku”[71]

Berkata Imam An-Nawawi, “Kami telah meriwayatkan dari Ibnul Mubarok bahwasanya ia berkata, لَوْ كُنْتُ مُغْتَاباً أَحَداً لاَغْتَبْتُ وَالِدَيَّ لأَنَّهُمَا أَحَقُّ بِحَسَنَاتَي “Kalau seandainya aku mengghibahi seseorang maka aku akan menggibahi kedua orangtuaku karena mereka berdualah yang lebih berhak (untuk memeperoleh) kebaikan-kebaikanku”[72]

Kalau maksiat yang ia lakukan berkaitan antara ia dan Allah maka Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah, mudah bagi Allah untuk mengampuninya jika Ia menghendaki. Namun jika kedzoliman berkaitan dengan hak manusia….ketahuilah bahwa semuanya membutuhkan hasanaat (kebaikan) pada hari kiamat…, semuanya butuh untuk menyelamatkan dirinya dari api neraka…

Berkata Ibnu Taimiyah, “Adapun hak orang yang terdzolimi maka tidaklah gugur hanya dengan sekedar bertaubat…barangsiapa yang bertaubat dari kedzoliman maka tidaklah gugur hak orang yang terdzolimi dengan taubatnya tersebut, akan tetapi merupakan kesempurnaan taubatnya hendaknya ia mengganti hak tersebut dengan yang seperti kedzoliman yang dilakukannya. Jika ia tidak mengganti hak tersebut di dunia maka ia pasti akan menggantinya di akhirat. Maka wajib bagi orang yang berbuat dzolim yang telah bertaubat untuk memperbanyak perbuatan-perbuatan baik hingga jika orang-orang yang didzoliminya telah mengambil kebaikan-kebaikannya (kelak diakhirat sebagai penebus hak-hak mereka) maka ia tidak jadi orang yang bangkrut (yaitu masih tersisa kebaikan-kebaikannya). Meskipun demikian jika Allah menghendaki untuk menebus hak orang yang terdzolimi dari sisiNya maka tidak ada yang menolak karuniaNya, sebagaimana jika Allah menghendaki untuk mengampuni dosa-dosa yang dibawah kesyirikan bagi siapa yang ia kehendaki…

Dan ghibah merupakan kedzoliman yang berkaitan dengan kehormatan. Allah berfirman

} أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ{

Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih. (Al Hujurat 12)

Allah telah memperingatkan kaum mukminin untuk bertaubat dari ghibah dan ia merupakan kedzoliman…”[73]

Tidakkah ia tahu bahwasanya ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah,  Hakim yang Maha Adil, yang tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagiNya?, tidakkah ia tahu bahwasanya bahwa orang yang ia ghibahi dan ia lecehkan tersebut akan menuntut haknya di hadapan Allah para hari kiamat kelak…??

Bagaimana lagi jika ia telah mengghibah orang banyak…??

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتُؤَدُنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادُ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقُرَنَاءِ

“Kalian akan menunaikan hak-hak kepada para pemiliknya pada hari kiamat, hingga kambing yang bertanduk diqishos untuk kambing yang tidak bertanduk”[74]

Tidakkah ia tahu bahwa…

إِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya kedzoliman adalah kegelapan-kegelapan pada hari kiamat”[75]

Oleh karena itu karena besarnya bahaya menjatuhkan harga diri seorang muslim tanpa hak maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدَرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِّلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang melakukan kedzoliman kepada seseorang baik berkaitan dengan harga dirinya atau yang lainnya maka hendaknya ia memintanya untuk menghalalkannya pada hari ini sebelum datang hari yang tidak ada dinar dan tidak juga dirham. Jika ia memiliki amalan sholeh maka akan diambil darinya sesuai dengan ukuran kedzolimannya. Dan jika ia tidak memiliki kebaikan maka akan diambil kejelekan-kejelekan orang tersebut dan dipikulkan kepadanya”[76]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan harga diri pada hadits ini menunjukan bahwa perkara melecehkan harga diri orang lain tanpa alasan yang dibenarkan merupakan perbuatan yang berbahaya.

Berkata Sufyan bin Husain, “Aku menyebutkan kejelekan seseorang dihadapan Iyas bin Mu’awiyah, maka iapun memandang ke wajahku dan berkata, “Apakah engkau telah berjihad melawan negeri Romawi?”, aku berkata, “Tidak”, beliau berkata, “Engkau telah berjihad melawan Sind, India, dan Turki?”, aku berkata, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah (orang-orang kafir) dari Romawi, Sind, India, dan Turki selamat dari (kejahatanmu) dan saudaramu sesama muslim tidak selamat dari kejahatan (lisan)mu?”. Berkata Sufyan, “Maka aku tidak pernah menggibah lagi setelah itu”.[77]

Renugkanlah perkataan Ibnul Haaj Al-Faasi Al-Maliki berikut ini, “Ketahuilah bahwasanya penyebab timbulnya ghibah adalah karena tazkiyatun nafs (merasa diri sudah suci) dan ridho dengan diri. Karena engkau hanyalah merendahkan orang lain (saudara) karena ada keutamaan yang kau dapati pada dirimu (dan tidak terdapat pada saudaramu itu). Engkau hanya menggibahnya dengan menyebutkan perkara-perkara kejelekan yang engkau berlepas diri dari perkara-perkara tersebut, dan engkau tidak akan menggibahnya dengan menyebutkan aibnya kecuali aib-aib yang terdapat pada dirimu lebih banyak. Dan ghibahmu itu tidaklah diterima (didengar dan disetujui) kecuali oleh orang-orang yang juga semisalmu. Jika seandainya engkau memikirkan bahwasanya kekurangan yang terdapat pada dirimu lebih banyak maka engkau akan meninggalkan mengghibahnya dan engkau akan merasa malu kalau sampai mengghibahnya karena aib yang terdapat pada dirimu lebih banyak daripada aib yang engkau sebutkan pada saudaramu itu. Kalau engkau mengetahui bahwasanya dosa yang kau lakukan merupakan dosa yang besar karena telah mengghibahnya dan engkau menyangka bahwa engkau bebas dari aib-aib maka niscaya engkau tidak akan mengghibahnya dan engkau akan sibuk memikirkan aib-aibmu sendiri dan tidak sibuk mengurusi aib-aibnya…maka berhati-hatilah wahai saudaraku dari penyakit ghibah sebagaimana engkau berhati-hati dari malapetaka ang sangat besar yang akan menimpamu. Karena sesungguhnya ghibah jika datang menimpa seseorang dan mengakar di hati serta pemiliknya mengizinkan dirinya untuk membiarkan ghibah menempati hatinya maka ghibah tidaklah akan ridho (rela) untuk tinggal sendirian di hatinya hingga sang hati memperluas tempat tinggal untuk saudara-saudara ghibah yaitu namimah, al-baghyu, berprasangka buruk, dusta, dan kesombongan. Orang yang cerdas tidak akan membiarkan hal ini menimpa dirinya, orang yang bijak tidak akan ridho dengan hal seperti ini. Seorang wali Allah tidak akan membiarkan penyakit ghibah bercokol di hatinya…”[78]

Ghibah yang dibolehkan

Berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Ketahuilah bahwasanya ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar yang syar’i yang tidak mungkin bisa dicapai tujuan tersebut kecuali dengan ghibah itu” [79]

Dan hal-hal yang dibolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu syair:

الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ         مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذَِّرٍ

وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ         وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok

Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan

Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa

Dan orang yang mencari bantuan untuk mengilangkan kemungkaran

  • Pertama: Pengaduan, maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan yang selainnya yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata : “Si fulan telah menganiaya saya demikian-demikian”. Dalilnya firman Allah:

لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ

Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiyaya. (An-Nisa’ 148).

Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukan bahwa bolehnya orang yang didzholimi mengghibahi orang yang mendzoliminya dengan hal-hal yang menjelaskan kepada manusia tentang kedzoliman yang telah dialaminya dari orang yang mendzoliminya, dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak mengharapkan bantuan mereka.[80]

  • Kedua: Minta bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran. Maka dia (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran : “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian maka hal ini adalah harom.
  • Ketiga: Meminta fatwa : Misalnya dia berkata kepada seorang mufti : “Bapakku telah berbuat dzolim padaku, atau saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah mendzolimiku, apakah dia mendapatkan hukuman ini?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman?”, dan yang semisalnya. Tetapi yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata (kepada si mufti): “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah melakukan demikian ..?”. Maka dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentupun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَتْ هِنْدُ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ لِلنَّبِيِّ r: إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ, قَالَ : خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ بِالْمَعْرُوْفِ

Dari ‘Aisyah berkata :Hindun istri Abu Sofyan berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:”Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak mempunyai cukup belanja untukku dan unutuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil diluar pengetahuannya”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)”. [81]
  • Keempat: Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan. Hal ini diantaranya:
Apa yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits dengan jarh wa ta’dil. Mereka berdalil dengan ijma’ akan bolehnya bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh orang-orang yang berhak mendapatkannya dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at.[82] Seperti perkataan ahlul hadits :”Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hadits”, dan lain-lainnya.

Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nashihat. Dan tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah binti Qois.

عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ r فَقُلْتُ : إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله r: أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ.(وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ)

Fatimah binti Qois berkata : Saya datang kepada Nabi r dan berkata :Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya. Maka Nabi r berkata : “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya”. (Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480) :”Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)”[83]

Dan jika nasehat hukumnya wajib untuk memperoleh kemaslahatan yang sifatnya khusus bagi orang-orang tertentu (sebagaimana pada hadits-hadits di atas) maka bagaimanakah dengan nasehat yang berkaitan dengan banyak orang?, tidak diragukan lagi maka hukumnya lebih wajib lagi. Contohnya seperti menjelaskan kesalahan-kesalahan para perawi hadits. Berkata Yahya bin Sa’id, “Aku bertanya kepada Malik, Ats-Tsauri, dan Al-Laits bin Sa’ad –dan aku rasa- juga Al-Auza’i tentang seseorang yang tertuduh berdusta dalam hadits atau seorang perawi yang tidak hafal?”, mereka berkata, بَيِّنْ أَمْرَهُ “Jelaskanlah perkaranya”. Ada orang berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Aku merasa berat untuk berkata si fulan demikian, si fulan demikian…”. Maka Imam Ahmad berkata,  إِذَا سَكَتَّ أَنْتَ وَسَكَتُّ أَنَا فَمَتَى يَعْرِفُ الْجَاهِلُ الصَّحِيْحَ مِنَ السَّقِيْمِ “Jika engkau diam (tidak menjelaskan) dan aku juga diam (tidak menjelaskan) maka kapankah orang jahil membedakan antara yang benar dari yang salah?!”.

Contohnya juga (yang berkaitan dengan kemaslahatan orang umum) adalah menjelaskan kesalahan-kesalahan pemuka-pemuka bid’ah, para pencetus pemikiran-pemikiran dan model-model ibadah baru yang bertentangan dengan Al-Kitab dan Al-Hadits maka menjelaskan kesalahan mereka dan memperingatkan umat dari bahaya mereka hukumnya adalah wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.[84]

Berkata Ibnul Qoyyim, “Perbedaan antara nasehat dan gibah adalah tujuan dari nasehat adalah untuk memperingatkan seorang muslim dari (bahaya) seorang mubtadi’,….maka engkau menjelaskan kondisi mubtadi’ tersebut (kepadanya) jika ia meminta pendapatmu karena ingin bersahabat dengan mubtadi’ tersebut atau ingin bermu’amalah dengannya atau ingin berhubungan dengannya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Fathimah binti Qois….

Jika ghibah disampaikan dalam bentuk nasehat untuk Allah, RasulNya, dan hamba-hambaNya kaum muslimin maka jadilah ghibah tersebut merupakan qurbah (ibadah) kepada Allah yang merupakan sebuah kebaikan. Dan jika ghibah disampaikan dalam bentuk celaan terhadap saudaramu dan untuk mengoyak kehormatannya dan bersenang-senang memakan daging (tubuhnya) serta untuk merendahkan dirinya agar kedudukannya jatuh di hati orang-orang maka ini merupakan penyakit yang bahaya dan api yang membakar kebaikan-kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar”[85]

  • Kelima: Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan meminum khomer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Dalilnya:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ

‘Aisyah berkata : Seseorang datang minta idzin kepada Nabi r, maka Nabi r bersabda :”Izinkankanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya”. [86]

Namun diharomkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.[87]
  • Keenam: Untuk pengenalan. Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’aroj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.
Perhatian

Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :

1.      Bolehnya ghibah untuk hal-hal di atas adalah sifat yang menyusul (bukan hukum asal), maka jika telah hilang ‘illahnya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah -pent), maka dikembalikan hukumnya kepada hukum asal yaitu haromnya ghibah.

2.      Dibolehkannya ghibah ini adalah karena darurat. Oleh karena itu ghibah tersebut diukur sesuai dengan ukurannya (seperlunya saja –pen). Maka tidak boleh berluas-luas terhadap bentuk-bentuk di atas (yang dibolehkan ghibah). Bahkan hendaknya orang yang terkena darurat ini (sehingga dia dibolehkan ghibah –pent) untuk bertaqwa kepada Allah dan janganlah dia menjadi termasuk orang-orang yang melampaui batas. [88]


Maroji’:

1. Kitab As-Somt, karya Ibnu Abi Dunya tahqiq Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy
2. Syarah Riadlus Solihin, karya Syaikh Utsaimin, jilid 1, Bab Taubat
3. Taisir Karimir Rohman, karya Syaikh Nasir As-Sa’di
4. Bahjatun Nadzirin syarah riadlus sholihin, Karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly, jilid 3
5. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, tafsir surat Al-Hujurot
6. Al-Muntaqo Al-Mukhtar min kitab Al-Adzkar (Nawawi), karya Muhammad Ali As-Shobuni, bab tahrimul ghibah
7. Tuhfatul Ahwadzi
8. Kitabuz Zuhud, karya Imam Waki’ bin Jarroh, tahqiq Abdul Jabbar Al-Fariwai, jilid 3
9. Majmu’ Fatawa, karya Ibnu Taimiyah
10. Fat-hul Bari, karya Ibnu Hajar, tahqiq Muhibbuddin Khathib, Darul Ma’rifah
11. Nailul Author, karya As-Syaukani, Darul Jil Beiruth
12. Subulus Salam, karya As-Shon’ani, tahqiq Muhammad bin Yusuf Al-Khowali, cetakan ke empat Dar Ihyaa At-Turots Al-‘Aroni.
13. Taudlihul Ahkam, karya Syaikh Ali Bassam, jilid 6
14. Hajrul Mubtadi’, karya Syaikh Bakr Abu Zaid
15.  Ar-Ruuh, Ibnul Qoyyim, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah
16.  Wafayaatul A’yaan wa  Anbaa’ Abanaaiz zamaan, karya Ibnu Khallikaan, tahqiq Ihsan Abbas, Daruts Tsaqoofah Lubnan
17.  Al-Bidayah wan Nihayah, karya Ibnu Katsir, Maktabah Ma’arif Beiruut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah- Beiruut
18.  Al-Jawab Al-Kaafi, Ibnul Qoyyim
19.  Az-Zuhud, Hannad bin As-Sari Abus Sari, tahqiq Abdurrahman Abdul Jabbar Al-Firyawaa’i, cetakan peratama Darul Khulafaa’ lilkitaab al-Islaami
20.  Ihyaa’ Ulumiddiin, Abu Hamid Al-Ghozaali, Darul Ma’rifah
21.  As-Sailul Al-Jarror, Asy-Syaukaani tahqiq Mahmud bin Ibrohim Zayid, cetakan pertama Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah
22.  Al-Madkhol, Ibnul Haaj Al-Faasi Al-Maliki, Darul Fikr
23.  Al-Furuq, Al-Qorofi, tahqiq Kholil Al-Manshur, cetakan pertama Darul Kutub Al-‘Ilmiyah.
____

Catatan Kaki:

[1] Hadits Shahih dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (As-Shahihah no 534)

[2] Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Isnadnya hasan”

[3] Sebagaimana yang bisa kita saksikan bersama, jika ada sebuah majelis yang dibumbui dengan ghibah maka majelis tersebut terasa semarak dan asyik didengarkan oleh para hadirin, Wal’iyadzu billah

[4] Sebagaimana akan datang definisinya

[5] Sebagaimana dinukil oleh Al-Mubarokfuuri dalam Tuhfatul Ahwadzi VI/54

[6] Al-Jawaabul Kaafii hal 111

[7] Ihyaa Ulumiddiin III/143

[8] Taisir karimir Rohman tafsir surat Al-Hujurot :12

[9] Riwayat Bukhori dalam Al-adab Al-Mufrod no 736, lihat Kitab As-Somt no 177, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini: “Isnadnya shohih”, sedangkan tambahan yang ada dalam dua tanda kurung terdapat dalam kitab Az-Zuhud hal 748

[10] Bahjatun Nadzirin 3/6

[11] Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999 dan lain-lain

[12] Lihat Kitab As-Somt no 211, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini : “Rijalnya tsiqoh”

[13] Berkata Al-Qorofi, “lafal مَا (pada hadits ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ) termasuk bentuk yang memberikan faedah keumuman  maka mencakup seluruh yang dibenci oleh saudaramu” (Al-Furuuq IV/359)

[14] (Bahjatun Nadzirin 3/6)

[15] (Riwayat Abu Dawud no 4875 dan Ahmad (6/189,206), berkata Syaikh Abu Ishaq : “Isnadnya shohih”)

[16] yaitu merubah rasanya atau baunya karena saking busuk dan kotornya perkataan itu –pent, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Bahjatun Nadzirin 3/25, dan hadits ini shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189

[17]  Kitab As-Somt no 213,753, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwwaini: “Rijalnya tsiqoh”

[18] Diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/567 pada bab “Al-Ghibah” no 1186

[19] Tafsir Al-Qurthubhi XVI/337

[20] Kitabuz Zuhud jilid 3 hal 748

[21] maksudnya walaupun saya mendapatkan keduniaan yang banyak. (Hadits Shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)

[22] Bahjatun Nadzirin 3/26

[23]  (Bahjatun Nadzirin 3/27)

[24] Maksudnya yaitu seseorang tidak bisa menyatakan bahwa harta yang berada pada orang lain adalah miliknya kecuali jika mendatangkan persaksian orang-orang yang adil.

[25] Ihyaa’ Ulumiddiin III/150-151

[26] Ini di zaman Ibnu Taimiyah, bagaimana lagi jika Ibnu Taimiyah hidup di zaman kita dan melihat apa yang kita lakukan??? Allahul musta’aan

[27] Majmu’ fatawa XXVIII/236-238

[28] (Subulus salam 4/299 dan Taudhilhul Ahkam 6/328).

[29] (Subulus salam 4/299)

[30] (Bahjatun Nadzirin 3/47)

[31] Lihat penjelasan Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj XV/222, tatkala beliau menyarah hadits Ummu Zar’

[32] Sebagaimana diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/567 no 1187

[33] Ihyaa’ Ulumiddiin III/146-148

[34] HR Muslim IV/1986 no 2564

[35] HR Al-Bukhari II/619 no

[36] Tuhfatul Ahwadzi VI/313

[37] Al-Minhaj (Syarh An-Nawawi) XI/169

[38] Faidhul Qodiir I/523

[39] As-Sail Al-Jarror IV/595

[40] Subulus Salam IV/194

[41] (Subulus Salam 4/193)

[42] (Taisir karimir Rohman, tafsir surat Al-Hujurot 12)

[43] Demikian juga diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud pada bab “Ghibah”. (Az-Zuhud II/563)

[44] HR Abu Dawud IV/269 no 4876. Berkata Ibnu Hajar, “Dan hadits Sa’id bin Zaid…dikeluarkan oleh Abu Dawud dan ia memiliki syahid sebagaimana dikeluarkan oleh Al-Bazzar dan Ibnu Abid Dunya dari hadits Abu Hurairah, dan dikeluarkan oleh Abu Ya’la dari hadits Aisyah” (Al-Fath X/470). Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 3950

[45] ‘Aunul Ma’bud XIII/152

[46] An-Nihayah fi Goribil Hadits III/145

[47] Maksudnya jika orang muslim tersebut mencelanya maka hendaknya ia membalas dengan semisalnya tanpa menambah lebih dari itu, karena itu berarti ia seperti telah melakukan riba karena mengmbil lebih banyak daripada yang diterimanya.

[48] Yaitu syari’at memberi beberapa rukhsoh (keringanan) untuk melakukan ghibah atau untuk mencela harga diri seseorang, namun ini adalah merupakan keringanan yang keluar dari hukum asal. Maka tidaklah boleh bagi seseorang mengambil lebih dari batasan keringanan yang diizinkan oleh Syari’at.

[49] Sebagaimana dinukil oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qodiir II/531

[50] Ibnu Hajar melanjutkan perkataannya:

“…yaitu yang dikeluarkan oleh beliau (Imam Al-Bukhari) di kitab Al-Adab Al-Mufrod dari hadits Jabir y, beliau berkata, “Kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau melewati dua buah kuburan…lalu ia menyebutkan seperti hadits Ibnu Abbas y…lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun salah satu dari keduanya mengghibahi orang-orang…”. Imam Ahmad dan Ath-Thobroni mengeluarkan dengan isnad yang shahih dari Abi Bakroh, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua buah kubur lalu berkata, “Sesungguhnya mereka berdua sedang disiksa, dan tidaklah mereka berdua diazab karena perkara yang besar”, lalu beliau menangis…dan dalam hadits tersebut beliau berkata, وما يعذبان إلا في الغيبة والبول  “Dan tidaklah mereka berdua disiksa kecuali karena ghibah dan kencing”. Ahmad dan At-Thobroni juga mengeluarkan hadits dari Ya’la bin Syababah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah kuburan yang penghuninya sedang disiksa lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, إن هذا كان يأكل لحوم الناس “Sesungguhnya ini dahulunya memakan daging manusia …dan para perawinya tepercaya. Dan Abu Dawud At-Thoyalisi mengeluarkan semisalnya dari Ibnu Abbas t dengan sanad yang jayyid (baik), dan juga dikeluarkan oleh At-Thobroni dan ada syahidnya dari Abu Umamah sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Ja’far At-Thobari di tafsirnya. Dan memakan daging manusia cocok untuk namimah dan ghibah. Dan yang dzohir adalah kisahnya terjadi satu kali dan ada kemungkinan kisahnya terjadi beruang-ulang” (Fathul Bari X/470-471)

[51] Fathul Bari X/470-471

[52] Yaitu mengamalkan konsekuensi dari kedustaan tersebut (Al-Fath 4/151)

[53] Syaikh Abdullah Al-Fauzan menjelasakan,”Yaitu melakukan sesuatu yang merupakan tindakan orang-orang budoh seperti berteriak-teriak dan hal-hal yang bodoh lainnya” (Ahaditsu siyam hal 74)

[54] Diantaranya adalah Anas bin Malik sebagaimana diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/573 no 1204. Anas berkata, “Jika seseorang yang berpuasa berbuat ghibah maka ia telah berbuka”

[55] Fathul Bari X/473, meskipun Ibnu Hajar kurang setuju dengan pendalilan Ibnu At-Tin dengan hadits ini (karena hadits ini tidak menyebutkan tentang ghibah akan tetapi hanya menyebutkan perkataan dusta), namun Ibnu Hajar setuju tentang hukum yang disebutkan oleh Ibnu At-Thin bahwasanya orang yang berpuasa dan berghibah maka ia tidak mendapatkan pahala puasanya karena dosa ghibahnya tidak sebanding dengan pahala puasa yang diraihnya. (Fathul Bari X/473). Hal ini jalas menunjukan bahwa dosa ghibah sangatlah besar hingga memakan pahala puasa yang sangat besar !!!

[56] Diriwayatkan oleh Hannad dalam kitabnya Az-Zuhud II/573 no 1201

[57] (Bahjatun Nadzirin 3/29,30)

[58] (Syarah Riyadlus Sholihin 1/78) (Sedangkan hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab Ash-Shomt no 291, berkata Syaikh Abu Ishaq : “Maudlu”, berkata As-Subki :”Dalam sanad hadits ini ada rowi yang tidak bisa dijadikan hujjah, dan kaidah-kaidah fiqh telah menolak (isi) hadits ini karena dia adalah (menyangkut) hak seorang manusia maka tidak bisa gugur kecuali dengan berlepas diri, oleh karena itu dia (si pengghibah) harus meminta penghalalan/perelaan dari yang dighibahi. Namun jika yang dighibahi telah mati dan tidak bisa dilaksanakan (permohonan penghalalan tersebut), maka berkata sebagian ulama : “Dia (si pengghibah) memohon ampunan untuk yang dighibahi”).

[59] (Tafsir Ibnu Katsir 4/276)

[60] Lihat Majmu’ Fatawa III/291

[61] Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ini merupakan pendapat mayoritas ulama (Majmu’ fatawa XVIII/189)

[62] Wabilus Shoyyib 219, Pasal 65

[63] Majmu’ fatawa XVIII/189

[64] Al-Jawab Al-Kaafi hal 110-111

[65]  (Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Isnadnya hasan”)

[66] (Tuhfatul Ahwadzi hal 63)

[67] Tafsir Al-Qurthubhi XVI/337

[68] HR Al-Bukhari V/2377 no 6113

[69] HR Muslim IV/1997 no 2581

[70] Wafayaatul A’yaan wa anbaa’ abnaauz zamaan II/71

[71] Al-Adzkaar hal 791

[72] Al-Adzkaar hal 791

[73] Majmu’ fatawa XVIII/187-189

[74] HR Muslim IV/4997 no 2582

[75] HR Muslim IV/1996 no 2579

[76] HR Al-Bukhari II/856 no 2317, lihat juga V/2394 no 6169

[77] Al-Bidayah wan Nihayah IX/336

[78] Al-Madkhol III/69

[79] (Bahjatun Nadzirin 3/33).

[80] Ini adalah perkataan As-Syaukani. Namun hal ini dibantah oleh Syaikh Salim, yaitu bahwasanya ayat ini (An-Nisa’ 148) menunjukan hanyalah dibolehkan orang yang didzolimi mencela orang yang mendzoliminya jika dihadapan orang tersebut. Adapun mengghibahnya (mencelanya dihadapan manusia, tidak dihadapannya) maka ini tidak boleh karena bertentangan dengan ayat Al-Hujurot 12 dan hadits-hadits yang shohih yang jelas melarang ghibah. Karena ghibah hanya dibolehkan jika dalam dhorurot. (Bahjatun Nadzirin 3/36,37)

[81] (Riwayat Bukhori dalam Al-Fath  9/504,507, dan Muslim no 1714)

[82] Sebagaimana yang dilakukan oleh para salaf ketika memperingatkan umat dari bahayanya para ahlul bid’ah, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang penjelasan wajibnya nasihat untuk memperbaiki Islam dan kaum muslimin :”..Seperti para imam kebid’ahan yaitu orang-orang yang mengucapkan perkataan-perkataan yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah atau yang telah melakukan ibadah-ibadah yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah, maka menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari (bahaya) mereka adalah wajib dengan kesepakatan kaum muslimin. Hingga dikatakan kepada Imam Ahmad :.”Seorang laki-laki puasa dan sholat dan beri’tikaf lebih engkau sukai atau membicarakan tentang (kejelekan) ahlul bid’ah ?”. Maka beliau menjawab :” Jika laki-laki itu sholat dan i’tikaf maka hal itu (kemanfaaatannya) adalah untuk dirinya sendiri, dan jika dia membicarakan (kejelekan) ahlul bid’ah maka hal ini adalah demi kaum muslimin, maka hal ini (membicarkan kejelekan ahlul bid’ah) lebih baik.” Maka Imam Ahmad telah menjelaskan bahwasanya hal ini (membicarakan ahlul bid’ah) bermanfaat umum bagi kaum muslimin dalam agama mereka dan termasuk jihad fi sabilillah dan pada agama-Nya dan manhaj-Nya serta syari’at-Nya. Dan menolak kekejian dan permusuhan ahlul bid’ah atas hal itu adalah wajib kifayah dengan kesepakatan kaum muslimin. Kalaulah bukan karena orang-orang yang telah Allah tegakkan untuk menghilangkan kemudhorotan para ahlul bid’ah ini maka akan rusak agama ini, yang kerusakannya lebih parah dari pada kerusakan (yang timbul) akibat dikuasai musuh dari ahlul harbi (orang kafir yang menyerang-pent). Karena musuh-musuh tersebut tidaklah merusak hati dan agama yang (telah tertanam) dalam hati kecuali hanya belakangan. Sedangkan para ahlul bid’ah mereka merusak hati sejak semula. (Al-fatawa 26/131,232, lihat Hajrul Mubtadi’ hal 9)

[83] Dan ini merupakan tafsir dari riwayat :(ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya)

[84] Lihat penjelasana Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa XXVIII/230-231

[85] Ruh hal 240

[86] (Riwayat Bukhori dan Muslim no 2591), As-Syaukani menjelaskan bahwasanya dalil ini tidaklah tepat untuk membolehkan menggibahi orang yang menampakkan kefasikannya. Sebab ucapan (ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya) berasal dari Nabi r, kalau benar ini adalah ghibah maka tidak boleh kita mengikutinya sebab Allah dan Nabi r telah melarang ghibah dalam hadits-hadits yang banyak. Dan karena kita tidak mengetahui hakikat dan inti dari perkara ini. Dan juga, pria yang disinggung oleh Nabi r tersebut ternyata hanya Islam secara dzohir sedangkan keadaannya goncang dan masih ada atsar jahiliah pada dirinya. (Penjelasan yang lebih lengkap lihat Bahjatun Nadzirin 3/46)

[87] (Bahjatun Nadzirin 3/35). As-Syaukani menjelaskan :Jika yang tujuan menyebutkan aib-aib orang yang berbuat dzolim ini untuk memperingatkan manusia dari bahayanya, maka telah masuk dalam bagian ke empat. Dan kalau tujuannya adalah untuk mencari bantuan dalam rangka menghilangkan kemungkaran, maka inipun telah masuk dalam bagian ke dua. Sehingga menjadikan bagian kelima ini menjadi bagian tersendiri adalah kurang tepat.(Bahjatun Nadzirin 3/45,46)

[88] (Bahjatun Nadzirin 4/35,36)