Muqoddimah
Sesungguhnya
lisan merupakan organ tubuh yang sangat penting karena ialah yang
menta’bir (mengungkapkan) apa yang terdapat dalam hati seseorang. Lisan
tidak mengenal lelah dan tidak pernah bosan berucap, jika seseorang
membiarkannya bergerak mengucapkan kebaikan maka ia akan memperoleh
kebaikan yang banyak, adapun jika ia membiarkannya mengucapkan
keburukan-keburukan maka ia akan ditimpa dengan bencana dan malapetaka,
dan inilah yang lebih banyak terjadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda
أكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ
Mayoritas dosa seorang anak Adam adalah pada lisannya[1]
Oleh karena itu lisan merupakan salah satu sebab yang paling banyak menjerumuskan umat manusia ke dalam api neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ
Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.[2]
Sesungguhnya
penyakit-penyakit yang timbul karena lisan yang tidak terkendali
sangatlah banyak, namun di sana ada sebuah penyakit yang paling
merajalela dan menjangkiti kaum muslimin. Penyakit tersebut terasa
sangat ringan di mulut, lezat untuk diucapkan, dan nikmat untuk
didengarkan[3] (bagi orang-orang yang jiwa mereka telah terasuki hawa
syaitan), namun dosanya sangatlah besar….penyakit tersebut adalah ghibah
(menyebut kejelekan saudara sesama muslim)[4]
Betapa banyak persahabatan dua sahabat karib yang akhirnya terputus karena diakibatkan ghibah…???
Betapa banyak kedengkian yang tumbuh dan berkobar di dada-dada kaum muslimin dikarenakan ghibah…???
Betapa banyak permusuhan terjadi diantara kaum muslimin diakibatkan sebuah kalimat ghibah…???
Dan betapa banyak pahala amalan seseorang yang sia-sia dan gugur diakibatkan oleh ghibah yang dilakukannya…???
Serta betapa banyak orang yang disiksa dengan siksaan yang pedih dikarena ghibah yang dilakukannya…???
Namun
perkaranya adalah sangat menyedihkan sebagaimana perkataan Imam
An-Nawawi, “Ketahuilah bahwasanya ghibah merupakan perkara yang terburuk
dan terjelek serta perkara yang paling tersebar di kalangan manusia,
sampai-sampai tidaklah ada yang selamat dari ghibah kecuali hanya
sedikit orang”.[5] -Semoga Allah menjadikan kita menjadi “sedikit orang”
tersebut yang selamat dari penyakit ghibah. Amiiin-
Banyak
kaum muslimin yang mampu untuk menjalankan perintah Allah ta’ala dengan
baik, bisa menjalankan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mampu untuk menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta, minum
khomer, bahkan mampu untuk sholat malam setiap hari, senantiasa puasa
senin kamis, namun…..mereka tidak mampu menghindarkan dirinya dari
ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela
dan merupakan dosa besar namun tetap saja mereka tidak mampu
menghindarkan diri mereka dari ghibah
Berkata
Ibnul Qoyyim, “Dan merupakan perkara yang aneh adalah mudah bagi
seseorang untuk menjaga dirinya dari memakan makanan yang haram,
menjauhkan dirinya dari perbuatan dzolim, zina, mencuri, memimum minuman
keras, memandang pada perkara-perkara yang diharamkan baginya, dan
perkara-perkara haram yang lainnya, namun sulit baginya untuk menjaga
gerak-gerik lisannya. Sampai-sampai ada diketahui orang yang terpandang
dan merupakan contoh dalam permasalahan agama, zuhud, dan ibadah, namun
ia mengucapkan sebuah kalimat yang menyebabkan kemurkaan Allah dan dia
tidak perduli dengan ucapannya tersebut sehingga iapun terperosok ke
neraka lebih jauh dari jarak antara timur dan barat hanya dikarenakan
satu kalimat. Betapa banyak orang yang engkau lihat bersikap wara’ dalam
menjauhi perbuatan-perbuatan keji, perbuatan dzolim namun lisannya
ceplas-ceplos menjatuhkan harga diri orang-orang yang masih hidup maupun
yang telah wafat dan dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut.”[6]
Berkata
Al-Ghozaali, “Dan sebagian mereka berkata, “Kami mendapati para salaf,
dan mereka tidaklah memandang sebuah ibadah (yang hakiki) pada puasa dan
tidak juga pada sholat, akan tetapi mereka memandangnya pada sikap
menahan diri dari (melecehkan) harkat dan harga diri manusia”[7]
Sebagian
orang yang dikenal berpegang teguh dengan sunnah dan berdakwah menyeru
kepada sunnah, serta memiliki semangat untuk membantah ahlul bid’ah
–yang hal ini merupakan perkara yang sangat dituntut dalam syariat-
namun yang sangat disayangkan, mereka tatkala terbiasa membantah ahlul
bid’ah dan membicarakan kejelekan-kejelekan mereka, akhirnya terbiasa
pula dengan bergihbah ria membicarakan kejelekan-kejelekan
saudara-saudara mereka sendiri sesama ahlus sunnah. Sebagaimana perkara
mengghibah ahlul bid’ah merupakan hal yang biasa akhirnya menggibah
saudara-saudara merekapun sesama ahlus sunnah menjadi hal yang lumrah
dan biasa, seakan-akan bukanlah sesuatu yang berbahaya. Mereka lupa
bahwa mengghibah ahlul bid’ah merupakan rukhsoh yang diberikan oleh
syari’at karena ada kemaslahatan yang diperoleh dan itupun harus sesuai
dengan kaidah-kaidah syari’at, dan hal ini tidaklah bisa disamakan
dengan mengghibah sesama Ahlus sunnah.
Oleh
karena itu penulis mencoba untuk menjelaskan bahaya penyakit ini dan
hukum-hukum seputar penyakit ini untuk mengingatkan penulis pribadi akan
bahaya ghibah dan juga mengingatkan para saudaraku kaum muslimin.
Allah
ta’ala benar-benar telah mencela penyakit ghibah dan telah
menggambarkan orang yang berbuat ghibah dengan gambaran yang sangat hina
dan jijik. Berkata Syaikh Nasir As-Sa’di : “Kemudian Allah ta’ala
menyebutkan suatu permisalan yang membuat (seseorang) lari dari gibah.
Allah ta’ala berfirman:
}وَلاَ
يغتبَْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ
أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ
رَحِيْمٌ{
Dan
janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah
seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati,
pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh
Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih. (Al Hujurat 12)
Allah
ta’ala telah menyamakan mengghibahi saudara kita dengan memakan daging
saudara (yang digibahi tadi) yang telah menjadi bangkai yang (hal ini)
sangat dibenci oleh jiwa-jiwa manusia sepuncak-puncaknya kebencian.
Sebagaimana kalian membenci memakan dagingnya -apalagi dalam keadaan
bangkai, tidak bernyawa- maka demikian pula hendaklah kalian membenci
mengghibahinya dan memakan dagingnya dalam keadaan hidup”.[8] Memakan
bangkai hewan yang sudah busuk saja menjijikkan, namun hal ini masih
lebih baik daripada memakan daging saudara kita. Sebagaimana dikatakan
oleh ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu ‘anhu:
عنْ
قَيْسٍ قَالَ : مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى بَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَال:
وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلَأََ
بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)
Dari
Qois berkata : ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu ‘anhu melewati bangkai
seekor begol (hasil persilangan kuda dan keledai), maka beliau berkata
:”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini
(hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging
saudaranya (yang muslim)”[9]. Syaikh Salim Al-Hilaly berkata :
“..Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu yang paling
menjijikan untuk bani Adam secara tabi’at walaupun (yang dimakan
tersebut) orang kafir atau musuhnya yang melawan, bagaimana pula jika
(yang engkau makan adalah) saudara engkau seagama ?, sesungguhnya rasa
kebencian dan jijiknya semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika
dalam keadaan bangkai? karena sesungguhnya makanan yang baik dan halal
dimakan, akan menjadi menjijikan jika telah menjadi bangkai…” [10]
Definisi ghibah
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِصلى الله عليه و
سلم قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ
رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ :
أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ
فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِا
تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari
Abu Huroiroh radliyallahu ‘anhu bahwsanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : Tahukah kalian apakah ghibah itu? Sahabat
menjawab : Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata : “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak
disukai oleh saudaramu”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya :
Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada padanya ? Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Kalau memang sebenarnya begitu
berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan
tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”.[11]
Hal ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu:
عَنْ
حَمَّاد عَنْ إبْرَاهِيْمَ قَالَ : كَانَ اِبْنُ مَسْعُوْدٍ tيَقُوْلُ :
الْغِيْبَةُ أَنْ تَذْكُرَ مِنْ أَخِيْكَ مَا تَعْلَمُ فِيْهِ. وَإِذَا
قُلْتَ مَا لَيْسَ فِيْهِ فَذَاكَ الْبُهْتَانُ
Dari
Hammad dari Ibrohim berkata : Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata
:”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu,
dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu
adalah kedustaan” [12]
Dari
hadits ini para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ghibah
adalah :”Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu yang
seandainya dia tahu maka dia akan membencinya”. Dan hadits ini umum
mencakup apa saja yang dibenci oleh saudaramu[13]. Sama saja apakah yang
engkau sebutkan adalah kekurangannya yang ada pada badannya atau
nasabnya atau akhlaqnya atau perbuatannya atau pada agamanya atau pada
masalah duniawinya, tentang anaknya, saudaranya, atau istrinya. Dan
engkau menyebutkan aibnya dihadapan manusia dalam keadaan dia goib
(tidak hadir). Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :”Ghibah adalah
menyebutkan aib (saudaramu) dan dia dalam keadaan goib (tidak hadir
dihadapan engkau), oleh karena itu saudaramu) yang goib tersebut
disamakan dengan mayat, karena si goib tidak mampu untuk membela
dirinya. Dan demikian pula mayat tidak mengetahui bahwa daging tubuhnya
dimakan sebagaimana si goib juga tidak mengetahui gibah yang telah
dilakukan oleh orang yang mengghibahinya ”[14].
Adapun
menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya, misalnya engkau
berkata pada saudaramu itu : “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”,
“Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak
berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu
agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia gendut”, “Dia pendek” dan lain
sebagainya.
عَنْ
أَبِيْ حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا ذَكَرَتِ امْرَأَةً فَقَالَتْ
:إِنَّهَا قَصِيْرَةٌ….فَقَالَ النَّبِيُّ r: اِغْتَبْتِيْهَا
Dari
Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan
seorang wanita lalu beliau (‘Aisyah) berkata :”Sesungguhnya dia (wanita
tersebut) pendek”….maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut” [15]
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ : قُلْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلمحَسْبُكَ
مِنْ صَفِيَّة كَذَا وَ كَذَا قَالَ بَعْضُ الرُّوَاةُ : تَعْنِيْ
قَصِيْرَةٌ, فَقَالَ : لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ
الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.
Dari
‘Aisyah beliau berkata : Aku berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Cukup bagimu dari Sofiyah ini dan itu”. Sebagian rowi berkata
:”’Aisyah mengatakan Sofiyah pendek”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata :”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang
seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan
merubahnya” [16]
عَنْ
جَرِيْرِ بْنِ حَازِمٍ قَالَ : ذَكَرَ ابْنُ سِيْرِيْنَ رَجُلاً فَقَألَ :
ذَاكَ الرَّجُلُ الأَسْوَدُ. ثُمَّ قَالَ : أَسْتَغْفِرُ اللهَ, إِنِّيْ
أَرَانِيْ قَدِ اغْتَبْتُهُ
Dari
Jarir bin Hazim berkata : Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki-laki
kemudian dia berkata :”Dia lelaki yang hitam”. Kemudian dia berkata
:”Aku mohon ampunan dari Allah”, sesungguhnya aku melihat bahwa diriku
telah mengghibahi laki-laki itu”[17]
Ibnu
Sirin pernah berkata, “Jika seseorang benci jika engkau berkata
kepadanya, “Rambutmu keriting” maka janganlah engkau menyebutkan hal
itu”[18]
Adapun
pada nasab misalnya engkau berkata :”Dia dari keturunan orang
rendahan”, “Dia keturunan maling”, “Dia keturunan pezina”, “Bapaknya
orang fasik”, dan lain-lain. Adapun pada akhlaknya, misalnya engkau
berkata :”Dia akhlaqnya jelek…orang yang pelit”, “Dia sombong, tukang
cari muka (cari perhatian)”, “Dia penakut”, “Dia itu orangnya lemah”,
“Dia itu hatinya lemah”, “Dia itu tempramental”.
Adapun
pada agamanya, misalnya engkau berkata :”Dia pencuri”, “Dia pendusta”,
“Dia peminum khomer”, “Dia pengkhianat”, “Dia itu orang yang dzolim,
tidak mengeluarkan zakat”, “Dia tidak membaguskan sujud dan ruku’ kalau
sholat”, “Dia tidak berbakti kepada orang tua”, dan lain-lain. Dan
menggibahi seseorang dengan menyebutkan perkara-perkara yang berkaitan
dengan agamanya merupakan ghibah yang sangat keji.
Berkata
Al-Qurthubhi, “..Para ulama sejak masa awal dari kalangan para sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in setelah mereka,
tidak ada ghibah yang lebih parah menurut mereka dari ghibah yang
berkaitan dengan agama (seseorang), karena aib yang berkaitan dengan
agama merupakan aib yang terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika
disinggung kejelekan agamanya daripada jika disinggung (cacat)
tubunya”[19]
Adapun
pada perbuatannya yang menyangkut keduniaan, misalnya engkau berkata :
“Tukang makan”, “Tidak punya adab”, “Tukang tidur”, “Tidak ihtirom
kepada manusia”, “Tidak memperhatikan orang lain”, “Jorok”, “Si fulan
lebih baik dari pada dia” dan lain-lain.
Imam
Baihaqi meriwayatkan dari jalan Hammad bin Zaid berkata :Telah
menyampaikan kepada kami Touf bin Wahbin, dia berkata : “Aku menemui
Muhammad bin Sirin dan aku dalam keadaan sakit. Maka dia (Ibnu Sirin)
berkata :”Aku melihat engkau sedang sakit”, aku berkata :”Benar”. Maka
dia berkata :”Pergilah ke tabib fulan, mintalah resep kepadanya”,
(tetapi) kemudian dia berkata :”Pergilah ke fulan (tabib yang lain)
karena dia lebih baik dari pada si fulan (tabib yang pertama)”. Kemudian
dia berkata : “Aku mohon ampun kepada Allah, menurutku aku telah
mengghibahi dia (tabib yang pertama)”. [20]
Termasuk
ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan
pura-pura pincang atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan
pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan
seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan
dalam suatu hadits:
قَالَتْ : وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ : مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا
‘Aisyah
berkata : “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun berkata :”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang
(walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian” [21]
Termasuk
ghibah yaitu seorang penulis menyebutkan seseorang tertentu dalam
kitabnya seraya berkata :”Si fulan telah berkata demikian-demikian”,
dengan tujuan untuk merendahkan dan mencelanya. Maka hal ini adalah
harom. Jika si penulis menghendaki untuk menjelaskan kesalahan orang
tersebut agar tidak diikuti, atau untuk menjelaskan lemahnya ilmu orang
tersebut agar orang-orang tidak tertipu dengannya dan menerima
pendapatnya (karena orang-orang menyangka bahwa dia adalah orang yang
‘alim –pent), maka hal ini bukanlah ghibah, bahkan merupakan nasihat
yang wajib yang mendatangkan pahala jika dia berniat demikian.
Demikian
pula jika seorang penulis berkata atau yang lainnya berkata : “Telah
berkata suatu kaum -atau suatu jama’ah- demikian-demikian…, dan pendapat
ini merupakan kesalahan atau kekeliruan atau kebodohan atau keteledoran
dan semisalnya”, maka hal ini bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah jika
kita menyebutkan orang tertentu atau kaum tertentu atau jama’ah
tertentu. [22]
Ghibah
itu bisa dengan perkataan yang jelas atau dengan yang lainnya seperti
isyarat dengan perkataan atau isyarat dengan mata atau bibir dan
lainnya, yang penting bisa dipahami bahwasanya hal itu adalah
merendahkan saudaranya yang lain. Diantaranya yaitu jika seseorang
namanya disebutkan di sisi engkau lantas engkau berkata: “Segala puji
bagi Allah ta’ala yang telah menjaga kita dari sifat pelit”, atau
“Semoga Allah ta’ala melindungi kita dari memakan harta manusia dengan
kebatilan”, atau yang lainnya, sebab orang yang mendengar perkataan
engkau itu faham bahwasanya berarti orang yang namanya disebutkan
memiliki sifat-sifat yang jelek.[23] Bahkan lebih parah lagi, perkataan
engkau tidak hanya menunjukkan kepada ghibah, tetapi lebih dari itu
dapat menjatuhkan engkau ke dalam riya’. Sebab engkau telah menunjukan
kepada manusia bahwa engkau tidak melakukan sifat jelek orang yang
disebutkan namanya tadi.
Ghibah dilakukan dalam hati ??!!
Berkata Al-Ghozaali –dalam sub judul “penjelasan pengharaman ghibah dengan hati”-,
((Ketahuilah
bahwasanya berprasangka buruk merupakan perkara yang haram sebagaimana
perkataan yang buruk. Sebagaimana haram bagimu untuk menyampaikan kepada
orang lain tentang kejelekan-kejelekan saudaramu dengan lisanmu maka
demikian juga tidak boleh bagimu untuk menyampaikan kepada hatimu
(tentang kejelekan-kejelekan saudaramu) dan engkau berprasangka buruk
terhadap saudraramu itu. Bukanlah maksudku dengan prasangka di sini
melainkan adalah menekankan hati dan menghukumi orang lain dengan
kejelekan. Adapun hanya sekedar lintasan pikiran maka dimaafkan oleh
Allah. Bahkan keraguan juga dimaafkan oleh Allah akan tetapi yang
dilarang adalah (jika sampai pada tingkat) prasangka. Dan prasangka
merupakan sesuatu keadaan dimana hati telah condong dan cenderung
meyakininya.
Allah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ (الحجرات : 12 )
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa (QS. 49:12)
Dan
sebab pengharamannya adalah karena rahasia-rahasia hati tidaklah
diketahui kecuali oleh Yang Maha Mengetahui hal-hal ghoib. Maka tidak
boleh engkau meyakini kejelekan pada diri orang lain kecuali jika engkau
mengungkapnya dengan melihat dengan dua matamu sehingga tidak bisa
ditakwil lagi. Maka tatkala itu tidak mungkin bagimu untuk meyakini
kecuali apa yang engkau ketahui dan engkau lihar. Adapun apa yang tidak
engkau lihat dengan mata kepalamu dan tidak engkau dengar langsung
dengan telingamu kemudian terlintas di hatimu (tentang kejelekan
saudaramu) maka ini berasal dari syaitan yang telah melemparkan
prasangka tersebut kepadamu. Oleh karena itu hendaknya engkau
mendustakan syaitan karena dia adalah makhluk yang paling fasiq.
Allah telah beriman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ (الحجرات : 6 )
Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya (QS. 49:6)
Maka
tidak boleh bagimu untuk membenarkan iblis. Jika disana ada indikasi
yang menunjukan akan keburukan (saudaramu) namun masih ada kemungkinan
selain itu maka tidak boleh bagimu untuk membenarkannya karena orang
fasik meskipun memang bisa jujur dalam menyampaikan berita akan tetapi
tidak boleh bagimu untuk membenarkannya. Bahkan barangsiapa yang mencium
bau mulut orang lain kemudian ia mendapatkan bau khomr (bir) maka tidak
boleh baginya kecuali hanya berkata, “Mungkin orang ini hanya sekedar
berkumur-kumur dengan khomr kemudian ia membuangnya dan tidak
meminumnya”, atau “Mungkin ia dipaksa untuk meminum khomr”, dan hal ini
menunjukan akan indikasi-indikasi yang masih mengandung
kemungkinan-kemungkinan maka tidak boleh dibenarkan dengan hati dan
berprasangka buruk kepadanya…. Maka tidak dibolehkan prasangka buruk
kecuali dengan perkara-perkara yang dengannya dihalalkan harta[24],
yaitu dengan melihatnya secara langsung atau adanya persaksian dari
orang-orang yang adil. Jika ia tidak memiliki perkara-perkara tersebut
kemudian terlintas dalam benakmu was-was prasangka buruk maka hendaknya
engkau menolaknya dari dirimu dan engkau menekankan pada hatimu
bahwasanya (hakikat) keadaan saudaramu masih tertutup (tidak engkau
ketahui) sebagaimana sebelumnya. Adapun keburukan yang engkau lihat pada
dirinya masih mengandung kemungkinan-kemungkinan baik dan buruk.
Jika
engkau berkata, “Bagaimana diketahui perbedaan antara prasangka buruk
dengan hanya sekedar ragu atau sekedar lintasan pikiran…??”. Kita
katakan bahwasanya tanda adanya prasangka buruk yaitu berubahnya hatimu
terhadap orang yang engkau prasangka buruk tersebut. Hatimu lari darinya
dan merasa berat, dan malas untuk memperhatikannya atau mengecek
keadaannya, memuliakannya, sedih dengannya. Ini merupakan tanda-tanda
bahwa hatimu telah sampai pada tahap prasangka buruk.))[25]
Namun
bagaimanapun juga penjelasan Al-Ghozali ini masih perlu diteliti
kembali sebab sebagaimana yang telah lalu penjelasannya bahwasanya
definisi ghibah adalah mencakup pengungkapan kejelekan saudara (baik
dengan lisan ataupun dengan isyarat apapun yang bisa dipahami maksudnya)
dihadapan orang lain tanpa sepengatahuan atau tanpa kehadiran
saudaranya tersebut. Dan pernyataan bahwa prasangka buruk termasuk
ghibah perlu ditinjau kembali, mengingat penulis belum menemukan
perkataan ulama selain Al-Ghozaali yang memasukkan prasangka buruk dalam
ghibah. Tentunya dosa ghibah tidak sama dengan dosa prasangka buruk.
Wallahu A’lam bisshowaab
Model-model para pengghibah
Ibnu Taimiyah berkata -tatkala menjelaskan model-model para pengghibah:
1.
Ada orang yang mengghibah untuk menyesuaikan diri (agar obrolannya
nyambung) dengan teman-teman duduknya, para sahabatnya, atau karib
kerabatnya. Padahal ia mengetahui bahwasanya orang yang dighibahi
berlepas diri dari apa yang mereka katakan. Atau memang benar pada
dirinya sebagian apa yang mereka katakan akan tetapi ia melihat kalau ia
mengingkari (ghibah yang) mereka lakukan maka ia akan memutuskan
pembicaraan, dan para sahabatnya akan bersikap berat (tidak enak)
kepadanya dan meninggalkannya. Maka iapun memandang bahwa sikapnya yang
menyesuaikan diri dengan mereka merupakan sikap yang baik kepada mereka
dan merupakan bentuk hubungan pergaulan yang baik. Bisa jadi mereka
marah –jika ia mengingkari mereka- maka iapun akan balas marah karena
hal itu. Karenanya iapun tenggelam bersama mereka untuk berghibah ria
2.
Diantara mereka (para tukang ghibah) ada yang bergibah ria dengan
model yang bermacam-macam. Terkadang menampakkan ghibah dalam bentuk
agama dan kebaikan, maka ia berkata, “Bukanlah kebiasaanku menyebutkan
seorangpun kecuali hanya menyebutkan kebaikan-kebaikannya, dan aku tidak
suka ghibah, tidak juga dusta. Hanya saja aku kabarkan kepada kalian
tentang kondisinya”. Atau ia berkata, “Kasihan dia…”, atau “Ia orang
yang baik namun pada dirinya ada begini dan begitu”. Dan terkadang ia
berkata, “Jauhkanlah kami dari (pembicaraan) tentangnya, semoga Allah
mengampuni kita dan dia”, namun niatnya adalah untuk merendahkannya dan
menjatuhkannya. Mereka membungkus ghibah dengan label-lebel kebaikan dan
label-lebel agama, mereka hendak menipu Allah dengan perbuatan mereka
tersebut sebagaimana mereka telah menipu makhluk (manusia). Dan sungguh,
kami telah melihat dari mereka model-model yang banyak seperti ini dan
yang semisalnya[26].
3.
Diantara mereka ada yang menjatuhkan orang lain karena riya’ dalam
rangka untuk mengangkat dirinya sendiri. Ia berkata, “Kalau seandainya
tadi malam aku berdoa dalam sholatku untuk si fulan tatkala sampai
kepadaku kabar tentang dirinya begini dan begitu…”, untuk mengangkat
dirinya dan menjatuhkan orang itu di sisi orang yang menganggap orang
itu baik. Atau ia berkata, “Si fulan itu pendek akalnya, telat
mikirnya”, padahal maksudnya adalah untuk memuji dirinya, untuk
menunjukan bahwa dirinya pandai dan lebih baik dari orang tersebut.
4.
Diantara mereka ada yang berghibah karena hasad (dengki), maka ia
telah menggabungkan dua perkara buruk, ghibah dan hasad. Dan jika ada
seseorang yang dipuji maka berusaha sekuat-kuatnya untuk menghilangkan
(menangkis) pujian itu dengan merendahkannya dengan berkedok agama dan
kebaikan, atau mewujudkan ghibah dalam bentuk hasad, kefajiran, dan
celaan agar orang tersebut jatuh di hadapan matanya.
5.
Diantaranya ada yang mewujudkan ghibah dalam bentuk ejekan dan
menjadikannya bahan mainan agar membuat yang lainnya tertawa karena
ejekannya atau ceritanya (sambil meniru-niru gaya orang yang dihina)
tersebut, serta perendahaannya terhadap orang yang ia ejek tersebut.
6.
Diantaranya ada yang menampakkan ghibah dalam bentuk sikap ta’jub
(heran). Dia berkata, “Aku heran dengan si fulan, bagaimana ia sampai
tidak mampu melakukan ini dan itu…”, “Aku heran dengan si fulan, kenapa
bisa timbul darinya ini dan itu…kenapa bisa melakukan demikian dan
demikian…”. Maka ia menampkan nama saudaranya (yang ia ghibahi tersebut)
dalam bentuk sikap keheranannya.
7.
Diantaranya ada yang mewujudkan ghibah dalam bentuk rasa sedih. Ia
berkata, “Si fulan kasihan dia, sungguh aku sedih dengan apa yang telah
dilakukannya dan yang telah terjadi pada dirinya..”. Maka orang lain
yang mendengar perkataannya itu bahwa ia sedang sedih dan menyayangkan
saudaranya itu, padahal hatinya penuh dengan rasa dendam. Jika ia mampu
maka ia akan menambah-nambah lebih dari kejelekan yang terdapat pada
saudaranya itu. Bahkan terkadang ia menyebutkan hal itu dihadapan
musuh-musuh saudaranya tersebut agar mereka bisa membalasnya
(menghabisinya). Model yang seperti ini dan juga yang lainnya merupakan
penyakit-penyakit hati yang paling parah, dan juga merupakan bentuk
usaha untuk menipu Allah dan para hamba-hambaNya.
8.
Diantara mereka ada yang menampakkan ghibah dalam bentuk marah dan
mengingkari kemungkaran. Dia menampakkan kata-kata yang indah (untuk
mengghibahi saudaranya) dengan cara seperti ini (dengan alasan
mengingkarai kemungkaran), padahal maksudnya bertentangan dengan apa
yang ia nampakkan. Hanya Allahlah tempat meminta pertolongan[27]
Bagaimana jika yang dighibahi adalah orang kafir ?
Berkata
As-Shon’ani : “Dan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
(dalam hadits Abu Huroiroh di atas) أَخَاكَ (saudaramu) yaitu saudara
seagama merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh mengghibahinya”.
Berkata Ibnul Mundzir :”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barang
siapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti yahudi, nasrani, dan seluruh
pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga) orang yang kebid’ahannya
telah mengeluarkannya dari Islam, maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah
terhadapnya”. [28]
Bagaimana
jika kita memberi laqob (julukan) yang jelek kepada saudara kita, namun
saudara kita tersebut tidak membenci laqob itu, apakah tetap termasuk
ghibah?
Berkata As-Shon’ani : “ Dan pada perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam بِمَا يَكْرَهُ
(dengan apa yang dia benci), menunjukan bahwa jika dia (saudara kita
yang kita ghibahi tersebut) tidak membencinya aib yang ditujukan
kepadanya, seperti orang-orang yang mengumbar nafsunya dan orang gila,
maka ini bukanlah ghibah”.[29]
Berkata
Syaikh Salim Al-Hilali :”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu
orang yang dipanggil dengan julukan-julukan yang jelek namun dia tidak
membenci julukan-julukan jelek tersebut –pent) bukanlah suatu ghibah
yang harom, sebab ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan apa
yang dia benci, tetapi orang yang memanggil saudaranya dengan laqob
(yang jelek) telah jatuh di dalam larangan Al-Qur’an (yaitu firman
Allah:ولاَ تَنَابَزُوْا بِالأَلْقَابِ Dan janganlah kalian saling-
panggil-memanggil dengan julukan-julukan yang buruk. (Al-Hujurot:
11)-pent) yang jelas melarang saling panggil-memanggil dengan julukan
(yang jelek) sebagaimana tidak samar lagi (larangan itu)”. [30]
Bagaimana jika yang dighibahi tidak diketahui orangnya?.
Imam
An-Nawawi menjelaskan bahwasanya ghibah yang haram adalah jika orang
yang dighibahi tersebut jelas diketahui. Adapun jika tidak diketahui
orangnya maka bukanlah merupakan ghibah yang haram karena hanyalah yang
merasa tersakiti tatkala dighibahi adalah orang yang diketahui. Adapun
jika tidak diketahui maka yang dighibahi tidak akan tersakiti dan tidak
ada orang yang akan mengabarkan ghibahnya tersebut kepadanya karena ia
tidak diketahui.[31]
Al-A’masy
berkata, “Mereka (salaf) tidaklah memandang ghibah jika tidak
disebutkan nama orang yang sedang disebutkan kejelekannya”[32]
Faktor-faktor pendorong timbulnya ghibah:
Berkata Al-ghozaali:
Ketahuilah
bahwasanya faktor-faktor yang memotivasi timbulnya ghibah banyak akan
tetapi semuanya terkumpul pada sebelas faktor. Delapan diantaranya
berlaku pada orang-orang awam dan yang tiga sisanya berlaku pada
orang-orang taat beragama dan orang-orang khusus.
Adapun yang delapan maka sebagai berikut:
1.
Untuk memuaskan kemarahan. Hal ini terjadi jika kemarahan mengalir
pada seseorang terhadap saudaranya. Tatkala kemarahan tersebut bergelora
maka secara tabi’at (wajar) jika ia tidak memiliki (ghiroh) agama yang
kuat maka kemarahan tersebut akan terlampiaskan dengan menyebutkan
keburukan-keburukan saudaranya tersebut. Terkadang ia tidak melampiaskan
kemarahannya tatkala sedang marah (terhadap saudaranya) maka akhirnya
kemarahan tersebut terpendam di dalam batinnya kemudian berubah menjadi
kedengkian yang menetap. Akhirnya kedengkian ini menjadi sebab yang
selalu membuatnya menyebutkan keburukan-keburukan (saudaranya).
Kedengkian dan kemarahan merupakan faktor yang besar yang memotivasi
timbulnya ghibah
2.
Untuk menyesuaikan diri dengan para sahabat dan sikap basa-basi
terhadap mereka serta ikut andil bersama mereka dalam berghibah ria.
Jika para sahabatnya sedang berasyik-asyik menyebutkan
kejelekan-kejelekan orang lain maka ia memandang seandainya ia
mengingkari perbuatan mereka tersebut atau memutuskan pembicaraan mereka
maka mereka akan bersikap berat (tidak enak) kepadanya dan akan
meninggalkannya. Maka iapun mendukung mereka dan ia memandang bahwa
sikapnya merupakan bentuk hubungan pergaulan yang baik. Dia menyangka
sikapnya tersebut merupakan bentuk basa-basi dalam pergaulan. Terkadang
sahabat-sahabatnya tersebut marah (terhadap orang yang sedang mereka
ghibahi) maka ia butuh untuk ikut-ikutan marah bersama mereka sebagai
untuk menunjukan bahwasanya ia ikut andil bersama mereka dalam
kesenangan dan kesulitan akhirnya iapun tenggelam bersama mereka dalam
menyebtukan aib-aib dan keburukan-keburukan saudara mereka.
3.
Ia merasa bahwa ada seseorang yang sentimen kepadanya dan
menjelek-jelekannya dan keadaannya di sisi orang yang pemalu, atau orang
tersebut bersaksi akan kejelekannya maka iapun segera menjelek-jelekan
orang tersebut sebelum dia yang dijelek-jelekan dan mencelanya agar
pengaruh persaksian orang tersebut menjadi tidak bernilai. Atau terlebih
dahulu ia menyebutkan kejelekan orang tersebut dengan jujur lantas
kemudian ia menjelek-jelekannya dengan berdusta tentangnya sehingga
kebohongannya inipun laris diterima karena kejujurannya di awal
celaannya. Kemudian diapun menjadikan kejujurannya pada awal celaannya
itu sebagai dalil (untuk melariskan kebohongan-kebohongannya) seraya
berkata, “Dusta bukanlah merupakan sifatku, aku telah mengabarkan kepada
kalian tentang kejelekannya tersebut dan kenyataannya sebagaimana yang
telah aku kabarkan kepada kalian”
4.
Ia dituduh telah melakukan suatu keburukan maka ia hendak
menyatakan bahwa dirinya berlepas diri dari tuduhan tersebut maka iapun
menyebutkan pelaku sebenarnya. Sebenarnya merupakan haknya untuk membela
diri namun tanpa menyebutkan pelaku sebenarnya. Maka janganlah ia
menyandarkan tuduhan tersebut terhadap orang lain atau ia menyatakan
bahwa ia tidak sendiri melakukan perkara tersebut akan tetapi ia
menyebutkan orang lain yang ikut serta bersamanya melakukan perkara
tersebut dengan maksud sebagai pembukaan agar udzurnya diterima (karena
yang melakukan bukan hanya dia sendiri).
5.
Keinginan untuk menampilkan diri dan menyaingi orang lain. Caranya
yaitu dengan mengangkat dirinya dengan merendahkan orang lain seraya
berkata, “Si fulan jahil (goblik), pemahamannya lemah, perkataannya
lemah”, padahal tujuannya adalah untuk menunjukan kemuliaan dirinya di
balik pencelaan-pencelaan tersebut atau ia kawatir orang tersebut akan
diagungkan seperti diagungkannya (dihormatinya) dirinya sehingga iapun
mencela orang tersebut.
6.
Hasad (dengki) yaitu terkadang ia dengki kepada seseorang yang
dipuji oleh masyarakat, dicintai, dan dimuliakan oleh mereka. Maka iapun
ingin agar kenikmatan yang dikaruniakan kepada suadaranya itu segera
hilang dan ia tidak menemukan cara untuk mencapai tujuannya kecuali
dengan mencela suadaranya itu. Ia ingin menjatuhkan kemuliaan saudaranya
itu dihadapan masyarakat agar masyarakat berhenti memuji saudaranya
karena ia merasa berat jika mendengar pujian orang-orang terhadap
saudaranya pemuliaan mereka terhadapnya. Inilah yang disebut hasad, dan
hal ini berbeda dengan kemurkaan dan amarah yang terpendam, karena
amarah akan mendorong si pemarah untuk berbuat tindakan lalim (kriminal)
kepada orang yang ia murkai, adapun hasad terkadang timbul dari seorang
sahabat yang berbuat baik dan teman yang sejalan.
7.
Bercanda dan bergurau serta mengisi waktu dengan tertawa lalu
menyebutkan aib-aib orang lain sehingga membuat orang-orang tertawa
(contohnya) dengan cara meniru-niru gaya orang tersebut. Yang
menjadikannya berbuat demikian adalah sifat sombong dan ‘ujub (kagum
dengan diri sendiri).
8.
Mengejek dengan tujuan untuk merendahkan saudaranya. Hal ini bisa
terjadi dihadapan orang yang diejek dan juga bisa terjadi tidak
dihadapannya (dan inilah yang termasuk ghibah). Sebab timbulnya ini
adalah rasa angkuh dan perendahan terhadap orang yang ia ejek.
Adapun
tiga sebab yang lain yang menjangkiti orang-orang yang khusus maka
perkaranya sangatlah pelik dan rumit. Hal ini karena ketiga perkara
tersebut merupakan kejelekan yang disembunyikan oleh syaitan dan
dinampakan dalam bentuk kebaikan. Ada kebaikan namun syaitan
mencampurnya dengan kejelekan.
1.
Dikarenakan ghiroh terhadap agama maka muncul dari diri seseorang
pendorong rasa kaget dan heran tatkala bernahi mungkar terhadap pelaku
kemungkaran. Maka iapun berkata, “Aku sungguh heran dengan apa yang aku
lihat dari perbuatan si fulan?”. Memang bisa jadi ia jujur dalam
keheranannya (dia memang benar-benar heran) dan keheranannya itu karena
melihat kemungkaran tersebut akan tetapi semestinya ia tidak perlu
menyebutkan nama pelaku kemungkaran tersebut. Namun syaitan
menjadikannya mudah untuk menyebutkan nama pelaku kemungkaran tersebut
yang terbungkus dalam label keheranan. Akibatnya jadilah ia seorang
penggunjing dan berdosa tanpa ia sadari. Contohnya adalah perkataan
seseorang, “Aku heran dengan si fulan, bagaimana bisa ia mencintai budak
wanitanya padahal budaknya tersebut jelek” dan, “Aku heran dengan si
fulan bagaimana bisa ia duduk di hadapan si fulan padahal ia adalah
seorang yang jahil”
2.
Perasaan sayang dan kasihan terhadap seseorang dikarenakan aib yang
dimiliki oleh orang tersebut. Maka iapun berkata, “Si fulan kasihan,
kondisinya dan aib yang ada padanya telah menyedihkanku”. Dan ia memang
jujur tatkala mengungkapkan kesedihannya tersebut akan tetapi
kesedihannya itu telah melalaikannya untuk berhati-hati untuk tidak
menyebutkan nama orang tersebut. Maka jadilah ia telah berghibah ria dan
kasih sayangnya dan perasaan kasihannya merupakan kebaikan baginya.
Demikian juga rasa ta’jubnya, akan tetapi syaitan membawakan perasaannya
itu kepada kejelekan tanpa ia sadari. Sesungguhnya perasaan cinta kasih
serta ikut sedih bisa diungkapkan tanpa harus menyebutkan nama fulan
tersebut untuk menghancurkan pahala perasaan kasih sayangnya dan ikut
sedihnya itu.
3.
Kemarahan karena Allah. Karena seseorang bisa jadi marah terhadap
kemungkaran yang dilakukan oleh seseorang, jika ia melihatnya langsung
atau mendengarnya maka iapun menampakkan kemarahannya serta menyebutkan
nama orang tersebut. Sesungguhnya yang wajib adalah ia menampakan
kemarahannya langsung kepada pelaku kemungkaran tersebut dengan cara
menegakkan Al-Amr bin Ma’ruf dan An-Nahyu ‘anil mungkar tanpa
menampakkan kemarahannya tersebut kepada selain pelaku atau dengan
menyembunyikan nama orang tersebut dan tidak menyebut nama-nama tersebut
dengan kejelekan.
Inilah
tiga perkara yang bagi para ulama sangat detail dan mendalam
pembahasannya serta sangat samar. Apalagi terhadap orang-orang awam.
Mereka (orang awam) menyangka bahwa sikap ta’jub dan perasaan sayang
(kasihan) dan kemarahan jika dilakukan karena Allah maka hal ini
merupakan alasan untuk bolehnya menyebutkan nama padahal persangkaan
mereka ini merupakan kesalahan…)) [33]
Hukum ghibah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram, darahnya, hartanya, dan harga dirinya[34]
((فَإِنّ
دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا))
فَأَعَادَهَا مِرَارًا
Sesungguhnya
darah kalian, harta kalian, dan harga diri kalian adalah haram atas
kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini, di
bulan kalian ini)). Berkata Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengulang-ngulangi perkataan beliau ini”[35]
Berkata
Al-Mubarokfuri, “Yaitu haramnya sebagian kalian melakukan pelanggaran
terhadap jiwa sebagian yang lain, terhadap harta, dan harga diri pada
hari-hari yang lain sebagaimana haramnya kalian melakukan pelanggaran
pada hari ini di tanah ini (tanah suci Mekah)…”[36]
Berkata
Imam An-Nawawi, “…Maksud dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam ini semua adalah untuk menjelaskan penekanan akan kerasnya
pengharaman harta, jiwa (harta), dan kehormatan, dan untuk
memperingatkan akan hal ini”[37]
Berkata
Al-Munawi, “Islam yang paling mulia adalah manusia selamat dari lisanmu
(ucapanmu) maka janganlah engkau mengumbar lisanmu dengan ucapan-ucapan
yang memberi mudhorot kepada mereka”[38]
Sebagaimana
kita tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan harta
(seperti mencurinya) maka kita juga tidak boleh melanggar hak orang lain
yang berkaitan dengan harga dirinya. Orang yang mengghibah berati dia
telah mengganggu kehormatan saudaranya, karena yang dimaksud dengan
kehormatan adalah sesuatu yang ada pada manusia yang bisa dipuji dan
dicela.
Hukum ghibah adalah haram berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.
Asy-Syaukani
berkata -setelah menjelaskan pengharaman ghibah berdasarkan Al-Qur’an,
As-Sunnah, dan ijmak-, “Jika telah jelas perkaranya bagimu maka engkau
telah mengetahui bahwasanya ghibah termasuk kemungkaran yang paling
keras dan keharaman yang paling besar. Oleh karenanya mengingkari pelaku
ghibah adalah wajib bagi setiap muslim”[39]
Berkata
As-Shon’aani, “Dan hadits-hadits yang memperingatkan akan bahaya ghibah
sangatlah banyak sekali yang hal ini menunjukan akan kerasnya
pengharaman ghibah”[40]
Namun
terjadi khilaf diantara para ulama, apakah ghibah termasuk dosa besar
atau termasuk dosa kecil?. Imam Al-Qurthubi menukilkan ijma’ bahwasanya
ghibah termasuk dosa besar. Sedangkan Al-Gozhali dan penulis Al-‘Umdah
dari Syafi’iyah berpendapat bahwasanya ghibah termasuk dosa kecil.
Berkata Al-Auza’i : “Aku tidak mengetahui ada orang yang jelas
menyatakan bahwa ghibah termasuk dosa kecil selain mereka berdua”.
Az-Zarkasyi berkata : “Dan sungguh aneh orang yang menganggap bahwasanya
memakan bangkai daging (manusia) sebagai dosa besar (tetapi) tidak
menganggap bahwasanya ghibah juga adalah dosa besar, padahal Allah
menempatkan ghibah sebagaimana memakan bangkai daging manusia.” [41]
Berkata
Syaikh Nasir As-Sa’di :”Dalam ayat ini (Al-Hujurot :12) ada peringatan
keras terhadap gibah dan bahwasanya gibah termasuk dosa-dosa besar
karena diserupakan dengan memakan daging bangkai (manusia) dan hal itu
(memakan daging bangkai) termasuk dosa besar”. [42]
Alasan
mereka yang menyatakan bahwa ghibah adalah dosa kecil diantaranya
perkataan mereka :”Kalau seandainya ghibah itu bukan dosa kecil maka
sebagian besar manusia tentu menjadi fasik, atau seluruh manusia menjadi
fasik, kecuali hanya sedikit sekali yang bisa lolos dari penyakit ini.
Dan hal ini adalah kesulitan yang sangat besar”. Namun alasan ini
terbantahkan, karena bahwasanya tersebarnya suatu kemaksiatan dan banyak
manusia yang melakukannya tidaklah menunjukan bahwa kemaksiatan
tersebut adalah dosa kecil. Dan alasan ini juga tertolak sebab
tersebarnya kemaksiatan ini hanya kalau ditinjau pada zaman sekarang.
Adapun pada zaman dahulu (zaman para salaf) kemaksiatan-kemaksiatan
(termasuk ghibah) tidak tersebar sebagaimana sekarang. Justru yang
tersebar adalah kebaikan.
Perkara-perkara yang menunjukan bahwa ghibah merupakan dosa besar
- (I) Ghibah termasuk riba yang paling parah, dan riba merupakan dosa besar
Imam Abu Dawud As-Sajistaani meriwayatkan dalam sunannya dalam bab في الغيبة
(tentang ghibah)[43] sebuah hadits yang diriwayatkan oleh hadits Sa’id
bin Zaid radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةُ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ
Sesungguhnya termasuk riba yang paling parah adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang muslim tanpa hak[44]
Berkata Syamsul Haq Al-‘Azhim Aabaadi, أَرْبَى الرِّبَا “Yaitu riba yang paling besar bahayanya dan yang paling keras pengharamannya” , الاِسْتِطَالَةُ
Yaitu mengulurkan lidah terhadap kehormatan seorang muslim, maksudnya
yaitu merendahkannya dan merasa tinggi atasnya serta mengghibahnya,
semisal menuduhnya berzina atau mencelanya. Hanyalah hal ini merupakan
riba yang paling keras pengharamannya karena kehormatan merupakan
perkara yang paling mulia bagi seseorang, lebih daripada harta” [45]
Berkata
Ibnul Atsir, “Mengulurkan lisan pada harga diri manusia yaitu
merendahkan mereka dan merasa tinggi dihadapan mereka serta menggibahi
mereka”[46]
Berkata Al-Baidhowi, “الاستطالة
(Mengulurkan lisan) pada kehormatan seorang muslim yaitu dengan
menjelekkannya lebih dari yang seharusnya sebagaimana perkataannya
kepadanya[47], atau lebih dari yang rukhsoh yang diberikan[48]. Oleh
karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkannya dengan
riba dan memasukkannya dalam bagian riba, kemudian menjadikannya riba
yang paling besar, karena hal ini lebih berbahaya dan kerusakannya lebih
parah. Karena kehormatan (harga diri) -baik meurut syari’at ataupun
menurut akal- adalah lebih mulia pada diri seseorang dibanding hartanya
dan lebih besar bahayanya dari pada harta” [49] Pelanggaran yang
berkaitan dengan harga diri lebih berat daripada yang berkaitan dengan
harta, oleh karena seseorang lebih terasa sakit tatkala harga dirinya
dijatuhkan, direndahkan, dan dihinakan, apalagi dihadapan khalayak ramai
daripada jika hartanya dicuri atau diambil dengan tanpa hak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ، أَشَدُّ عِنْدَ اللهِ مِنْ سِتَّةٍ وَ ثَلاَثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu
dirham karena hasil riba yang dimakan oleh seseorang padahal dia tahu,
lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh perzinahan.” (Hadits
shahih diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Thabrani, lihat Goyatul Marom
:172, Ar-Roudl An-Nadzhir: 459, As-Shahihah 1033, Shahih Al-Jami’ 3375)
Asy-Syaukani
mengomentari hadits ini, “Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ((lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh
perzinahan….dan seterusnya)), menunjukan bahwa maksiat riba termasuk
maksiat yang paling parah. Karena maksiat yang senilai maksiat zina
yang merupakan maksiat yang paling jelek dan jijik dengan jumlah yang
banyak (36 kali zina), bahkan (maksiat riba) lebih parah dari zina-zina
tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwa maksiat tersebut telah
melampaui ambang batas keburukan. Dan yang lebih buruk dari ini adalah
mengulurkan lisan pada harga diri saudaranya sesama muslim. Oleh karena
itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan hal ini
(mengulurkan lisan untuk mencela kehormatan orang lain) merupakan riba
yang paling parah. Dan sungguh jauh (dari rahmat Allah) orang yang
mengucapkan suatu kalimat yang ia tidak menemukan keledzatan dalam
ucapannya tersebut dan tidak menambah hartanya serta tidak juga
meninggikan kedudukannya, lantas dosanya di sisi Allah lebih besar dari
pada dosa orang yang berzina sebanyak tiga puluh enam zina. Ini adalah
perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang yang berakal. Kita memohon
kepada Allah keselamatan (dari hal ini)….amin..amin.” (Nailul Author
V/297)
- (II) Pelaku ghibah disiksa dengan adzab yang sangat pedih
Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
مَرَرْتُ
لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ
بِأَظَافِرِيْهِمْ, فَقُلْتُ : يَا جِبْرِيْلُِ مَنْ هَؤُلآءِ؟ قَالَ :
الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ, وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
”Pada
malam isro’ aku melewati sebuah kaum yang mereka melukai (mencakar)
wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka”, lalu aku berkata :”Siapakah
mereka ya Jibril?”, Beliau berkata :”Yaitu orang-orang yang mengghibahi
manusia, dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”.
Dalam riwayat yang lain:
قَالَ
رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم : لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ
بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ
صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ
أَعْرَاضِهِمْ
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Ketika aku dinaikkan ke
langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga,
mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Maka
aku bertanya :”Siapakah mereka ya Jibril?”, beliau berkata :”Mereka
adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan mereka mencela
kehormatan-kehormatan manusia”. (Riwayat Ahmad (3/223), Abu Dawud
(4878,4879), berkata Syaikh Abu ishaq Al-Huwaini : Isnadnya shohih,
lihat kitab As-Somt hadits no 165 dan 572)
- (III) Ghibah merupakan penyebab siksa kubur
Imam
Al-Bukhari membawakan sebuah hadits dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu
di bawah bab Ghibah, beliau (Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu) berkata,
مَرَّ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا
لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ، أَمَّا هَذَا فَكَانَ لاَ
يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ وَأَمَّا هَذَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan lalu ia berkata,
“Sesungguhnya keduanya sedang di adzab, dan tidaklah keduanya disiksa
karena perkara yang besar. Adapun yang ini ia tidak bersih tatkala buang
air kecil, dan adapun yang ini ia berjalan sambil bernamimah” ( HR
Al-Bukhari V/2249 no 5705 باب الغيبة)
Meskipun
hadits ini tidak meyebutkan ghibah namun Imam Al-Bukhari membawakannya
di bawah bab ghibah. Berkata Ibnut Tin, “Imam Al-Bukhari menyebutkan
hadits ini di bawah judul ghibah padahal yang disebutkan dalam hadits
ini adalah namimah karena keduanya sama-sama merupakan bentuk penyebutan
sesuatu yang dibenci oleh orang yang sedang dibicarakan dan dia sedang
tidak hadir” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
X/470).
Berkata,
“Al-Kirmani, “Ghibah merupakan salah satu bentuk dari namimah, karena
jika orang yang sedang dinukil perkataannya mendengar perkataan yang
dinukil darinya maka akan menyedihkannya”(Sebagaimana dinukil oleh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari X/470).
Ibnu
Hajar berkata, ((Ghibah terkadang terdapat dalam sebagian bentuk-bentuk
namimah, yaitu jika ia menyebutkan saudaranya -dan ia tidak hadir-
tentang perkara yang tidak disukai oleh saudaranya tersebut dengan
maksud untuk menyebarkan kerusakan. Maka ada kemungkinan bahwa kisah
tentang orang yang di adzab di kuburnya demikian kisahnya (yang
disebutkan hanyalah namimah), dan ada kemungkinan juga bahwa Imam
Al-Bukhari memberi isyarat kepada lafal yang terdapat pada beberapa
jalan hadits yaitu lafal “ghibah” yang sangat jelas…[50],))[51]
- (IV) Pelaku ghibah puasanya sia-sia.
Rasulullah bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa
yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya[52] serta
berbuat kebodohan[53] maka Allah tidak butuh kepada puasanya dari
meninggalkan makan dan minumnya” (HR Al-Bukhori no 1903, 6057. Hadits
ini diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/572
no 1200 pada bab الْغِيْبَةُ لِلصَّائِمِ “Ghibah yang dilakukan oleh orang yang berpuasa”)
Berkata
Ibnu At-Thin,” Zohir hadits menunjukkan bahwa barangsiapa yang berbuat
ghibah tatkala sedang puasa maka puasanya batal, demikianlah pendapat
sebagian salaf[54]. Adapun jumhur ulama berpendapat sebaliknya (yaitu
puasanya tidak batal), namun menurut mereka makna dari hadits ini
bahwasanya gibah termasuk dosa besar dan dosanya tidak bisa sebanding
dengan pahala puasanya maka seakan-akan dia seperti orang yang batal
puasanya”.[55]
Abul ‘Aaliyah berkata, الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ مَالَمْ يَغْتَبْ وَإِنْ كَانَ نَائِمًا عَلىَ فِرَاشِهِ “Orang yang berpuasa berada dalam ibadah bahkan meskipun ia sedang tidur selama tidak berbuat ghibah”[56]
Baca Juga: Ghibah Yang Di Bolehkan
Hukum mendengarkan ghibah
Berkata
Imam Nawawi dalam Al-Adzkar :”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu
sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi
orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja
yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk
melarang orang itu kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang jelas. Dan
jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari
dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika
memungkinkan hal itu.
Jika
dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong
pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib bagi
dia untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah
bermaksiat.
Jika
dia berkata dengan lisannya: ”Diamlah”, namun hatinya ingin pembicaraan
gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak
bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan
hatinya (agar bisa bebas dari dosa-pent).
Jika
dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk
mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima,
serta tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut,
maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgo’ (mendengarkan
dengan saksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah
hendaklah dia berdzikir kepada Allah ta’ala dengan lisannya dan hatinya,
atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia
bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak
mengapa baginya untuk mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun
tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar –pent),
tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu jika memang keadaannya seperti
ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu –pent).
Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan
majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya
untuk meninggalkan majelis”[57]. Allah ta’ala berfirman:
وَإذَا
رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْ آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ
حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ, وَ إِمَّ يُنْسِيَنَّكُمُ
الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِكْرِ مَعَ الْقَوْمِ
الظَّالِمِيْنَ
Dan
apabila kalian melihat orang-orang yang mengejek ayat Kami, maka
berpalinglah dari mereka hingga mereka mebicarakan pembicaraan yang
lainnya. Dan apabila kalian dilupakan oleh Syaithon, maka janganlah
kalian duduk setelah kalian ingat bersama kaum yang dzolim. (Al-An’am
68)
Benarlah perkataan seorang penyair…
وَسَمْعَكَ صُنْ عَنْ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ كَصَوْنِ اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ بِهْ
فَإِنَّكَ عِنْدَ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ شَرِيْكٌ لِقَائِلِهِ فَانْتَبِهْ
Dan pendengaranmu, jagalah dia dari mendengarkan kejelekan
Sebagaimana menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.
Sesungguhnya ketika engkau mendengarkan kejelekan,
Engkau telah sama dengan orang yang mengucapkannya, maka waspadalah
Dan meninggalkan mejelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ
Dan apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka berpaling darinya. (Al-Qosos : 55)
وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ
Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (Al-Mu’minun :3)
Bahkan
sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi
bukan hanya sekedar mencegah gibah tersebut tetapi untuk membela
kehormatan saudaranya tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam:
عَنْ
أَبِيْ الدَّرْدَاءِ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم
قَالَ : مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجِهَهُ النَّارَ
Dari
Abu Darda’ radliyallahu ‘anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang
akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya.
(Riwayat At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim
Al-Hilali : “Shohih atau hasan”)
Dan
demikinlah pengamalan para salaf ketika ada saudaranya yang digibahi
mereka membelanya, sebagaimana dalam hadits-hadits berikut:
عَنْ
عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ : قَامَ النَّبِيُّ صلى الله
عليه و سلم يُصَلِّي فَقَالَ : أَيْنَ مَلِكُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ
رَجُلٌ : ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ, فَقَالَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: لاَ تَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ
قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَإِنَّ
اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى الَّنارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ
يَبْتَغِيْ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ
Dar
‘Itban bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menegakkan sholat, lalu (setelah selesai sholat) beliau
berkata : “Di manakah Malik bin Addukhsyum?”, lalu ada seorang laki-laki
menjawab :”Ia munafik, tidak cinta kepada Allah dan Rosul-Nya”, Maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Janganlah engkau berkata
demikian, tidakkah engkau lihat bahwa ia telah mengucapkan la ila ha
illallah dengan ikhlash karena Allah ?, dan Allah telah mengharamkan api
neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlash
karena Allah (Bukhori dan Muslim)
عَنْ
كَعْبِ بْنِ مَالِكً رضي الله عنه قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله
عليه و سلم وَهُوَ جَالِسٌ فِيْ الْقَوْمِ بِتَبُوْكَ : مَا فَعَلَ كَعْبُ
بْنُ مَالِكٍ؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلَمَةَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ
حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَ النَّظَرُ فِيْ عِطْفَيْهِ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذُ
بْنُ جَبَلٍ رضي الله عنه: بِئْسَ مَا قُلْتَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ
مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا, فَسَكَتَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه و سلم
Ka’ab
bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah sampai di Tabuk, dan dia sambil duduk bertanya : “Apa
yang dilakukan Ka’ab ?”, maka ada seorang laki-laki dari bani Salamah
menjawab :”Wahai Rasulullah, ia telah tertahan oleh mantel dan
selendangnya”. Lalu Mu’adz bin Jabal radliyallahu ‘anhu berkata : “Buruk
sekali perkataanmu itu, demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak
mengetahui sesuatupun dari dia melainkan hanya kebaikan”. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam. (Bukhori dan Muslim)
Baca Kelanjutannya: Cara Bertaubat Dari Ghibah
Sumber: https://firanda.com/