Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Setiap hari tatkala kita melakukan shalat, kita berikrar dan memohon kepada Allah dalam shalat kita ketika membaca surah Al-Fatihah. Kemudian di bagian akhir surah kita berdoa kepada Allah ﷻ,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ، صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7)
Para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai, yang kita meminta perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari jalan-jalan mereka adalah orang-orang Yahudi yang telah dianugerahkan ilmu oleh Allah ﷻ, namun mereka tidak amalkan ilmu mereka. Adapun yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat, para ulama sepakat bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani, yang mereka semangat beribadah akan tetapi tidak di atas ilmu.
Maka seorang mukmin hendaknya berusaha beribadah di atas ilmu. Kemudian setelah ilmu dia dapatkan, maka dia berusaha untuk mengamalkannya, karena dengan begitu dia tidak akan bertasyabbuh dengan orang-orang Yahudi maupun Nasrani. Maka pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang agungnya ilmu.
Ilmu adalah suatu perkara yang sangat diagungkan oleh Allah ﷻ dan juga oleh Nabi rahimahullah. Terdapat banyak dalil di dalam Al-Quran maupun sunnah Nabi rahimahullah yang menjelaskan tentang agungnya ilmu. Jika kita mau membaca ayat-ayat di dalam Al-Quran tentang agungnya ilmu satu persatu, maka tentu akan memakan waktu yang panjang. Apalagi jika ditambah kita ingin membacanya melalui hadis-hadis Nabi rahimahullah. Namun pada kesempatan ini, kita akan menyebutkan sebagian dari ayat-ayat Al-Quran dan hadis tentang agungnya ilmu.
Agungnya Ilmu Berdasarkan Al-Quran
Di antara ayat-ayat yang menunjukkan akan agungnya ilmu adalah sebagai berikut:
- Allah ﷻ memerintahkan Nabi rahimahullah untuk berdoa meminta tambahan ilmu
Allah ﷻ berfirman,
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.” (QS. Thaha: 114)
Dan tidak ada di dalam Al-Quran di mana Allah memerintahkan Nabi rahimahullah untuk berdoa meminta tambahan selain daripada tambahan ilmu, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Maka ini menunjukkan agungnya ilmu, karena Nabi rahimahullah diperintahkan oleh Allah untuk berdoa meminta ilmu.
- Tingginya derajat orang yang berilmu
Di antara ayat lain yang menunjukkan tentang agungnya ilmu adalah firman Allah ﷻ,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Wahai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Dalam ayat ini diterangkan bahwa orang yang beriman akan diangkat derajatnya, dan orang-orang yang berilmu akan diangkat derajatnya di atas derajatnya orang-orang yang beriman. Oleh karenanya tatkala Nabi Daud dan Nabi Sulaiman q diberikan ilmu, mereka pun bersyukur kepada Allah ﷻ atas karunia tersebut. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا وَقَالَا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي فَضَّلَنَا عَلَى كَثِيرٍ مِنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman (dengan ilmu)“. (QS. An-Naml: 15)
Lihatlah bahwa dalam ayat di atas, Allah memuliakan Nabi Sulaiman dan Nabi Daud q. Sehingga orang yang beriman Allah akan tingkatkan derajatnya. Namun orang yang beriman lagi berilmu, akan lebih tinggi derajatnya dari orang-orang yang hanya sekedar beriman.
Oleh karenanya pula, tidaklah Allah memerintahkan para malaikat untuk sujud kepada Nabi Adam ‘Alaihissalam kecuali sebab ilmu. Allah ﷻ berfirman,
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ، قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” Mereka (malaikat) menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana’.” (QS. Al-Baqarah: 31-32)
Jadi, di antara kemuliaan Nabi Adam ‘Alaihissalam adalah dengan ilmu yang Allah ajarkan kepadanya. Oleh karenanya ayat yang menyebutkan pengangkatan derajat orang-orang yang berilmu di atas orang-orang beriman dalam surah Al-Mujadilah ayat 11 itu maksudnya adalah Allah akan mengangkat derajatnya baik di dunia maupun di akhirat.
Di dunia ini telah lewat orang-orang yang hebat seperti raja, presiden, menteri-menteri, orang-orang hebat, orang kaya, ilmuan dan penemu. Akan tetapi mereka sangat jarang disebut namanya oleh orang-orang. Kalaupun nama mereka disebut dengan pujian, orang-orang menyebut nama mereka tanpa disertai dengan doa. Atau bahkan nama mereka mungkin disebut-sebut bersamaan dengan cacian. Berbeda dengan para ulama yang mungkin telah wafat lebih dari 1000 tahun, yang mereka meninggalkan ilmu mereka melalui kitab-kitab yang dipelajari oleh masyarakat, tatkala nama mereka disebut pasti disertai dengan doa rahimahullah (semoga Allah merahmatinya). Begitu pula dengan para sahabat, tatkala disebut namanya, pasti teriring dari nama mereka dengan doa radhiallahu ‘anhu (semoga Allah meridhainya). Oleh karenanya orang-orang yang berilmu Allah akan tinggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat.
- Allah menggandengkan persaksian Allah dan Malaikat dengan persaksian para ulama
Di antara ayat yang menunjukkan agungnya ilmu adalah Allah menjadikan persaksian ulama sebagai dalil tauhidnya Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan (mempersaksikan) bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Maha-bijaksana.” (QS. Ali-‘Imran: 18)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempersaksikan sesuatu yang sangat agung dalam kehidupan ini yaitu kalimat tauhid. Dan Allah menggandengkan persaksian-Nya terhadap keagungan kalimat tauhid dengan persaksian para malaikat dan para ulama. Sebagian ulama menyebutkan bahwa dalam ayat ini Allah tidak memperinci keterangan bahwa para nabi dan para ulama menjadi saksi. Akan tetapi Allah menggabungkan persaksian mereka dalam kategori persaksian orang-orang yang berilmu. Kita ketahui bahwa para nabi adalah orang yang berada dipuncak ilmu. Akan tetapi dijadikannya penyebutan para nabi dan para ulama dalam satu penyebutan, menunjukkan tentang keagungan para ulama. Maka ketahuilah bahwa ayat ini merupakan dalil yang paling kuat yang menunjukkan tentang agungnya ilmu. Karena Allah menggandengkan persaksian ahli ilmu dan malaikat dengan persaksian Allah untuk menyatakan kebenaran Laa ilaha Illallah.
- Tidak sama antara orang berilmu dengan orang yang tidak berilmu
Allah ﷻ berfirman,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)
Dalam istilah syariat, perkataan ini disebut dengan istifhaamun inkarii (pertanyaan yang menunjukkan pengingkaran). Maksudnya adalah pertanyaan seperti adalah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Karena pertanyaan seperti ini telah jelas jawabannya. Kalau kita melihat pertanyaan dalam ayat ini, maka tentu telah jelas bagi kita bahwa beda antara orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu. Oleh karena itu jangan sekali-sekali seseorang menyamakan antara orang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Karena Allah membedakan kehidupan antara orang yang berilmu dan tidak berilmu dalam segala hal. Allah membedakan kehidupan mereka di dunia, di alam barzakh, dan kehidupan mereka di akhirat. Allah juga membedakan di antara mereka dalam hal keyakinan, adab dan hal-hal lainnya.
Jangankan untuk membandingkan orang yang berilmu dan tidak berilmu, perbedaan antara hewan yang berilmu dan tidak berilmu sendiri Allah bedakan. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah, ‘Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya’.” (QS. Al-Maidah: 4)
Misalnya ada seseorang yang memiliki seekor anjing dan ingin berburu dengan anjingnya, kemudian dia mengajari anjing tersebut hingga pintar, lalu dilepasnya anjing tersebut untuk berburu dengan bismillah, maka jika anjing tersebut mendapatkan hewan buruannya, maka hasil buruan yang di dapat oleh anjing tersebut hukumnya halal. Akan tetapi jika anjing yang tidak dilatih, kemudian berburu dan mendapatkan hewan buruannya, maka status hewan buruannya menjadi haram. Perhatikanlah bahwa dari ayat ini Allah membedakan antara hewan yang punya ilmu dan hewan yang tidak punya ilmu. Maka jika hewan saja Allah bisa bedakan dari sisi keilmuannya, maka terlebih lagi dengan manusia. Maka semakin jelas berbeda antara orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu.
- Keutamaan ilmu seperti keutamaan berjihad
Di antara ayat yang lain yang menunjukkan agungnya ilmu adalah firman Allah ﷻ,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Perhatikanlah ayat di atas. Allah melarang semua para sahabat berjihad. Allah mengatakan bahwa harus ada sebagian orang yang belajar ilmu agama. Oleh karenanya ayat ini menunjukkan bahwasanya menuntut ilmu adalah perkara yang setara dengan jihad. Kemuliaannya pun sama dengan kemuliaan jihad. Oleh karenanya banyak ulama yang mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah jihad. Bahkan Allah sendiri menyebutkan bahwa ilmu itu jihad.
Dalam ayat yang lain Allah ﷻ berfirman kepada Nabi rahimahullah,
فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
“Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar.” (QS. Al-Furqan: 52)
Perintah Allah ﷻ kepada Nabi rahimahullah untuk berjihad melawan orang-orang kafir dalam ayat ini, turun sebelum Nabi rahimahullah berhijrah ke kota Madinah. Dan kita tahu bahwa perintah Allah untuk Nabi rahimahullah berjihad dengan pedang turun setelah beliau hijrah ke kota Madinah. Sehingga tatkala Nabi rahimahullah berhijrah, barulah terjadi beberapa perang seperti perang Badr pada tahun 2H, perang Uhud pada tahun 3H, perang Khandaq pada tahun 5H, dan yang lainnya. Sedangkan waktu Nabi rahimahullah di Mekkah, belum ada jihad dengan pedang, bahkan Nabi rahimahullah tidak bisa berjihad tatkala itu. Nabi tidak bisa berbuat apa-apa tatkala melihat para sahabat disiksa dan dibunuh. Bahkan ketika Keluarga Yasir dibunuh, dan Sumayyah ibu dari Ammar meninggal dunia karena ditikam oleh Abu Jahal, Nabi rahimahullah tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa berkata kepada keluarga Yasir,
صَبْرًا يَا آلَ يَاسِرٍ فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ
“Bersabarlah wahai keluarga Yasir! Sesungguhnya Allah menjanjikan surga bagi kalian.”([1])
Tatkala Bilal, Khabbab, dan para sahabat lainnya disiksa, Nabi rahimahullah tidak bisa berbuat apa-apa. Sehingga tatkala di Mekkah, Nabi rahimahullah tidak bisa berjihad dengan pedang, akan tetapi Allah memerintahkan Nabi rahimahullah berjihad dengan ilmu yaitu Al-Quran. Bahkan dalam ayat tersebut Allah menyebutkan bahwa berjihad dengan ilmu sebagai jihad yang besar.
Oleh karenanya ayat di atas merupakan dalil bahwa menuntut ilmu dan berdakwah dengan ilmu adalah jihad di sisi Allah ﷻ. Oleh karenanya datang dalam beberapa hadis, salah satunya adalah tentang keutamaan Masjid Nabawi. Nabi rahimahullah bersabda,
مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا، لَمْ يَأْتِهِ إِلَّا لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ
“Barang siapa yang datang kepada masjidku (masjid Nabawi) ini, dia tidak datang selain untuk kebaikan yang dia pelajari atau dia ajarkan, maka dia seperti orang yang berjihad di jalan Allah. Dan barang siapa mendatanginya untuk selain itu, maka dia seperti orang yang melihat barang milik orang lain.”([2])
Maka dari itu, jangan sampai kita ragu bahwa menuntut ilmu itu adalah perkara yang penting bagi diri pribadi atau masyarakat. Bahkan di zaman sekarang ini, kesempatan untuk berjihad dengan senjata, tidak mudah terbuka dimana-mana, dan betapa banyak kita melihat betapa banyak jihad yang tidak memenuhi syarat-syarat syar’i untuk berjihad. Sehingga sering kita jumpai betapa banyak orang yang menyuarakan jihad, akan tetapi hanya menimbulkan kerusakan dan mencoreng keindahan Islam seperti pengeboman dan semisalnya. Sehingga penulis katakan bahwa berjihad dengan ilmu bisa menjadi jihad yang paling utama saat ini. Sebab betapa banyak orang dengan ilmunya membuat orang lain membuat orang masuk Islam. Lihatlah di negara-negara non-muslim, karena geliat Islam yang luar biasa, akhirnya orang-orang berbondong-bondong masuk Islam setiap harinya dengan ilmu yang didakwahkan di negara-negara tersebut, baik melalui mimbar, internet, maupun buku-buku. Oleh karenanya tidak ada yang ragu bahwasanya menuntut dan menyebarkan ilmu itu adalah jihad.
Dari sini kemudian sebagian ulama berpendapat bahwa orang-orang yang berhak mendapat zakat adalah orang-orang yang berdakwah, terlebih lagi jika pendakwah tersebut kurang mampu. Mereka berdalil dengan firman Allah ﷻ,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk yang (berjihad) di jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Sebagian ulama berijtihad bahwa para pendakwah dikategorikan orang yang bisa menerima zakat karena mereka dianggap sedang berjihad di jalan Allah ﷻ, apalagi jika mereka memang tidak mampu. Terlebih lagi bagi seorang dai yang betul-betul konsentrasi dalam membantah syubhat-syubhat dari orang-orang kafir, maka telah jelas bahwa mereka berhak mendapatkan zakat karena dakwah mereka adalah jihad. Ini semua menjelaskan kepada kita bahwa menuntut ilmu itu seperti berjihad di jalan Allah ﷻ.
Agungnya Ilmu Berdasarkan Hadis Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam.
Berbicara tentang dalil-dalil dari hadis yang menyebutkan tentang agungnya ilmu, di antaranya sebagai berikut:
Paham terhadap agama tanda bahwa Allah menghendaki kebaikan baginya
Rasulullah rahimahullah bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan buat dia fakih (paham) terhadap perkara agama.”([3])
Dalam hadis ini, Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa خَيْرًا dengan nakirah li tafkhim untuk menunjukkan bahwa jika Allah ingin kebaikan yang besar bagi seorang hamba, Allah akan buat dia paham tentang agama. Oleh karenanya jika Anda sekalian tertarik untuk belajar agama, tertarik untuk menghadiri majelis-majelis ilmu, maka itu tanda kebaikan bahwa Allah masih sayang kepada Anda. Oleh karenanya sebagian ulama menyebutkan mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) dari hadis ini adalah bahwa barang siapa yang Allah ingin keburukan baginya, Allah akan buat dia bodoh dalam urusan agama. Maka jangan sampai seseorang belajar ilmu dunia setinggi-tingginya hingga profesor, akan tetapi dalam urusan agama ilmunya seperti anak TK. Dan perkara seperti ini sangatlah menyedihkan. Saya tidak menuntut Anda untuk memiliki ilmu yang tinggi dalam agama, akan tetapi setidaknya Anda memiliki pemahaman terhadap agama tidak seperti pemahaman anak TK. Maka jika seseorang cinta dan senang dalam menelaah perkara agama, senang dalam membantu penyebaran ilmu agama, dan hal-hal lain yang bisa membuatnya bisa lebih paham dengan urusan agama, insyaallah ada tanda kebaikan baginya dari Allah ﷻ.
Hadis tentang keutamaan ahli ilmu
Rasulullah rahimahullah bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ، وَإِنَّ المَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ العِلْمِ، وَإِنَّ العَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الحِيتَانُ فِي المَاءِ، وَفَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ، كَفَضْلِ القَمَرِ عَلَى سَائِرِ الكَوَاكِبِ، إِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan menuntunnya menuju surga. Dan para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena senang kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang berilmu itu akan dimintakan ampunan oleh makhluk penghuni langit dan bumi hingga ikan yang ada di air. Keutamaan seorang ‘alim dibandingkan dengan seorang ahli ibadah adalah ibarat keutamaan rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang sangat besar.”([4]) (HR. Tirmidzi 5/38 no. 2682)
Dalam hadis ini, kita akan menjelaskan dalam beberapa poin.
Poin pertama, Rasulullah rahimahullah mengatakan,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan menuntunnya menuju surga.”
Bukankah setiap amal saleh yang kita langkahkan kaki kita untuk melakukan amal saleh tersebut seperti salat di masjid, melangkahkan kaki untuk berbakti kepada orang tua, melangkahkan kaki dari satu manasik ke manasik yang lain, dan amal saleh yang lain bisa memudahkan kita untuk menuju surga? Tentunya seluruh amal saleh, apa pun bentuknya bisa mengantarkan kita menuju surga. Akan tetapi timbul pertanyaan bahwa mengapa Nabi rahimahullah mengkhususkan penyebutan bagi orang yang menuntut ilmu? Jawaban dari sebagian ulama adalah karena jalan termudah dan bahkan lebih mudah dari yang lainnya untuk menuju surga adalah dengan menuntut ilmu. Sebab dengan seseorang memiliki ilmu, dia akan belajar tentang hal-hal buruk yang harus dia jauhi, dengan ilmu dia akan mengetahui prioritas dalam beramal saleh, dengan ilmu dia akan bersikap hikmah dan bijak. Sehingga para ulama mengatakan bahwa berdasarkan hadis ini, jalan termudah menuju surga adalah dengan menuntut ilmu. Maka dari sini penulis sampaikan kepada saudaraku sekalian, bahwasanya menuntut ilmu itu adalah ibadah karena Nabi rahimahullah telah bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.”([5])
Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa menuntut ilmu wajib, maka pasti berpahala. Maka sebagaimana salat, puasa, umrah dan haji mendapatkan pahala, maka dengan menuntut ilmu juga akan mendapatkan pahala. Kemudian juga saya katakan bahwa sebagaimana ungkapan Ibnu Taimiyah bahwa salah seorang dengan orang lainnya bisa berbeda pahalanya dalam salat karena tata cara atau tingkat khusyuknya, maka begitu pun dengan orang yang menuntut ilmu, masing-masing orang bisa jadi berbeda-beda pahala yang dia dapatkan dari menuntut ilmu. Maka telah jelas bahwa menuntut ilmu adalah ibadah, karena Nabi rahimahullah mengatakan bahwa menuntut ilmu akan memudahkan jalan menuju surga.
Poin kedua, Rasulullah rahimahullah mengatakan,
وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ
“Para malaikat akan membentangkan sayapnya karena ridha kepada penuntut ilmu.”
Malaikat melakukan tersebut karena penghormatan mereka terhadap para penuntut ilmu. Tatkala malaikat melihat seorang hamba yang sedang berjalan dan bersemangat untuk menuntut ilmu, maka para malaikat akan membentangkan sayapnya untuk melindungi hamba tersebut yang sedang hendak pergi menuntut ilmu.
Poin ketiga, Rasulullah rahimahullah mengatakan,
وَإِنَّ العَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الحِيتَانُ فِي المَاءِ
“Sesungguhnya seorang berilmu itu akan dimintakan ampunan oleh makhluk penghuni langit dan bumi hingga ikan yang ada di air.”
Tingkatan ini merupakan tingkatan yang paling tinggi. Bagi seorang yang baru menuntut ilmu belum bisa mendapatkan keutamaan ini. Dia harus terus belajar hingga dia sampai para derajat alim, agar seluruh makhluk baik di langit dan di bumi memintakan ampunan untuknya. Para ulama mengatakan bahwa begitulah ilmu, dia akan mendatangkan kesejahteraan, ketenteraman, dan akan menghindarkan manusia dari kerusakan. adapun orang yang tidak berilmu, kebodohannyalah yang akan menimbulkan berbagai macam kerusakan maupun bencana.
Poin keempat, Rasulullah rahimahullah mengatakan,
وَفَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ، كَفَضْلِ القَمَرِ عَلَى سَائِرِ الكَوَاكِبِ
“Keutamaan seorang alim dibandingkan dengan seorang ahli ibadah adalah ibarat keutamaan rembulan atas seluruh bintang.”
Kita ketahui bahwa bulan hanya satu di langit dan terdapat banyak bintang-bintang. Akan tetapi sinar yang sampai untuk menerangi bumi pada malam hari adalah sinar dari bulan. Bintang bisa saja jumlahnya jutaan, akan tetapi sinarnya tidak bisa memberikan penerangan di malam hari. Oleh karenanya penulis katakan bahwa satu orang yang benar-benar alim itu lebih baik daripada ribuan ahli ibadah, karena ahli ibadah yang jumlahnya ribuan tersebut banyak memberi manfaat bagi dirinya sendiri seperti bintang-bintang yang tidak bisa memberikan penerangan bagi bumi. Sedangkan orang alim bisa memberikan manfaat kepada orang lain berupa peringatan dan pelajaran kepada masyarakat, seperti rembulan yang cahayanya bisa menerangi bagi orang-orang di muka bumi meskipun jumlahnya hanya satu. Oleh karenanya ketika ada seorang alim yang meninggal dunia, maka pasti kita akan sangat merasa kehilangan melebihi kehilangan seorang ahli ibadah, karena ilmu yang besar dari mereka telah hilang.
Poin kelima, Rasulullah rahimahullah mengatakan,
إِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِر
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang sangat besar.”
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Fatimah Radhiallahu ‘anhu mengutus seseorang untuk menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk meminta diberikan bagian dari harta Rasulullah rahimahullah. Maka Abu Bakar Ash-Shiddiq memberikan jawaban bahwa Rasulullah rahimahullah pernah bersabda,
لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ
“Sesungguhnya harta peninggalan kami tidak dapat diwarisi, Apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.”([6])
Abu Bakar Ash-Shiddiq menjelaskan bahwa para nabi tidak memberi warisan dari dinar dan dirham. Adapun warisan para nabi adalah ilmu. Oleh karenanya dalam hadis ini Nabi rahimahullah mengatakan bahwa barang siapa yang mengambil bagian dari warisan tersebut (yaitu ilmu), maka dia mendapat bagian warisan yang amat besar. Oleh karenanya jika Anda ingin mengambil warisan dari para nabi, maka bacalah Al-Quran, hadis, dan penjelasan para ulama tentang ilmu tersebut. Maka keterangan di atas menunjukkan bahwa tatkala Nabi rahimahullah mengatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, Nabi rahimahullah ingin menjelaskan bagaimana dekatnya kedudukan para ulama dan para nabi. Maka sebagaimana dekatnya kedudukan ahli waris dengan pemberi warisan, maka seperti itulah kedekatan kedudukan antara para ulama dan ara nabi.
Inilah sebagian kecil dari hadis-hadis yang menunjukkan agungnya ilmu. Maka hendaknya seseorang meyakini bahwa menuntut ilmu adalah suatu ibadah, dan jangan sampai dia menuntut ilmu namun tidak merasakan bahwa dia sedang beribadah. Oleh karenanya juga hendaknya seseorang tatkala menuntut ilmu dia memerhatikan niatnya. Dalam suatu riwayat Imam Ahmad berkata kepada muridnya,
العِلمُ لا يَعْدِلُهُ شَيْءٌ لِمَنْ صَحَّت نيَّتُهُ، قَالُوا: كَيْفَ تَصِحُّ النِّيَّةُ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ؟ قَالَ: يَنْوِي رَفْعَ الجَهْلِ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ غَيْرِهِ
“Tidak ada keutamaan yang setara dengan keutamaan ilmu (agama) bagi siapa saja yang niatnya benar (ikhlas).” Kemudian Imam Ahmad ditanya, ‘Bagaimana cara seseorang niatnya menjadi benar (ikhlas)?’ Imam Ahmad berkata, ‘Dalam menuntut ilmu hendak seseorang berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya dan juga menghilangkan kebodohan dari orang lain’.”([7])
Maka jangan kemudian Anda menuntut ilmu dengan niat tampil, atau ingin diakui sebagai murid ustaz Fulan, atau bahkan mencari dunia. Akan tetapi tatkala Anda sedang menuntut ilmu, pasanglah dua niat seperti di atas bahwa Anda menuntut ilmu untuk mengangkat kebodohan dari diri sendiri dan orang lain. Tatkala seseorang bisa menuntut ilmu dengan keikhlasan, maka Allah akan berkahi dia dan dia akan mendapatkan pahala yang besar.
Kepada Siapa Kita Mengambil Ilmu?
Setelah kita mengetahui akan agungnya ilmu, pertanyaan selanjutnya adalah kepada siapa kita mengambil ilmu? Ketahuilah bahwa ilmu merupakan perkara yang besar. Ada sebuah kisah yang menarik dari Imam Malik. Suatu ketika ada orang yang melakukan perjalanan selama enam bulan untuk bertanya tentang suatu masalah kepada Imam Malik. Dia berkata kepada Imam Malik,
يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ جِئْتُكَ مِنْ مَسِيرَةِ سِتَّةِ أَشْهُرٍ حَمَّلَنِي أَهْلُ بَلَدِي مَسْأَلَةً أَسْأَلُكَ عَنْهَا، قَالَ: فَسَلْ فَسَأَلَهُ الرَّجُلُ عَنْ مَسْأَلَةٍ فَقَالَ «لَا أُحْسِنُهَا» قَالَ: فَبُهِتَ الرَّجُلُ كَأَنَّهُ قَدْ جَاءَ إِلَى مَنْ يَعْلَمُ كُلَّ شَيْءٍ، قَالَ فَقَالَ: فَأَيُّ شَيْءٍ أَقُولُ لِأَهْلِ بَلَدِتِي إِذَا رَجَعْتُ لَهُمْ؟ قَالَ: ” تَقُولُ لَهُمْ: قَالَ مَالِكٌ: لَا أُحْسِنُ
“Wahai Aba Abdillah, aku datang kepadamu dari jarak enam bulan perjalanan, penduduk negeriku menugaskanku agar aku menanyakan kepadamu suatu permasalahan.” Imam Malik berkata “Tanyakanlah!”. Maka orang tersebut bertanya sesuatu permasalahan. Imam Malik menjawab, “Aku tidak bisa menjawabnya”. Orang tersebut kaget, sepertinya dia membayangkan bahwa dia telah datang kepada seseorang yang tahu segalanya. Kemudian orang tersebut berkata, “Lalu apa yang akan aku katakana kepada penduduk negeriku jika aku pulang kepada mereka?” Imam Malik menjawab: ‘Katakan kepada mereka bahwa Imam Malik berkata: Saya tidak bisa menjawabnya’.”([8])
Kisah lain juga disebutkan bahwa Imam Malik sangat tidak senang dengan orang yang meremehkan ilmu. Apabila ada orang yang bertanya kepadanya dengan mengatakan, “Wahai Imam Malik, saya memiliki pertanyaan yang ringan“. Maka Imam Malik pun marah kepada orang tersebut, lalu mengatakan “Tidak ada yang ringan dalam perkara Agama” karena Allah ﷻ berfirman,
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat (Al-Quran).” (QS. Al-Muzzammil: 5)
Maka karena ilmu agama adalah perkara yang berat, maka ilmu agama menjadi sangat agung. Sehingga seseorang hendaknya mengagungkan ilmu tersebut dengan selektif dalam mencari sumber ilmu yang agung tersebut. Dalam hadis Rasulullah rahimahullah menyuruh kita selektif dalam memilih teman. Rasulullah rahimahullah bersabda,
مَثَلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ، كَحَامِلِ المِسْكِ وَنَافِخِ الكِيرِ، فَحَامِلُ المِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الكِيرِ: إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Perumpamaan teman yang saleh dengan teman yang buruk bagaikan penjual minyak wangi dengan pandai besi. Perumpamaan penjual minyak wangi adalah bisa jadi akan menghadiahkan kepadamu atau kamu membeli darinya, atau kamu akan mendapatkan bau wanginya. Sedangkan pandai besi hanya akan membakar bajumu atau kaum akan mendapatkan baut tidak sedapnya.”([9])
Dalam hadis yang lain Rasulullah rahimahullah bersabda,
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلْ
“Seseorang tergantung pada agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat siapa yang dia jadikan sebagai teman.”([10])
Oleh karenanya pepatah Arab mengatakan,
الصاحب الساحب
“Sahabat itu menarik.”
Tatkala kita sedang menjalin persahabatan, maka pasti akan terjadi sinkronisasi. Entah kita akan menjadi seperti sahabat kita atau dia (sahabat) akan menjadi seperti diri kita. Jika tidak terjadi keduanya, maka pasti akan putus persahabatan tersebut. Misalnya jika seseorang sering bergaul dengan orang yang mulutnya senantiasa berkata-kata kotor dan gibah, maka dia akan terbawa pada sifat berkata-kata kotor dan gibah tersebut. Adapun jika seseorang sering bergaul dengan orang yang rajin ke masjid dan ke majelis ilmu, maka dia akan terbawa sifat rajin ke masjid dan ke majelis ilmu pula. Mau tidak mau akan terjadi sinkronisasi antar sahabat, karena sahabat itu akan menarik sahabat yang lainnya.
Jika ternyata untuk memilih teman harus selektif, maka bagaimana lagi dengan memilih guru agama yang dari mulutnya kita menjadikannya akidah di dalam hati kita, dan kita bertemu dengan Allah dengan keyakinan tersebut? Maka hendaknya seseorang berhati-hati dengan tidak menjadikan sembarang orang sebagai sumber ilmu agamanya. Sebagai contoh, sebagian orang terkadang dalam perkara dunia seperti kesehatan dia tidak ingin sembarang dalam memilih dokter untuk melakukan operasi terhadapnya. Bahkan terkadang sebagian orang rela membayar mahal agar dia mendapatkan dokter yang betul-betul ahli dalam bidang yang dia inginkan dan agar tidak terjadi kesalahan dalam penanganan medis tersebut. Tidak perlu jauh-jauh, seseorang yang sakit sederhana saja, terkadang dia pun pilih-pilih dokter yang menurutnya lebih baik dari segi pelayanan atau yang lainnya. Kemudian contoh lain juga tatkala seseorang hendak mengambil guru untuk mengajarkan anaknya dalam perkara dunia, maka pasti dia selektif dalam memilih guru tersebut. Maka apabila seseorang selektif mengambil orang dalam perkara-perkara dunia, terlebih lagi dalam ilmu agama, hendaknya seseorang selektif dalam memilih guru agama.
Perkara selektif dalam memilih guru agama merupakan hal yang sangat dituntut di zaman sekarang. Karena pada zaman sekarang ini sudah sangat sulit untuk membedakan mana yang benar seorang ustaz dan mana yang ustaz karbitan. Pada zaman sekarang semua orang bisa berbicara masalah agama hanya melalui suatu tulisan dan kemudian sebab pandainya dia dalam beretorika maka diangkatlah dia oleh masyarakat sebagai ustaz. Padahal tatkala berbicara permasalahan yang lain dia tidak tahu sama sekali. terlebih lagi jika ustaz tersebut adalah ustaz yang fleksibel dalam hukum hala-haram, sehingga masyarakat mendapatkan apa yang mereka cari yaitu penghalalan dalam perkara yang ustaz lainnya mengharamkan seperti musik. Ini adalah contoh sederhana, dan kita baru berbicara tentang hukum, belum lagi ketika kita berbicara tentang akidah. Hal-hal seperti ini benar terjadi di zaman sekarang, di mana seseorang sangat mudah menjadi ustaz atau memberi fatwa.
Di zaman Imam Malik, beliau memiliki guru yang dikenal dengan sebutan Rabi’ah Ar-Ra’yi. Nama beliau adalah Rabi’ah bin Abi Abdirrahman yang merupakan salah seorang tabiin. Imam Malik meriwayatkan,
أَخْبَرَنِي رَجُلٌ “أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَوَجَدَهُ يَبْكِي، فَقَالَ لَهُ: مَا يُبْكِيكَ؟ وَارْتَاعَ لِبُكَائِهِ فَقَالَ لَهُ: أَمُصِيبَةٌ دَخَلَتْ عَلَيْكَ؟ فَقَالَ: لَا، وَلَكِنِ اسْتُفْتِيَ مَنْ لَا عِلْمَ لَهُ وَظَهَرَ فِي الْإِسْلَامِ أَمْرٌ عَظِيمٌ، قَالَ رَبِيعَةُ: وَلَبَعْضُ مَنْ يُفْتِي هَا هُنَا أَحَقُّ بِالسَّجْنِ مِنَ السُّرَّاقِ
“Seorang laki-laki mengabarkan kepadaku bahwa suatu ketika dia datang menemui Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, lalu ia melihatnya sedang menangis. Lalu laki-laki tersebut berkata, ‘Apa yang membuatmu menangis? Apakah ada musibah yang menimpamu’” Maka Rabi’ah berkata, ‘Tidak, aku menangis karena orang-orang yang tidak berilmu telah dimintai fatwa, sehingga muncullah kerusakan besar di tengah-tengah agama Islam ini. Sebenarnya, sebagian orang yang lancang berfatwa, lebih pantas untuk dipenjara dibandingkan para pencuri’.”([11])
Lihatlah bahwa Rabi’ah menangis lantaran ada orang yang tidak memiliki ilmu, akan tetapi dimintai fatwa, padahal perkara tersebut adalah hal yang besar dalam agama. Rabi’ah sedih karena merasa tidak ada pengagungan terhadap ilmu, sehingga orang-orang bisa mengambil ilmu dari siapa saja. Padahal orang tersebut tidak memiliki landasan agama sama sekali, bahkan mungkin baru sebulan hijrah mendalami ilmu agama kemudian telah berani berkomentar masalah agama.
Tentunya kita akan sangat senang tatkala melihat saudara kita yang lain hijrah. Akan tetapi tidak serta merta setelah hijrah langsung menjadi ustaz. Kalau hanya sekedar menjadi motivator dalam mengajak seseorang berhijrah dengan kisahnya adalah hal yang boleh. Akan tetapi tidak jika langsung menjadi ustaz yang bisa mengomentari berbagai macam perkara agama. Fenomena seperti ini banyak terjadi, dan dahulu saya pernah mendengar bahwa di Mesir banyak orang yang baru hijrah kemudian langsung berceramah, dan para ulama mengingkari hal-hal tersebut. Ketahuilah bahwa fenomena seperti ini adalah bentuk merendahkan ilmu.
Ketahui pulalah bahwa Rabi’ah wafat pada tahun 136H. Kemudian perkataan beliau di atas, kembali dinukil oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziah yang wafat tahun sekitar 750-an hijriah dan berkata, “Bagaimana jika saja Rabi’ah melihat orang di zaman sekarang ini (semangat berfatwa)?” Maka kita juga ikut mengatakan bahwa bagaimana jika Rabi’ah hidup di zaman sekarang, terlebih lagi di Indonesia yang sangat banyak orang menggampangkan untuk berfatwa? Bisa jadi mungkin beliau akan menangis setiap harinya.
Terkadang kita melihat ada seorang ahli kimia yang berbicara sesuai bidangnya, akan tetapi kita lihat bahwa tidak ada orang yang berani mengomentarinya karena menyadari bahwa dia tidak ahli dibidang tersebut. Begitu pula dengan masalah kedokteran, tidak semua orang berani mengomentari. Akan tetapi yang mengherankan adalah kenapa jika hal tersebut adalah urusan agama yang merupakan syariat Allah ﷻ, semua orang berani berkomentar? Padahal mereka mungkin adalah orang yang baru belajar agama, tidak mengetahui bahasa Arab, dan bahkan tidak pandai membaca Al-Quran dengan benar. Jika matematika yang salah dalam menghitung akan menghasilkan kesalahan yang besar, maka bagaimana lagi jika seseorang salah dalam berbicara urusan syariat agama.
Jika pada akhirnya kita salah dalam memilih guru, kemudian darinya kita mendengarkan dan menyerap berbagai macam syubhat, perkara yang tidak jelas, dan ilmu akidah yang menyimpang, maka kita akan kerepotan nantinya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut. maka jangan membuat susah diri kita dengan mendengarkan berbagai macam syubhat. Cukupkan diri dengan mendengarkan ilmu dari orang yang kita tahu bahwa dia berada di atas ilmu yang benar. Oleh karenanya mengingat di zaman ini betapa banyak orang yang pandai berbicara agama, maka hendaknya seseorang selektif dalam mencari ilmu dan guru agama. Karena sesungguhnya setiap orang akan bertemu Allah dengan ilmu tersebut, maka jangan sampai seseorang salah dalam berkeyakinan.
_____
Footnote:
([1]) Syu’abul Iman No. 1515.
([2]) HR. Ibnu Majah No. 227, sahih menurut Syaikh Al-Albani.
([3]) HR. Bukhari No. 71
([4]) HR. At-Tirmidzi No. 2682, sahih menurut Syaikh Al-Albani.
([5]) HR. Ibnu Majah No. 224, Syaikh Al-Albani mengatakan hadis ini sahih tanpa lafal “وواضع العلم”
([6]) HR. Muslim No. 1761.
([7]) Majmu’ Fataawa wa Rasail Al-‘Utsaimin (26/250).
([8]) Jami’ Al-Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlih No. 1573, (2/838).
([9]) HR. Bukhari No. 5534
([10]) HR. Ahmad No. 8417, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykatul Mashabih No. 5019, dan disebutkan bahwasanya Imam An-Nawawi menyatakan bahwa hadis ini sahih.
([11]) Jami’ Al-Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlih 2/1225 no. 2410
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/