Type Here to Get Search Results !

 


TAFSIR QS AL-KAHFI 99-110

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-99

99. ۞ وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِى بَعْضٍ ۖ وَنُفِخَ فِى ٱلصُّورِ فَجَمَعْنَٰهُمْ جَمْعًا

wa taraknā ba’ḍahum yauma`iżiy yamụju fī ba’ḍiw wa nufikha fiṣ-ṣụri fa jama’nāhum jam’ā

99. Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya.

Tafsir:

يَمُوجُ artinya bergelombang seperti gelombang lautan yang ada di laut, yaitu berupa ombak yang besar. Maksudnya ketika tembok yang menghalangi Ya’juj dan Ma’juj hancur maka keluarlah mereka bergelombang begitu banyak. Terdapat beberapa penafsiran berkaitan dengan firman-Nya

بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ

“Sebagian mereka (Ya’juj dan Ma’juj) berbaur antara satu dengan yang lain” sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Alusi dalam kitabnya Ruhul Ma’ani([1]) di antaranya:

    Ketika menjelang kiamat, para manusia ketakutan sehingga mereka bertumpuk-tumpukan, mungkin dikarenakan mereka bertabrakan ketika berlari, disebabkan dahsyatnya hari kiamat. Mereka bercampur baur seperti ombak yang saling menghantam di lautan.

    Para manusia ketakutan dan akhirnya menyebabkan saling bertumpuk ketika melihat Ya’juj dan Ma’juj muncul. Karena Ya’juj dan Ma’juj akan muncul di suatu daerah dan mereka bergerak dengan cepat ke seantero dunia dan menimbulkan rasa takut kepada setiap orang yang melihatnya. Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan tentang Ya’juj dan Ma’juj,

حَتَّى إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ

“Hingga apabila (tembok) Ya’juj dan Ma’juj dibukakan dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.” (QS. Al-Anbiya’: 96)

Jumlah Ya’juj dan Ma’juj sangatlah banyak, sehingga setiap orang yang melihat mereka ketakutan dan menyebabkan mereka lari bertabrakan dan akhirnya bertumpuk-tumpuk.

    Yang dimaksud bertumpuk-tumpuk adalah Ya’juj dan Ma’juj. Karena saking banyaknya mereka, seakan-akan mereka seperti gelombang yang bertumpukan ketika mereka keluar. Ini menunjukkan sangat banyaknya jumlah mereka, oleh karenanya kita tidak mengetahui berapa jumlah mereka. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits,

” يَا آدَمُ، فَيَقُولُ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالخَيْرُ فِي يَدَيْكَ، فَيَقُولُ: أَخْرِجْ بَعْثَ النَّارِ، قَالَ: وَمَا بَعْثُ النَّارِ؟، قَالَ: مِنْ كُلِّ أَلْفٍ تِسْعَ مِائَةٍ وَتِسْعَةً وَتِسْعِينَ، فَعِنْدَهُ يَشِيبُ الصَّغِيرُ، وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا، وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى، وَلَكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ ” قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَأَيُّنَا ذَلِكَ الوَاحِدُ؟ قَالَ : ” أَبْشِرُوا، فَإِنَّ مِنْكُمْ رَجُلًا وَمِنْ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ أَلْفًا. ثُمَّ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنِّي أَرْجُو أَنْ تَكُونُوا رُبُعَ أَهْلِ الجَنَّةِ ” فَكَبَّرْنَا، فَقَالَ: «أَرْجُو أَنْ تَكُونُوا ثُلُثَ أَهْلِ الجَنَّةِ» فَكَبَّرْنَا، فَقَالَ: «أَرْجُو أَنْ تَكُونُوا نِصْفَ أَهْلِ الجَنَّةِ» فَكَبَّرْنَا، فَقَالَ: «مَا أَنْتُمْ فِي النَّاسِ إِلَّا كَالشَّعَرَةِ السَّوْدَاءِ فِي جِلْدِ ثَوْرٍ أَبْيَضَ، أَوْ كَشَعَرَةٍ بَيْضَاءَ فِي جِلْدِ ثَوْرٍ أَسْوَدَ»

“Wahai Adam, “. Nabi Adam ‘Alaihissalam menjawab: “Labbaika, kemuliaan milik-Mu dan segala kebaikan berada di tangan-Mu”. Kemudian Allah berfirman: “Keluarkanlah utusan neraka”. Adam bertanya; “Apa yang dimaksud dengan utusan neraka? (berapa jumlahnya?) “. Allah berfirman: “Dari setiap seribu, sembilan ratus sembilan puluh sembilan dijebloskan neraka!, Ketika perintah ini diputuskan, maka anak-anak belia menjadi beruban, dan setiap wanita hamil kandungannya berguguran dan kamu lihat manusia mabuk padahal mereka tidaklah mabuk akan tetapi (mereka melihat) siksa Allah yang sangat keras”. (QS. Alhajj 2), Para shahabat bertanya; “Wahai Rasulullah, adakah di antara kami seseorang yang selamat?”. Beliau bersabda: “Bergembiralah, karena setiap seribu yang dimasukkan neraka, dari kalian cuma satu, sedang sembilan ratus sembilan puluh sembilannya dari Ya’juj dan ma’juj”. Kemudian Beliau bersabda: “Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku berharap kalian menjadi di antara seperempat ahlu surga”. Maka kami bertakbir. Kemudian Beliau bersabda lagi: “Aku berharap kalian menjadi di antara sepertiga ahlu surga”. Maka kami bertakbir lagi. Kemudian Beliau bersabda lagi: “Aku berharap kalian menjadi di antara setengah ahlu surga”. Maka kami bertakbir sekali lagi. Lalu Beliau bersabda: “Tidaklah keberadan kalian di hadapan manusia melainkan bagaikan bulu hitam pada kulit sapi jantan putih atau bagaikan bulu putih yang ada pada kulit sapi jantan hitam”. ([2])

Jadi di antara penghuni neraka jahanam, yang paling banyak adalah Ya’juj dan Ma’juj. Ini menunjukkan jumlah mereka yang sangat banyak. kita semua mengetahui bahwa penghuni neraka jahanam sangat banyak dan yang paling banyak dari Ya’juj dan Ma’juj.

Kemudian firman-Nya,

وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا

“dan (apabila) sangkakala ditiup (lagi), akan Kami kumpulkan mereka semuanya.”

Yaitu maksudnya tiupan sangkakala yang kedua([3]). Yang pertama membuat semua orang meninggal dan yang kedua membangkitkan semua orang.

Yang meniup sangkakala adalah malaikat Israfil, hal ini berdasarkan ijma’ para ulama. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tiga malaikat utama ketika membaca doa istiftah dalam shalat malamnya,

«اللهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ، وَمِيكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ»

“Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka (orang-orang Kristen dan Yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizin dariMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki” ([4])

Dalam doa ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan “Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil”. Dikhususkan penyebutan 3 malaikat ini dikarenakan mereka berkaitan dengan masalah kehidupan. Jibril ‘alaihissalam berkaitan dengan kehidupan hati, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala menamakannya juga dengan Ruh. Karena dengan turunnya malaikat Jibril membawa Al-Quran memberikan kehidupan pada hati-hati manusia. Tanpa Al-Quran, hati manusia akan mati walaupun jasad mereka hidup, karena penuh dengan kesengsaraan. Begitu juga malaikat Mikail yang berkaitan dengan kehidupan, karena tugasnya berkaitan dengan pengaturan hujan, yang dengan hujan tersebut bisa menumbuhkan tetumbuhan di atas muka bumi. Kemudian malaikat Israfil juga berkaitan dengan kehidupan manusia, yaitu dari kematian mereka maka kemudian mereka dibangkitkan kembali dengan tiupan sangkakalanya pada hari kiamat kelak. ([5])

Bahkan dalil-dalil menunjukan bahwa yang dibangkitkan bukan hanya manusia, bahkan hewan pun juga dibangkitkan,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ ۚ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS. Al-An’am: 28)

Jadi burung-burung dan hewan-hewan  juga akan dibangkitkan bersama manusia, kemudian mereka dikumpulkan kepada Rabb mereka. Oleh karenanya dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ

“dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan.” (QS. At-Takwir: 5)

Juga firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا

“Kami kumpulkan mereka (seluruh manusia), dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka.”(QS. Al-Kahfi: 47)

Tidak ada satupun yang luput atau terlupakan, semuanya pasti dibangkitkan dan diminta pertanggung jawaban oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun cara dibangkitkannya manusia, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits,

«مَا بَيْنَ النَّفْخَتَيْنِ أَرْبَعُونَ» قَالَ: أَرْبَعُونَ يَوْمًا؟ قَالَ: أَبَيْتُ، قَالَ: أَرْبَعُونَ شَهْرًا؟ قَالَ: أَبَيْتُ، قَالَ: أَرْبَعُونَ سَنَةً؟ قَالَ: أَبَيْتُ، قَالَ: «ثُمَّ يُنْزِلُ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَيَنْبُتُونَ كَمَا يَنْبُتُ البَقْلُ، لَيْسَ مِنَ الإِنْسَانِ شَيْءٌ إِلَّا يَبْلَى، إِلَّا عَظْمًا وَاحِدًا وَهُوَ عَجْبُ الذَّنَبِ، وَمِنْهُ يُرَكَّبُ الخَلْقُ يَوْمَ القِيَامَةِ»

“Jarak antara dua tiupan (sangkakala) adalah empat puluh.” Ibnu Abbas bertanya, “Empat puluh hari?” beliau menjawab: “Tidak.” Ia bertanya lagi, “Empat puluh bulan?” beliau menjwab: “Tidak.” Ia bertanya lagi, “Empat puluh tahun?” Beliau menjawab: “Tidak.” Beliau kemudian bersabda: “Setelah itu, Allah menurunkan air dari langit, maka mereka pun hidup kembali sebagaimana tumbuhnya sayur-sayuran. Tidak ada tersisa seorang pun kecuali ia akan binasa, kecuali satu tulang yakni tulang ekor. Dari tulang itulah, manusia dibangkitkan kembali pada hari kiamat.” ([6])

Manusia ketika hancur maka ada satu bagian yang tidak akan penah sirna, yaitu di salah satu bagian tulang ekor. Tulang tersebut merupakan sumber pembentukan manusia ketika ditiupkan sangkakala yang kedua. Caranya adalah dengan Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan hujan yang deras, lalu airnya masuk ke dalam kubur hingga mengenai tulang tersebut, kemudian tumbuhlah manusia tersebut. Oleh karenanya Rasulullah bersabda

وَمِنْهُ يُرَكَّبُ الخَلْقُ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Dari tulang itulah, manusia dibangkitkan kembali pada hari kiamat”. Lalu seluruh manusia keluar dari kuburan mereka, dan Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan keadaan mereka ketika dibangkitkan,

خُشَّعًا أَبْصَارُهُمْ يَخْرُجُونَ مِنَ الْأَجْدَاثِ كَأَنَّهُمْ جَرَادٌ مُنْتَشِرٌ

“sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.” (QS. Al-Qomar: 7)

Ketika mereka bangkit dari kuburan, mereka kebingungan karena melihat kondisi yang dahsyat dan menakutkan, mereka bingung harus ke mana. Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala menggambarkan keadaan mereka bagaikan belalang-belalang yang berterbangan.

Ya’juj dan Ma’juj disebutkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala terkurung di suatu tempat di atas muka bumi ini dan kita tidak tahu lokasinya di mana. Di tempat itu mereka beranak pinak, suatu saat mereka akan keluar dari tempat tersebut dengan jumlah yang sangat banyak, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat yang lain,

حَتَّى إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ

“Hingga apabila (tembok) Ya’juj dan Ma’juj dibukakan dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.” (QS. Al-Anbiya’: 96)

_____

Footnote :

([1]) Kihat: Tafsir Al-Alusi 8/364

([2]) HR. Bukhori no. 3348 Muslim no. 222

([3]) Lihat: Fathul Qodir 3/372

([4]) HR. Muslim no. 770

([5]) Lihat: Al-Kaukabul Wahhaj 10/65

([6]) HR. Bukhori no. 4935

Sumber Pertama

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-100

100. وَعَرَضْنَا جَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لِّلْكَٰفِرِينَ عَرْضًا

wa ‘araḍnā jahannama yauma`iżil lil-kāfirīna ‘arḍā

100. dan Kami nampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas.

Tafsir:

Ini adalah perkara yang sangat mengerikan. Oleh karenanya kita harus sadar bahwa kita hidup di dunia ini tidak lama dan hanya sementara. Sehingga hendaknya kita mempersiapkan diri kita dengan beramal saleh dan janganlah kita bermalas-malasan. Jika kita sedang tertimpa rasa malas maka hendaknya kita ingat bahwa tasbih kita, dzikir kita, dan bacaan Al-Quran kita; kenikmatannya akan kita rasakan abadi. Jika seseorang malas untuk shalat walau 2 raka’at, maka yakinlah bahwa 2 rakaat ini akan menjadi kenikmatan yang abadi di akhirat. Sekedar sebagai renungan, kalau kita berkata kepada seseorang: jika kamu shalat 2 rakaat maka saya akan memberikanmu secangkir teh selamanya, kapanpun kamu inginkan maka teh ini akan tersedia di hadapanmu. Pastinya orang tersebut akan shalat walaupun hanya mendapatkan secangkir teh, namun dengan 2 rakaat tersebut dia bisa mendapatkan secangkir teh kapanpun dia mau. Begitu juga seseorang jika shalat 2 rakaat terutama sebelum subuh, Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan dunia dan seisinya, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah,

«رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا»

"Dua rakaat sebelum subuh lebih baik dari dunia dan seisinya.” ([1])

Kita tidak tahu kenikmatan apa yang akan kita dapat dari 2 rakaat ini, akan tetapi kita yakin bahwa 2 rakaat ini akan ada hasilnya dan kita akan merasakannya dengan abadi. Oleh karenanya jangan sampai kita malas, selama kita masih bernafas dan kita memiliki waktu, hendaknya kita gunakan untuk sesuatu yang bermanfaat, karena tidak ada amalan kebaikan yang sia-sia di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Meskipun amalan tersebut hanya berupa dzikir,

سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ

Semua ini akan sangat bernilai di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya hendaknya kita semangat beramal selama masih hidup, karena jika kita meninggal maka tidak bisa beramal lagi, hanya tinggal menunggu hari perhitungan.

_____

Footnote :

([1]) HR. Bukhori no. 4935

Sumber Kedua

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-101

101. ٱلَّذِينَ كَانَتْ أَعْيُنُهُمْ فِى غِطَآءٍ عَن ذِكْرِى وَكَانُوا۟ لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا

allażīna kānat a’yunuhum fī giṭā`in ‘an żikrī wa kānụ lā yastaṭī’ụna sam’ā

101. yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.

Tafsir:

Ayat ini menjelaskan tentang orang kafir yang disebutkan dalam ayat sebelumnya. Dalam firman-Nya “matanya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar” maksudnya adalah pandangan dan pendengaran mereka tidak mereka gunakan untuk beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Para ulama berbeda pendapat dalam maksud ayat ini,

  • Pendapat pertama: mengatakan bahwa mereka dibuat malas untuk beriman, sehingga mereka tidak mau mendengar tentang Islam([1]). Padahal mereka hidup bertetangga dengan orang-orang muslim, mereka sering mendengar ayat-ayat Al-Quran dibacakan, namun mereka malas untuk mendengarnya. Mereka menganggap Islam terlalu banyak aturan dan terlalu banyak yang diharamkan, akhirnya mereka menganggap masuk agama Islam adalah perkara yang akan memberatkan, akhirnya mereka pun malas. Sehingga ketika datang kebenaran di hadapan mereka, maka mereka menolaknya, tidak mau melihat ataupun mendengarnya. Jadi intinya mereka memiliki penglihatan dan pendengaran, namun tidak mau mereka gunakan untuk beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, untuk melihat ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala, dan untuk mendengar ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala. Ini seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan dalam ayat yang lain,

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179)

Inilah tafsiran pertama, yaitu mereka malas untuk melihat dan mendengar, sampai-sampai mereka dikatakan tidak mampu untuk melihat dan mendengar, padahal mereka sebenarnya mampu. Banyak orang yang seperti ini, biasa kita katakan bahwa mereka “menutup mata”.

  • Pendapat kedua: mengatakan maksud dari ayat ini adalah Allah subhanahu wa ta’ala telah menutup hati mereka. Sehingga kalaupun mereka mendengar dan melihat kebenaran di hadapan mereka, tetapi tidak bisa menjadikan mereka beriman. Hal ini dikarenakan hati mereka telah Allah subhanahu wa ta’ala tutup. Ini dikarenakan perbuatan kekufuran yang sering mereka kerjakan, yang menyebabkan mata dan telinga mereka tertutup.

_____

Footnote :

([1]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 16/42

Sumber Ketiga

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-102

102. أَفَحَسِبَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَن يَتَّخِذُوا۟ عِبَادِى مِن دُونِىٓ أَوْلِيَآءَ ۚ إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا

a fa ḥasiballażīna kafarū ay yattakhiżụ ‘ibādī min dụnī auliyā`, innā a’tadnā jahannama lil-kāfirīna nuzulā

102. maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.

Tafsir:

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama pada kata عِبَادِي: ([1])

Pendapat pertama: idhofah/penyandaran dalam kata عِبَادِي “hamba-hamba-Ku” adalah untuk tasyrif/pemuliaan. Sehingga maksud dari “hamba-hamba-Ku” di sini adalah mencakup para malaikat, para nabi, dan orang-orang saleh. Sebagaimana Allah berfirman,

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra’: 1)

Pada ayat ini Allah mensifati Nabi shallallahu álaihi wasallam dengan “hamba-Nya”, menunjukan bahwa idhofah ini untuk pemuliaan.

Pendapat kedua: idhofah/penyandaran dalam kata عِبَادِي “hamba-hamba-Ku” untuk menunjukkan keumuman. Sehingga maksud dari “hamba-hamba-Ku” di sini adalah seluruh hamba-hamba-Ku, termasuk di dalamnya semua yang disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala; seperti setan, hewan, jin, pohon, berhala, dan lainnya. Ini seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَٰنِ عَبْدًا

“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (QS. Maryam: 93)

Dari dua penjelasan ini maka terjadi perbedaan pendapat antara ulama dalam menafsirkan firman-Nya

أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِنْ دُونِي أَوْلِيَاءَ 

"Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku selain Aku menjadi penolong mereka?”. Apakah yang dimaksud bahwa “hamba-hamba-Ku” ini umum, atau yang dimaksud dengan “hamba-hamba-Ku” adalah para malaikat atau para nabi yang mereka sembah yang mereka yakini kelak mereka bisa menjadi penolong bagi mereka? Penulis sendiri lebih condong kepada pendapat pertama bahwasanya yang dianggap akan menjadi penolong bagi mereka pada hari kiamat adalah malaikat dan orang-orang saleh yang mereka sembah. Oleh karenanya orang-orang musyrikin menganggap bahwa orang-orang saleh dapat membantu mereka di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana yang Allah katakan,

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 3)

Pendapat kedua di atas merupakan pendapat Syaikh al-‘Utsaimin, beliau menafsirkan “hamba-hamba-Ku” di sini mencakup matahari, rembulan, dan yang lainnya yang mereka sembah, namun sesembahan tersebut tidak bisa menolong mereka di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala kelak pada hari kiamat([2]). Oleh karenanya pada hari kiamat, kelak matahari dan rembulan dilemparkan dalam neraka jahanam, agar orang-orang yang menyembah matahari dan rembulan mengetahui bahwa matahari dan rembulan tidak bisa menolongnya. Jika yang mereka sembah (matahari dan rembulan) berada di dalam neraka, lalu bagaimana mungkin bisa menolong mereka. Begitu juga orang yang menyembah setan, maka setan juga tidak bisa menolong mereka, karena setan juga diazab di neraka jahannam.

Kemudian firman-Nya,

إِنَّا أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ نُزُلًا

“Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.

Ada dua tafsiran berkaitan dengan kata نُزُلًا: ([3])

  • Pertama: ada yang mengatakan artinya adalah hidangan awal. Artinya akan disiapkan bagi orang-orang kafir sebuah hidangan neraka jahanam, ini merupakan hidangan awal, kemudian ada hidangan-hidangan lain berikutnya. Jadi Allah subhanahu wa ta’ala mengungkapkan neraka jahanam sebagai hidangan awal untuk mereka dalam rangka mengejek mereka.
  • Kedua: ada yang mengatakan artinya adalah tempat tinggal. Dua penafsiran ini tidaklah bertentangan, perbedaan ini biasa disebut dengan ikhtilaf tanawwu’ yaitu perbedaan yang tidak bertentangan. Sehingga jika kita gabungkan maka maknanya adalah Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan jahanam sebagai tempat tinggal untuk mereka dan juga memberikan mereka siksakan pembuka yang setelahnya akan ada siksaan-siksaan lainnya yang lebih mengerikan, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَذُوقُوا فَلَنْ نَزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا

“Karena itu rasakanlah. Dan Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kalian selain daripada azab.” (QS. An-Naba’: 30)

Ayat ini menjelaskan bahwa azab mereka terus bertambah. Sebagaimana di surga ada hidangan yang kenikmatannya bertambah, maka demikian juga di neraka jahanam, ada hidangan pembuka yaitu siksaan pembuka yang kemudian siksaan akan semakin bertambah.

_____

Footnote :

([1]) Lihat: Tafsir Al-Alusi 8/366

([2]) lihat: Tafsir Surah Al-Kahfi, Al-‘Utsaimin 1/141

([3]) lihat: Fathul Qodir 3/372

Sumber Keempat

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-103

103. قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا

qul hal nunabbi`ukum bil-akhsarīna a’mālā

103. Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”

Tafsir:

Kita tahu bahwasanya semua orang ini merugi sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan dalam surah Al-‘Ashr,

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)

Dalam surah ini dinyatakan semua orang dalam kerugian kecuali yang memenuhi 4 persyaratan: beriman, beramal saleh, saling berwasiat dalam kebenaran, dan saling berwasiat dalam kesabaran. Jika tidak terpenuhi salah satu dari 4 syarat ini maka dia masih tetap merugi. Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian” seakan-akan kerugian meliputinya/mengelilinginya dari segala sisi. Lalu bagaimana agar ia keluar dari lingkaran kerugian tersebut? Jawabannya, dia harus melakukan 4 syarat tersebut. Ini harus kita lakukan seluruhnya. Bukan hanya sekedar iman dan amal saleh, akan tetapi juga harus saling menasehati. Jika kita ada orang melakukan kesalahan, kesyirikan, dan kebid’ahan maka kita tegur. Juga kita harus saling menasehati agar bersabar dalam berdakwah, dalam menjalani takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian juga وَتَوَاصَوْا “dan saling menasehati” di sini terdapat faidah bahwa agar jangan sampai kita mencukupkan beramal untuk diri sendiri saja dan tidak perduli dengan urusan orang lain, seperti itu tidak benar, yang benar adalah kita harus saling menasehati di antara kaum muslimin. Orang yang tidak memenuhi 4 persyaratan ini maka dia merugi, dan ruginya mereka bertingkat-tingkat.

Begitu juga orang yang rugi lalu masuk neraka, kerugian ini juga bertingkat-tingkat dan siapakah yang paling rugi? Inilah yang dimaksud dari ayat ini.

Sumber Kelima

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-104

104. ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

allażīna ḍalla sa’yuhum fil-ḥayātid-dun-yā wa hum yaḥsabụna annahum yuḥsinụna ṣun’ā

104. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

Tafsir:

Allah menjelaskan bahwa dalam ayat ini orang yaling merugi tersebut adalah orang yang sesat namun menyangka telah melakukan amalan yang terbaik. Ada orang yang bermaksiat dan dia tahu bahwasanya dia telah merugi ketika melakukan kemaksiatan. Namun ada orang yang ketika di dunia merasa dirinya orang saleh dan padahal sejatinya dia adalah orang yang sesat, maka orang yang seperti ini adalah orang yang paling merugi, karena di dunia dia merasa benar dan merasa menjadi orang saleh, ternyata di akhirat dia masuk neraka jahanam. Ini juga dalil bahwasanya tidak semua orang yang sesat merasa dia telah sesat. Kita lihat orang-orang Nasrani yang jumlahnya lebih banyak dari umat Islam, mereka merasa benar dan mereka juga merasa kita adalah orang yang sesat, mereka menganggap kita domba-domba yang tersesat. Mereka yakin bahwasanya mereka akan masuk surga, bahkan menyakini dosa mereka telah ditebus oleh nabi Isa, akan tetapi apakah keyakinan dan perasaan benar tersebut membuat mereka selamat? Sama sekali tidak, justru mereka adalah orang yang paling merugi. Oleh karenanya banyak Ahli Tafsir mengatakan bahwa orang yang paling merugi adalah Yahudi dan Nasrani([1]), mereka merasa bahwa diri mereka adalah orang yang paling hebat, namun ternyata mereka adalah orang yang masuk ke dalam neraka jahanam. Orang Yahudi merasa dia adalah orang yang paling hebat dan merasa hanya dia lah yang masuk surga, adapun yang lain tidak masuk surga. Begitu juga orang Nasrani yang merasa hanya mereka yang akan masuk surga, karena mereka beriman kepada nabi Isa dan menganggap selainnya tidak ada jaminan keselamatan. Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan,

فَرِيقًا هَدَىٰ وَفَرِيقًا حَقَّ عَلَيْهِمُ الضَّلَالَةُ ۗ إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ

“Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-A’raf: 30)

Jadi ada penghuni neraka jahanam yang merasa diri mereka di dunia adalah benar, dan ini sangat banyak di zaman sekarang.

Seperti yang dijelaskan bahwa para ulama sepakat yang dimaksud dalam ayat ini adalah Ahlu Kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani. Lalu mereka berbeda pendapat tentang Ahlul Bid’ah seperti Khowarij, sebagian Ahlu Tafsir memasukkan Khowarij juga ke dalam ayat ini meskipun mereka tidak sampai kafir seperti Yahudi dan Nasrani([2]). Karena Khowarij mengaku beriman, bahkan mereka mengkafirkan orang yang ada di luar kelompok mereka. Mereka adalah orang yang sangat banyak beribadah, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa mereka adalah anjing-anjing neraka([3]). Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa orang-orang Khowarij tidak masuk ke dalam ayat ini karena ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir. Akan tetapi kita katakan bahwa kesalahan mereka sejenis dengan kesalahan Yahudi dan Nasrani, yaitu sama-sama merasa benar ternyata mereka salah. Banyak sekali di zaman sekarang orang yang beribadah dengan akal dan perasaan dan mereka tidak mau beribadah dengan keinginan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Mereka beribadah dengan cara sendiri, kemudian mencari dalil untuk pembenaran ibadah tersebut, yang pada dasarnya ibadah tersebut hanya keinginan mereka sendiri. Adapun kita, kita berusaha beribadah sesuai dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, bukan kehendak pribadi.

Jadi inilah orang-orang yang paling merugi, di antaranya adalah Yahudi dan Nasrani yang merasa diri mereka benar, namun ternyata mereka masuk neraka jahanam. Oleh karenanya Ibnu Katsir menyebutkan riwayat dari Umar bin Al-Khotthob dalam tafsir surah Al-Ghosyiyah, ketika Umar melihat pendeta yang sudah tua maka Umar menangis, lalu ia ditanya: Wahai Umar, mengapa Anda menangis? Lalu dia menjawab: Aku ingat firman Allah subhanahu wa ta’ala,

عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَىٰ نَارًا حَامِيَةً

“bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka),” (QS. Al-Ghasyiyah: 3-4)

Mereka sudah bekerja berletih di dunia, namun ternyata mereka masuk neraka jahanam. Seperti pendeta Nasrani yang sudah tua tersebut yang mereka tidak menikah, menjauhi kenikmatan dunia, dan mereka hanya tinggal di tempat ibadah, ternyata mereka masuk neraka jahanam. Hal ini yang membuat Umar sangat sedih melihat kondisi mereka. ([4])

______

Footnote :

([1]) lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/66

([2]) Lihat: Fathul Qodir 3/373

([3]) HR. Ibnu Majah no. 173 dan dishahihkan oleh Al-Albani

([4]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/385

Sumber Keenam

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-105

105. أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَآئِهِۦ فَحَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا

ulā`ikallażīna kafarụ bi`āyāti rabbihim wa liqā`ihī fa ḥabiṭat a’māluhum fa lā nuqīmu lahum yaumal-qiyāmati waznā

105. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.

Tafsir:

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala masih menyebutkan sifat orang-orang kafir yang paling merugi tersebut. Di antaranya adalah mereka kafir dan tidak beriman terhadap ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala, mereka tidak beriman kepada pertemuan dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun maksud dengan mereka tidak beriman kepada pertemuan dengan Allah subhanahu wa ta’ala; maka ada yang mengatakan bahwasanya mereka kafir dengan hari kebangkitan, hal ini dikarenakan orang yang dibangkitkan akan bertemu dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Ada juga yang mengatakan bahwa maksudnya adalah mereka mengingkari melihat Allah subhanahu wa ta’ala, hal ini dikarenakan orang yang berjumpa dengan Allah subhanahu wa ta’ala melazimkan untuk melihat-Nya.

Kemudian firman-Nya,

فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ

“maka hapuslah amalan-amalan mereka.”

Ini menunjukkan bahwasanya mereka beramal, akan tetapi amalan-amalan mereka semuanya gugur dan mereka tidak mendapatkan manfaat sama sekali dari amal mereka. Ini dikarenakan mereka melakukan kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang melakukan kesyirikan sebanyak apapun, amal mereka maka percuma dan tidak akan ada manfaatnya, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqon: 23)

Kemudian firman-Nya,

فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا

“dan Kami tidak tegakkan timbangan bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.”

Terdapat khilaf ulama tentang maksud dari ayat ini:

  • Pertama: Pendapat yang mengatakan bahwa maksudnya adalah amalan mereka tidak ditimbang([1]). Karena amal mereka hancur, maka tidak ada yang perlu ditimbang.
  • Kedua: Maksudnya adalah amalan mereka tidak ada nilainya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, namun amalan mereka tetap ditimbang. Ini adalah pendapat Syaikh Utsaimin rahimahullah ta’ala([2]). Amalan mereka ditimbang untuk menentukan derajat mereka di neraka, untuk menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala Maha adil. Jadi meskipun mereka kafir, tetapi amal mereka tetap ditimbang, untuk menentukan tingkatan mereka di neraka. Penulis lebih condong kepada pendapat ini, karena ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ

“Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (QS. Al-Qari’ah: 8-9)

Jadi dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala bercerita tentang orang kafir dan ternyata orang kafir amalannya ditimbang juga. Begitu juga dalam ayat lain,

وَأَمَّا وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ

“Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” (QS. Al-Mu;minun: 103)

Ini menunjukkan bahwa orang kafir amalannya juga ditimbang akan tetapi ditimbangnya amalan mereka untuk menunjukkan keburukan mereka dan juga untuk mengetahui tingkatan mereka di neraka jahanam. Semakin mereka jahat maka semakin dalam tingkatan neraka mereka, maka tidak sama tingkatan nerakanya orang kafir yang baik dengan nerakanya orang kafir yang jahat.

_____

Footnote :

([1]) lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 3/546

([2]) lihat: Tafsir Surah Al-Kahfi, Al-‘Utsaimin 1/141

Sumber Ketujuh

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-106

106. ذَٰلِكَ جَزَآؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا۟ وَٱتَّخَذُوٓا۟ ءَايَٰتِى وَرُسُلِى هُزُوًا

żālika jazā`uhum jahannamu bimā kafarụ wattakhażū āyātī wa rusulī huzuwā

106. Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.

Tafsir:

Ada sekelompok orang kafir yang kejahatannya bukan hanya sekedar kekufuran, akan tetapi selain kafir, mereka juga mengejek ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala juga Rasul-Nya. Tentunya mereka berhak mendapatkan neraka jahanam yang lebih dahsyat lagi. Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan di antara sifat orang musyrik,

وَإِذَا رَأَوْكَ إِنْ يَتَّخِذُونَكَ إِلَّا هُزُوًا أَهَٰذَا الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ رَسُولًا إِنْ كَادَ لَيُضِلُّنَا عَنْ آلِهَتِنَا لَوْلَا أَنْ صَبَرْنَا عَلَيْهَا ۚ وَسَوْفَ يَعْلَمُونَ حِينَ يَرَوْنَ الْعَذَابَ مَنْ أَضَلُّ سَبِيلًا

“Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan): “Inikah orangnya yang di utus Allah sebagai Rasul?. Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar(menyembah)nya” dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya.” (QS. Al-Furqon 41-42)

Jadi mereka menjadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bahan ejekan.

Sumber Kelima

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-107

107. إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّٰتُ ٱلْفِرْدَوْسِ نُزُلًا

innallażīna āmanụ wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti kānat lahum jannātul-firdausi nuzulā

107. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.

Tafsir:

Dalam ayat ini menggunakan kata كَانَتْ yang menunjukkan masa lalu yang artinya ”telah lalu”, mengapa Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan kata yang menunjukkan “telah lalu/past” sementara masuk surga adalah di masa mendatang (future)? maka ada dua tafsiran mengenai hal ini, ada yang mengatakan bahwasanya كَانَتْ untuk menunjukkan bahwa surga telah ditetapkan di Lauh Mahfuz([1]). Ada juga yang mengatakan bahwasanya menggunakan ibarat كَانَتْ yaitu fiil madhi (past) untuk memastikan bahwasanya mereka pasti masuk surga ([2]). Ini salah satu metodologi yang Allah subhanahu wa ta’ala gunakan dalam menyebutkan ta’bir (ungkapan) suatu yang pasti, yaitu dengan menggunakan fi’il madhi, seakan-akan sudah terjadi, padahal itu belum terjadi. Inilah keindahan Bahasa Arab, Allah subhanahu wa ta’ala mengungkapkan masa depan dengan fi’il madhi (past) untuk menunjukkan sesuatu yang pasti dan tidak perlu diragukan lagi.

Kemudian mengenai surga Firdaus, yang kita ketahui dia adalah surga tertinggi, sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,

«إِنَّ فِي الجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ، أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ، فَاسْأَلُوهُ الفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الجَنَّةِ وَأَعْلَى الجَنَّةِ – أُرَاهُ – فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الجَنَّةِ»

“Sesungguhnya di surga itu ada seratus derajat (kedudukan), Allah sediakan buat para mujahid di jalan Allah, dimana jarak antara dua derajatnya seperti jarak antara langit dan bumi. Untuk itu bila kalian minta kepada Allah, maka mintalah surga firdaus, karena dia adalah yang paling tengahnya surga dan yang paling tinggi. Aku pernah diperlihatkan bahwa di atas firdaus itu adalah singgasanannya Allah Yang Maha Pemurah, darinya memancar aliran sungai-sungai surga” ([3])

Lantas apakah semua orang yang beriman pasti akan mendapatkan surga Firdaus? Karena zahir ayat ini,

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal

Seakan-akan semua orang yang beriman dan beramal saleh akan mendapatkan surga Firdaus. Lalu untuk apa adanya surga yang bertingkat-tingkat? Maka terdapat banyak penafsiran dari kalangan ulama, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud orang yang beriman ini adalah orang beriman yang khusus dan spesial, yang keimanan mereka tinggi, sehingga mereka pasti akan mendapatkan surga Firdaus([4]). Ada yang mengatakan  bahwa maksudnya adalah surga-surga yang meliputi surga Firdaus([5]), jika seseorang imannya rendah maka dia hanya akan mendapatkan surga-surga yang meliputi Firdaus. Ada yang mengatakan bahwa Firdaus juga bertingkat-tingkat ([6]) dan yang paling tinggi maka itulah yang paling berhak disebut dengan Firdaus. Wallahu a’lam bis showab.

_______

Footnote :

([1]) Lihat: Fathul Qodir 3/373

([2]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 16/50

([3]) HR. Bukhori no. 2790

([4]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal: 448

([5]) Lihat: Fathul Qodir 3/373

([6]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 16/50

Sumber Kedelapan

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-99

99. ۞ وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِى بَعْضٍ ۖ وَنُفِخَ فِى ٱلصُّورِ فَجَمَعْنَٰهُمْ جَمْعًا

wa taraknā ba’ḍahum yauma`iżiy yamụju fī ba’ḍiw wa nufikha fiṣ-ṣụri fa jama’nāhum jam’ā

99. Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya.

Tafsir:

يَمُوجُ artinya bergelombang seperti gelombang lautan yang ada di laut, yaitu berupa ombak yang besar. Maksudnya ketika tembok yang menghalangi Ya’juj dan Ma’juj hancur maka keluarlah mereka bergelombang begitu banyak. Terdapat beberapa penafsiran berkaitan dengan firman-Nya

بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ

“Sebagian mereka (Ya’juj dan Ma’juj) berbaur antara satu dengan yang lain” sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Alusi dalam kitabnya Ruhul Ma’ani([1]) di antaranya:

    Ketika menjelang kiamat, para manusia ketakutan sehingga mereka bertumpuk-tumpukan, mungkin dikarenakan mereka bertabrakan ketika berlari, disebabkan dahsyatnya hari kiamat. Mereka bercampur baur seperti ombak yang saling menghantam di lautan.

    Para manusia ketakutan dan akhirnya menyebabkan saling bertumpuk ketika melihat Ya’juj dan Ma’juj muncul. Karena Ya’juj dan Ma’juj akan muncul di suatu daerah dan mereka bergerak dengan cepat ke seantero dunia dan menimbulkan rasa takut kepada setiap orang yang melihatnya. Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan tentang Ya’juj dan Ma’juj,

حَتَّى إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ

“Hingga apabila (tembok) Ya’juj dan Ma’juj dibukakan dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.” (QS. Al-Anbiya’: 96)

Jumlah Ya’juj dan Ma’juj sangatlah banyak, sehingga setiap orang yang melihat mereka ketakutan dan menyebabkan mereka lari bertabrakan dan akhirnya bertumpuk-tumpuk.

    Yang dimaksud bertumpuk-tumpuk adalah Ya’juj dan Ma’juj. Karena saking banyaknya mereka, seakan-akan mereka seperti gelombang yang bertumpukan ketika mereka keluar. Ini menunjukkan sangat banyaknya jumlah mereka, oleh karenanya kita tidak mengetahui berapa jumlah mereka. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits,

” يَا آدَمُ، فَيَقُولُ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالخَيْرُ فِي يَدَيْكَ، فَيَقُولُ: أَخْرِجْ بَعْثَ النَّارِ، قَالَ: وَمَا بَعْثُ النَّارِ؟، قَالَ: مِنْ كُلِّ أَلْفٍ تِسْعَ مِائَةٍ وَتِسْعَةً وَتِسْعِينَ، فَعِنْدَهُ يَشِيبُ الصَّغِيرُ، وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا، وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى، وَلَكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ ” قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَأَيُّنَا ذَلِكَ الوَاحِدُ؟ قَالَ : ” أَبْشِرُوا، فَإِنَّ مِنْكُمْ رَجُلًا وَمِنْ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ أَلْفًا. ثُمَّ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنِّي أَرْجُو أَنْ تَكُونُوا رُبُعَ أَهْلِ الجَنَّةِ ” فَكَبَّرْنَا، فَقَالَ: «أَرْجُو أَنْ تَكُونُوا ثُلُثَ أَهْلِ الجَنَّةِ» فَكَبَّرْنَا، فَقَالَ: «أَرْجُو أَنْ تَكُونُوا نِصْفَ أَهْلِ الجَنَّةِ» فَكَبَّرْنَا، فَقَالَ: «مَا أَنْتُمْ فِي النَّاسِ إِلَّا كَالشَّعَرَةِ السَّوْدَاءِ فِي جِلْدِ ثَوْرٍ أَبْيَضَ، أَوْ كَشَعَرَةٍ بَيْضَاءَ فِي جِلْدِ ثَوْرٍ أَسْوَدَ»

“Wahai Adam, “. Nabi Adam ‘Alaihissalam menjawab: “Labbaika, kemuliaan milik-Mu dan segala kebaikan berada di tangan-Mu”. Kemudian Allah berfirman: “Keluarkanlah utusan neraka”. Adam bertanya; “Apa yang dimaksud dengan utusan neraka? (berapa jumlahnya?) “. Allah berfirman: “Dari setiap seribu, sembilan ratus sembilan puluh sembilan dijebloskan neraka!, Ketika perintah ini diputuskan, maka anak-anak belia menjadi beruban, dan setiap wanita hamil kandungannya berguguran dan kamu lihat manusia mabuk padahal mereka tidaklah mabuk akan tetapi (mereka melihat) siksa Allah yang sangat keras”. (QS. Alhajj 2), Para shahabat bertanya; “Wahai Rasulullah, adakah di antara kami seseorang yang selamat?”. Beliau bersabda: “Bergembiralah, karena setiap seribu yang dimasukkan neraka, dari kalian cuma satu, sedang sembilan ratus sembilan puluh sembilannya dari Ya’juj dan ma’juj”. Kemudian Beliau bersabda: “Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku berharap kalian menjadi di antara seperempat ahlu surga”. Maka kami bertakbir. Kemudian Beliau bersabda lagi: “Aku berharap kalian menjadi di antara sepertiga ahlu surga”. Maka kami bertakbir lagi. Kemudian Beliau bersabda lagi: “Aku berharap kalian menjadi di antara setengah ahlu surga”. Maka kami bertakbir sekali lagi. Lalu Beliau bersabda: “Tidaklah keberadan kalian di hadapan manusia melainkan bagaikan bulu hitam pada kulit sapi jantan putih atau bagaikan bulu putih yang ada pada kulit sapi jantan hitam”. ([2])

Jadi di antara penghuni neraka jahanam, yang paling banyak adalah Ya’juj dan Ma’juj. Ini menunjukkan jumlah mereka yang sangat banyak. kita semua mengetahui bahwa penghuni neraka jahanam sangat banyak dan yang paling banyak dari Ya’juj dan Ma’juj.

Kemudian firman-Nya,

وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا

“dan (apabila) sangkakala ditiup (lagi), akan Kami kumpulkan mereka semuanya.”

Yaitu maksudnya tiupan sangkakala yang kedua([3]). Yang pertama membuat semua orang meninggal dan yang kedua membangkitkan semua orang.

Yang meniup sangkakala adalah malaikat Israfil, hal ini berdasarkan ijma’ para ulama. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tiga malaikat utama ketika membaca doa istiftah dalam shalat malamnya,

«اللهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ، وَمِيكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ»

“Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka (orang-orang Kristen dan Yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizin dariMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki” ([4])

Dalam doa ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan “Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil”. Dikhususkan penyebutan 3 malaikat ini dikarenakan mereka berkaitan dengan masalah kehidupan. Jibril ‘alaihissalam berkaitan dengan kehidupan hati, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala menamakannya juga dengan Ruh. Karena dengan turunnya malaikat Jibril membawa Al-Quran memberikan kehidupan pada hati-hati manusia. Tanpa Al-Quran, hati manusia akan mati walaupun jasad mereka hidup, karena penuh dengan kesengsaraan. Begitu juga malaikat Mikail yang berkaitan dengan kehidupan, karena tugasnya berkaitan dengan pengaturan hujan, yang dengan hujan tersebut bisa menumbuhkan tetumbuhan di atas muka bumi. Kemudian malaikat Israfil juga berkaitan dengan kehidupan manusia, yaitu dari kematian mereka maka kemudian mereka dibangkitkan kembali dengan tiupan sangkakalanya pada hari kiamat kelak. ([5])

Bahkan dalil-dalil menunjukan bahwa yang dibangkitkan bukan hanya manusia, bahkan hewan pun juga dibangkitkan,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ ۚ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS. Al-An’am: 28)

Jadi burung-burung dan hewan-hewan  juga akan dibangkitkan bersama manusia, kemudian mereka dikumpulkan kepada Rabb mereka. Oleh karenanya dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ

“dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan.” (QS. At-Takwir: 5)

Juga firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا

“Kami kumpulkan mereka (seluruh manusia), dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka.”(QS. Al-Kahfi: 47)

Tidak ada satupun yang luput atau terlupakan, semuanya pasti dibangkitkan dan diminta pertanggung jawaban oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun cara dibangkitkannya manusia, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits,

«مَا بَيْنَ النَّفْخَتَيْنِ أَرْبَعُونَ» قَالَ: أَرْبَعُونَ يَوْمًا؟ قَالَ: أَبَيْتُ، قَالَ: أَرْبَعُونَ شَهْرًا؟ قَالَ: أَبَيْتُ، قَالَ: أَرْبَعُونَ سَنَةً؟ قَالَ: أَبَيْتُ، قَالَ: «ثُمَّ يُنْزِلُ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَيَنْبُتُونَ كَمَا يَنْبُتُ البَقْلُ، لَيْسَ مِنَ الإِنْسَانِ شَيْءٌ إِلَّا يَبْلَى، إِلَّا عَظْمًا وَاحِدًا وَهُوَ عَجْبُ الذَّنَبِ، وَمِنْهُ يُرَكَّبُ الخَلْقُ يَوْمَ القِيَامَةِ»

“Jarak antara dua tiupan (sangkakala) adalah empat puluh.” Ibnu Abbas bertanya, “Empat puluh hari?” beliau menjawab: “Tidak.” Ia bertanya lagi, “Empat puluh bulan?” beliau menjwab: “Tidak.” Ia bertanya lagi, “Empat puluh tahun?” Beliau menjawab: “Tidak.” Beliau kemudian bersabda: “Setelah itu, Allah menurunkan air dari langit, maka mereka pun hidup kembali sebagaimana tumbuhnya sayur-sayuran. Tidak ada tersisa seorang pun kecuali ia akan binasa, kecuali satu tulang yakni tulang ekor. Dari tulang itulah, manusia dibangkitkan kembali pada hari kiamat.” ([6])

Manusia ketika hancur maka ada satu bagian yang tidak akan penah sirna, yaitu di salah satu bagian tulang ekor. Tulang tersebut merupakan sumber pembentukan manusia ketika ditiupkan sangkakala yang kedua. Caranya adalah dengan Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan hujan yang deras, lalu airnya masuk ke dalam kubur hingga mengenai tulang tersebut, kemudian tumbuhlah manusia tersebut. Oleh karenanya Rasulullah bersabda

وَمِنْهُ يُرَكَّبُ الخَلْقُ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Dari tulang itulah, manusia dibangkitkan kembali pada hari kiamat”. Lalu seluruh manusia keluar dari kuburan mereka, dan Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan keadaan mereka ketika dibangkitkan,

خُشَّعًا أَبْصَارُهُمْ يَخْرُجُونَ مِنَ الْأَجْدَاثِ كَأَنَّهُمْ جَرَادٌ مُنْتَشِرٌ

“sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.” (QS. Al-Qomar: 7)

Ketika mereka bangkit dari kuburan, mereka kebingungan karena melihat kondisi yang dahsyat dan menakutkan, mereka bingung harus ke mana. Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala menggambarkan keadaan mereka bagaikan belalang-belalang yang berterbangan.

Ya’juj dan Ma’juj disebutkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala terkurung di suatu tempat di atas muka bumi ini dan kita tidak tahu lokasinya di mana. Di tempat itu mereka beranak pinak, suatu saat mereka akan keluar dari tempat tersebut dengan jumlah yang sangat banyak, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat yang lain,

حَتَّى إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ

“Hingga apabila (tembok) Ya’juj dan Ma’juj dibukakan dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.” (QS. Al-Anbiya’: 96)

_____

Footnote :

([1]) Kihat: Tafsir Al-Alusi 8/364

([2]) HR. Bukhori no. 3348 Muslim no. 222

([3]) Lihat: Fathul Qodir 3/372

([4]) HR. Muslim no. 770

([5]) Lihat: Al-Kaukabul Wahhaj 10/65

([6]) HR. Bukhori no. 4935

Sumber Kesembilan

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-108

108. خَٰلِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا

khālidīna fīhā lā yabgụna ‘an-hā ḥiwalā

108. mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.

Tafsir:

Ada beberapa penafsiran di kalangan ulama berkaitan dengan kata حِوَلًا. Ada yang mengatakan bahwa makna لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا adalah mereka tidak mau berubah kondisinya([1]), dan ada juga yang mengatakan bahwa maksudnya adalah mereka tidak mau berpindah (tempat) ([2]). Kedua tafsiran ini semuanya benar. Jadi ketika mereka memasuki surga tersebut, mereka tidak ingin kondisi mereka berubah dan tidak ingin pergi ke tempat lain. Ini dikarenakan mereka telah merasa nyaman dengan surga tersebut. Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa penghuni surga ketika mengetahui bahwa ada penghuni surga yang lebih tinggi dari mereka, mereka tetap puas dengan apa yang telah mereka miliki dan tidak ada hasad dan dengki di hati mereka. Sehingga ada beberapa pendapat dari kalangan para ulama bahwa penghuni surga yang berada di tingkatan teratas memungkinkannya untuk berkunjung ke surga yang berada di tingkatan paling bawah darinya. Adapun penghuni surga yang berada di tingkatan bawah maka dia tidak bisa berkunjung ke penghuni surga yang tingkatannya lebih tinggi darinya. Ini hanya sekedar pendapat dari kalangan ulama namun tidak ada dalil yang shahih yang menunjukan akan hal itu. Intinya, mereka tidak perlu berpindah karena mereka sudah merasa nyaman. Berbeda dengan kenikmatan dunia, ketika seseorang melihat kenikmatan yang lebih tinggi darinya maka ia akan tertarik dan dia tidak akan pernah puas. Karena kepuasan hanya ada di akhirat.

_____

Footnote :

([1]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 16/50

([2]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal: 448

Sumber Kesepuluh

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-109

109. قُل لَّوْ كَانَ ٱلْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَٰتِ رَبِّى لَنَفِدَ ٱلْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِۦ مَدَدًا

qul lau kānal-baḥru midādal likalimāti rabbī lanafidal-baḥru qabla an tanfada kalimātu rabbī walau ji`nā bimiṡlihī madadā

109. Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”.

Tafsir:

Dalam ayat yang lain,

وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Lukman: 27)

Artinya jika lautan ini dibuat tinta maka sebanyak apapun lautan tersebut tidak akan bisa menuliskan kalimat Allah subhanahu wa ta’ala ([1]). Ini dikarenakan kalimat Allah subhanahu wa ta’ala tidak ada ujungnya. Ini juga dalil bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dan firman-Nya bisa ditulis. Dalam pembahasan akidah, ayat ini dijadikan bantahan kepada kelompok Asya’iroh yang mengatakan bahwasanya bahasa Allah subhanahu wa ta’ala adalah bahasa jiwa yang tidak terpisah dan terbagi, jadi menurut mereka bahasa Allah subhanahu wa ta’ala adalah satu kesatuan. Pendapat mereka ini tidak benar, karena kalam Allah subhanahu wa ta’ala disifati dengan كَلِمَاتُ (dengan jamak/plural) yaitu kata-kata. Di antara kata-kata Allah subhanahu wa ta’ala ada yang bisa ditulis; seperti Al-Quran, Taurat, Injil, dan Zabur, dan yang lainnya. Intinya kalimat Allah subhanahu wa ta’ala tidak terbatas, oleh karenanya di antara doa kita adalah berikut:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allâh yang sempurna dari kejahatan apa-apa yang Dia ciptakan.” ([2])

____

Footnote :

([1]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 5/204

([2]) HR. Muslim no. 2708

Sumber Kesebelas

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-110

110. قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

qul innamā ana basyarum miṡlukum yụḥā ilayya annamā ilāhukum ilāhuw wāḥid, fa mang kāna yarjụ liqā`a rabbihī falya’mal ‘amalan ṣāliḥaw wa lā yusyrik bi’ibādati rabbihī aḥadā

110. Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.

Tafsir:

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia seperti yang lainnya, maksudnya beliau tidak mengetahui ilmu gaib([1]). Oleh karenanya sebagian ulama menyebutkan tafsir dari ayat ini, sebab nuzulnya adalah pertanyaan orang-orang musyrikin yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengapa beliau tidak mengetahui ilmu gaib. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk menjawab

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku”

Dalam ayat yang lain,

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 188)

Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertimpa kemudharatan ketika Perang Uhud, yaitu beliau terluka dan lainnya. Ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui banyak hal. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui sebagian ilmu gaib yang Allah subhanahu wa ta’ala beritahukan kepadanya.

Nabi adalah manusia biasa seperti manusia lainnya. Di antara bukti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia seperti kita walaupun beliau seorang Rasul yang diistimewakan adalah beliau makan seperti kita makan. Beliau merasakan lapar sebagaimana kita merasakan lapar. Beliau buang hajat sebagaimana kita buang hajat. Beliau merasakan lelah, letih, tidur, dan sakit maka begitu juga kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah sebagaimana kita menikah. Beliau memiliki anak seperti kita yang memiliki anak. Kita akan meninggal, begitu juga dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meninggal, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS. Az-Zumar: 30)

Allah menurunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk manusia, bukan dalam bentuk malaikat, tujuannya adalah agar bisa kita teladani. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang dikatakan oleh sebagian orang bahwa beliau tidak ada bayangannya dan dari tubuhnya keluar cahaya, maka bagaimana kita bisa mencontohi Nabi? Ada juga yang mengatakan bahwa beliau tidak buang hajat, lalu bagaimana kita bisa belajar tentang istinja? Maka yang benar bahwasanya Rasulullah seperti kita, hanya saja beliau diberikan kelebihan dan mukjizat, sebagai pembeda antara dirinya dengan manusia biasa.

Kemudian firman-Nya,

يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”

Banyak Ahli tafsir mengatakan bahwasanya maksud dari ayat ini adalah larangan riya dalam beribadah([2]). Jika seseorang ingin melihat wajah Allah subhanahu wa ta’ala maka seseorang jangan berbuat riya’. Hendaknya seseorang waspada dalam beribadah, karena ibadah yang ikhlas pahalanya sangat besar, yaitu melihat wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Tantangannya juga berat, yaitu seseorang harus ikhlas dan tidak mencari pujian sama sekali. Karena jiwa kita ini lemah, ingin dipuji, ingin pamer, ingin menyebut-nyebut kehebatan agar diakui, disanjung, dan dihormati orang. Sehingga jika muncul perasaan seperti tersebut, hendaklah seorang ingat ayat ini. Jika ingin melihat wajah Allah subhanahu wa ta’ala, maka jangan berbuat syirik.  Jika terlanjur berbuat syirik maka segera istighfar kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang kita cari pujiannya pada hari kiamat tidak bisa menolong kita sama sekali, walaupun dia memuji kita setinggi langit, maka itu tidak akan bermanfaat sama sekali.

____

Footnote :

([1]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal: 489

([2]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal: 489

Sumber: https://bekalislam.firanda.com/