Type Here to Get Search Results !

 


SKALA PRIORITAS DALAM BELAJAR AGAMA ISLAM

 

Oleh: Sa'id Abu Ukkasyah

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du. 

Dahulu, Disiplin Ilmu Syari’at Hanya Satu Titik.1

Syari’at adalah seluruh ajaran yang Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya, baik berupa aqidah, ‘amaliyyah, ataupun asab dan akhlak.

Dulu, disiplin Ilmu syari’at tidaklah banyak jumlahnya, namun setelah banyaknya orang-orang yang tidak berilmu, kemudian para ulama mencetuskan berbagai cabang disiplin ilmu syari’at untuk memudahkan mereka memahami syari’at Islam ini. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu:

العلم نقطة كثرها الجاهلون

“Ilmu syari’at dahulu hanyalah satu titik saja (sedikit), namun diperbanyak oleh orang-orang yang tidak berilmu.”

Pada dasarnya, disiplin ilmu syari’at yang dipahami para sahabat radhiallahu ‘anhum sedikit pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu pemahaman tentang Al-Qur`an dan As-Sunnah itu saja. Namun di zaman Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu bertambah banyak cabang-cabang disiplin ilmu yang dicetuskan, dibandingkan zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikianlah, semakin jauh suatu kaum dari zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semakin banyak pula ketidaktahuan (jahl) terhadap ilmu syar’i dan orang-orang yang tidak berilmu (jaahiluun) terhadap ilmu syar’i. Ketika itu, mereka membutuhkan penjelasan ilmiyyah yang lebih detail dan banyak. Semakin hari, semakin banyak pula dicetuskan cabang-cabang disiplin ilmu syari’at oleh para ulama agar orang-orang yang tidak berilmu (jaahiluun) bisa memahami agama Islam ini dengan benar.

Oleh karena itulah, ditulis ratusan ribu kitab para ulama rahimahumullah dari berbagai cabang disiplin ilmu syari’at, hal ini sesungguhnya tidaklah menunjukkan bahwa jumlah disiplin ilmu syari’at itu adalah sebanyak jumlah kitab-kitab para ulama tersebut. Asal ilmu Syari’at tetaplah Al-Qur`an dan As-Sunnah saja, namun karena tuntutan keadaanlah, ulama menuliskan kitab-kitab yang di zaman dulu tidak dibutuhkan oleh masyarakat salaf, karena salaf memahami dengan baik ilmu-ilmu yang dituliskan oleh ulama sekarang.

Sekarang kita membutuhkan sesuatu yang tidak dibutuhkan di zaman dahulu, misalnya syarah (penjelasan) kitab Al-Wasithiyyah, kitab ini sekarang kita butuhkan. Kelak pada generasi anak-anak kita, bisa jadi mereka membutuhkan syarah dari syarah kitab Al-Wasithiyyah, dan pada generasi cucu-cucu kita, bisa jadi pula mereka membutuhkan syarah dari syarah dari syarah kitab Al-Wasithiyyah. Demikian pula dari ilmu-ilmu alat, jika kita sekarang membutuhkan ilmu-ilmu semisal ushul fikih, ushul tafsir, qawa’id fiqhiyyah, dan yang semacamnya, maka bukan hal mustahil satu abad yang akan datang, muncullah ilmu-ilmu cabang yang lebih spesifik sebagai perincian dari ilmu-ilmu alat tersebut.

Pembagian Ilmu Syari’at Islam
Ilmu Syari’at ditinjau dari sisi kewajiban mempelajarinya, Terbagi Dua, yaitu:

Ilmu Fardhu ‘ain dan Ilmu Fardhu Kifayah

1. Ilmu Fardu ‘Ain

Berikut penuturan para ulama besar rahimahumullah tentang Ilmu fardu ‘ain:

An-Nawawi rahimahullah, dalam kitabnya Al-Majmu’ syarhul Muhadzzab membagi ilmu syar’i menjadi tiga macam fardhu ‘ain, fardhu kifayah, dan sunnah. Beliau mengatakan,

باب أقسام العلم الشرعي هي ثلاثة

الأول فرض العين: وهو تعلم المكلَّف مالا يتأدى الواجب الذي تعين عليه فعله إلا به ككيفية الوضوء والصلاة ونحوهما وعليه حمل جماعات الحديث المروي في مسند أبي يعلى الموصلي عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم : طلب العلم فريضة على كل مسلم

“Bab Macam-macam Ilmu Syar’i Ada Tiga. 
  • Pertama, fardhu ‘ain, yaitu seorang mukallaf (baligh dan berakal sehat) mempelajari ilmu yang ia tidak bisa memenuhi kewajibannya kecuali dengan mengetahuinya, seperti tata cara wudhu`, shalat, dan yang selain keduanya. Sekelompok ulama membawakan kepada makna ini (ilmu fardhu ‘ain) dalam menafsirkan sebuah Hadits yang diriwayatkan di musnad Abu Ya’la Al-Mushili dari Anas dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

طلب العلم فريضة على كل مسلم

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim,”2.

Demikian pula Ulama Lajnah Daimah KSA menjelaskan tentang maksud ilmu fardhu ‘ain, yaitu:

العلم الشرعي على قسمين: منه ما هو فرض على كل مسلم ومسلمة، وهو معرفة ما يصحح به الإنسان عقيدته وعبادته، وما لا يسعه جهله، كمعرفة التوحيد، وضده الشرك، ومعرفة أصول الإيمان وأركان الإسلام، ومعرفة أحكام الصلاة، وكيفية الوضوء ، والطهارة من الجنابة، ونحو ذلك، وعلى هذا المعنى فسِّر الحديث المشهور: ( طلب العلم فريضة على كل مسلم )

Ilmu syar’i terbagi menjadi dua, di antaranya adalah ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim dan muslimah, yaitu ilmu yang menyebabkan sahnya aqidah dan ibadah seseorang dan tidak boleh seseorang tidak tahu tentang ilmu tersebut. Contohnya adalah mengetahui tauhid dan lawannya, yaitu syirik, pokok-pokok keimanan (rukun iman) dan rukun Islam, hukum-hukum shalat, tata cara wudhu`, bersuci dari junub, dan yang semisalnya. Oleh karena itu, hadits yang terkenal ini (menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim) ditafsirkan dengannya (ilmu fardhu ‘ain)”3.

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

يجب أن يطلب من العلم ما يقوم به دينه، قيل له مثل أي شيء؟ قال: الذي لا يسعه جهله: صلاته و صيامه، و نحو ذلك

“Menuntut ilmu yang menjadi landasan tegaknya agama adalah wajib”. Beliau ditanya, ‘Contohnya apa?’ Beliau menjawab, “Ilmu yang harus diketahuinya, seperti tentang sholat dan puasanya, serta yang semisal itu”. 4

Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang menuntut ilmu, beliau menjawab,

كله خير و لكن انظر إلى ما تحتاجه في يومك و ليلتك فاطلبه

Semuanya baik, akan tetapi lihatlah kepada ilmu yang engkau butuhkan sehari semalam, maka carilah ilmu tersebut!5

Pernyataan para ulama besar di atas sebenarnya terdapat tiga pelajaran besar, yaitu:

    Inti definisi ilmu fardhu ‘ain

    Ilmu yang jika tidak diketahui oleh seorang hamba, menyebabkannya tidak bisa menunaikan kewajibannya, sehingga ia terjatuh ke dalam dosa. Dengan kata lain, seseorang jika tidak mempelajari ilmu fardhu ‘ain, akan terjatuh kedalam dua kemungkinan:

    1. Tidak bisa melaksanakan perintah Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib dilaksanakan sehingga berdosa.

    2. Melakukan larangan Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib ditingalkan (yang haram dilakukan), sehingga berdosa pula.

    Isyarat kepada skala prioritas, bahwa ilmu yang kita butuhkan dalam keseharian berupa ilmu tentang iman dan tauhid (keyakinan yang benar), serta ibadah (amal yang sah), inilah yang harus kita dahulukan dibandingkan dengan selainnya dari ilmu ushul fikih, qawa’idut tafsir, dan selainnya dari ilmu-ilmu fardhu kifayah.

    Ulama dari dulu telah menjelaskan tentang adanya jenis ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ‘ain, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    طلب العلم فريضة على كل مسلم

    “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah. Hadits ini dihasankan oleh As-Suyuthi, Adz-Dzahabi dan disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

    Dan juga berdasarkan kaidah:

    ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

    “Suatu perkara yang sebuah kewajiban tidak bisa terlaksana kecuali dengannya, maka hukum perkara tersebut juga wajib”.

____

Referensi :
  1.     Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, An-Nawawi (Pdf,Waqfeya.com)
  2.     Website resmi Komite Tetap Pmbahasan Ilmiyyah dan Fatwa KSA : http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=3&View=Page&PageNo=1&PageID=4335&languagename=
  3.     Transkrip Muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul : “Al-Manhajiyyah fi qira`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi”, dari http://saleh.af.org.sa/node/28
  4.     Hushulul Ma`mul bi syarh Tsalatsatil Ushul, Syaikh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah
  5.     At-Ta`shil fi thalabil ‘Ilmi, Syaikh Muhammad Umar Bazmul
_____

Catatan kaki
  1. Transkrip Muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul : “Al-Manhajiyyah fi qira`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi”, dari http://saleh.af.org.sa/node/28)
  2. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, An-Nawawi, hal. 49 (Pdf,Waqfeya.com)
  3. http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=3&View=Page&PageNo=1&PageID=4335&languagename=
  4. Hushulul Ma`mul bi syarh Tsalatsatil Ushul, Syaikh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah
  5. At-Ta`shil fi thalabil’ilmi, Syaikh Muhammad Umar Bazmul, hal. 

Pembagian ilmu Fardu ‘ain

Berkata Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah mendefinisikan ilmu fadhu ‘ain :

وضابطه أن يتوقف عليه معرفة عبادة يريد فعلها أو معاملة يريد القيام بها , فإنه يجب عليه في هذه الحال أن يعرف كيف يتعبد الله بهذه العبادة , وكيف يقوم بهذه المعاملة , وما عدا ذلك من العلم ففرض كفاية

Dan patokannya (ilmu fardhu ‘ain) adalah suatu ilmu yang menjadi syarat bisa terlaksananya (dengan benar) sebuah ibadah yang hendak dilakukan oleh seorang hamba atau mu’amalah (aktifitas dengan orang lain) yang hendak dikerjakannya, maka pada keadaan ini wajib ia mengetahui (ilmu tentang) bagaimana beribadah kepada Allah dengan ibadah itu, dan (ilmu tentang) bagaimana bermu’amalah dengan aktifitas mu’amalah itu. Adapun ilmu-ilmu selain itu, adalah ilmu fardhu kifayah”1

Dari keterangan di atas kita ketahui bahwa ruang lingkup ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim dan muslimah adalah perkara yang berkaitan dengan ibadah,yaitu hubungan manusia dengan Allah, dan mu’amalah, yaitu hubungan manusia dengan manusia yang lain.

Padahal, sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa diantara bentuk-bentuk ibadah dan mu’amalah, ada yang sebagiannya sama-sama wajib dilakukan oleh setiap orang , namun ada juga bentuk ibadah dan mu’amalah yang hanya mampu dilakukan oleh sebagian orang saja tanpa sebagian orang yang lain atau hanya sebagian orang saja yang berkepentingan untuk segera melakukannya ketika itu, sehingga hanya sebagian orang tersebut saja yang wajib mempelajari hukum-hukumnya, adapun bagi yang lain, tidaklah wajib mempelajarinya.

Oleh karena itu, dari penjelasan Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu Fardu ‘ain terbagi menjadi dua:

1. Jenis ilmu Fardu ‘ain yang harus dipelajari oleh seluruh mukallafiin (orang-orang yang baligh dan berakal sehat) dimanapun mereka berada dan kapanpun juga.

Jenis ilmu Fardu ‘ain inilah yang disebutkan contoh-contohnya oleh Imam Ahmad,An-Nawawi dan Ulama Lajnah Daimah KSA rahimahumullah, yang sudah dinukilkan fatwanya di artikel bagian ke-1, seperti:

Mengetahui tauhid dan kebalikannya,yaitu syirik, pokok-pokok keimanan (Rukun Iman) dan Rukun Islam, hukum-hukum sholat, tatacara wudhu`, bersuci dari junub, dan yang semisalnya dan termasuk juga dalam jenis ini, yaitu mengetahui perkara-perkara yang diharomkan dalam Islam,seperti dalam masalah makanan,minuman,pakaian,kehormatan,darah,harta,ucapan dan perbuatan.

2. Jenis ilmu Fardu ‘ain yang harus dipelajari oleh sebagian mukallafiin saja, yang memiliki kewajiban tertentu yang khusus baginya.

Sehingga orang lain yang tidak memiliki kewajiban tersebut, tidak harus mempelajari ilmu itu.

Penjelasan:

Jenis ilmu Fardu ‘ain yang satu ini, contoh-contohnya diantaranya adalah :

    Ilmu tentang suatu ibadah tertentu bagi orang yang mampu mengerjakannya. Berkata Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan contoh-contoh ilmu fardhu ‘ain:

    من كان عنده مال أن يتعلم أحكام الزكاة ……. من أراد أن يحج أن يتعلم أحكام الحج لأن هذه عبادات متلقاة من الشرع فلابد أن يعلم كيف شرعها الشارع ليعبد الله على بصيرة

    Orang yang memiliki harta wajib mempelajari hukum-hukum zakat…….. demikian pula orang yang hendak menunaikan ibadah haji, wajib baginya mempelajari hukum-hukum haji, karena ibadah itu sumbernya adalah Syari’at, maka wajib mempelajari tata cara ibadah yang disyari’atkan oleh Allah, agar seseorang bisa beribadah kepada-Nya berdasarkan ilmu.2

    Ilmu tentang pekerjaan, profesi atau tugas, agar bisa menunaikan kewajiban pekerjaannya dan agar terhindar dari melakukan keharoman dalam pekerjaannya. Berkata Ibnu Hazm rahimahullah:

    ثم فرض على قواد العساكر معرفة السِّير وأحكام الجهاد وقَسْم الغنائم والفيء. ثم فرض على الأمراء والقضاة تعلم الأحكام والأقضية والحدود، وليس تعلم ذلك فرضا على غيرهم

    Selanjutnya, diwajibkan bagi para komandan pasukan untuk mengetahui ilmu tentang strategi mobilitas pasukan, hukum-hukum jihad, pembagian rampasan perang dan fai`.

    Diwajibkan pula bagi para pejabat pemerintahan dan hakim untuk mempelajari hukum-hukum fikih peradilan dan hukuman hudud, akan tetapi mempelajari hal itu tidak wajib bagi selain mereka.3

    Ilmu tentang mu’malah (aktivitas) yang hendak dilakukannya, agar bisa menghindari larangan yang haram dilakukan dan bisa menunaikan kewajibannya terhadap pihak lain. Berkata Syaikh Muhammad Sholeh Al-Munajjid rahimahullah memberi contoh ilmu-ilmu yang termasuk fardhu ‘ain:

    ومن ذلك تعلم أحكام البيع والشراء لمن أراد أن يتعامل بذلك ، وكذا أحكام النكاح والطلاق والأطعمة والأشربة وغيرها من المعاملات لمن أراد الإقدام على شيء منها

    Dan yang termasuk ilmu fardhu ‘ain adalah mempelajari hukum-hukum jualbeli bagi orang yang hendak melakukan aktifitas jualbeli, demikian pula hukum-hukum nikah, thalaq, makanan, minuman dan mu’amalah selainnya, bagi orang yang hendak melakukan salahsatu bentuk mu’amalah tersebut 4

    Ilmu tentang hukum suatu kejadian kontemporer bagi yang mengalaminya. Berkata An-Nawawi rahimahullah:

    ويجب عليه الاستفتاء إذا نزلت به حادثة يجب عليه علم حكمها فإن لم يجد ببلده من يستفتيه وجب عليه الرحيل إلى من يفتيه وإن بَعُدت داره، وقد رحل خلائق من السلف في المسألة الواحدة الليالي والأيام

    “Wajib baginya (seseorang yg tidak tahu hukum suatu kejadian-pent) untuk meminta fatwa, jika mengalami kejadian kontemporer yang harus diketahui hukumnya. Jika di negrinya tidak didapatkan orang yang mampu berfatwa, maka wajib baginya pergi kepada orang yang mampu berfatwa walaupun jauh dari rumahnya. (Di dalam sejarah) beberapa orang Salaf dahulu pergi mencari ilmu tentang satu masalah sampai selama berhari-hari”5.

2. Ilmu Fardhu Kifayah

Yaitu sebuah ilmu yang jika sudah ada sebagian kaum muslimin yang mempelajarinya dengan mencukupi,maka gugurlah kewajiban tersebut atas seluruh kaum muslimin yang lainnya, namun disunnahkan bagi kaum muslimin yang lainnya tersebut untuk mempelajarinya.

Berikut nukilan perkataan An-Nawawi rahimahullah:

( القسم الثاني ) فرض الكفاية 
 وهو تحصيل ما لا بد للناس منه في إقامة دينهم من العلوم الشرعية، كحفظ القرآن، والأحاديث، وعلومهما، والأصول، والفقه، والنحو l، واللغة، والتصريف، ومعرفة رواة الحديث، والإجماع، والخلاف، وأما ما ليس علما شرعيا، ويحتاج إليه في قوام أمر الدنيا كالطب، والحساب ففرض كفاية أيضا

“Jenis Ilmu yang kedua adalah ilmu Fardu Kifayah, yaitu ilmu yang dibutuhkan manusia demi tegaknya agama mereka yang sifatnya harus ada, yaitu berupa ilmu-ilmu Syari’at, seperti : menghafal Alquran, Hadits dan ilmu Hadits, ilmu Ushul, Fikih, Nahwu, Bahasa Arab, Shorof, ilmu perowi Hadits, Ijma’ dan perselisihan Ulama.

Adapun ilmu yang bukan ilmu Syari’at, namun dibutuhkan untuk tegaknya urusan dunia, seperti kedokteran dan matematika, maka ini termasuk ilmu Fardhu Kifayah juga“6.

Dengan demikian ilmu Fardhu Kifayahpun terbagi menjadi dua, yaitu yang terkait dengan ilmu-ilmu Syar’i dan yang terkait dengan ilmu-ilmu dunia.

Referensi :
  1.     Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab,An-Nawawi (Pdf,Waqfeya.com).
  2.     Islamqa.info/ar/47273
  3.  http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_98.shtml
  4.     Al-Ihkam, Ibnu Hazm. (Pdf, Waqfeya.com)
____

Catatan kaki:

1. Kitabul Ilmi, Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin hal. 23

2. http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_98.shtml

3 Al-Ihkam 5/122, Ibnu Hazm. (Pdf, Waqfeya.com)

4. Islamqa.info/ar/47273

5 Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab,An-Nawawi,hal.91 (Pdf,Waqfeya.com)

6. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab,An-Nawawi,hal. 51 (Pdf, Waqfeya.com)


Ilmu Syari’at Ditinjau dari Sisi Kedudukannya Terbagi Menjadi Dua, yaitu:

Ilmu Maqsudun li dzatihi (ilmu tujuan) dan Ilmu Maqsudun li ghairihi (ilmu sarana)

1. Ilmu maqsudun li dzatihi (ilmu tujuan)

Sebuah ilmu yang kedudukannya sebagai tujuan, jadi ilmu tersebut itulah yang menjadi tujuan untuk dipelajari. Nama lain dari ilmu ini adalah ilmu Al-Ashliyyah (Ilmu pokok). Yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu tentang Al-Qur`an (Tafsir) dan As-Sunnah (ilmu Hadits). Di dalam keduanya terdapat disiplin ilmu Tauhid (Aqidah) dan ilmu tentang halal dan haram (Fikih).

Ilmu tujuan ini kembalinya kepada dua disiplin ilmu yang pokok ini, yaitu Tauhid (Aqidah) dan Fikih. Kedua disiplin ilmu pokok ini memang menjadi tujuan untuk dipelajari (maqsudun li dzatihi/ilmu tujuan) dalam kehidupan seorang muslim, dengan beberapa hujjah (alasan ilmiyyah) berikut ini:

1. Kewajiban (Taklif) beriman dan beramal

Setiap hamba Allah mukallaf (baligh dan berakal sehat) dikenai kewajiban beriman dan beramal shalih. Kelak ia akan berjumpa dengan Allah membawa iman yang benar dan amal yang diterima oleh-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.(Al-Kahfi:110).

Oleh karena itulah, seorang muslim dituntut untuk mempelajari ilmu tentang keimanan (Tauhid) dan ilmu tentang tatacara beramal/beribadah (Fikih).

2. Kandungan Agama Islam ini adalah kabar dari Allah (keyakinan/Aqidah), perintah Allah dan larangan-Nya (Fikih).

Allah Ta’ala menjadikan agama-Nya terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. Kabar dari-Nya, seperti berita tentang nama, sifat dan perbuatan-Nya, Surga-Nya, para Nabi dan Rasul-Nya. Meyakini dan membenarkan berita-berita dari Allah ini berarti masuk dalam wilayah keyakinan, keimanan, Aqidah atau Tauhid.

b. Perintah Allah dan larangan-Nya, yaitu masalah halal dan haram, tata cara ibadah dan perincian hukum amalan seorang hamba. Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya itu termasuk dalam wilayah Fikih. Dua kandungan Agama Islam ini ditunjukkan oleh firman Allah:

وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقاً وَعَدْلاً

Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. (Al-An’aam: 115)

Makna dari:

{صِدْقاً} adalah benar dalam urusan kabar-Nya, sedangkan makna

{عَدْلاً} adalah adil dalam urusan perintah dan larangan-Nya.

3. Syarat diterimanya ibadah adalah Ikhlas dan Mutaba’ah

Prinsip hidup seorang muslim adalah ia diciptakan dan hidup untuk diuji, siapa di antara hamba-hamba Allah yang terbaik amalnya, yaitu yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan Sunnah, Allah berfirman:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Al-Mulk: 2)

Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menjelaskan makna

{أَحْسَنُ عَمَلًا}, هو أخلصه وأصوبه

Yaitu yang paling ikhlas dan paling benar (sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Nah, jika kita bicara tentang ikhlas, berarti masuk kedalam materi Tauhid, dan jika kita bicara tentang Mutaba’ah dalam beramal dan beribadah, berarti masuk kedalam materi Fikih.

Kesimpulannya:

Tauhid dan Fikih adalah dua ilmu pokok yang menjadi tujuan untuk dipelajari (maqsudun li dzatihi/ilmu tujuan) dalam kehidupan seorang muslim.

2. Ilmu maqsudun li ghairihi (ilmu sarana)

Yaitu suatu ilmu yang kedudukannya sebagai sarana untuk mengetahui “ilmu tujuan” yang telah disebutkan di atas. Ilmu ini disebut sebagai ilmu wasilah/ sarana karena memang sifatnya maqsudun li ghairihi, artinya ilmu ini dipelajari untuk tujuan lain, yaitu mengetahui “ilmu tujuan”.

Nama ilmu ini adalah As-shinaaiyyah, ilmu sarana atau ilmu alat (sebagai alat untuk memahami “ilmu tujuan”).

Oleh karena itu, yang tergolong kedalam ilmu ini adalah seluruh ilmu-ilmu alat, seperti Ushul Fikih, Ushul Tafsir, Mushtholahul Hadits, Siroh, Tajwid dan Tahsin, Nahwu, Shorof, Al-Ma’ani wal Bayan, Balaghoh, dan yang semisalnya. Ini semua adalah ilmu wasilah, sebagai sarana saja untuk sampai kepada ilmu tujuan. Maka barangsiapa yang menjadikan dan mensikapi “ilmu wasilah” ini sebagai “ilmu tujuan”, maka tidaklah dikatakan sebagai orang yang faqih (menguasai)Al-Qur`an dan As-Sunnah, ia sebatas dikatakan orang yang menunaikan fardhu kifayah dengan menekuni “ilmu wasilah” untuk memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Oleh karena itu, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah ketika menjelaskan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

خيركم من تعلم القرآن وعلمه

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya”.(HR. Imam Al-Bukhori).

Beliau menjelaskan maknanya:

وتعلم القرآن وتعليمه يتناول تعلم حروفه وتعليمها , وتعلم معانيه وتعليمها ,

Mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya mencakup:

    mempelajari huruf-hurufnya dan mengajarkan huruf-hurufnya, dan

    mempelajari makna-maknanya dan mengajarkan makna-maknanya,

وهو أشرف قسمي تعلمه وتعليمه , فإن المعنى هو المقصود , واللفظ وسيلة إليه ,

Nomor dua inilah yang merupakan jenis mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya yang paling mulia, karena makna Al-Qur`an itulah yang menjadi tujuan yang dimaksud, sedangkan lafadz Al-Qur`an sarana untuk mencapai maknanya.

فتعلم المعنى وتعليمه تعلم الغاية وتعليمها

Maka mempelajari makna-maknanya dan mengajarkan makna-maknanya, hakikatnya adalah mempelajari tujuan dan mengajarkan tujuan.

وتعلم اللفظ المجرد وتعليمه تعلم الوسائل وتعليمها

sedangkan mempelajari lafadz semata dan mengajarkannya, hakikatnya adalah mempelajari sarana dan mengajarkan sarana

وبينهما كما بين الغايات والوسائل “

Dan (perbandingan) di antara keduanya seperti perbandingan antara tujuan dan sarana.1

Tiga cara menuntut ilmu Syari’at

Secara garis besar menuntut ilmu Syar’i terbagi menjadi tiga cara:
  1.     Talaqqi, mengambil ilmu langsung dari Para Ulama dan murid-murid mereka, para Ustadz rahimahumullah. Duduk di hadapan mereka dan menghadiri majelis mereka.
  2.     Membaca kitab Ulama, artikel murid-murid Ulama, yaitu para Ustadz, mendengarkan ceramah mereka dan yang semisalnya, dengan berbagai macam sarana yang ada di zaman ini.
  3.     Meminta fatwa kepada para Ulama atau bertanya kepada murid-murid Ulama, yaitu para Ustadz.
Renungan

Tujuan hidup seorang muslim dan muslimah selain untuk mengenal Allah Ta’ala adalah untuk beribadah kepada-Nya saja, Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku saja.” (Adz-Dzaariyaat:56).

Sedangkan definisi ibadah, sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:

اسم جامع لكل ما يحبه الله و يرضاه من الأقوال و الأعمال الباطنة و الظاهرة

Sebuah nama yang mencakup seluruh yang dicintai dan diridhoi oleh Allah,baik berupa ucapan maupun perbuatan,yang batin (hati) maupun yang zhahir.2

Berarti, menuntut Ilmu Syar’i merupakan ibadah yang agung, karena dicintai oleh Allah. Tentulah yang namanya ibadah, tujuannya adalah keridhoan Allah dan kecintaan-Nya. Ketika Anda dihadapkan kepada beberapa pilihan ilmu dan Anda harus memilih salah satunya, maka ketahuilah bahwa Allah lebih mencintai dan lebih meridhoi Anda mendahulukan ilmu yang fardhu daripada yang sunnah, dan ilmu tujuan daripada ilmu wasilah/sarana, serta ilmu fardhu ‘ain daripada ilmu fardhu kifayah.

Ilmu itu banyak, umur kita singkat, maka Anda harus memiliki skala prioritas, dahulukan mempelajari ilmu yang paling penting kemudian ilmu yang penting. Jangan sampai Anda meninggal, sedangkan Anda meyakini keyakinan yang salah atau melakukan ibadah wajib yang salah. Ingat seorang muslim menghadap Allah di hari Akhir dengan membawa iman yang benar dan ibadah yang diterima oleh-Nya, camkanlah!

Referensi:
  1.     Diolah dari transkrip Muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul: “Al-Manhajiyyah fi qira`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi”, dari http://saleh.af.org.sa/node/28 , dengan beberapa tambahan referensi:
  2.     Miftah Daris Sa’adah,Ibnul Qoyyim rahimahullah.
  3.     Barnamij ‘amali lilmutfaqqihin, Dr. Abdil ‘Aziz Al-Qori`
  4.     Kitab Al-‘Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
_____

Catatan kaki
  1. Miftah Daris Sa’adah: 1/280,Ibnul Qoyyim rahimahullah.
  2. Kitab Al-‘Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 4

Ilmu Syari’at Ditinjau dari Sisi Materi Inti atau Tidaknya terbagi menjadi dua, yaitu Ilmu Inti dan Ilmu Penunjang

Asy-Syathibi rahimahullah, di dalam kitabnya Al-Muwafaqat berkata,

من العلم ما هو من صلب العلم ، ومنه ما هو ملح العلم لا من صلبه، ومنه ما ليس من صلبه ولا ملحه

“Di antara disiplin Ilmu Syar’i ada yang int, dan ada juga yang penunjang, yang tidak termasuk inti ilmu. Di samping itu, juga ada yang tidak termasuk ilmu inti dan tidak pula ilmu penunjang.”1

Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah mengatakan,

من المعلوم أنّ العلم قسمان كما يقول طائفة من أهل العلم منهم الشاطبي في أول الموافقات: ((العلم قسمان عُقَدٌ وملَح))، والعقد تعقد القلب مع العلم والملح لابد منها للمسير في طلب العلم

“Merupakan perkara yang sudah diketahui, bahwa disiplin ilmu Syar’i terbagi menjadi dua, sebagaimana disebutkan oleh sekelompok Ulama diantaranya adalah Asy-Syathibi di awal kitab Al-Muwafaqat, bahwa ilmu Syar’i ada dua macam, ‘Uqod (inti) dan Mulah (penunjang). ‘Uqod (ilmu inti) sifatnya adalah ilmu yang mengikat hati dengan kuat, sedangkan Mulah (ilmu penunjang) sifatnya adalah ilmu yang harus ada untuk keistiqomahan perjalanan menuntut ilmu Syar’i.”2

Dari pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu Syari’at ditinjau dari sisi, materi inti atau tidaknya, terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Ilmu Inti (Shulbul ‘Ilmi)

Ulama menyebut ilmu ini dengan sebutan ‘Uqodul ‘Ilmi (Simpul Ilmu) karena sifatnya sebagai simpul pengikat hati, sehingga ilmu itu benar-benar terikat kuat dan erat dalam hati.

Ada pula yang menyebut ilmu ini dengan sebutan Shulbul ‘Ilmi (Inti Ilmu) karena sifatnya sebagai inti utama ilmu Syari’at, dijadikan pegangan oleh seorang hamba dalam memahami dan mengamalkan agama Islam.

Ilmu Ini Terbagi Menjadi Dua, yaitu:
  •     Ilmu Al-Ashliyyah (Ilmu Pokok/Tujuan) atau Ilmu maqsudun li dzatihi (ilmu tujuan), yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu tentang Al-Qur`an (Tafsir), As-Sunnah (ilmu Hadits), Tauhid dan Fiqh.
  •     Ilmu Ash-Shinaiyyah (Ilmu Alat) atau Ilmu maqsudun li ghairihi (ilmu sarana), seperti : Ushul Fikih,Ushul Tafsir,Mushtholahul Hadits, Siroh, Tajwid dan Tahsin, Nahwu, Shorof, Al-Ma’ani wal Bayan, Balaghoh, dan yang semisalnya (Penjelasan lebih lanjut baca Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam (3))
Sifat Ilmu Inti

Ulama menjelaskan bahwa sifat ilmu Inti ini adalah sebagai ilmu yang pokok, menjadi pegangan, pusat perhatian dalam aktifitas menuntut ilmu dan puncak arah tujuan Ulama yang kokoh ilmunya, sebagaimana perkataan Asy-Syathibi rahimahullah setelah menyampaikan ketiga macam ilmu di atas:

فهذه ثلاثة أقسام : القسم الأول : هو الأصل والمعتمد ، والذي عليه مدار الطلب ، وإليه تنتهي مقاصد الراسخين

“Maka ilmu ini ada tiga macam, yang pertama (Ilmu Inti) adalah ilmu pokok dan

menjadi pegangan, serta ilmu yang menjadi pusat perhatian dalam aktifitas menuntut ilmu, kepadanyalah puncak arah tujuan Ulama yang kokoh ilmunya.” 3

Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah berkata,

العلم منه عُقَد يصار إليها ومنه ملح مساندة

“Di antara disiplin Ilmu Syar’i ada yang jenis ilmu inti, sebagai puncak arah tujuan (dalam menuntut ilmu Syar’i) dan ada juga yang merupakan ilmu penunjang, sebagai penunjang/penguat ilmu Inti.” 4

2. Ilmu Penunjang (Mulahul ‘Ilmi)

Ulama menyebut ilmu ini dengan sebutan Mulahul ‘Ilmi, yaitu suatu ilmu yang berkedudukan sebagai penunjang dan penguat ilmu Inti, sebagai pelengkap bagi ilmu Inti serta sebagai sarana untuk bisa istiqamah dalam menuntut ilmu Inti. Di antara ilmu penunjang ini adalah lmu tentang sya’ir, perumpaman-perumpamaan yang baik, kisah-kisah Ulama, biografi Ulama, kisah tentang perdebatan Ulama dan ilmu Sejarah Islam.

Sifat Ilmu Penunjang ini adalah:
  1.     Ilmu Penunjang ini menyempurnakan pemahaman seseorang terhadap ilmu Inti.
  2.     Ilmu Penunjang ini memang bermanfa’at, akan tetapi barangsiapa yang tidak mempelajarinya tidaklah mengapa, karena ketidaktahuannya tidak membahayakan ilmunya.
  3.     Jika seseorang ingin mempelajari ilmu Penunjang ini dengan sekedarnya, tidak harus mempelajarinya dari seorang Ulama yang ahli dalam ilmu tersebut, cukup ia membacanya sendiri dengan seksama, karena bukanlah ilmu tujuan, kecuali jika ingin menjadi pakar dalam ilmu-ilmu Penunjang ini, misalnya ingin menjadi penya’ir atau sejarawan.
  4.     Memperluas wawasan dengan mengetahui ilmu Penunjang ini, berfungsi juga sebagai penyemangat dan penggembira dalam mempelajari ilmu Inti yang berat, karena jika seorang penuntut ilmu Syar’i hanya mempelajari ilmu Inti saja, maka dikhawatirkan ia merasa berat, monoton dan bosan, lalu menjadi lemah semangat dan akhirnya berhenti dari menuntut ilmu Syar’i ini.
  5.     Membaca kitab-kitab tentang ilmu Penunjang ini, perlu dilakukan sebagai selingan, misalnya membaca kitab tentang biografi Ulama, bagaimana ketekunan dan kiat-kiat mereka dalam menuntut ilmu Syar’i, atau bagaimana kemiskinan mereka, namun berhasil menjadi Ulama. Hal ini memompa semangatnya untuk bisa istiqomah dalam menuntut ilmu Syar’i.
  6.     Seorang penuntut ilmu Syar’i bebas memilih membaca kitab-kitab dalam ilmu Penunjang ini, baik itu kitab-kitab jenis mukhtashoroh (ringkas), mutawassithoh (menengah) maupun muthowwalat (panjang), asal mampu memahaminya, karena sifatnya sebatas penunjang dan untuk memperluas wawasan. Hal ini beda dengan belajar Ilmu Inti yang sifatnya Ta`shili (pendasaran yang kokoh) .
(Keterangan lebih lanjut baca Cara Mempelajari Kitab-Kitab Ulama (bag. 3))
Imbangi Ilmu Inti dengan Ilmu Penunjang

Maksud mengimbangi di sini, bukan berarti harus memberikan perhatian yang sama persis antara belajar ilmu Inti dengan ilmu Penunjang! Tidaklah demikian, namun maksudnya, berikanlah kepada tiap-tiap ilmu sesuai dengan haknya masing-masing! Berikanlah kepada ilmu Inti sesuai dengan porsinya, demikian pula berikanlah kepada ilmu Penunjang sesuai dengan porsinya pula. Tentu hak ilmu Inti jauh lebih besar daripada ilmu Penunjang.

Mengimbangi ilmu Inti dengan ilmu Penunjang itu perkara yang penting, karena seorang penuntut ilmu Syar’i biasanya mengalami saat-saat semangat kuat, tengah-tengah, dan menurun.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتـِي فَقَدْ أَفْلَحَ، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ

“Setiap amalan ada masa semangatnya, dan setiap masa semangat, ada masa jenuhnya. Barangsiapa kejenuhannya terarah kepada sunnahku berarti dia telah beruntung, dan barangsiapa yang kejenuhannya tidak membawa dia kepada yang demikian maka dia telah binasa” (HR. Ahmad, lihat Shahih At-Targhib).

Jadi, jika Anda dapatkan diri Anda sedang semangat-semangatnya belajar, maka hadirilah majelis Ilmu Inti dengan sungguh-sungguh, pahami pelajaran dengan baik, catatlah dan hafalkanlah! Perbanyak membaca kitab-kitab Ulama dan melakukan pembahasan ilmiyyah!

Namun, jika Anda dapatkan diri Anda lemah dan turun semangat atau jiwa Anda sedang membutuhkan selingan, maka janganlah Anda keluar dari ilmu kecuali kepada ilmu atau amal! Silahkan Anda keluar sementara dari ilmu Inti menuju kepada ilmu Penunjang, niscaya akan bermanfaat bagi Anda!

Adapun seorang penuntut ilmu ketika merasakan turun semangat belajarnya, kemudian keluar dari ilmu kepada permainan atau jalan-jalan, obrolan, dan nongkrong seperti orang awam yang melalaikan, maka hal ini tidaklah selayaknya dilakukan.

Ulama dan Ilmu Penunjang

Janganlah Anda merasa asing ketika seorang Ulama besar terkadang memberikan perhatian kepada ilmu Penunjang ini di sela-sela waktu sibuknya, sesekali saja! Bukan berarti mereka punya waktu nganggur yang kosong dari kesibukan untuk berleha-leha, bermain-main pelesiran kesana kemari yang melalaikan mereka dari ilmu Syar’i. Tidaklah demikian!

Namun, mereka memberikan perhatian kepada ilmu Penunjang ini di sela-sela waktu sibuknya dalam rangka menjaga kesimbangan dalam perjalanan ilmiyyahnya, agar tidak keluar dari ilmu kecuali kepada ilmu! Dan agar tidak terputus perjalanan ilmiyyahnya di tengah jalan!

Berikut dua contoh nyata tersebut:
  •     Diriwayatkan bahwa Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri rahimahullah, dahulu pernah suatu saat ketika beliau selesai menyampaikan pelajaran Hadits, berkata kepada murid-muridnya, “Sampaikan ilmu-ilmu “Mulah” kalian! Datangkan sya’ir-sya’ir kalian! Riwayatkan berita-berita kalian!”, akhirnya merekapun ada yang mengkisahkan kisah ini dan itu, meriwayatkan kabar ini dan itu, dan seterusnya, hingga mereka pun gembira dan semangat.
  •     Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah juga demikian, di samping beliau memiliki tulisan-tulisan dalam disiplin ilmu Inti, beliau juga memiliki tulisan-tulisan dalam masalah ilmu Penunjang. 
Beliau banyak memiliki tulisan dalam ilmu Inti, seperti kitab At-Tamhiid, tentang syarah Hadits, kitab Al-Istidzkar, tentang syarah Hadits pula, kitab Al-Kaafii tentang fikih madzhab Malikiyyah. Namun beliau juga menulis kitab-kitab “Mulah ”, seperti Bahjatul Majalis, tentang sya’ir dan kabar.
Peringatan: Jangan Anda Jadikan Ilmu Penunjang Sebagai Ilmu Inti!

Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah mengatakan,

فمن رام المُلح وترك عقد العلم، فإنّه لن يدرك بل سيكون عنده أخبار كثيرة ومعلومات أو ثقافة لكن لا يستطيع أنْ يتكلم بوضوحٍ في مسألة عقدية، أو في مسألة فقهية

“Maka barangsiapa mencari (dan memberi perhatian besar kepada) ilmu Penunjang dan meninggalkan ilmu Inti, maka ia tidakakan menguasai (ilmu Syari’at dengan baik), yang ada hanyalah ia memiliki kabar dan info-info atau wawasan (keislaman) semata, akan tetapi tidak mampu (secara ilmiyyah) berbicara dengan jelas (sistematis) dalam masalah Aqidah atau Fikih (Ilmu Inti).” 5

Wallahu a’lam.

Referensi:

Diolah dari transkrip Muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul Al-Manhajiyyah fi qira`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/28 dan Al-Farqu bainal ‘Uqod wal Mulah, http://saleh.af.org.sa/node/45.

____

Catatan kaki:
  1. Kitab Al-Muwafaqat, Asy-Syathibi di : library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=99&ID=15
  2. http://saleh.af.org.sa/node/45
  3. Kitab Al-Muwafaqat, Asy-Syathibi di : library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=99&ID=15
  4. http://saleh.af.org.sa/node/28
  5. http://saleh.af.org.sa/node/28

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.