Pembelaan para Ulama terhadap Aqidah Ahlus Sunnah yang Meyakini Sifat Al-‘Uluw dan Istiwa’
Demikianlah,
karena sangat banyaknya dalil-dalil tentang ketinggian Dzat Allah
Ta’ala atas seluruh makhluk-Nya, sampai-sampai banyak sekali di antara
para ulama yang menulis tentang hal ini. Di antaranya adalah Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah rahimahullah yang menulis kitab Ijtimaa’ Al-Juyuusy
Al-Islamiyyah ‘ala Ghazwil Mu’aththilah wal Jahmiyyah (Bersatunya
pasukan Islam untuk memerangi Sekte Mu’aththilah dan Jahmiyyah), sebagai
bantahan atas kelompok (sekte) Mu’aththilah dan Jahmiyyah yang
mengingkari ketinggian Dzat Allah Ta’ala di atas ‘arsy-Nya.
Sesuai
dengan nama kitab yang beliau berikan, kitab ini berisi puluhan dalil
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala itu
tinggi di atas ‘arsy. Beliau mengutip perkataan para sahabat, tabi’in,
tabi’ut tabi’in, ulama madzhab, ulama ahli hadits, dan para ulama
lainnya, yang juga meyakini hal ini. Semuanya ini menunjukkan bersatunya
aqidah mereka di atas aqidah yang lurus ini. Meskipun mereka hidup
dalam zaman dan tempat yang berbeda, akan tetapi bersatunya dan
persamaan aqidah mereka di atas aqidah yang lurus ini, seolah-olah
menjadikan mereka semua sebagai sebuah pasukan Islam yang sangat kuat
dan siap melawan dan memerangi siapa saja yang menyeleweng dari aqidah
tersebut.
Ulama
lainnya adalah Adz-Dzahabi rahimahullah dengan kitabnya yang berjudul
Al-‘Uluww. Di dalam kitab tersebut beliau menyebutkan banyak dalil dari
Al-Qur’an dan kurang lebih 200-an dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan
bahwa Allah Maha Tinggi, berada di atas ‘arsy, dan ‘arsy berada di atas
langit.
Demikian
pula Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu Ta’ala. Beliau secara khusus
membantah aqidah orang-orang Jahmiyyah yang mengingkari keberadaan Allah
di atas langit dalam kitabnya, “Ar-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah wal
Jahmiyyah” (Bantahan kepada orang-orang zindiq dan Jahmiyyah). Juga Imam
Bukhari rahimahullah, mengkhususkan sebuah bab dalam kitab Shahih
Bukhari, “Fi Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah” (Bab tentang bantahan kepada
Jahmiyyah). Juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah membantah
mereka secara khusus dalam kitabnya, “Bayaan Talbiis Al-Jahmiyyah”
(Penjelasan atas kerancuan paham Jahmiyyah). Demikian pula muridnya,
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam kitabnya, “Ash-Shawaiq
Mursalah ‘alal Jahmiyyah wal Mu’aththilah” (Petir yang menyambar kepada
Jahmiyyah dan Mu’aththilah).
Selain
kitab-kitab tersebut, masih banyak lagi ulama yang menulis tentang hal
ini, baik dengan menulis masalah ini secara khusus atau dengan menulis
aqidah ahlus sunnah secara umum (seperti kitab ‘Aqidah Wasithiyyah karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah).
Oleh
karena itu, orang-orang dewasa ini yang mengatakan atau berfatwa
barangsiapa yang memiliki keyakinan bahwa Allah Ta’ala di atas ‘arsy
adalah orang yang sesat, maka pada hakikatnya orang tersebut telah
berusaha menghidupkan kembali paham Jahmiyyah yang telah dibantah oleh
para ulama sejak zaman dahulu kala. Karena fitnah Jahmiyyah ini telah
muncul sejak zaman dahulu. Sehingga perjuangan para ulama saat ini untuk
menjelaskan kepada umat tentang aqidah al-‘uluw dan al-istiwa’, pada
hakikatnya adalah melanjutkan perjuangan para ulama terdahulu kala
ketika mereka menghadapi fitnah Jahmiyyah di zamannya.
Pertanyaan “Di manakah Allah” adalah Pertanyaan yang Batil?
Akan
tetapi, meskipun sudah sedemikian jelasnya dalil-dalil yang ada, tetap
saja masih banyak di antara kaum muslimin yang kebingungan ketika
mendapat pertanyaan seperti ini. Di antara mereka bahkan ada yang
menganggap bahwa pertanyaan ini tidak perlu diungkapkan karena hanya
akan menimbulkan kebingungan. Di antara mereka bahkan mengingkari
pertanyaan seperti ini dan menganggap bahwa pertanyaan “di manakah
Allah?” adalah pertanyaan yang tidak layak untuk ditanyakan.
Padahal
bagaimana mungkin mereka mengingkari pertanyaan ini, sedangkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan pertanyaan ini
sebagai ujian keimanan bagi seorang budak wanita sebelum dibebaskan?
Oleh karena itu, setelah membawakan hadits budak perempuan yang telah
kami sebutkan sebelumnya, Adz-Dzahabi rahimahullah berkata,
وهكذا
رأينا كل من يسأل أين الله يبادر بفطرته ويقول في السماء ففي الخبر
مسألتان إحداهما شرعية قول المسلم أين الله وثانيهما قول المسؤول في السماء
فمن أنكر هاتين المسألتين فإنما ينكر على المصطفى صلى الله عليه و سلم
“Demikianlah
yang kami lihat bahwa setiap orang yang ditanya, ’Di manakah Allah?’
dia akan segera menjawab dengan fitrahnya, ’Di atas langit.’ Dan di
dalam hadits ini terdapat dua hal. Yang pertama, disyariatkannya
pertanyaan seorang muslim, ’Di manakah Allah?’ Yang ke dua,
(disyariatkannya) jawaban orang yang ditanya, ’(Allah) di atas langit.’
Maka barangsiapa yang mengingkari dua hal ini, berarti dia telah
mengingkari Al-Mushthafa (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Al-‘Uluw lil ‘Aliy Al-Ghaffar, 1/28)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mengatakan,
فإن
هذا النص قاصمة ظهر المعطلين للصفات فإنك ما تكاد تسأل احدهم بسؤاله ( صلى
الله عليه وسلم ) أين الله ؟ حتى يبادر إلى الإنكار عليك ! ولا يدري
المسكين أنه ينكر على رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) أعاذنا الله من ذلك
ومن علم الكلام
“Hadits
ini (yaitu pertanyaan Rasulullah kepada budak perempuan di atas, pen.)
telah menghancurkan orang-orang yang menolak sifat-sifat Allah. Jika
Engkau bertanya kepada salah seorang di antara mereka dengan pertanyaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, maka tentu mereka
akan segera mengingkari pertanyaanmu itu! Orang-orang yang patut
dikasihani itu (yaitu yang mengingkari pertanyaan tersebut, pen.) tidak
mengetahui bahwa dia telah mengingkari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu dan dari
ilmu kalam (ilmu filsafat, pen.).” (Al-Irwa’ Al-Ghalil, 2/113)
Sumber: https://muslim.or.id/