Allah Ta’ala Membutuhkan ‘Arsy?
Di
antara dalih yang dilontarkan oleh mereka yang menolak sifat ‘uluw
adalah perkataan mereka bahwa jika kita menetapkan Allah Ta’ala istiwa’
di atas ‘arsy, berarti Allah Ta’ala membutuhkan tempat, yaitu ‘arsy.
Sebagai konsekuensinya, ‘arsy lebih besar daripada Dzat Allah Ta’ala.
Perkataan
ini adalah perkataan yang batil. Karena tidaklah sesuatu yang di atas
itu pasti butuh kepada sesuatu yang di bawah dan lebih kecil daripada
sesuatu yang di bawah. Misalnya, langit ada di atas bumi, dan keduanya
sama-sama makhluk Allah Ta’ala. Tapi langit tidak butuh bumi sebagai
penyangga. Langit juga lebih besar daripada bumi dan tidak menempel
dengan bumi. Jika hal ini saja bisa kita saksikan dan terjadi di antara
makhluk, tentu Allah Ta’ala sebagai Pencipta langit dan bumi, lebih
layak lagi. Bahkan kita katakan, ‘arsy-lah yang butuh Allah Ta’ala,
sebagaimana semua makhluk lainnya juga membutuhkan Allah Ta’ala.
Syubhat
ini hanyalah muncul berdasarkan logika mereka semata. Sebelum mereka
menolak sifat, yang ada di benak dan logika mereka adalah jika mereka
menetapkan sifat istiwa’, maka hal ini berarti menyamakan Allah Ta’ala
dengan makhluk. Di benak mereka, istiwa’ Allah Ta’ala itu sama dengan
istiwa’ makhluk, sehingga mereka pun akhirnya terjerumus dalam penolakan
terhadap sifat istiwa’. Jadi, merekalah yang sebetulnya menyamakan
Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, para ulama mengatakan,
كل معطل مشبه
“Setiap orang yang menolak sifat, pada hakikatnya mereka menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.”
Adapun
ahlus sunnah, mereka menetapkan sifat istiwa’ Allah Ta’ala, adapun
hakikat bagaimanakah bentuk sebenarnya istiwa’ tersebut, hanya Allah
Ta’ala yang mengetahui.
Menyelewengkan Makna Istiwa’
Perlu
diketahui bahwa secara bahasa (lughoh), terdapat empat makna istiwa’
jika kata tersebut berdiri sendiri. Hal ini sebagaimana penjelasan Ibnul
Qayyim rahimahullah dalam risalah beliau, An-Nuniyyah. Ke empat makna
tersebut adalah:
- Istaqarra (menetap).
- Sha’uda (naik).
- Irtafa’a (tinggi atau terangkat).
- ‘Ala (tinggi).
Akan
tetapi, jika kata istiwa’ disambungkan dengan kata ‘ala sebagaimana
dalam ayat Al-Qur’an, maknanya adalah ‘uluw dan irtifa’ (tinggi di
atas). [1]
Salah
satu cara dan metode yang digunakan oleh orang-orang yang menyimpang
dari aqidah ahlus sunnah untuk menolak sifat al-‘uluw dan istiwa’ adalah
dengan menyelewengkan firman Allah Ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian dia tinggi (istiwa’) di atas ´arsy” (QS. Al-Hadid [57]: 4).
Mereka menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “istawa” dalam ayat di atas adalah استولى
(istaula), yang berarti “menguasai”. Maksud mereka dengan
menyelewengkan makna ayat tersebut adalah untuk mengingkari sifat
ketinggian Dzat Allah Ta’ala di atas seluruh makhluk-Nya. Dan telah
berlalu dalil-dalil dari Al Qur’an, As-Sunnah, ijma’, akal, dan dalil
fitrah yang menunjukkan hal tersebut.
Memaknai
kata istiwa’ dengan istaula adalah penyelewengan makna yang batil.
Pertama, istiwa’ dengan makna “istaula” tidaklah dikenal dalam Bahasa
Arab. Kedua, dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menggunakan kata “ ثم“
(kemudian) yang menunjukkan adanya urutan waktu. Jika istiwa’ dimaknai
dengan istaula, maka konsekuensinya, sebelum penciptaan langit dan bumi,
‘arsy tidak dikuasai oleh Allah Ta’ala. Atau dengan kata lain, ‘arsy
baru dikuasai oleh Allah Ta’ala setelah penciptaan langit dan bumi. Ini
adalah konsekuensi yang batil, karena ada di antara makhluk-Nya yang
tidak berada dalam kekuasaan Allah Ta’ala.
Penyelewengan
makna seperti ini juga telah dibantah oleh Abul Hasan Al-Asy’ari
rahimahullah dalam kitab beliau, Al-Ibaanah. Beliau rahimahullahu Ta’ala
berkata,
وقد
قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية: إن معنى قول الله تعالى:
(الرحمن على العرش استوى) أنه استولى وملك وقهر، وأن الله تعالى في كل
مكان، وجحدوا أن يكون الله عز وجل مستو على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا
في الاستواء إلى القدرة.
“Orang-orang
Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah berkata bahwa makna firman Allah
Ta’ala (yang artinya), ‘(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang tinggi di atas
‘Arsy’ adalah menguasai dan memiliki ‘arsy, dan bahwasannya Allah Ta’ala
ada di segala tempat. Mereka menolak bahwa Allah Ta’ala tinggi di atas
‘arsy, sebagaimana yang dikatakan oleh ahlul haq (ahlus sunnah). Mereka
menyelewengkan makna istiwa’ (tinggi di atas) menjadi qudrah
“kekuasaan”.
ولو
كان هذا كما ذكروه كان لا فرق بين العرش والأرض السابعة؛ لأن الله تعالى
قادر على كل شيء والأرض لله سبحانه قادر عليها، وعلى الحشوش، وعلى كل ما في
العالم، فلو كان الله مستويا على العرش بمعنى الاستيلاء، وهو تعالى مستو
على الأشياء كلها لكان مستويا على العرش، وعلى الأرض، وعلى السماء، وعلى
الحشوش، والأقذار؛ لأنه قادر على الأشياء مستول عليها،
“Seandainya
benar apa yang mereka katakan, maka tidak ada bedanya antara ‘arsy dan
bumi yang tujuh. Karena Allah Ta’ala menguasai semua makhluk, Allah
Ta’ala menguasai (memiliki) bumi, menguasai rerumputan, dan menguasai
semua yang ada di alam semesta. Jika Allah istiwa’ di atas ‘arsy berarti
istaula (menguasai), maka Allah Ta’ala menguasai semua makhluk, Allah
Ta’ala menguasai ‘arsy, menguasai bumi, menguasai langit, menguasai
rerumputan, menguasai kotoran, karena Allah Ta’ala berkuasa atas segala
sesuatu.”
وإذا
كان قادرا على الأشياء كلها لم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول إن الله
تعالى مستو على الحشوش والأخلية، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، لم يجز أن
يكون الاستواء على العرش الاستيلاء الذي هو عام في الأشياء كلها، ووجب أن
يكون
معنى الاستواء يختص بالعرش دون الأشياء كلها.
“Meskipun
Allah Ta’ala menguasai segala sesuatu, tidak boleh bagi kaum muslimin
untuk mengatakan bahwa Allah Ta’ala istiwa’ di atas rumput dan tanah
kosong, Maha Suci Allah atas semua itu. Oleh karena itu, tidak boleh
memaknai istiwa’ di atas ‘arsy dengan makna istaula (menguasai) yang
maknanya umum mencakup seluruh makhluk. Wajib untuk menetapkan makna
istiwa’ dengan makna yang khusus berkaitan dengan ‘arsy, bukan seluruh
makhluk.” [2]
Oleh
karena itu, perlu dicatat bahwa kita tidak menafikan sifat kekuasaan
bagi Allah Ta’ala. Bahkan kita juga menetapkan sifat kekuasaan bagi
Allah Ta’ala. Namun, bukan itu makna yang terkandung dalam sifat
istiwa’.
Sumber: https://muslim.or.id/