Type Here to Get Search Results !

 


WAJIB, HARAM, DAN YANG ALLAH DIAMKAN #30

 

Hadits Arbain #30

عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الخُشَنِيِّ جُرثُومِ بْنِ نَاشِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ قَالَ: «إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا» حِدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُ.

Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyanni Jurtsum bin Nasyir radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban maka janganlah engkau menyepelekannya, dan Dia telah menentukan batasan-batasan maka janganlah engkau melanggarnya, dan Dia telah pula mengharamkan beberapa hal maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal–karena kasih sayangnya kepada kalian bukannya lupa–, maka janganlah engkau membahasnya.” (Hadits hasan, HR. Ad-Daruquthni no. 4316 dan selainnya) [Hadits ini dikomentari oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin, hadits ini sanadnya terputus. Namun hadits ini kata Ibnu Rajab punya penguat].

Keterangan hadits:

Farodho: mewajibkan

Farai-dho: suatu yang wajib seperti shalat lima waktu, zakat, puasa, haji, berbakti pada orang tua, dan silaturahim.

Hudud: batasan berupa wajib dan haram. Untuk yang wajib tidak boleh melampaui batas. Untuk yang haram tidak boleh didekati.

Wa harrama asy-yaa-a: Allah mengharamkan sesuatu.

Fa laa tantahikuhaa: janganlah mendekatinya, artinya jangan mendekati haram seperti zina, minum kharam, qadzaf, dan perkara lainnya yang tak terhitung.

Yang Allah diamkan artinya tidak dilarang dan tidak diwajibkan.

Fa laa tab-hatsu ‘anhaa: janganlah membicarakannya.

Yang Allah diamkan bukan berarti Allah lupa, yang didiamkan sebagai rahmat untuk makhluk agar mereka tidak merasa

Faedah hadits:

  1. Hadits ini jadi dalil bahwa Allah mewajibkan sesuatu pada hamba. Setiap perintah adalah di tangan Allah.
  2. Syariat terbagi menjadi: faraidh (wajib), muharromaat (yang diharamkan), hudud (batasan), dan maskuut ‘anha (yang didiamkan).
  3. Allah menjadikan yang wajib itu jelas, yang haram itu jelas, batasan Allah juga jelas.
  4. Kita tidak boleh melampaui batasan Allah.
  5. Tidak boleh melampaui batas dalam masalah hukuman. Misalnya, pezina yang masih gadis dikenakan seratus kali cambukan, tidak boleh ditambah lebih daripada itu.
  6. Allah disifatkan dengan diam. Hal ini berarti Allah itu berbicara sekehendak Allah, dan tidak berbicara juga sekehendak-Nya.
  7. Allah mengharamkan sesuatu menunjukkan bahwa yang haram ini tidak boleh didekati. Kita bisa mengetahui sesuatu itu diharamkan dari dalil larangan, dalil yang tegas melarang, penyebutan hukuman di dalam dalil.
  8. Apa saja yang didiamkan oleh syariat, tidak diwajibkan, tidak disebutkan batasan, tidak dilarang, maka termasuk halal. Ini pembicaraannya dalam perkara non ibadah. Sedangkan untuk perkara ibadah tidak boleh membuat syariat selain yang Allah izinkan.
  9. Allah mendiamkan sesuatu dan itu bentuk rahmat bagi hamba.
  10. Ditetapkan sifat rahmat bagi Allah.
  11. Dinafikan sifat kekurangan bagi Allah seperti lupa (nisyan).
  12. Bagusnya penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keterangan yang jelas dan pembagian yang mudah.

Bagaimana hukum mencukur bulu betis?

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan bahwa rambut itu ada tiga macam, yaitu ada yang diperintahkan untuk dihilangkan, ada yang dilarang untuk dihilangkan, dan ada yang didiamkan.

Rambut yang diperintahkan untuk dihilangkan adalah bulu kemaluan, bulu ketiak pada laki-laki dan perempuan, juga kumis untuk laki-laki. Namun yang tepat untuk kumis tidak dihilangkan secara total.

Rambut yang dilarang untuk dihilangkan adalah jenggot pada pria karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan untuk dibiarkan apa adanya.

Rambut lainnya yang tidak ada perintah dan tidak ada larangan, ini adalah rambut lainnya yang tidak masuk dua jenis rambut di atas. Pada wanita boleh dicukur untuk tujuan untuk mempercantik diri. Pada pria, makin banyak bulu semacam ini, makin menunjukkan kejantanan.

Bulu betis masuk jenis bulu yang ketiga. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Hlm. 342-343.

Kaedah dari hadits:

Kaedah fikih:

الأَصْلُ فِيْمَا سَكَتَ عَنْهُ الشَّارِعُ الإِبَاحَةُ إِلاَّ فِي العِبَادَاتِ فَالأَصْلُ المَنْعُ

Artinya: Hukum asal sesuatu yang Allah diamkan dari syariat adalah boleh (mubah). Kecuali untuk masalah ibadah jika didiamkan berarti terlarang.

By Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc

___

Referensi:

  1. Fath Al-Qawi Al-Matin fii Syarh Al-Arba’in wa Tatimmah Al-Khamsiin li An-Nawawi wa Ibni Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr.
  2. Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh ‘Abdullah Al-Farih.
  3. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.

Sumber: https://rumaysho.com/