Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-48
48. وَعُرِضُوا۟ عَلَىٰ رَبِّكَ صَفًّا لَّقَدْ جِئْتُمُونَا كَمَا خَلَقْنَٰكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍۭ ۚ بَلْ زَعَمْتُمْ أَلَّن نَّجْعَلَ لَكُم مَّوْعِدًا
48. Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu mengatakan bahwa Kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian.
Tafsir:
Ayat ini adalah kelanjutan dari ayat sebelumnya yaitu,
وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الْأَرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا
“Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka.” (QS. Al-Kahfi: 47)
Yang dijelaskan dalam ayat ini bahwa semua manusia dikumpulkan di padang mahsyar yang datar, tidak ada seorang pun yang lolos dari pengumpulan tersebut. Setelah mereka dikumpulkan mereka dipaparkan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka semua dipaparkan dengan ber-shaf (berbaris). Sebagian ulama mengatakan mereka dipaparkan dengan satu barisan, sebagian ulama yang lain mengatakan mereka dipaparkan dengan berbaris-baris([1]). Intinya mereka berbaris untuk disidang di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَقَدْ جِئْتُمُونَا
“Sesungguhnya kalian datang kepada Kami.”
Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan maka Allah subhanahu wa ta’ala mengejek mereka dengan firman-Nya “Sesungguhnya kalian datang kepada Kami”([2]). Kalian mengatakan tidak akan ada hari kebangkitan, padahal hari kebangkitan benar-benar ada, bahkan sekarang kalian sudah datang di hadapan Kami. Mereka semua dibangkitkan dan akan disidang.
كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ ۚ بَلْ زَعَمْتُمْ أَلَّنْ نَجْعَلَ لَكُمْ مَوْعِدًا
“sebagaimana Kami menciptakan kalian pada kali yang pertama.”
Kalian semua datang dalam kondisi sebagaimana kami menciptakan kalian pertama kali (yaitu sebagaimana manusia pertama kali dilahirkan), Allah berfirman dalam ayat yang lain,
يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ ۚ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ ۚ وَعْدًا عَلَيْنَا ۚ إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ
“(Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS. Al-Anbiya: 104)
Manusia ketika dibangkitkan maka akan dibangkitkan sebagaimana dia dilahirkan; yaitu tanpa harta, pakaian, tanpa apapun dan yang tersisa hanyalah amal saleh. Mereka dibangkitkan dalam keadaan yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا
“Manusia akan dikumpulkan pada hari Kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan belum dikhitan.” ([3])
Dalam riwayat lain,
يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا
“Manusia akan dikumpulkan pada hari Kiamat dalam keadaan tidak berpakaian, belum dikhitan, dan tidak membawa apa-apa.” ([4])
كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ ۚ
“Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya.”
Itulah kondisi manusia tatkala dibangkitkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Ini juga berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala yang lain,
وَلَقَدْ جِئْتُمُونَا فُرَادَىٰ كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَتَرَكْتُمْ مَا خَوَّلْنَاكُمْ وَرَاءَ ظُهُورِكُمْ ۖ وَمَا نَرَىٰ مَعَكُمْ شُفَعَاءَكُمُ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّهُمْ فِيكُمْ شُرَكَاءُ ۚ لَقَدْ تَقَطَّعَ بَيْنَكُمْ وَضَلَّ عَنْكُمْ مَا كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ
“Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa’at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).” (QS. Al-An’am: 94)
Inilah yang dimaksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan بُهْمًا “tidak membawa apa-apa”. Jangankan membawa harta, bahkan sendalpun mereka tidak punya, yaitu mereka dibangkitkan dalam keadaan حُفَاةً (tidak beralas kaki). Jangankan membawa harta bahkan pakaian pun mereka tidak memilikinya yaitu mereka dibangkitkan dalam keadaan عُرَاةً (telanjang). Semuanya akan dibangkitkan dalam keadaan demikian, tidak ada pangkat dan jabatan, bahkan mereka semua dibangkitkan dalam keadaan belum dikhitan. Mereka semua dibangkitkan untuk disidang oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan kepada mereka,
بَلْ زَعَمْتُمْ أَلَّنْ نَجْعَلَ لَكُمْ مَوْعِدًا
“bahkan kalian (ketika di dunia) mengatakan bahwa Kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kalian waktu (memenuhi) perjanjian.”
Yaitu perjanjian kapan kalian akan dibangkitkan maka waktunya telah Allah subhanahu wa ta’ala tentukan. Juga perjanjian kapan kalian akan dikumpulkan maka Allah subhanahu wa ta’ala telah menentukannya. Jadi Allah subhanahu wa ta’ala telah membuat perjanjian dan Allah subhanahu wa ta’ala akan menunaikan janjinya tersebut. Akan ada saatnya mereka dibangkitkan dan ada saatnya Allah subhanahu wa ta’ala menetapi janji untuk mengumpulkan mereka di Padang Mahsyar. Adapun orang-orang musyrikin mengingkari ini semua dan mereka mengatakan bahwa hari kebangkitan tidak ada. Lalu tiba-tiba mereka datang kepada Allah subhanahu wa ta’ala pada hari dibangkitkan, dan Allah berkata kepada mereka “Sesungguhnya kalian datang kepada Kami”.
Setelah itu Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan kondisi berikutnya yang menakutkan pada hari kiamat.
____
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 5/165
([2]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 3/521 dan Tafsir Ibnu Katsir 5/165
([3]) HR. Muslim no. 2859
([4]) HR. Ahmad no. 16042. Dikatakan oleh Syu’aib Al-Arnauth hadits ini sanadnya hasan
Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-49
49. وَوُضِعَ ٱلْكِتَٰبُ فَتَرَى ٱلْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَٰوَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا ٱلْكِتَٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّآ أَحْصَىٰهَا ۚ وَوَجَدُوا۟ مَا عَمِلُوا۟ حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
wa wuḍi’al kitābu fa taral-mujrimīna musyfiqīna mimmā fīhi wa yaqụlụna yā wailatanā māli hāżal-kitābi lā yugādiru ṣagīrataw wa lā kabīratan illā aḥṣāhā, wa wajadụ mā ‘amilụ ḥāḍirā, wa lā yaẓlimu rabbuka aḥadā
49. Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun”.
Tafsir:
Tatkala diletakkan kitab (catatan amal) kepada manusia, di antara mereka ada yang menerima dengan tangan kanan dan di antara mereka ada yang menerima dengan tangan kiri. Alif lam pada kata الْكِتَابُ adalah untuk al-istighraq (menunjukan keseluruhan), yang artinya bahwa yang diletakkan adalah seluruh catatan amal yang selama ini dicatat oleh malaikat maka pada hari kiamat kelak akan diletakkan kepada semua orang([1]). Lalu apa yang akan dialami oleh orang-orang mujrimin (para pelaku dosa)? Biasanya ketika Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan al-mujrimun di dalam Al-Quran maka yang dimaksud adalah orang-orang kafir([2]). Keadaan mereka sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan,
فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya.”
Mereka ketakutan karena mereka tahu bahwa mereka telah melakukan dosa-dosa. Pada hari kiamat Allah subhanahu wa ta’ala akan membuat mereka mengingat semua dosa-dosa yang pernah mereka lakukan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَىٰ يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ مَا سَعَىٰ
“Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya.” (QS. An-Naziat: 34-35)
Para pelaku dosa mereka akan ingat seluruh yang mereka kerjakan. Allah subhanahu wa ta’ala akan membukakan file-file masa lalu mereka dan mengembalikan ingatan mereka. Sehingga sebelum buku amalan mereka dibuka mereka ketakutan terlebih dahulu, karena mereka ingat apa yang telah mereka kerjakan, mereka pun takut untuk dipermalukan di hadapan khalayak. Inilah dua ketakutan yang terkumpul dalam diri mereka. Catatan amal mereka akan dibukakan dan diperlihatkan kepada mereka, Allah subhanahu wa ta’ala berkata,
اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu”.” (QS. Al-Isra’: 14)
Para ulama mengatakan bahwa semua orang akan bisa membaca catatan amalnya. Baik itu orang yang pandai membaca maupun orang yang buta aksara, semuanya akan bisa membaca pada hari tersebut. Namun wallahu a’lam kita tidak tahu apakah catatan amal tersebut berupa tulisan atau berupa visual, karena semua itu mungkin di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Di zaman sekarang saja kita dapati flash disk kecil mampu untuk menyimpan puluhan giga yang berisi berbagai macam file, baik berupa video maupun lainnya, maka lebih mudah bagi Allah subhanahu wa ta’ala untuk membuka catatan amal manusia pada hari kiamat kelak. Yang jelas semua manusia akan mendapati catatan amalnya langsung terbuka, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ ۖ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا
“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.” (QS. Al-Isra’: 13)
Orang yang kafir tersebut ketakutan setelah dia membaca, ternyata semua perkara-perkara diperlihatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sangat terperinci sampai ke perkara-perkara yang kecil. Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang perkataan mereka ketika itu,
وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا ۚ وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun”.”
Ayat ini menunjukkan bahwasanya dosa ada dua model: dosa kecil dan dosa besar. Kitab amalan ini menunjukkan bahwasanya orang-orang yang mujrim ini diperlihatkan dosa-dosa kecilnya dan mereka tahu bahwa mereka akan binasa disebabkan dosa-dosa kecil tersebut, terlebih lagi terhadap dosa-dosa besar mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya.”
Seperti yang penulis sampaikan sebelumnya bahwa mayoritas ulama Ahli Tafsir mengatakan penyebutan al-mujrimun di dalam Al-Quran maksudnya adalah orang-orang kafir. Al-Mujrim secara bahasa artinya adalah pelaku dosa, namun secara istilah maka yang dimaksud adalah orang-orang kafir. Orang-orang kafir jelas mereka disiksa karena dosa besar dan juga mereka disiksa karena dosa kecil. Oleh karenanya ketika Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang orang-orang di Neraka Saqor,
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan.” (QS. Al-Muddattsir: 42-46)
Jadi ternyata mereka disiksa oleh Allah subhanahu wa ta’ala secara detail. Baik disiksa karena dosa yang berkaitan dengan akidah (seperti mendustakan hari kebangkitan), mereka juga disiksa disebabkan dengan dosa amaliyah (seperti pelit dan tidak mau memberikan makan kepada fakir miskin). Ayat ini (QS al-Kahfi : 49) menunjukkan bahwasanya mereka disiksa disebabkan dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. Semua ini ditampakkannya untuk menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala Maha adil dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak menzalimi siapa pun. Di antara bentuk keadilan Allah subhanahu wa ta’ala adalah bahwa di surga ada darojaat (tingkatan-tingkatan ke atas) dan di neraka ada darokaat (tingkatan-tingkatan ke bawah). Tidak semua orang kafir tingkatannya sama di neraka. Orang kafir yang ketika di dunia baik, seperti murah senyum dan suka menolong maka nerakanya lebih di atas. Adapun orang kafir yang dahulu jahat, seperti suka mengganggu kaum muslimin dan merampas wilayah atau harta kaum muslimin maka nerakanya berada di bawah. Jadi berbeda antara orang kafir yang baik dan orang kafir yang jahat, sampai-sampai dosa-dosa kecil mereka pun Allah subhanahu wa ta’ala kumpulkan. Jangan mengira bahwa kaum muslimin saja nanti yang dihisab karena melihat aurat misalnya, karena orang kafir juga sesungguhnya mereka akan dihisab dan diadzab karena dosa-dosa kecil. Oleh karenanya orang-orang kafir akan berkata pada hari kiamat,
مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا
“”Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya”
Mereka merasa takjub dengan kitab amal yang dibagikan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa “al-mujrimin/para pendosa” dalam firman Allah فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ (kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya), juga mencakup kaum muslimin yang melakukan dosa. Namun pendapat ini menimbulkan pertanyaan, bukankah Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa orang-orang beriman jika melakukan dosa-dosa kecil kemudian dia menghindarkan dirinya dari dosa-dosa besar maka dosa-dosa kecil ini akan terampuni? Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“antara shalat lima waktu, shalat jum’at ke shalat jum’at berikutnya, puasa Ramadhan ke puasa Ramadhan berikutnya melebur dosa-dosa yang terdapat di antaranya , selama pelakunya menjauhi dosa-dosa besar.” ([3])
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ
“Dari umrah ke umrah berikutnya adalah penghapus (dosa) di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada pahala baginya kecuali surga.” ([4])
Dalam Al-Quran juga disebutkan,
الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ ۚ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ ۖ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Jika yang dimaksud dengan al-mujrimin dalam ayat ini adalah orang-orang kafir -sebagaimana pendapat mayoritas ulama- maka tidak ada permasalahan. Namun jika al-mujirimin di sini difahami mencakup para pelaku dosa dari kalangan kaum muslimin, maka untuk apa Allah subhanahu wa ta’ala memperlihatkan dosa-dosa kecilnya? Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala telah memaafkan dosa-dosa kecilnya jika seseorang meninggalkan dosa-dosa besar? Jawabannya adalah walaupun orang-orang Islam melakukan dosa-dosa kecil, lalu dosa-dosa kecil mereka telah diampuni maka Allah subhanahu wa ta’ala tetap menampakkannya untuk menunjukkan rahmat dan karunia-Nya subhanahu wa ta’ala kepadanya.
Namun -wallahu a’lam- pendapat yang lebih tepat menurut penulis bahwa al-mujrimun di sini adalah orang-orang kafir, sebagaimana pendapat mayoritas ulama.
Dalam ayat ini didahulukan penyebutan dosa kecil sebelum dosa besar,
لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا
“tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya”
Maka ada beberapa hikmah yang disebutkan oleh ulama Tafsir perihal didahulukannya penyebutan dosa kecil kemudian dosa besar:
- Karena yang membuat mereka kaget adalah dosa kecil yang ditampakkan. Mereka menyangka bahwa yang tercatat adalah dosa-dosa besar saja. Namun ternyata dosa yang kecil juga tercatat dan mereka kaget karena mereka tidak menduga bahwa dosa-dosa yang kecilpun diperlihatkan pada hari kiamat.([5])
- Jikalau dosa yang kecil saja tercatat maka terlebih lagi dosa yang besar.([6])
- Sebab mereka terjerumus kepada dosa-dosa besar adalah karena mereka sebelumnya terjerumus ke dalam dosa-dosa kecil terlebih dahulu. Contoh, tidaklah seorang berzina kecuali dimulai dengan penglihatan. Ibnul Qoyyim rahimahullah ta’ala mengatakan bahwa awal kebinasaan adalah penglihatan. Tidaklah seseorang terjerumus ke dalam zina kecuali karena dia tidak menjaga pandangan matanya.([7])
Inilah tiga hikmah mengapa didahulukan dosa kecil daripada dosa besar.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“dan mereka dapati apa yang telah mereka amalkan/kerjakan ada (tertulis).”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa apa yang mereka amalkan di dunia akan tampak di hadapan mereka ketika di akhirat. Banyak orang menyangka bahwa yang namanya amal hanyalah perbuatan tubuh, seperti memukul, melihat, mendengar atau yang lainnya. Namun para ulama mengatakan bahwa amal ini sifatnya umum; mencakup amalan tubuh (seperti pandangan mata, gerakan tangan, langkah kaki, zina, dan lainnya), juga mencakup amalan lisan (seperti ucapan) maka ini dicatat dan dianggap sebuah amalan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Banyak sekali orang melalaikan hal ini dan mereka menangka bahwa yang diperhatikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah perbuatan badan saja. Ini adalah anggapan yang keliru, bahkan Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat khusus untuk masalah lisan,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)
Kemudian di antara amalan yang dicatat adalah amalan hati. Seseorang yang berpikir untuk kebaikan maka akan tercatat sebagai amalan. Seseorang yang berniat baik (entah dia mampu mengerjakannya atau tidak) maka ini akan dicatat sebagai amalan. Begitu juga orang yang hasad, dengki, riya’ maka semua ini akan dicatat sebagai amalan hati. Sehingga hendaknya seseorang waspada karena yang dia dapati dalam catatan amalnya bukan amal badan saja, akan tetapi semua yang diucapkan dan semua yang terbetik dalam hatinya yang menjadi tekadnya (berupa keikhlasan, kejujuran, kemunafikan, riya, atau kesombongan) maka semuanya akan dia dapatkan dalam catatan amalnya. Maka seseorang hendaknya berhati-hati dalam berbuat, berbicara, dan dalam berniat. Jangan sampai seseorang sembarangan dalam berniat. Jika dia dapati dalam hatinya ada hasad maka hendaknya dia berusaha untuk melawannya. Jika dia dapati dalam hatinya ada riya’ maka hendaknya dia berusaha untuk melawannya karena itu semua akan hadir dalam catatan amalnya pada hari kiamat kelak.
Kemudian firman-Nya
وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun.”
Seseorang diazab berdasarkan catatan amalnya. Allah subhanahu wa ta’ala tidak menambah atau menguranginya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا ۖ وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَالَهُمْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf: 19)
Dalam ayat ini setelah Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan orang-orang kafir lalu menyebutkan orang-orang yang beriman, lalu Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا “dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan”. Artinya bahwasanya penghuni surga bertingkat-tingkat begitu juga penghuni neraka bertingkat-tingkat. Juga Allah subhanahu wa ta’ala tidak menzalimi seorang pun. Firman-Nya وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا “dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun” juga dalil bahwasanya jika ada satu kata datang dalam bentuk nakirah dalam konteks penafian maka memberikan faedah keumuman. Artinya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menzalimi seorang pun dan seluruhnya tidak ada yang dizalimi oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Jika ada seseorang diazab maka karena orang tersebut memang pantas mendapatkan azab. Bagaimana tidak, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang dia untuk kufur, telah mengutus kepadanya seorang Rasul, menurunkan Al-Quran, memunculkan dai-dai untuk mengingatkannya, namun semuanya ia langgar dan ia lebih memilih untuk mengikuti hawa nafsunya. Ketika Allah subhanahu wa ta’ala memberikannya peringatan dia tetap tidak perduli maka jika ia diazab sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala sama sekali tidak zalim. Disebutkan dalam sebuah hadits yang sangat terkenal dengan sebutan hadits bitoqoh,
يُصَاحُ بِرَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ، فَيُنْشَرُ لَهُ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ سِجِلًّا، كُلُّ سِجِلٍّ مَدَّ الْبَصَرِ، ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: هَلْ تُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا؟ فَيَقُولُ: لَا، يَا رَبِّ، فَيَقُولُ: أَظَلَمَتْكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ؟ فَيَقُولُ: لَا، ثُمَّ يَقُولُ: أَلَكَ عُذْرٌ، أَلَكَ حَسَنَةٌ؟ فَيُهَابُ الرَّجُلُ، فَيَقُولُ: لَا، فَيَقُولُ: بَلَى، إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَاتٍ، وَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ، فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ فِيهَا: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، قَالَ: فَيَقُولُ: يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ، مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ؟ فَيَقُولُ: إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ، فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كِفَّةٍ، وَالْبِطَاقَةُ فِي كِفَّةٍ، فَطَاشَتِ السِّجِلَّاتُ، وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ
“Pada hari Kiamat akan di teriakan seorang laki-laki dari ummatku di atas kepala seluruh makhluk, maka disebarkanlah untuknya sembilan puluh sembilan buku catatan, setiap buku catatan panjangnya sejauh mata memandang. Kemudian Allah ‘azza wajalla berfirman: “Apakah kamu mengingkari sesuatu dari catatan ini?” dia menjawab; “Tidak wahai Rabbku.” Allah bertanya lagi; “Apakah Malaikat penulis-Ku mendzalimimu?” dia menjawab; “Tidak.” Kemudian Dia berfirman: “Apakah kamu punya udzur? Apakah kamu punya kebaikan?” Maka dengan rasa takut, laki-laki itu menjawab; “Tidak.” Allah berfirman: “Ya, sesungguhnya kamu memiliki beberapa kebaikan di sisi Kami. Sesungguhnya pada hari ini tidak ada lagi kezhaliman bagi dirimu.” Maka di keluarkanlah untuknya kartu yang bertuliskan; “Asyhadu an laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluhu (Tidak ada ilah yang berhak di sembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya).” Beliau bersabda: “Lelaki itu berkata; “Wahai Rabbku, apa bandingannya kartu ini dengan buku catatan dosaku ini?” Allah menjawab: “Sesungguhnya kamu tidak akan dizhalimi.” Maka di letakkanlah catatan-catatan itu di atas satu bagian (di sisi) timbangan, dan kartu di bagian lain (sisi yang lain) dari timbangan, ternyata catatan-catatan itu lebih ringan dan kartu itu lebih berat.” ([8])
Dalam hadits ini menyebutkan bahwa semua yang tercatat di catatan amalnya sesuai dengan apa yang dilakukan selama di dunia. Jadi Allah subhanahu wa ta’ala tidak menzalimi seorang pun. Ini adalah akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Jika seandainya Allah subhanahu wa ta’ala ingin untuk berbuat zalim maka Allah subhanahu wa ta’ala Maha mampu akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan berbuat zalim karena Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan diri-Nya untuk berbuat zalim sebagaimana yang Allah firmankan dalam sebuah hadits Qudsi,
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا، يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ، يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ، إِلَّا مَنْ أَطْعَمْتُهُ، فَاسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ، يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ، إِلَّا مَنْ كَسَوْتُهُ، فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا، فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي، فَتَنْفَعُونِي، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ، يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ، ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا، فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا، فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ، فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ»
“Hai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan diri-Ku untuk berbuat zhalim dan perbuatan zhalim itu pun Aku haramkan di antara kalian. Oleh karena itu, janganlah kamu saling berbuat zhalim! Hai hamba-Ku, kamu sekalian berada dalam kesesatan, kecuali orang yang telah Aku beri petunjuk. Oleh karena itu, mohonlah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya kepadamu! Hai hamba-Ku, kamu sekalian berada dalam kelaparan, kecuali orang yang telah Aku beri makan. Oleh karena itu, mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu makan! Hai hamba-Ku, kamu sekalian telanjang dan tidak mengenakan sehelai pakaian, kecuali orang yang Aku beri pakaian. Oleh karena itu, mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu pakaian! Hai hamba-Ku, kamu sekalian senantiasa berbuat salah pada malam dan siang hari, sementara Aku akan mengampuni segala dosa dan kesalahan. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Ku, niscaya aku akan mengampunimu! Hai hamba-Ku, kamu sekalian tidak akan dapat menimpakan mara bahaya sedikitpun kepada-Ku, tetapi kamu merasa dapat melakukannya. Selain itu, kamu sekalian tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kepada-Ku, tetapi kamu merasa dapat melakukannya. Hai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta manusia dan jin, semuanya berada pada tingkat ketakwaan yang paling tinggi, maka hal itu sedikit pun tidak akan menambahkan kekuasaan-Ku. Hai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta jin dan manusia semuanya berada pada tingkat kedurhakaan yang paling buruk, maka hal itu sedikitpun tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku. Hai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta semua jin dan manusia berdiri di atas bukit untuk memohon kepada-Ku, kemudian masing-masing Aku penuhi permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan yang ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti benang yang menyerap air ketika dimasukkan ke dalam lautan. Hai hamba-Ku. sesungguhnya amal perbuatan kalian senantiasa akan Aku hisab (adakan perhitungan) untuk kalian sendiri dan kemudian Aku akan berikan balasannya. Barang siapa mendapatkan kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan barang siapa yang mendapatkan selain itu (kebaikan), maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.” ([9])
Allah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya. Ini menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala mampu untuk melakukan kezaliman akan tetapi Dia mengharamkannya sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan suatu perkara yang tidak wajib bagi-Nya. Ini Allah lakukan sebagai bentuk karunia kepada hamba-hamba-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,
«يَا مُعَاذُ، هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ، وَمَا حَقُّ العِبَادِ عَلَى اللَّهِ؟»، قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى العِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ العِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا»، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ؟ قَالَ: «لاَ تُبَشِّرْهُمْ، فَيَتَّكِلُوا»
“Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas para hamba-Nya dan apa hak para hamba atas Allah?” Aku jawab: “Allah dan Rosul-Nya yang lebih tahu”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya hak Allah atas para hamba-Nya adalah hendaklah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan hak para hamba-Nya atas Allah adalah seorang hamba tidak akan disiksa selama dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”. Lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah boleh aku menyampaikan kabar gembira ini kepada manusia?” Beliau menjawab: “Jangan kamu beritahukan mereka sebab nanti mereka akan berpasrah saja”. ([10])
_____
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 10/418
([2]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 18/38
([3]) HR. Muslim no. 233
([4]) HR. Bukhori no. 1773 dan Muslim no. 1349
([5]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 15/339
([6]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 3/521
([7]) Lihat: Al-Jawaabul Kaafi Liman Sa-ala ‘An Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi atau Ad-Daa-u Wa Ad-Dawaa’u hal 152
([8]) HR. Ibnu Majah no. 4300 dan dishohihkan oleh Al-Albani
([9]) HR. Muslim no. 2577
([10]) HR. Bukhori no. 2856 dan Muslim no. 30
Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat-50
50. وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَٰٓئِكَةِ ٱسْجُدُوا۟ لِءَادَمَ فَسَجَدُوٓا۟ إِلَّآ إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ ٱلْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِۦٓ ۗ أَفَتَتَّخِذُونَهُۥ وَذُرِّيَّتَهُۥٓ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِى وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّۢ ۚ بِئْسَ لِلظَّٰلِمِينَ بَدَلًا
50. Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim.
Tafsir:
Ayat ini menyebutkan tentang permusuhan nenek moyang syaithan (yaitu Iblis) dengan nenek moyang kita yaitu (Nabi Adam ‘alaihissalam). Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwasanya Iblis diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam sebelum Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan Nabi Adam ‘alaihissalam. Allah berfirman,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al-Hijr: 28-29)
Berita tentang akan diciptakannya Adam ‘alaihissalam membuat heboh Iblis. Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan para malaikat juga Iblis jika Adam telah diciptakan untuk sujud kepadanya. Ketika Allah subhanahu wa ta’ala selesai menciptakan Adam maka mereka diperintahkan kembali untuk sujud,
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis.”
Dalam ayat ini juga terdapat perselisihan di antara para ulama, apakah Iblis termasuk dari malaikat? Hal ini dikarenakan konteks kalimat “ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis” bisa dipahami bahwa Iblis dari golongan malaikat. Contohnya, jika penulis berkata: semua santri hadir kecuali Zaid. Maka Zaid termasuk dari santri, dan ini disebut dalam istilah nahwu dengan الاِسْتِثْنَاءُ الْمُتَّصِلُ al-istitsna al-muttashil([1]). Hukum asal ististsna/pengecualian adalah bahwa yang dikecualikan bagian dari rombongan. Sehingga ketika Allah subhanahu wa ta’ala berkata “para malaikat sujud kecuali Iblis” maka sebagian ulama memahami bahwa Iblis dari malaikat. Akan tetapi dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia faktanya sesuatu yang dikecualikan bisa jadi bukan termasuk rombongan yang disebutkan sebelumnya. Contoh: semua mahasiswa hadir di kelas kecuali pak Dosen, maka apakah Dosen termasuk dari mahasiswa? Maka jawabannya bukan. Pendapat kedua mengatakan bahwa Iblis bukan termasuk malaikat, karena istitsna dalam ayat ini adalah الاِسْتِثْنَاءُ الْمُنْقَطِعُ istitsna munqothi’ yaitu yang dikecualikan bukan termasuk dari rombongan. Jadi pendapat kedua ini mengatakan bahwa seluruh malaikat melakukan sujud kecuali Iblis dan Iblis bukan termasuk dari malaikat([2]). Dan kedua pendapat ini masing-masing ada salaf (pendahulu) yang mengatakannya. Bahkan ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa Iblis dahulu kala adalah malaikat (dari suatu kabilah malaikat yang namanya kabilah Jin)([3]) namun akhirnya dia membangkang.
Pendapat yang lebih lebih benar menurut penulis –wallahu ‘alam bis showab– bahwasanya Iblis bukan dari golongan malaikat, akan tetapi Iblis dari golongan jin sebagaimana yang disebutkan dalam ayat surah Al-Kahfi ini,
كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
“Dia adalah dari golongan jin maka ia mendurhakai perintah Tuhannya”
Dari kalimat “maka ia mendurhakai perintah Tuhannya” semua ulama sepakat bahwasanya Iblis dahulu adalah makhluk yang saleh, rajin beribadah, dan berilmu. Karena saking rajin beribadah dan banyak ilmunya dia seakan-akan dimasukkan ke dalam golongan malaikat. Ia mulai membangkang tatkala diperintahkan untuk sujud kepada Adam. Ini menunjukkan bahwasanya sebelum itu Iblis tidak pernah membangkang. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Iblis bukan termasuk dari malaikat adalah sumber penciptaannya. Iblis diciptakan dari api, sedangkan malaikat diciptakan dari cahaya, Rasulullah bersabda,
«خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ»
“Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk kalian.” ([4])
Ketika unsur penciptaannya berbeda maka ini menunjukkan bahwasanya Iblis bukan dari golongan malaikat. Dalil berikutnya yang menunjukkan bahwa Iblis bukan termasuk dari malaikat adalah bahwasanya malaikat tidak pernah membangkang kepada Allah subhanahu wa ta’ala sama sekali,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Malaikat tidak pernah bermaksiat dan tidak pernah membangkang, adapun Iblis dia telah membangkang. Ini dalil bahwasanya Iblis bukan dari golongan malaikat. Akan tetapi semua ulama sepakat bahwa Iblis dahulu adalah hamba Allah yang saleh. Iblis tidak mau sujud kepada Adam karena kesombongan, keangkuhan dan karena hasadnya. Oleh karenanya dikatakan,
إنَّ أوَّلَ مَعْصِيَةٍ عُصِيِ اللهُ بِهَا الْحَسَدُ، حَسَدُ إِبْلِيْسَ لآدَمَ، وَحَسَدُ قَابِيْلَ لِهَابِيْلَ
“Sesungguhnya maksiat pertama kali yang Allah dimaksiati dengannya adalah hasad, yaitu hasadnya Iblis kepada Adam dan hasadnya Qobil kepada Habil.” ([5])
Ini dikarenakan selama ini Iblis diakui oleh malaikat bahwa dia seorang yang berilmu dan rajin beribadah, lalu ketika datang pendatang baru -yaitu Adam- yang ternyata Allah subhanahu wa ta’ala muliakan dengan menciptakannya dengan kedua tangannya, yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan para malaikat dan jin untuk sujud kepadanya, yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya ilmu yang tidak diketahui oleh para malaikat dan jin. Iblis tidak bisa menerima pendatang baru -dengan kemuliaannya- tersebut, sehingga ketika iblis diperintahkan untuk sujud maka ia membangkang dan berkata,
قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ ۖ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
“Iblis berkata: “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”.” (QS. Shad: 76)
Malaikat yang sumber penciptaannya lebih mulia dari Iblis mereka tidak sombong, karena cahaya lebih utama dari api. Cahaya menunjukkan keindahan dengan penerangannya adapun api sifatnya merusak (seperti membakar). Malaikat lebih utama dari Iblis akan tetapi mereka tetap sujud kepada Adam.
Allah menyebutkan tentang Iblis yang tidak mau sujud kepada Adam karena sombong dengan asal penciptaannya, karena hal ini dikaitkan dengan ayat sebelumnya,
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” QS. Al-Kahfi: 28
Seperti yang sudah dijelaskan bahwasanya orang-orang musyrikin kaya raya yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka berkata “wahai Muhammad jika engkau ingin kami beriman maka tinggalkanlah orang-orang yang msikin tersebut”. Mereka menganggap diri mereka yang kaya lebih baik daripada orang-orang yang miskin, maka sebagian ulama mengatakan bahwa ini adalah metode Iblis ketika mengukur sesuatu yang paling baik dengan ukuran perkara duniawi/materi. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan barometer kebaikan dengan amal saleh. Ketika Iblis mengatakan bahwa ia lebih baik dari Adam maka dia tidak mengukurnya dengan amalannya (rajin beribadah) akan tetapi dia mengatakan dia lebih baik dari Adam dengan perkara materi.
Bantahan terhadap pernyataan Iblis tersebut dari berbagai sisi; di antaranya kita katakan bahwa siapa yang bilang bahwa api lebih baik dari tanah? Faktanya api banyak menimbulkan kebakaran dan api tidak bisa diatur. Adapun tanah adalah sumber kebaikan, di antaranya pepohonan yang tumbuh di tanah, manusia yang hidup di atas tanah dan banyak kehidupan di tanah. Iblis telah mengqiyaskan (menganalogikan) dalam menentukan sesuatu lebih baik dengan perkara materi, dan ternyata qiyasnya salah. Jadi Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang Iblis yang merasa dirinya lebih hebat karena dia terbuat dari api untuk mengingatkan orang-orang musyrikin yang mereka merasa lebih hebat dari kaum muslimin karena memiliki harta yang banyak dan ini adalah metode Iblis.
Ketika Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
“Dia adalah dari golongan jin maka ia mendurhakai perintah Tuhannya”
Ada suatu hal yang aneh yang dilakukan oleh sebagian orang-orang shufi. Di antaranya adalah Al-Hallaj yang memiliki akidah wihdatul wujud, yang jika kita baca biografinya dalam kitab Siyar ‘Alam An-Nubala’, disebutkan bahwa Al-Hallaj mengaku sebagai tuhan([6]). Dikatakan dia bisa melakukan apa saja, bahkan di musim kemarau dia bisa mendatangkan buah-buahan yang tidak mungkin muncul kecuali di musim dingin. Murid-muridnya pun terheran dengan semua kejadian itu, tentunya ini semua terjadi dengan bantuan jin. Suatu saat dia datang kepada seorang ulama lalu mengatakan: ‘apa yang kau inginkan?’ ulama tersebut menjawab: ‘saya sudah tua maka saya ingin untuk muda kembali’. Al-Hallaj yang mengaku sebagai tuhan pun berkata: aku tidak mampu untuk melakukan itu. Juga diceritakan bahwa suatu hari dia mendatangkan buah dari surga. Lalu murid-muridnya mendapati buah tersebut ada ulatnya sehingga mereka bertanya mengapa buah dari surga ada ulatnya? Ia pun menjawab hal ini disebabkan karena buah tersebut berasal dari tempat yang kekal dan keluar menuju tempat yang akan binasa([7]). Al-Hallaj ini mengatakan bahwa keengganan Iblis untuk sujud kepada Adam justru menunjukkan bahwa Iblis bertauhid. Karena sujud kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala adalah perbuatan kesyirikan([8]). Jadi Iblis tidak mau sujud kepada Adam karena dia bertauhid, bahkan karenanya dia rela dilaknat oleh Allah subhanahu wa ta’ala demi mempertahankan tauhidnya. Begitu juga perkataan Abdul Karim Al-Jili yang ia merupakan tokoh shufi juga yang sempat dituliskan risalah dukturah yang menjelaskan tentang pemikiran-pemikirannya. Dia mengatakan bahwa ahlu tauhid ada 2 macam: Ahlu Tauhid yang berada di bumi yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ahlu Tauhid yang berada di langit yaitu Iblis. Iblis bertauhid karena tidak mau sujud kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Ulama yang termasuk terpengaruh dengan pemikiran ini adalah Al-Ghozzali -semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengampuninya-, dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin dia berkata,
فَمَنْ عَرَفَ اللهَ تَعَالَى عَرَفَ أَنَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ وَلاَ يُبَالِي وَيَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ وَلاَ يَخَافُ، قَرَّبَ الْمَلاَئِكَةَ مِنْ غَيْرِ وَسِيْلَةٍ سَابِقَةٍ وَأَبْعَدَ إِبْلِيْسَ مِنْ غَيْرِ جَرِيْمَةٍ سَالِفَةٍ
“Barang siapa yang mengenal Allah maka ia mengetahui bahwasanya Allah melakukan apa yang Allah kehendaki dan Dia tidak perduli. Ia memberi keputusan apa yang Dia kehendaki dan Dia tidak takut. Allah mendekatkan Malaikat kepada-Nya tanpa ada wasilah (amal kebaikan) sebelumnya, dan Allah menjauhkan Iblis tanpa ada dosa sebelumnya” ([9])
Al-Ghozali mengakui Iblis tidak bersalah, yaitu Allah bebas melakukan apa yang Allah kehendaki termasuk menjauhkan Iblis dari rahmat-Nya padahal Iblis tidak bersalah. Kelazimannya pernyataan ini berarti Allah yang salah.
Pernyataan ini dibantah oleh banyak para ulama. Karena Iblis berdosa, dia diperintah oleh Allah subhanahu wa ta’ala namun dia membangkang. Sedangkan malaikat didekatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala karena memang ahli ibadah, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ
“Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (Al-Anbiya’: 20)
Dan juga firman-Nya,
فَإِنِ اسْتَكْبَرُوا فَالَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ يُسَبِّحُونَ لَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَهُمْ لَا يَسْأَمُونَ ۩
“Jika mereka menyombongkan diri, maka mereka (malaikat) yang di sisi Tuhanmu bertasbih kepada-Nya di malam dan siang hari, sedang mereka tidak jemu-jemu.” (QS. Fusshilat: 38)
Sedangkan Iblis maka dia telah melakukan dosa karena dia diperintahkan untuk sujud kepada Adam namun dia tidak mau sujud. Ini adalah salah satu kesalahan Al-Imam Ghozali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin. Oleh karenanya para ulama berselisih pendapat dalam hal kitab Ihya ‘Ulumuddin, sebagian ulama mengagungkan kitab ini karena berisi akhlak dan yang lainnya, sebagian yang lain mengatakan anjuran untuk membakar kitab ini karena banyak berisi kerusakan, di antaranya adalah akidah-akidah yang menyimpang, salah satunya yang disebutkan di atas. Ibnu Taimiyyah mengambil pendapat pertengahan, bahwasanya buku Ihya ‘Ulumuddin ada kebaikan dan ada kerusakannya([10]), bagi orang yang berilmu dia bisa mengambil kebaikan dari kerusakannya, namun bagi orang awam maka hendaknya berhati-hati karena beberapa pernyataan dalam kitab ini ada hal-hal bermasalah yang berkaitan dengan akidah, bahkan di dalamnya juga banyak disebutkan hadits-hadits palsu.
Jadi yang benar ketika Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan malaikat untuk sujud kepada Adam maka ini bukan sujud ibadah, akan tetapi ini adalah untuk sujud tahiyyah atau sujud penghormatan([11]).
Seandainya malaikat sujud kepada Adam tanpa perintah Allah subhanahu wa ta’ala, maka ini adalah maksiat atau kesyirikan. Akan tetapi jika itu adalah perintah Allah subhanahu wa ta’ala, maka ini adalah ibadah, karena semua perintah Allah subhanahu wa ta’ala adalah ibadah. Contoh sederhananya kita diperintahkan untuk mencium hajar aswad, seandainya kita mencium hajar aswad bukan karena perintah Allah subhanahu wa ta’ala maka ini adalah kesyirikan. Akan tetapi ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk mencium hajar aswad maka ini bukanlah kesyirikan, karena ini adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita juga meyakini ini adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga ketika seseorang meminum air zam-zam lalu meyakini bahwasanya air zam-zam bisa ini dan itu, maka ini adalah kesyirikan, tetapi ketika meminumnya berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meyakini faedahnya berdasarkan yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ini adalah ibadah. Jangan sampai kita seperti orang-orang shufi ekstrim yang meyakini Iblis adalah ahli tauhid. Begitu juga sebagian mereka mengatakan bahwa Firaun yang mengatakan,
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ
“(Seraya) berkata: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi”. (QS. An-Nazi’at: 24)
Fir’aun menyatakan demikian dikarenakan Allah subhanahu wa ta’ala menyatu dengan Firaun dan Firaun adalah ahlu tauhid. Dia tidak mau mengubah perkataannya (meskipun akhirnya dia ditenggelamkan) karena dia mempertahankan tauhid.
Jadi Iblis hasad kepada Adam karena Adam adalah pendatang baru yang kemudian diberi beberapa kelebihan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara kelebihan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada Adam adalah:
- Adam diciptakan langsung dengan kedua tangan Allah subhanahu wa ta’ala.
- Adam diajarkan ilmu yang tidak diketahui oleh malaikat.
- Allah memerintahkan para malaikat dan Iblis untuk sujud kepada Adam.
Ini semua yang menjadikan Iblis hasad kepada Adam dan akhirnya menyebabkan ia membangkang atas perintah Allah subhanahu wa ta’ala dengan bentuk tidak mau untuk sujud kepada Adam. Maka hendaknya seseorang menjauhkan dirinya dari penyakit hasad, karena itu adalah akhlak Iblis dan juga akhlaknya orang-orang Yahudi, dan hasad merupakan akhlak yang buruk dan tercela.
كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
“Dia adalah dari golongan jin maka ia mendurhakai perintah Tuhannya”
Kefasikan ada dua macam: ada (1) kefasikan akbar, yang ini merupakan kekufuran, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat ini, dan ada yang namanya (2) kefasikan ashghor, seperti yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” ([12])
Kemudian setelah Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan sikap Iblis kepada Adam, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ ۚ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا
“Patutkah kalian mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuh kalian? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim.”
Dalam firman-Nya وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ “sedang mereka adalah musuh kalian” seakan-akan tidak ada musuh bagi kalian kecuali Iblis dan keturunannya. Mereka (Iblis dan keturunannya) hidup di atas muka bumi tugasnya hanya memusuhi kalian. Jika kalian mengetahui bahwa Iblis adalah musuh bagi kalian maka mengapa kalian menjadikan Iblis beserta keturunannya sebagai wali-wali bagi kalian atau sesembahan bagi kalian. Orang-orang yang zalim adalah mereka yang seharusnya mereka menyembah Allah subhanahu wa ta’ala namun justru menjadikan Iblis (sang musuh bubuyutan) sebagai pengganti Allah subhanahu wa ta’ala untuk disembah.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa Iblis memiliki keturunan, karena Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ “Patutkah kalian mengambil dia dan turanan-turunannya”. Ini menunjukkan bahwa Iblis memiliki keturunan. Ini juga menjadi isyarat bahwa Iblis bisa beranak pinak seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan tentang bidadari surga,
فِيهِنَّ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ
“Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar-Rahman: 56)
Yaitu ayat ini menunjukan bahwa Iblis (yang merupakan jin) juga melakukan hubungan biologis, yang itu menunjukan sebab terjadinya anak keturunan.
Ini menunjukkan Iblis bisa beranak pinak. Adapun bagaimana proses kawinnya, melahirkannya, berapa lama kandungannya maka ini bukan urusan kita. Sebagian ulama mengatakan bahwa Iblis adalah jin pertama, sebagaimana Adam adalah manusia pertama. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa Iblis bukanlah jin pertama, karena telah muncul jin-jin sebelumnya, namun mereka semua mati dan yang dibiarkan masih hidup adalah Iblis, karena Iblis adalah satu-satunya jin yang ditangguhkan hidupnya hingga hari kiamat, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan tentang perkataannya,
قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Berkata iblis: “Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.” (QS. Al-Hijr: 36)
Ini dalil bahwasanya Iblis seharusnya memiliki usia yang terbatas dan dia akan mati jika ajalnya tiba, akan tetapi dia meminta untuk ditangguhkan. Adapun keturunan Iblis berupa jin-jin maka mereka tidak memiliki usia yang panjang seperti Iblis, mereka hidup dan mereka juga mati.
____
Footnote :
([1]) Disebut dengan الاِسْتِثْنَاءُ الْمُتَّصِل “pengecualian yang bersambung” jika المُسْتَثْنَى “yang dikecualikan” (dalam contoh di atas yaitu : Zaid) merupakan bagian dari المُسْتَثْنَى مِنْهُ “rombongan sebelum dikecualikan” (dalam contoh di atas yaitu : para santri).
Lain halnya dengan الاِسْتِثْنَاءُ الْمُنْقَطِعُ “pengecualian yang terputus”, maka المُسْتَثْنَى “yang dikecualikan” bukan merupakan bagian dari المُسْتَثْنَى مِنْهُ “rombongan sebelum dikecualikan”. Sebagaimana contoh di atas : “Semua mahasiswa telah hadir kecuali Pak Dosen”.
([2]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 1/506 dan Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 3/521
([3]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 1/504
([4]) HR. Muslim no. 2996
([5]) Al-Masaalik Fii Syarhi Muwattho’ Maalik 7/268
([6]) Lihat Siyaru A’lam An-Nubala’ 11/202
([7]) Lihat Siyaru A’lam An-Nubala’ 11/200
([8]) Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hallaaj, ia berkata:
وَمَا كَانَ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ مُوَحِّدٌ مِثْلُ إِبْلِيْسَ
“Tidak ada dari penghuni langit yang bertauhid seperti Iblis” (kitab at-Thowasiin hal 190 pada طاسين الأزل والالتباس)
Ia mengatakan bahwa Iblis berkata:
إِنْ عَذَّبَنِي بِنَارِهِ أَبَدَ الآبَادِ مَا سَجَدْتُ لِأَحَدٍ وَلاَ أَذِلُّ لِشَخْصٍ وَلاَ جَسَدٍ
“Meskipun Allah mengádzabku dengan nerakaNya selama-lamanya aku tidak akan sujud kepdada seorangpun dan aku tidak akan merendah kepada manusia dan kepada jasad manapun” (hal 192)
Setelah itu al-Hallaaj berkata:
فَصَاحِبِي وَأُسْتَاذِي إِبْلِيْسُ وَفِرْعَوْنُ، وَإِبْلِيْسُ هُدِّدَ بِالنَّارِ وَمَا رَجَعَ
“Maka sahabatku dan guruku adalah Iblis dan Firáun. Iblis diancam dengan neraka (jika tidak sujud kepada Adam) akan tetapi ia tidak bergeming (tetep tidak masu sujud kepada Adam)” (Kitab At-Thawasiin hal 192)
([9]) Ihya’ ‘Ulum Ad-Din 4/168
([10]) Ibnu Taimiyyah berkata:
وَالْإِحْيَاءُ فِيهِ فَوَائِدُ كَثِيرَةٌ، لَكِنَّ فِيهِ مَوَادَّ مَذْمُومَةً، فَإِنَّ فِيهِ مَوَادَّ فَاسِدَةً مِنْ كَلَامِ الْفَلَاسِفَةِ تَتَعَلَّقُ بِالتَّوْحِيدِ وَالنُّبُوَّةِ وَالْمَعَادِ … وَقَدْ أَنْكَرَ أَئِمَّةُ الدِّينِ عَلَى أَبِي حَامِدٍ هَذَا فِي كُتُبِهِ وَقَالُوا: أَمْرَضَهُ الشِّفَاءُ يَعْنِي شِفَاءَ ابْنِ سِينَا فِي الْفَلْسَفَةِ – وَفِيهِ أَحَادِيثُ وَآثَارٌ ضَعِيفَةٌ، بَلْ مَوْضُوعَةٌ كَثِيرَةٌ وَفِيهِ أَشْيَاءُ مِنْ أَغَالِيطِ الصُّوفِيَّةِ وَتُرَّهَاتِهِمْ، وَفِيهِ مَعَ ذَلِكَ مِنْ كَلَامِ الْمَشَايِخِ الصُّوفِيَّةِ الْعَارِفِينَ الْمُسْتَقِيمِينَ فِي أَعْمَالِ الْقُلُوبِ الْمُوَافِقِ لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَمِنْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْعِبَادَاتِ وَالْأَدَبِ مَا هُوَ مُوَافِقٌ لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مَا هُوَ أَكْثَرُ مِمَّا يُرَدُّ مِنْهُ فَلِهَذَا اخْتَلَفَ فِيهِ اجْتِهَادُ النَّاسِ وَتَنَازَعُوا فِيهِ
“Dan di kitab Ihya’ Ulum ad-Din (karya al-Ghozali) banyak faidah akan tetapi ada juga materi-materi yang tercela. Sesungguhnya di kitab al-Ihya ada pembahasan yang rusak dari perkataan para filsuf yang berkaitan dengan tauhid, kenabian, dan hari kebangkitan… para imam (ulama) di kitab-kitab mereka telah mengingkari Abu Hamid al-Ghozali perihal hal ini. Mereka berkata, “Kitab as-Syifa -yaitu karya Ibnu Sina tentang filsafat- telah menjadikan al-Ghozali sakit”. Di kitab al-Ihya’ hadits-hadits dan atsar-atsar yang lemah bahkan banyak yang palsu. Dan di kitab tersbeut ada juga kesalahan-kesalahan para kaum shufi serta kebatilan-kebatilan mereka. Namun meskipun demikian pada kitab tersebut ada juga perkataan para syaikh sufi yang árif serta istiqomah tentang amalan-amalan hati yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, demikian juga perkara-perkara lain seperti ibadah dan ada yang sesuai dengan al-Kitab dan As-Sunnah yang lebih banyak dari pada yang ditolak. Karena itulah orang-orang berbeda ijtihad (pandangan) dan berselisih dalam menyikapi kitab al-Ihya” (Majmu’ Al-Fataawa 10/551-552 dan Al-Fatawa al-Kubro 5/86)
([11]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 3/521
([12]) HR. Bukhori no. 48 dan Muslim no. 64
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/