Type Here to Get Search Results !

 


BERBUAT IHSAN PADA SEGALA SESUATU #17

  

Hadits Arbain #17: 

Kita diperintahkan berbuat ihsan pada segala sesuatu. Ini bahasan hadits Al-Arbain An-Nawawiyah no. 17 karya Imam Nawawi. Lihat penjelasannya.

Dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”  (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 1955, Bab “Perintah untuk berbuat baik ketika menyembelih dan membunuh dan perintah untuk menajamkan pisau”]

Penjelasan

Ibnul ‘Atthar Asy-Syafi’i rahimahullah yang makruf dengan sebutan Mukhtashar An-Nawawi—sebagaimana julukan ini disebut oleh Ibnu Katsir—menyatakan tentang hadits Arba’in nomor urut 17 ini, bahwa hadits tersebut termasuk hadits singkat namun sarat makna, juga berisi kaedah pokok dalam agama ini. Hadits tersebut berisi perintah untuk berbuat baik pada diri sendiri, juga pada setiap makhluk, sampai pada saat menyembelih dengan berbuat baik pada hewan yang akan disembelih, dan perintah untuk menyenangkannya. (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Ibnul ‘Atthar, hlm. 112)

Yang dimaksud, membunuh dan menyembelih dengan cara yang baik adalah dilihat dari sisi cara dan keadaan. Bentuk berbuat baik ketika membunuh misalnya ketika melaksanakan eksekusi hukum qishash (hukum mati pada pembunuh, pen.). Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 13:98.

Yang dimaksud menyenangkan hewan yang akan disembelih ada beberapa bentuk yang dicontohkan oleh Imam Nawawi rahimahullah:

  1. Menajamkan pisau sehingga hewan cepat untuk menyembelih.
  2. Dianjurkan tidak mengasah pisau di hadapan hewan yang akan disembelih.
  3. Tidak boleh menyembelih hewan lantas ditonton oleh hewan lainnya.
  4. Tidak boleh melewatkan hewan yang akan disembelih di tempat penyembelihannya. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 13:98)

Salah satu yang dimaksudkan oleh Imam Nawawi rahimahullah disebutkan dalam hadits berikut ini.

Dari Ibnu ’Abbas radhiyallaahu ’anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengamati seseorang yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu memandang kepadanya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

أَتُرِيْدُ أَنْ تَمِيْتَهَا مَوْتَات هَلاَ حَدَدْتَ شَفْرَتَكَ قَبْلَ أَنْ تَضْجَعَهَا

“Apakah sebelum ini kamu hendak mematikannya dengan beberapa kali kematian?! Hendaklah pisaumu diasah terlebih dahulu sebelum engkau membaringkannya.” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, ‘Abdur Razaq, no. 8608.  Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits shahih sesuai syarat Al-Bukhari. Adz-Dzahabi dalam At-Talkhis mengatakan bahwa sesuai syarat Bukhari. Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Al-Habir, 4: 1493 mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara mursal. Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib, no. 2265 mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Faedah Hadits

1. Hadits ini menjelaskan bahwa Allah sangat menyayangi hamba-Nya yaitu Allah menetapkan berbuat baik pada sesama. Contoh dalam hal ini adalah memberi petunjuk jalan pada orang yang tersesat, juga memberi makan pada orang yang butuh makan.

2. Hadits ini menunjukkan dorongan untuk berbuat ihsan pada segala sesuatu.

3. Dalam membunuh atau menyembelih diperintahkan dengan cara yang baik, yaitu dengan mengikuti tuntunan syari’at.

4. Dalam hadits ini digunakan kata kataba atau kitabah yaitu menetapkan. Sedangkan kitabah itu dijelaskan oleh para ulama ada dua macam yaitu kitabah qadariyyah dan kitabah syar’iyyah. Kitabah qadariyyah adalah ketetapan yang pasti terjadi. Sedangkan kitabah syar’iyyah adalah ketetapan yang kadang manusia kerjakan dan kadang tidak dikerjakan.

Contoh kitabah qadariyyah seperti dalam ayat,

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ

“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.” (QS. Al-Anbiya’: 105)

Contoh kitabah syar’iyyah seperti dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

5. Wajib berbuat ihsan pada segala sesuatu dan bentuknya bermacam-macam, bisa pada amalan seperti:

Dalam hal yang wajib yaitu menjalankan kewajiban secara sempurna sebagaimana yang dituntut. Sedangkan berbuat ihsan dalam hal menyempurnakan yang sunnah tidaklah wajib.

Meninggalkan yang haram.

Sabar terhadap takdir yang tidak menyenangkan, tanpa menggerutu atau mengeluh pada takdir.

Berbuat baik dalam muamalah dengan manusia lainnya.

Berbuat baik ketika membunuh sesuatu yang dibolehkan untuk dibunuh.

6. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memberikan contoh dalam menjelaskan sesuatu. Dalam hadits ini disebutkan contoh ihsan yaitu dalam hal menyembelih.

7. Bagaimana cara berbuat baik ketika menyembelih? Caranya adalah dengan mengikuti tuntunan syari’at Islam saat menyembelih.

Aturan-aturan penting yang jadi syarat yang mesti dipenuhi:

a. Yang menyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi dan Nashrani). Oleh karena itu, tidak halal hasil sembelihan dari seorang penyembah berhala, seorang yang murtad (keluar dari Islam) dan orang Majusi. Begitu pula orang yang meninggalkan shalat tidak sah dalam menyembelih qurban karena orang yang meninggalkan shalat bukan termasuk muslim, bukan pula termasuk ahli kitab.

Sembelihan ahli kitab masih halal bagi seorang muslim sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.” (QS. Al-Maidah: 5). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya menafsirkan bahwa yang dimaksudkan makanan di sini adalah sembelihan mereka. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:328)

Siapakah ahli kitab?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah membawakan ayat berikut ini,

وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ

“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab.” (QS. Ali Imran: 20)

Lalu beliau menjelaskan, ayat ini ditujukan pada Ahli Kitab di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal ajaran ahli kitab yang hidup di zaman beliau sudah mengalami naskh wa tabdiil (penghapusan dan penggantian). Maka ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menisbatkan dirinya pada Yahudi dan Nashrani, merekalah ahli kitab. Ayat ini bukan khusus membicarakan ahli kitab yang betul-betul berpegang teguh dengan Al-Kitab (tanpa penghapusan dan penggantian). Begitu pula tidak ada beda antara anak Yahudi dan Nashrani yang hidup setelah adanya penggantian Injil-Taurat di sana-sini dan yang hidup sebelumnya. Jika setelah adanya perubahan Injil-Taurat di sana-sini, anak Yahudi dan Nashrani disebut ahli kitab, begitu pula ketika anak Yahudi dan Nashrani tersebut hidup sebelum adanya perubahan Taurat-Injil, mereka juga disebut Ahli Kitab dan mereka kafir jika tidak mengimani Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat Al-Iman karya Ibnu Taimiyah, hlm. 49.

b. Menggunakan alat pemotong, baik tajam atau tumpul asalkan bisa memotong (mengalirkan darah), baik berbahan stainless, perak, emas, tongkat atau kayu. Dalam hadits dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ ، فَكُلُوهُ ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ ، وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ

“Segala sesuatu yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan, asalkan yang digunakan bukanlah gigi dan kuku. Aku akan memberitahukan pada kalian mengapa hal ini dilarang. Adapun gigi, ia termasuk tulang (tulang tidak boleh digunakan untuk menyembelih, -pen). Sedangkan kuku adalah alat penyembelihan yang dipakai penduduk Habasyah.” (HR. Bukhari, no. 2488 dan lihat Fath Al-Bari, 15:447)

c. Yang dipotong adalah empat bagian yaitu dua urat leher, saluran nafas, dan saluran makan. Namun kalau memotong dua urat leher atau saluran nafas dan saluran makan saja, tetap sah dan halal, sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Arba’in, hlm. 214.

d. Menyebut nama Allah ketika menyembelih (membaca bismillah). Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’am: 121)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Ada suatu kaum berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah sembelihan itu disebut nama Allah ataukah tidak saat disembelih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ

“Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.” (HR. Bukhari, no. 5507)

8. Wajib menajamkan pisau atau alat pemotong ketika menyembelih.

9. Wajib menyenangkan hewan yang akan disembelih, caranya adalah dengan mempercepat cara menyembelih.

Di antara adab-adab yang bisa dipenuhi saat menyembelih qurban adalah sebagai berikut.

a. Membaringkan hewan di sisi sebelah kiri, memegang pisau dengan tangan kanan, dan menahan kepala hewan ketika menyembelih. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِى سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِى سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِى سَوَادٍ فَأُتِىَ بِهِ لِيُضَحِّىَ بِهِ فَقَالَ لَهَا « يَا عَائِشَةُ هَلُمِّى الْمُدْيَةَ ».ثُمَّ قَالَ « اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ ». فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ « بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ». ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta diambilkan seekor kambing kibasy (domba jantan, gibas). Beliau berjalan dan berdiri serta melepas pandangannya di tengah orang banyak. Kemudian beliau dibawakan seekor kambing kibasy untuk beliau buat qurban. Beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, bawakan kepadaku pisau.” Beliau melanjutkan, “Asahlah pisau itu dengan batu.” ‘Aisyah pun mengasahnya. Lalu beliau membaringkan kambing itu, kemudian beliau bersiap menyembelihnya, lalu mengucapkan, “Bismillah. Ya Allah, terimalah qurban ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.” Kemudian beliau menyembelihnya. (HR. Muslim, no. 1967)

b. Meletakkan kaki di sisi leher hewan. Hal ini berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

ضَحَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ ، فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّى وَيُكَبِّرُ ، فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ

“Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibasy (gibas) putih. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher dua kambing itu. Lalu beliau membaca bismillah dan bertakbir, kemudian beliau menyembelih keduanya.” (HR. Bukhari, no. 5558)

c. Menghadapkan hewan ke arah kiblat. Dari Nafi’ rahimahullah, ia berkata,

أَنَّ اِبْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْكُلَ ذَبِيْحَةَ ذَبْحِهِ لِغَيْرِ القِبْلَةِ

“Sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging hewan yang disembelih dengan tidak menghadap kiblat.” (HR. ‘Abdur Razaq, no. 8585 dengan sanad yang shahih)

Semoga bermanfaat.

By Muhammad Abduh Tuasikal

____

Referensi:

  1. Al-Iman. Cetakan kelima, tahun 1416 H. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Ahmad bin ‘Abdul Halim Al-Harani. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.
  2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan Pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
  3. Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan Keempat, Tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Penerbit Dar Thiybah.
  4. Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  5. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Al-Imam ‘Ali bin Daud Al-‘Atthar Asy-Syafi’i. Penerbit Dar Al-Basyair Al-Islamiyyah.
  6. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.
  7. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.