قول الله تعالى: وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Syarah
Pembahasan pada bab ini merupakan rangkaian pada bab-bab sebelumnya, yaitu berkaitan dengan pembahasan tentang ibadah-ibadah hati. Telah di bahas pada bab-bab sebelumnya tentang Al-Mahabbah dan bagaimana syirik bisa terjadi pada masalah cinta kepada Allah, kemudian telah dibahas pula tentang Al-Khauf (takut) kepada Allah dan bagaiamana syirik yang ada padanya. Dan pada bab ini pembahasan kita tentang tawakkal, yaitu bertawakkal hanya kepada Allah.
Tawakkal merupakan perkara yang sangat agung, karena pada dasarnya agama dibangun di atas ibadah dan tawakkal. Sebagaimana sebagian ulama mengatakan,
التَّوَكُّلُ نِصْفُ الدِّيْنِ
“Tawakkal adalah setengah dari agama.”
Adapun setengahnya lagi adalah ibadah([1]). Oleh karenanya banyak ayat di dalam Alquran yang menggandengkan antara ibadah dan tawakkal. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada engkaulah kami memohon pertolongan (tawakkal).” (QS. Al-Fatihah: 5)
عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.” (QS. Hud: 88)
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
“Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud: 123)
قُلْ هُوَ الرَّحْمَنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا
“Katakanlah, “Dialah Yang Maha Pengasih, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya kami bertawakal.” (QS. Al-Mulk: 29)
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ، الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ، وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang. Yang melihat engkau ketika engkau berdiri (untuk shalat), dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Asy-Syu’ara : 217-220)
Oleh karenanya banyak sekali ayat-ayat di dalam Alquran yang menggandengkan antara ibadah dan tawakkal yang menunjukkan bahwasanya tawakkal merupakan setengah dari agama.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (QS. Ali-‘Imran : 159)
Dan sebagaimana telah disebutkan bahwa di antara ciri-ciri orang yang masuk surga tanpa adzab dan tanpa hisab adalah orang-orang yang bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Tawakkal
Tawakkal (التَّوَكُّلُ) dibangun di atas dua perkara, yaitu menyerahkan urusan sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan melakukan sebab. Apabila seseorang hanya bersandar pada salah satunya, maka tawakkalnya telah keliru.
Menyerahkan urusan sepenuhnya hanya kepada Allah (تَفْوِيْضُ الأَمْرِ إِلَى اللهِ)
Menyerahkan segala urusan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala merupakan amalan hati. Imam Ahmad berkata,
التَّوَكُّلُ عَمَلُ القَلْبِ
“Tawakkal adalah amalan hati.”([2])
Seseorang tidak mungkin bisa untuk memfokuskan hatinya untuk menyerahkan segala urusannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala kecuali jika dia benar-benar paham tentang tauhid Ar-Rububiyah dan tauhid Asma’ wa Sifat. ([3]) Karena jika seseorang bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dia harus yakin bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Dzat yang mampu mengatasi segala urusan, sehingga dia harus berhusnudzan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa aturan Allah Subhanahu wa ta’ala adalah yang terbaik daripada aturannya sendiri. Oleh karenanya seseorang yang bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala harus mengumpulkan dua hal, yaitu tsiqah (percaya) yang merupakan buah dari tauhid Rububiyah dan husnudzan (berprasangka baik) kepada Allah Subhanahu wa ta’ala yang merupakan buah dari tauhid Asma’ wa Sifat.
الثِّقَةُ (percaya)
Contoh seseorang percaya dengan rububiyah Allah Subhanahu wa ta’ala adalah dia yakin bahwasanya yang mengatur seluruh yang ada di alam semesta ini baik itu bumi, matahari, gunung, dan segala macam urusan besar adalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka tentunya untuk mengatur urusan satu orang seperti kita tentu sangat mudah sekali bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi keyakinan ini tidak akan bisa dimiliki oleh orang yang tidak yakin tentang rububiyah Allah Subhanahu wa ta’ala, yaitu segala urusan di tangan Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya tatkala seseorang bertawakkal, maka dia menyerahkan segala urusannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala karena percaya bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mampu mengatur segala sesuatu. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Yasin : 82)
Oleh karenanya seseorang harus paham tentang tauhid rububiyah, yaitu bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Al-Khaliq (Pencipta), Al-Mudabbir (Yang Maha Mengatur), dan Al-Malik (Yang Menguasai). Dengan begitu barulah seseorang bisa bertawakkal dengan benar.
Karenanya berkata Sa’id bin Jubair:
التَّوَكُّلُ جِمَاعُ الإِيْمَانِ.
“Tawakkal adalah pengumpul keimanan”. ([4])
Berkata Wahb bin Munabbih:
الْغَايَةُ الْقُصْوَى التَّوَكُّلُ.
“Puncak yang paling tinggi adalah tawakkal”. ([5])
Berkata Al-Hasan Al-Bashri:
إِنَّ تَوَكُّلَ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ ثِقَتُهُ
“Sesungguhnya tawakkalnya seorang hamba, ia tahu bahwa Allah ‘Azza wa Jalla adalah tempat ia bertumpu dan kepercayaannya”. ([6])
Dengan memahami tauhid Asma’ wa Sifat, seperti Allah Subhanahu wa ta’ala Maha mendengar, Allah Maha mengetahui isi hati seorang hamba, Allah Maha sayang kepada hamba-hambanya, maka seseorang bisa berhusnudzan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala sehingga bisa bertawakkal dengan tawakkal yang benar. ([7])
Pelaksanaan tawakkal ini, yaitu menyerahkan urusan sepenuhya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, merupakan bagian dari praktik tauhid uluhiyah, karena tawakkal merupakan ibadah. Kalua tawakkal merupakan ibadah, maka tidak boleh seseorang beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala (tawakkal kepada selain Allah). Maka tatkala seseorang bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, maka dia sedang menggabungkan praktik dari tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid Asma’ wa sifat. Oleh karenanya tawakkal merupakan ibadah yang sangat agung, karena dibalik kata tawakkal terdapat banyak ibadah yang terkumpul padanya.
Dari penjelasan di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah yang mengutip penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa ada tiga kelompok yang sangat susah untuk bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, ([8])
- Pertama, ahli filsafat. Para filsuf seperti Ibnu Sina berpendapat bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengetahui segala perkara dengan detil. Ibnu Sina memiliki syubhat bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mungkin mengetahui segala sesuatu dengan detil, karena jika Allah Subhanahu wa ta’ala mengetahui dengan detil, maka banyak hal-hal buruk yang Allah ketahui seperti tatkala seseorang masuk ke dalam toilet untuk buang air, sedangkan menurutnya Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari mengetahui yang seperti ini. Maka jika seseorang meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengetahui segalanya secara detil, maka seseorang akan sulit untuk bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan tawakkal yang benar, karena akan ada prasangka bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengetahui apa yang sedang dia alami dan apa yang ada di dalam hatinya.
- Kedua, kelompok Qadariyah. Pemikiran orang-orang Qadariyah, baik Qodariyah ekstrim yang menyatakan bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu kecuali setelah terjadi, ataupun QOdariyah yang mengatakan,
أَفْعَالُ الْعِبَادِ غَيْرُ مَخْلُوْقَةٍ
“Perbuatan hamba bukan ciptaan Allah.”
Mereka meyakini bahwa perbuatan hamba di luar kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Demikian juga mereka meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menghendaki keburukan, sehingga disimpulkan bahwa ada yang keluar dari kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala sehingga tidak semua yang Allah kehendaki itu terjadi.([9]) Jika seseorang meyakini hal demikian, maka akan susah untuk seseorang bertawakkal kepada tuhan yang tidak semua kehendaknya terjadi dan tidak mengetahui sesuatu kecuali setelah perkara tersebut terjadi. Oleh karenanya susah bagi orang-orang Qadariyah untuk bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
- Ketiga, kelompok Jahmiyah. Alasan kelompok Jahmiyah susah untuk bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala adalah karena mereka menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala yang sempurna. Mereka meyakini bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mendengar, Allah tidak mencintai dan dicintai, dan syubha-syubhat lainnya. Maka bagaimana mungkin mereka bisa bertawakkal dengan menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala sempurna? Bahkan ketika Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (QS. Ali-‘Imran : 159)
Mereka akan membantah ayat ini dengan keyakinan bahwa Allah tidak mungkin mencintai hambaNya.
Inilah tiga kelompok yang susah untuk bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya praktik rububiyah dan tauhid Asma’ wa sifat sangat berkaitan dengan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Melakukan sebab (بَذْلُ الأَسْبَابِ)
Tawakkal tidaklah sempurna hanya dengan menyerahkan urusan kepada Allah, melainkan harus dibarengi dengan melakukan sebab, atau yang biasa kita sebut (dalam bahasa Indonesia) dengan ikhtiar. Oleh karenanya bukanlah dikatakan tawakkal jika hahnya menyerahkan urusan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala tanpa ada usaha. Karena di antara hikmah Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Allah Subhanahu wa ta’ala mengaitkan antara akibat dengan sebab, atau yang sering kita sebut dengan sunnatullah (aturan Allah). Maka tidak benar seseorang melanggar sunnatullah dan hanya menyerahkan segala urusan kepada Allah tanpa ada usaha. Seseorang jika ingin mendapatkan tujuan, dia harus mengikuti sunnatullah yaitu usaha, akan tetapi perlu diingat bahwa usaha tersebut hanyalah sebab dan yang menetukan tetap hanyalah Allah Subhanahu wa ta’ala.
Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menyuruh orang-orang yang mulia untuk mengambil sebab, contohnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman kepada maryam,
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا
“Dan goyanglah pangkal (akar) pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam : 25)
Ketika itu Maryam dalam kondisi merasakan sakit hendak melahirkan, dan rasa sakit akibat kelaparan dan kehausan. Maka Maryam kemudian datang ke sebuah pohon kurma yang sedang berbuah, dan dia ingin mengambilnya namun tidak bisa karena rasa sakit yang dia alami. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala mampu untuk menjatuhkan ruthab (kurma) secara langsung untuk di makan oleh Maryam. Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala mampu untuk membuat Maryam kenyang tanpa harus makan kurma. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki sunnatullah, oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala memrintahkan Maryam untuk menggoyangkan batang akar pohon kurma. Setelah itu, apakah orang yang sedang mengalami rasa sakit saat hendak melahirkan mampu untuk menggoyangkan akar pohon kurma? Tentu tidak, bahkan tidak mungkin bisa menjatuhkan kurma. Akan tetapi di sini Allah Subhanahu wa ta’ala ingin mengajari bahwasanya harus ada usaha untuk mencapai suatu tujuan.
Demikian pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah sayyidul mutawakilin (pemimpin orang-orang yang bertawakkal), akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengambil sebab. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin punya anak, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah; tatkala beliau hendak perang, beliau memakan baju perang; setiap hendak berperang, beliau bersama para sahabat berkumpul untuk membahas strategi. Ketika perang Uhud beliau menggunakan baju perang bahkan dua lapis. Ini semua adalah bentuk ikhtiar yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dalam rangka untuk mencapai tujuan. Ternyata orang yang paling bertawakkal yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan sebab (usaha).
Bertawakkal dengan melakukan sebab (ikhtiar) berkaitan dengan jawarih (anggota tubuh) dan bukan termasuk amalan hati. Oleh karenanya Al-Imam Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari ketika menyebutkan definisi tawakkal, beliau mengatakan,
قَطْعُ النَّظَرِ عَنِ الْأَسْبَابِ بَعْدَ تَهْيِئَةِ الْأَسْبَابِ
“Tidak memperhatikan sebab setelah menyiapkan (melakukan -pent) sebab.”([10])
Bisyr bin Al-Harits berkata tentang tawakkal:
اضْطِرَابٌ بِلَا سُكُونٍ، وَسُكُونٌ بِلَا اضْطِرَابٍ
“Bergerak tanpa tenang, dan tenang tanpa ada gerakan” ([11]).
Maksudnya adalah gerakan bermakna seseorang bergerak dengan badan dalam melakukan usaha, dan tenang bermakna seseorang tidak menggantungkan hati kepada sebab akan tetapi menenangkan jiwanya dengan menyerahkannya kepada Allah. Maka yang dinamakan tawakkal yang sesungguhnya adalah melakukan sebab, namun perkaranya akibat (hasil) diserahkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Yaitu jangan sekali-kali menyandarkan hati kepada makhluq.
Abu Hatim berkata:
التَّوَكُّلُ هُوَ قَطْعُ الْقَلْبِ عَنِ الْعَلاَئِقِ بِرَفْضِ الْخَلاَئِقِ
“Tawakkal adalah memutuskan hati dari segala ikatan dengan menolak makhluq” ([12])
Oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa burung-burung juga bertawakkal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Jika kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia telah memberikan rezeki kepada burung yang berangkat di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali dalam keadaan perut kenyang.”([13])
Lihatlah, burung yang tidak punya akal secara fitrah tahu bahwasanya mencari rezeki harus dengan berusaha. Oleh karenanya terlalu banyak dalil yang menunjukkan bahwa kita harus melakukan sebab dalam mencari rezeki, meskipun sangat mungkin bagi Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan akibat tanpa sebab, karena yang menentukan akibat adalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Namun jika seseorang sejak awal tidak mau mengambil sebab (berusaha) untuk sebuah akibat, maka ini adalah kesalahan.
Inilah dua perkara yang menjadi pondasi dari tawakkal. Maka tatkala seseorang telah bertawakkal dengan anggota badan (berusaha), hati harus ikut bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Jangan sampai seseorang bergantung kepada sebab yang dia lakukan. Karena pada dasarnya manusia tidak bisa mendatangkan akibat secara merdeka, melainkan Allah Subhanahu wa ta’ala yang bisa menentukan akibat tersebut. Jika seseorang telah melakukan sebab dan hatinya bergantung kepada Allah, maka yang demikianlah definisi dari tawakkal.
Kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan terhadap tawakkal([14])
Tawakkal yang salah yang merupakan syirik akbar (besar)
Sebagaimana kita telah ketahui bahwa tawakkal merupakan ibadah hati. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang beriman.” (QS. Al-Maidah : 23)
Oleh karenanya tidak boleh seseorang bertawakkal kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala.
Beberapa contoh kaidah tawakkal yang syirik di antaranya adalah,
- Tawakkal kepada mayat secara mutlak
Tawakkal kepada mayat yang tidak bisa berbuat apa-apa adalah syirik akbar. Dan hal ini terjadi pada sebagian orang yang pergi ke kuburan dan meminta kepada penghuni kubur tersebut, serta bertawakkal kepadanya.
- Tawakkal kepada yang gaib secara mutlak
Tawakkal kepada yang gaib contohnya seperti tawakkal kepada jin, kepada orang yang dianggap wali namun tidak hadir di hadapannya, dan yang lainnya. Orang yang bertawakkal dengan yang gaib ini meyakini bahwa wali yang dia jadikan tempat bertawakkal sedang melihat dan mendengarnya, sehingga dia bertawakkal kepadanya. Dan tawakkal semacam ini adalah syirik akbar.
- Tawakkal kepada makhluk yang hadir pada perkara yang tidak dia mampui kecuali hanya Allah
Tawakkal kepada makhluk pada perkara yang tidak ada yang mampu kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala contohnya adalah seseorang bertawakkal untuk mendapatkan keturunan. Maka jika seseorang bertawakkal kepada manusia untuk mendapatkan keturunan, maka telah jelas kesalahannya, karena yang mampu memberi keturunan hanyalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Demikian pula bertawakkal kepada seseorang untuk mendapatkan ampunan di sisi Allah adalah kesalahan, karena yang bisa mengampuni hanyalah Allah Subhanahu wa ta’ala. oleh karenanya seseorang tidak boleh bertawakkal kepada makhluk pada perkara yang tidak ada mampu melakukannya kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala.
Tiga bentuk tawakkal di atas merupakan tawakkal yang syirik akbar, karena tidak bisa seseorang bertawakkal kepada mayat yang tidak bisa apa-apa, kepada yang gaib, dan kepada yang hadir namun tidak mampu.
Tawakkal keliru yang syirik ashghar (kecil)
Tawakkal yang syirik kecil adalah bentuk tawakkal kepada makhluk yang dia mampui, namun hatinya bersandar kepada makhluk tersebut. Tawakkal yang seperti banyak sekali terjadi disekitar kita, dan para ulama mengistilahkan tawakkal ini dengan tawakkal yang syirik kecil. Contohnya adalah seseorang yang bertawakkal terhadap rezekinya kepada pimpinannya, sehingga mungkin terbetik di dalam hatinya bahwa kalau bukan karena pimpinannya dia tidak akan mendapat rezeki. Demikian pula seseorang yang berobat kepada dokter, hantinya menjadi condong kepada dokter tersebut untuk kesembuhan. Ini adalah contoh tawakkal yang syirik kecil. Sebagaimana telah disebutkan, perkara sebab itu berkaitan dengan anggota badan, akan tetapi kita telah jelaskan bahwa bagaimanapun seseorang melakukan sebab, hatinya tetap harus kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Seseorang yang merealisasikan tauhid dengan benar adalah dia berusaha untuk berobat ketika sakit, namun dia tetap yakin bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala yang menyembuhkan.
Jika seseorang mulai melirik kepada sebab yang dia lakukan, maka itulah bagian dari kesyirikan. Oleh karenanya seseorang harus melatih dirinya untuk membersihkan hati dari segala bentuk kesyirikan dengan tidak bertawakkal terhadap sebab, melainkan bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Tawakkal yang kurang
Tawakkal yang kurang maksudnya adalah tawakkal yang dilakukan telah salah, hanya saja tawakkalnya tidak sempurna, yaitu seseorang bertawakkal pada perkara-perkara tertentu, sementara pada perkara yang besar tidak bertawakkal. Masih banyak orang yang tatkala bertawakkal, yang mereka maksud adalah tawakkal dalam mencari kerja, tawakkal dalam mencari jodoh, atau tawakkal ketika sakit. Semua ini merupakan perkara tawakkal yang benar, akan tetapi di sana ada perkara-perkara yang seseorang harus lebih tawakkal daripada tawakkal terhadap perkara tersebut, seperti ketika seseorang beribadah, shalat, haji, dakwah, dan yang lainnya. Ini adalah perkara besar yang seseorang juga harus bertawakkal. Kebanyakan orang menyangka bahwa tawakkal itu hanya pada perkara dunia, padahal tawakkal juga berkaitan dengan perkara ibadah. Dan telah kita sebutkan di awal pembahasan bab ini bahwa banyak ayakt yang mengkaitkan antara tawakkal dengan ibadah. Oleh karenanya kita harus bertawakkal ketika beribadah, shalat, bersedekah, dan ibadah lainnya. Terlebih lagi seseorang harus bertawakkal dalam berdakwah, sebagaimana para nabi juga bertawakkal dalam berdakwah. Allah berfirman
وَمَا لَنَا أَلَّا نَتَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ وَقَدْ هَدَانَا سُبُلَنَا وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آذَيْتُمُونَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ
“(Para rasul berkata) Dan mengapa kami tidak akan bertawakal kepada Allah, sedangkan Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh akan tetap bersabar terhadap gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang yang bertawakal berserah diri.” (QS. Ibrahim : 12)
Dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertawakkal dalam berdakwah,
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّكَ عَلَى الْحَقِّ الْمُبِينِ
“Maka bertawakallah kepada Allah, sungguh engkau (Muhammad) berada di atas kebenaran yang nyata.” (QS. An-Naml : 79)
Oleh karenanya jangan kita menyangka bahwa tawakkal hanya pada perkara dunia, akan tetapi tawakkal juga diperlukan pada perkara yang lebih besar seperti ibadah. Dan membatasi tawakkal pada perkara dunia saja merupakan tawakkal yang kurang sempurna.
Meninggalkan tawakkal (sebab)
Sebagian orang menyangka bahwa yang dimaksud tawakkal yang sempurna adalah tidak melakukan sebab, dan hanya menyerahkan seluruhnya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Syaikh Abdurrazzaq pernah bercerita bahwa ada sebagian orang di zaman sekarang yang membuat cerita-cerita agar orang-orang bertawakkal dengan meninggalkan sebab. Mereka bercerita bahwa ada seorang da’i yang hendak pergi berdakwah, namun tidak meninggalkan apa-apa bagi keluarganya kecuali panci dan batu. Dia memrintahkan keluarganya untuk memasak batu tersebut dan bertawakkal kepada Allah. Dan singkat cerita ternyata batu yang dimasak tersebut berubah menjadi nasi. Akhirnya banyak orang takjub dan terpesona dengan kisah semacam ini, sehingga mereka membuang seluruh dalil dan kaidah yang telah kita sebutkan, dan menyingkirkan fakta bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melakukan sebab. Sungguh tawakkal seperti cerita tersebut adalah bentuk tawakkal yang tidak benar.
Ibnul Qayyim menyebutkan sebuah kisah tentang orang yang ingin membuktikan bahwasanya dia sangat bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan untuk membuktikan bahwasanya Allah akan memberinya rezeki tanpa ada usaha. Disebutkan bahwa orang tersebut pergi berjalan melewati gurun pasir tanpa membawa bekal, dan hanya membawa benang. Ketika orang-orang bertanya alasannya mengapa tidak membawa bekal, orang tersebut menjawab bahwa ingin membuktikan bahwa dia bertawakkal. Ketika ditanya tentang mengapa dia membawa benang, orang tersebut menjawab bahwa benang tersebut dibawa untuk berjaga-jaga jika suatu waktu bajunya sobek dan harus dijahit agar auratnya tidak kelihatan. ([15]) Orang-orang pun mengatakan bahwa itulah yang dinamakan melakukan sebab. Seharusnya jika dia bertawakkal, dia juga tidak perlu membawa benang dan biarkan yang sobek tersambung sendiri.
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa meninggalkan sebab itu bertentangan dengan akal, syariat, dan realita (kenyataan). ([16]) Kenyataannya, semua orang pasti melakukan sebab, bahkan seseorang bertawakkal untuk mendapatkan rezeki adalah sebab. Ada orang yang mengatakan bahwa dirinya cukup dengan berdoa tanpa ada usaha yang lain, maka kita katakan apakah doa itu bukan sebab? Yakin dan husnudzan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala juga adalah sebab. Maka tidak mungkin orang untuk mendapatkan sesuatu tanpa sebab, karena dari sisi akal tidak masuk akal, secara syariat juga menyelisih syariat, dan sisi realita juga tidak mungkin.
Maka barangsiapa yang ingin mencapai suatu tujuan tanpa ada usaha, maka dia adalah orang yang tidak beres akalnya. Karena bagaimana mungkin setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menetapkan sunnatullah (berusaha untuk mendapatkan hasil), kemudian ada orang yang ingin mendapatkan hasil tanpa usaha? Orang-orang yang berusaha saja belum tentu bisa mendapatkan hasil, apalagi orang yang tidak berusaha? Kecuali ketika seseorang berada dalam kondisi terdesak, maka seseorang boleh yakin kepada Allah bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala akan mampu memberikan akibat tanpa sebab. Hal ini sebagaimana kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang ditangkap dan dilemparkan ke dalam kobaran api, dan dia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali hanya mengatakan,
حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”([17])
Dan betapa banyak orang yang ketika melakukan sebab tidak mendapatkan akibat, akan tetapi ketika dia betul-betul pasrah setelah usaha itu, barulah Allah Subhanahu wa ta’ala mendatangkan akibat tanpa sebab atau dengan sebab yang lain. Sebagaimana kisah yang pernah penulis alami, ada seseorang yang menderita penyakit kanker dan telah melakukan beberapa kali operasi. Tatkala uangnya tinggal sedikit dan tidak bisa lagi melakukan operasi, maka ada orang yang menasihatinya untuk berpuasa dan bersedekah dengan niat kesembuhannya. Selain itu dokter juga telah memvonnis bahwa dia tidak bisa lagi disembuhkan dan usianya tinggal tiga bulan. Ketika itu dia betul-betul pasrah kepada Allah dan berusaha dengan sebab yang lain (puasa dan sedekah), dan ternyata sembuh. Ini bukti bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala bisa memberikan akibat tanpa sebab, akan tetapi seseorang tetap harus melakukan sebab (usaha). Ketika sebab pertama yang dilakukan tidak membuahkan hasil, bisa jadi Allah Subhanahu wa ta’ala menjdikan hasil tanpa ada sebab lain yang dilakukan.
Perlu untuk kita ingat juga bahwa ketika seseorang mengambil sebab (melakukan usaha), maka dia harus mengambil sebab yang syar’i atau sebab yang mubah (diperbolehkan). Dan tidak boleh seseorang mengambil sebab dengan perkara-perkara yang haram. Contoh mengambil sebab yang haram adalah berobat dengan khamr, atau berobat ke dukun, atau menghilangkan kemungkaran dengan kemungkaran, atau bernahi mungkar dengan mengorbankan darah kaum muslimin.
Matan
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu orang-orang beriman.” (QS. Al-Maidah : 23)
Syarah
Ayat ini berkaitan tentang kisah Nabi Musa ‘alaihissalam dan kaumnya yang meninggalkan kota Mesir menuju ke tempat yang suci yaitu Baitul Maqdis (Palestina). Di mana pada ayat sebelumnya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ
“(Musa berkata) Wahai kaumku! Masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu berbalik ke belakang (karena takut kepada musuh), nanti kamu menjadi orang yang rugi.” (QS. Al-Maidah : 21)
Akan tetapi ternyata di dalam kota Palestina tersebut terdapat orang-orang yang kuat dan zalim, sehingga membuat kaum Nabi Musa ‘alaihissalam takut. Akan tetapi Nabi Musa ‘alaihissalam memerintahkan mereka untuk berjihad, karena kota tersebut telah menjadi milik Bani Israil. ([18]) Akan tetapi kaumnya mengatakan,
قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ
“Mereka berkata, “Wahai Musa! Sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang sangat kuat dan kejam, kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar dari sana, niscaya kami akan masuk.” (QS. Al-Maidah : 22)
Setelah kaumnya menyatakan pembangkangannya terhadap perintah Nabi Musa ‘alaihissalam, maka kemudian berkata dua orang saleh dari mereka sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan,
قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Berkatalah dua orang laki-laki di antara mereka yang bertakwa, yang telah diberi nikmat oleh Allah([19]), “Serbulah mereka melalui pintu gerbang (negeri) itu. Jika kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang beriman.” (QS. Al-Maidah : 23)
Inilah yang dijadikan dalil oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam bab ini, yaitu perkataan dua orang saleh yang diabadikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam Alquran. Siapa kedua orang saleh tersebut? Kebanyakan Ahli Tafsir menyebutkan bahwa kedua orang saleh tersebut adalah Yusya’ bin Nun dan Kalib bin Yufannah. ([20])
Kedua orang saleh dari Bani Israil ini memotivasi kaumnya untuk berjihad di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala, dan mengajak mereka untuk bertawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi apa jawaban Bani Israil setelah diberikan motivasi tersebut? Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ
“Mereka berkata, “Wahai Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.” (QS. Al-Maidah : 24)
Ayat ini menunjukkan sikap yang sungguh kurang ajar dari Bani Israil kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Tentunya sikap mereka berbeda dengan sikap para sahabat tatkala dalam perang Badr. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat para sahabat, maka Al-Miqdad bin Al-Aswad dari kalangan muhajirin berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا لَا نَقُولُ لَكَ كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ لِمُوسَى: اذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ، وَلَكِنْ اذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا، إِنَّا مَعَكُمْ مُقَاتِلُونَ
“Wahai Rasulullah, sungguh kami tidak akan mengatakan sebagaimana apa yang telah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, ‘Berangkatlah kamu dan Tuhanmu untuk berperang, sesungguhnya kami hanya akan duduk-duduk di sini.’ Akan tetapi (kami akan katakan), ‘Pergilah kamu dan Tuhanmu untuk berperang, sesungguhnya kami bersamamu untuk berperang.”([21])
Dalam riwayat yang lain, Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْرَقَ وَجْهُهُ وَسَرَّهُ يَعْنِي قَوْلَهُ
“Maka aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajahnya berseri-seri karena perkataan Al-Miqdad.”([22])
Setelah kaumnya Nabi Musa ‘alaihissalam membangkang dari perintah Nabi Musa ‘alaihissalam, maka Nabi Musa ‘alaihissalam berdoa,
قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
“Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, aku hanya menguasai diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.” (QS. Al-Maidah : 25)
Maka Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian berfirman,
قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ سَنَةً يَتِيهُونَ فِي الْأَرْضِ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
“(Allah) berfirman, “(Jika demikian), maka (negeri) itu terlarang buat mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan mengembara kebingungan di bumi. Maka janganlah engkau (Musa) bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.” (QS. Al-Maidah : 26)
Akhirnya Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan Bani Israil tidak bisa masuk ke Palestina, setiap kali mereka hendak masuk, Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan mereka berputar arah (tersesat) selama empat puluh tahun. Di zaman tersesat ini, Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam meninggal dunia, beserta sebagian orang-orang yang membangkang dari kalangan Bani Israil. Setelah empat puluh tahun dalam masa kesesatan itu, barulah Bani Israil bisa masuk dipimpin oleh Yusya’ bin Nun([23]). Yusya’ bin Nun inilah yang kemudian menjadi nabi setelah Nabi Musa ‘alaihissalam, dan yang pernah berdoa agar matahari ditangguhkan (tidak segera malam)([24]).
Intinya, ayat ini adalah perkataan dua orang saleh yaitu Yusya’ bin Nun dan Kalib bin Yufannah yang Allah Subhanahu wa ta’ala abadikan dalam Alquran.
Ayat ini memiliki dua sisi pendalilan, ([25])
Sisi pertama, didahulukannya objek atas predikat, sehingga maknanya “Hanya kepada Allah kalian bertawakal”. Para ulama mengatakan, jika mengacu pada susunan kata, seharusnya ayat ini berbunyi,
فَتَوَكَّلُوا عَلَى اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِ
“Bertawakallah kepada Allah jika kalian beriman.”
Akan tetapi ketika Allah Subhanahu wa ta’ala mendahulukan penyebutan وَعَلَى اللَّهِ (objek) daripada فَتَوَكَّلُوا (predikat), maka terdapat kaidah dalam bahasa Arab bahwa bentuk kalimat seperit ini bermakna Al-Hashr yaitu memberikan batasan. Jika demikian, terjemahan kalimat yang benar seperti ini harus ditambah kata ‘hanya’. Maka arti dari ayat ini akan menjadi, ‘Dan hanya kepada Allah kamu bertawakal, jika kamu beriman’.
Maka dari penjelasan ini, kita paham bahwasanya tawakal itu adalah ibadah dan hanya boleh dilakukan kepada Allah, atau dengan kata lain tidak boleh bertawakal kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya ini dalil bahwa tawakal adalah ibadah, dan seorang harus beribadah hanya kepada Allah.
Sisi kedua, tawakal adalah syarat keimanan. ([26]) Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِين
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu orang-orang beriman.” (QS. Al-Maidah : 23)
Dan pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
وَقَالَ مُوسَى يَا قَوْمِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِينَ
“Dan Musa berkata, “Wahai kaumku! Apabila kalian beriman kepada Allah, maka hanya kepada-Nya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang Muslim.” (QS. Yunus : 84)
Ayat ini menunjukkan bahwa tawakal adalah syarat dari iman dan islam. Oleh karenanya jika seorang tidak bertawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, atau dia bertawakal kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala, maka telah hilang iman dan islamnya.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa perkataan dua orang saleh ini, yaitu Yusya’ bin Nun dan Kalib bin Yufannah, mereka memahami tawakal itu harus dilakukan dengan usaha dan penyerahan hati kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya mereka mengatakan,
ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Masuklah kalian (serbulah mereka) melalui pintu gerbang (negeri) itu. Jika kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang beriman.” (QS. Al-Maidah : 23)
Oleh karenanya tawakal yang benar adalah penyerahan hati kepada Allah dan harus disertai dengan usaha (mengambil sebab), atau dengan kata lain dalam bahasa kita adalah harus disertai ikhtiar. Adapun tawakal yang salah adalah sebagaimana perkataan Bani Israil,
يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ
“Wahai Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.” (QS. Al-Maidah: 24)
Tawakal yang benar bukanlah dengan berdiam diri dan menunggu sebagaimana sikap Bani Israil, akan tetapi tawakal yang benar adalah berusaha (mengambil sebab) serta menyerahkan segala hasil urusan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Matan
Dan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya (takut), dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal : 2)
Syarah
Dalil kedua ini adalah tentang sifat orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya iman. Ayat ini terdapat di awal surah Al-Anfal, yang Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang-orang beriman yang sesungguhnya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ، إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ، الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ، أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang yang beriman. Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (Yaitu) orang-orang yang melaksanakan shalat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfal : 1-4)
Dari ayat ini, ada beberapa sifat yang Allah Subhanahu wa ta’ala terangkan tentang ciri-ciri orang beriman yang sesungguhnya, di antaranya,
- Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
- Jika disebut nama Allah, mereka takut. Sebagian salaf menafsirkan bahwa yang dimaksud takut di sini adalah ketika seseorang hendak bermaksiat, kemudian diingatkan tentang Allah Subhanahu wa ta’ala, maka dia tidak jadi bermaksiat karena takut kepada Allah. Atau setiap kali ada keinginan untuk bermaksiat, mereka ingat dan takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, hingga hilang keinginan tersebut.
- Jika dibaca ayat-ayat Allah, bertambah imannya. Di antara nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah kita diberi kemampuan untuk mengenal kapan iman kita turun dan kapan iman bertambah. Maka di antara ciri-ciri orang yang beriman, tatkala dia membaca ayat-ayat Allah Subhanahu wa ta’ala, dia akan merasa imannya bertambah.
- Bertawakal kepada Allah.
- Shalat dan berinfak.
Inilah sifat-sifat orang yang beriman dengan sempurna, dan di antara sifat mereka adalah bertawakal kepada Allah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan bahwa di antara ciri-ciri tujuh puluh ribu orang dari umat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab adalah orang yang bertawakal. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ciri-ciri mereka,
هُمُ الَّذِينَ لاَ يَتَطَيَّرُونَ، وَلاَ يَسْتَرْقُونَ، وَلاَ يَكْتَوُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka itu adalah orang-orang yang tidak pernah bertathayur, tidak pernah meminta untuk diruqyah dan tidak mau menggunakan Kay (pengobatan dengan besi panas), dan kepada Tuhan merekalah mereka bertawakal.”([27])
Para ulama menyebutkan bahwa sifat bertawakal yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan adalah kesimpulan dari tiga sifat sebelumnya. ([28]) Tidaklah seseorang meminta diruqyah, tidaklah seseorang berobat dengan kay, dan tidaklah mereka menyandarkan nasib sial dengan apa yang dilihat (tathayyur), kecuali karena tawakal mereka yang tinggi kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Oleh karenanya sifat tawakal adalah sifat yang luar biasa. Karena di balik sifat tersebut terdapat banyak ibadah yang dilakukan. Maka jika seseorang telah mencapai tingkat tawakal, itu berarti dia telah melewati banyak ibadah. Maka jika seseorang ingin masuk surga tanpa azab dan tanpa hisab, maka hendaknya dia bertawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan tawakal yang sempurna. Semakin seseorang bertawakal, maka akan semakin tinggi imannya. Dan jika seseorang telah tinggi imannya, maka akan semakin tinggi surga yang akan dia raih.
Dalil kedua yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ini juga sama dengan dalil yang pertama, yaitu sama-sama menunjukkan kewajiban bertawakal hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, karena Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Dan hanya kepada Tuhan merekalah mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal : 2)
Maka tawakal itu tidak boleh diserahkan kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan barangsiapa bertawakal kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala, maka dia terjerumus ke dalam kesyirikan sebagaimana mereka yang bertawakal kepada orang-orang yang telah meninggal dunia dan mereka yang bertawakal kepada jimat.
Matan
Dan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Wahai Nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (QS. Al-Anfal : 64)
Syarah
Secara umum ayat ini ada dua penafsiran (khilaf). ([29]) Tafsiran pertama, ayat ini bermakna ‘Cukuplah Allah bagimu (Muhammad) dan bagi kaum mukminin’, dan ini adalah penafsiran jumhur ulama. Adapun tafsiran kedua, ‘Cukuplah bagimu (Muhammad) Allah dan kaum mukminin’, dan ini adalah tafsiran sebagian kecil ulama.
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa tafsiran kedua adalah tafsiran yang salah. ([30]) Demikian juga Ibnu Taimiyyah memaparkan sebab salahnya tafsiran ini ([31]) Karena tafsiran kedua seakan-akan menunjukkan bahwa kaum mukminin bersama Allah cukup bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal yang benar adalah ‘Cukuplah Allah bagi Nabi, dan cukuplah Allah pula bagi kaum mukminin’.
Ketika kita telah paham bahwasanya jika Allah Subhanahu wa ta’ala cukup (menjadi penolong) bagi segalanya, baik Nabi dan kaum mukminin, maka wajib bagi kita untuk hanya bertawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan banyak ayat-ayat di dalam Alquran yang menunjukkan bahwa الحَسْب (kecukupan) hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Di antaranya adalah ayat ini,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Wahai Nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (QS. Al-Anfal : 64)
Matan
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah cukup baginya.” (QS. Ath-Thalaq : 3)
Syarah
Di antara ayat lain yang menunjukkan bahwa الحَسْب (kecukupan) hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala adalah ayat ini. Berbeda dengan pertolongan yang merupakan sebab dan bukan amalan hati, maka Allah dan kaum mukminin pun bisa menolong. Contohnya seperti firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِنْ يُرِيدُوا أَنْ يَخْدَعُوكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللَّهُ هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ
“Dan jika mereka hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah bagimu. Dialah yang memberikan kekuatan kepadamu dengan pertolongan-Nya dan dengan (pertolongan) orang-orang mukmin.” (QS. Al-Anfal : 62)
Maka adapun masalah hati, cukuplah Allah bagi kita. Oleh karenanya الحَسْب (cukup) maknanya sama dengan tawakal. Namun ketika Allah menyebutkan pertolongan secara fisik maka Allah menyebutkan pertolongan Allah dan kaum mukminin kepada Nabi shallallahu álaihi wasalam.
Demikian pula contoh firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surah At-Taubah,
وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ
“Dan (mereka) berkata, “Cukuplah Allah bagi kami, Allah dan Rasul-Nya akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya kami hanya berharap kepada Allah.” (QS. At-Taubah : 59)
Pada ayat ini orang-orang beriman tidak mengatakan ‘Cukuplah Allah dan Rasul-Nya bagi kami’, akan tetapi mereka hanya mengatakan ‘Cukuplah Allah bagi kami’, dan ini adalah tauhid. Akan tetapi jika masalah pemberian, barulah mereka mengakui bahwa Allah dan Rasul-Nya juga memberi. Dan ketika berbicara tentang harapan, mereka kembalikan kepada amalan hati dengan mengatakan ‘Sesungguhnya kami hanya berharap kepada Allah’, dan mereka tidak mengatakan ‘Kepada Allah dan Rasul-Nya kami berharap’.
Matan
Dan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata,
حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الوَكِيلُ، قَالَهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَقَالَهَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَالُوا: إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا، وَقَالُوا: حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الوَكِيلُ
“Hasbunallah wa ni’mal wakil adalah ucapan Ibrahim ‘alaihissalam ketika di lemparkan ke dalam kobaran api. Dan diucapkan pula oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika orang-orang kafir berkata; ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, tetapi perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik tempat bersandar.” (HR. Bukhari dan HR. Ahmad)
Syarah
Kalimat ‘Hasbunallah wa ni’mal wakil’ adalah ucapan terakhir yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sebelum masuk ke dalam lautan api. Dan kalimat ini juga diucapkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala ditakut-takuti dengan perkataan orang-orang kafir. ([32]) Disebutkan bahwa tatkala terjadi perang Uhud, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terluka, para sahabat banyak yang meninggal dunia. Kaum muslimin saat itu kembali bersatu setelah terpisah-pisah, maka saat itu terpisahlah dua pasukan yaitu pasukan kaum muslimin dan pasukan Abu Sufyan (kaum musyrikin). Setelah itu terjadi dialog, Abu Sufyan mengatakan kepada kaum muslimin,
مَوْعِدُكُمُ الْعَامَ الْمُقْبِلَ بِبَدْرٍ
“Tahun depan kita bertemu (bertempur) lagi di Badar.”([33])
Sebelumnya pasukan kaum musyrikin ingin menyerang kembali kaum muslimin, akan tetapi karena kaum muslimin telah kembali bersatu setelah terpisah-pisah, maka Abu Sufyan dan kaumnnya berpikir untuk menyerang kembali, padahal kondisi kaum muslimin sedang payah-payahnya. Akan tetapi kedua pasukan pun akhirnya berpisah dan pergi. Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh salah satu sahabat untuk mengecek dengan apa mereka pergi. Karena jika mereka mengedarai kuda, berarti mereka akan menyerang kota Madinah. Akan tetapi jika mereka naik unta, berarti mereka hendak kembali pulang ke kota Mekkah. Dan setelah dicek ternyata Abu Sufyan dan pasukannya pergi naik unta. Setelah menguburkan para sahabat, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kembali ke kota Madinah.
Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertolak ke Madinah, beliau bertemu dengan rombongan yang bertemu dengan rombongan Abu Sufyan. Mereka mengabarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Abu Sufyan hendak ingin kembali menyerang kaum muslimin. Perkataan mereka inilah yang diabadikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ
“Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.” (QS. Ali-‘Imran : 173)
Akan tetapi ternyata perkataan itu tidak membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam takut, padahal beliau dan para sahabat banyak yang terluka. Justru perkataan itu menambah iman beliau, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” (QS. Ali-‘Imran : 173)
Maka ketika itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak para sahabat untuk mengejar Abu Sufyan. Berangkatlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke suatu tempat bernama Hamra’ul Asad([34]). Akan tetapi ketika Abu Sufyan dan pasukannya mendengar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang mengejar untuk menyerang, ternyata hal tersebut membuat mereka takut. Akhirnya mereka meneruskan perjalanan mereka ke kota Mekkah dan tidak kembali.
Ucapan ‘Hasbunallah wa ni’mal wakil’ merupakan ucapan yang diucapakan oleh seseorang dalam kondisi genting. Oleh karenanya Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa ucapan ini juga pernah diucapkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam kondisi sangat genting. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tatkala itu sendiri dalam mendakwahkan tauhid. Suatu ketika orang-orang negerinya dan rajanya marah, akhirnya mereka hendak membakar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dibuatlah makar dengan diperintahkannya orang-orang mengumpulkan kayu bakar. Pengumpulan kayu bakar tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama, sampai-sampai disebutkan dalam buku-buku tafsir bahwasanya ada seorang wanita hamil yang bernadzar bahwa jika anaknya telah lahir, dia juga ingin ikut mengumpulkan kayu bakar. Setelah terkumupul kayu bakar yang sangat banyak, maka dinyalakanlah api terbesar yang pernah ada di zaman tersebut. Setelah kayu bakar tersebut di bakar, dibuatlah semacam ketapel raksasa, agar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bisa masuk ke tengah-tengah kobaran api. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun dilepaskan bajunya lalu dilemparkan ke kobaran api tersebut. Tatkala Nabi Ibrahim ‘alaihissalam masuk ke dalam kobaran api, saat itulah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata,
حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik penolong.”
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala tetap teguh dan mengatakan kalimat ini. Beliau yakin bahwa tidak ada lagi yang bisa menolong kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian berfirman,
يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ
“Wahai api, Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim.” (QS. Al-Anbiya’ : 69)
Akhirnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun selamat dari lautan api tersebut.
Oleh karenanya jika kita mengucapkan ‘Hasbunallah wa ni’mal wakil’, apapun kondisi kita, kita pasti akan ditolong oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Yang membuat kita tidak tertolong adalah kuranganya tawakal kita. Dari sisi ucapan mungkin seseorang bisa mengucapkan kalimat ini, akan tetapi pertanyaannya adalah apakah hati selaras dengan ucapan tersebut? Akan tetapi sebagaimana telah kita sebutkan bahwa tidaklah seorang bisa mencapai tawakal kecuali dia telah melewati banyak ‘ubudiyah (ibadah). Maka ketika seseorang telah bertawakal dengan benar, maka cukup Allah baginya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah cukup baginya.” (QS. Ath-Thalaq : 3)
Jika seseorang benar-benar yakin, maka pasti dia akan tertolong. Akan tetapi permasalahannya adalah keyakinan kita masih kurang.
Sebagai contoh kecil, ketika seseorang berkawan dengan raja atau penguasa suatu negeri, dan dia diberi jaminan keamanan, kebutuhan dan yang lainnya di negeri tersebut, tentu orang itu akan merasa tenang karena tempat bersandarnya adalah orang yang mampu untuk memberikan jaminan tersebut. Kalau seseorang bisa tenang dengan menyerahkan segala urusannya kepada raja atau penguasa di bumi, maka bagaimana lagi jika kita menyerahkan segala urusan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala yang semua alam semesta ini tidak berjalan tanpa kehendakNya?.
Ketika seseorang menghadapi suatu masalah dan tidak ada lagi jalan keluar dari itu, atau ketika tidak ada lagi satu orang pun yang bisa menolong, maka katakanlah ‘Hasbunallah wa ni’mal wakil’. Kalau seseorang mengucapkannya dengan penuh keyakinan, maka Allah Subhanahu wa ta’ala tidak akan menyelisih janji-Nya bahwa Dia akan menjadi cukup baginya.
Matan
Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:
- Tawakal itu termasuk kewajiban
- Tawakal itu termasuk syarat-syarat iman
- Penjelasan tentang tafsir surah Al-Anfal
- Penjelasan tentang tafsir ayat dalam akhir surah Al-Anfal
- Penjelasan tentang tafsir ayat dalam surah Ath-Thalaq
- Agungnya kalimat,
حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.”
Ini adalah perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi yang sulit (genting).
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
__________________-
([1]) Lihat : Madarij As-Salikin, Ibnul Qoyyim 2/113
([2]) Madarij As-Salikin 2/114
([3]) Lihat Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qoyyim, 2/118
([4]) Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, Ibnu Rojab, 2/497. Dan dinisbatkan oleh Abu Ya’la Al-Farro’ kepada Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu. Kitab At-Tawakkul, 1/5, dan dinisbatkan oleh Abu Tholib Al-Makki dalam kitab Qut Al-Qulub kepada Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu, 2/52
([5]) Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, Ibnu Rojab, 2/497.
([6]) Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, Ibnu Rojab, 2/497.
([7]) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits qudsi:
إِنَّ اللهَ يَقُولُ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Sesungguhnya aku sesuai dengan perasangka hambaku, dan aku selalu bersamanya jika ia berdoa kepadaku” (H.R. Bukhori, No.7505, Muslim, No.2675. Dan lafazhnya riwayat Muslim). Dan bukan yang dimaksud hadits ini adalah seseorang berbuat sesukanya dengan bergantung kepada husnuzzhon kepada Allah ‘Azza wa Jalla, pasti Allah ‘Azza wa Jalla akan ampuni atau yang lainnya.
Berkata imam Ibnu Al-Qoyyim rahimahullahu Ta’ala:
وَكَاتِّكَالِ بَعْضِهِمْ عَلَى قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَاكِيًا عَنْ رَبِّهِ ” «أَنَا عِنْدَ حُسْنِ ظَنِّ عَبْدِي بِي، فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ» يَعْنِي مَا كَانَ فِي ظَنِّهِ فَإِنِّي فَاعِلُهُ بِهِ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ حُسْنَ الظَّنِّ إِنَّمَا يَكُونُ مَعَ الْإِحْسَانِ، فَإِنَّ الْمُحْسِنَ، حَسَنُ الظَّنِّ بِرَبِّهِ أَنَّه يُجَازِيْهُ عَلَى إِحْسَانِهِ وَلَا يُخْلِفَ وَعْدَهُ، وَيَقْبَلَ تَوْبَتَهُ. وَأَمَّا الْمُسِيءُ الْمُصِرُّ عَلَى الْكَبَائِرِ وَالظُّلْمِ وَالْمُخَالَفَاتِ فَإِنَّ وَحْشَةَ الْمَعَاصِي وَالظُّلْمِ وَالْحَرَامِ تَمْنَعُهُ مِنْ حُسْنِ الظَّنِّ بِرَبِّهِ.
“Dan seperti seseorang yang bersandar kepada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits qudsi: “Aku bersama dengan perasangka hambaku, maka berperasangkalah ia sesuka hatinya”, yaitu “Semua yang diperasangka oleh hambaKu maka Aku akan melakukannya”. Dan tidak diragukan lagi, bahwa yang namanya husnuzdon adalah dibarengi dengan perbuatan baik. Karena sesungguhnya orang yang berbuat baik, benar-benar berperasangka baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan membalas perbuatan baiknya, dan tidak menyelisihi janjinya, dan Allah ‘Azza wa Jalla menerima taubatnya. Adapun orang yang terus melakukan dosa besar, kezholiman, dan penyelisihan-penyilisihan terhadap syariat, maka sungguh kengerian kemaksiatan dan kezholiman dan keharaman, semua itu menghalanginya dari berperasangka bai kepada Allah ‘Azza wa Jalla”. (Ad-Da’ Wa Ad-Dawa’, 44-45)
Dan beliau juga berkata:
وَكَيْفَ يَجْتَمِعُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَيَقُّنُهُ بِأَنَّهُ مُلَاقٍ اللَّهَ، وَأَنَّ اللَّهَ يَسْمَعُ وَيَرَى مَكَانَهُ، وَيَعْلَمُ سِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ، وَلَا يَخْفَى عَلَيْهِ خَافِيَةٌ مِنْ أَمْرِهِ، وَأَنَّهُ مَوْقُوفٌ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَمَسْئُولٌ عَنْ كُلِّ مَا عَمِلَ، وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَسَاخِطِهِ مُضَيِّعٌ لِأَوَامِرِهِ، مُعَطِّلٌ لِحُقُوقِهِ، وَهُوَ مَعَ هَذَا يُحْسِنُ الظَّنَّ بِهِ؟ وَهَلْ هَذَا إِلَّا مِنْ خِدَعِ النُّفُوسِ، وَغُرُورِ الْأَمَانِيِّ؟
“Bagaimana bisa bergabung di dalam hati seorang hamba keyakinan bahwa dia akan bertemu dengan Allah ‘Azza wa Jalla, dan Allah ‘Azza wa Jalla maha mendengar dan melihat keberadaannya, dan maha mengetahui rahasianya dan yang ia lakukan secara terang-terangan, dan tidak ada satupun yang tersembunyi dariNya segala perkaranya, dan dia akan dihadapakan kelak di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, dan ia akan ditanya kelak atas segala yang ia lakukan, sedang ia terus melakukan hal-hal yang membuat Allah ‘Azza wa Jalla murka, melalaikan perintah-perintahNya, melalaikan hak-hakNya. Dan dengan semua itu ia berperasangka baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla? Dan sungguh tidaklah yang demikian itu tidak lain kecuali akibat tipuan nafsu dan tipu daya angan-angan” (Ad-Da’ Wa Ad-Dawa’, 46-47)
([8]) Lihat Madarij As-Salikin, 2/118
([9]) Qodariyah terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama: Kelompok yang ekstrim yang mengingkari ilmu Allah azali, yaitu menurut mereka Allah tidak mengetahui tentang sesuatu kecuali setelah terjadinya sesuatu tersebut. Ini adalah keyakinan Qodariyyah di awal-awal. Ibnu Taimiyyah berkata:
وَكَذَلِكَ كَلَامُهُمْ فِي ” الْقَدَرِيَّةِ ” يَحْكُونَ عَنْهُمْ إنْكَارَ الْعِلْمِ وَالْكِتَابَةِ وَهَؤُلَاءِ هُمْ الْقَدَرِيَّةُ الَّذِينَ قَالَ ابْنُ عُمَرَ فِيهِمْ: إذَا لَقِيت أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي وَهُمْ الَّذِينَ كَانُوا يَقُولُونَ: إنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْعِبَادَ وَنَهَاهُمْ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مَنْ يُطِيعُهُ مِمَّنْ يَعْصِيه وَلَا مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِمَّنْ يَدْخُلُ النَّارَ حَتَّى فَعَلُوا ذَلِكَ فَعَلِمَهُ بَعْدَ مَا فَعَلُوهُ
“Begitu juga perkataan mereka tentang “Qodariyyah” mereka menceritakan dari orang-orang Qodariyyah bahwa mereka mengingkari akan ilmu Allah ‘Azza wa Jalla dan catatan taqdir, dan mereka adalah Qodariyyah yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu: “Jika kalian bertemu dengan mereka, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku”. Dan merekalah kelompok yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan hambanya dan melarang hambanya, sedang Dia tidak tahu siapa yang akan mentaatiNya, dan siapa yang bermaksiat kepaaNya, dan Allah ‘Azza wa Jalla tidak tahu siapa yang masuk sirga dan siapa yang masuk neraka, sampai mereka melakukannya, barulah Dia tahu setelah mereka melakukannya” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 7/381)
Kedua: Kelompok yang mengakui ilmu Allah yang azali, hanya saja mereka menyatakan tidak semua yang terjadi adalah ciptaan Allah dan kehendak Allah. Dan ini adalah keyakinan Qodariyyah belakangan. Ibnu Taimiyyah berkata:
وَلَكِنْ لَمَّا اشْتَهَرَ الْكَلَامُ فِي الْقَدَرِ؛ وَدَخَلَ فِيهِ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ النَّظَرِ وَالْعِبَادِ صَارَ جُمْهُورُ الْقَدَرِيَّةِ يُقِرُّونَ بِتَقَدُّمِ الْعِلْمِ وَإِنَّمَا يُنْكِرُونَ عُمُومَ الْمَشِيئَةِ وَالْخَلْقِ
“Akan tetapi, setelah ucapan ini menyebar dan masyhur, dan masuk ke dalam keyakinan ini banyak dari para ahli nazhor (yang jenius) dan ahli ibadah, maka mayoritas qodariyyah menetapkan dan meyakini akan azalinya ilmu Allah ‘Azza wa Jalla (Allah ‘Azza wa Jalla tahu apa yang akan terjadi sebelum itu terjadi), hanyasaja mereka mengingkari bahwa semua yang terjadi atas kehendak Allah dan merupakan ciptaan Allah” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 7/385)
Adapun status kedua kelompok Qodariyah tersebut, maka sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyyah berikut. Beliau berkata:
وَقَوْلُ أُولَئِكَ كَفَّرَهُمْ عَلَيْهِ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَد وَغَيْرُهُمْ. وَأَمَّا هَؤُلَاءِ فَهُمْ مُبْتَدِعُونَ ضَالُّونَ لَكِنَّهُمْ لَيْسُوا بِمَنْزِلَةِ أُولَئِكَ؛ وَفِي هَؤُلَاءِ خَلْقٌ كَثِيرٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ وَالْعُبَّادِ كُتِبَ عَنْهُمْ الْعِلْمُ.
“Dan ucapan mereka (kelompok Qodariah ekstrim, yang menyatakan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak tahu kecuali setelah terjadi) maka Imam Malik, Inan As-Syafi’i, Imam Ahmad, dan imam-imam yang lain telah mengkafirkan mereka karena ucapan mereka. Adapun mereka (Qodariyah yang tidak ekstrim) adalah orang-orang ahli bid’ah dan sesat, hanya saja mereka tidak seperti kelompok pertama. Dan pada kelompok yang kedua ini ada banyak ‘ulama (yang terjerumus) dan ahli ibadah ibadah. Dan telah ditulis ilmu dari mereka” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 7/385)
([10]) Fathul Baari 3/384
([11]) Hilyah Al-Auliya, Abu Nu’aim, 8/351
([12]) Roudhoh Al-‘Uqola, Ibnu Hibban, 1/156
([13]) HR. Ahmad no. 205
([14]) Lihat Fathu Al-Majid, ‘Abdurrahman bin Hasan, 1/353-354At-Tamhid syarh Kitab At-Tauhid, Sholih Alu Syaikh, 375-376
([15]) Dinukilkan oleh Ibnu Al-Qoyyim dalam Madarij As-Salikin, 2/133. Dan beliau sebutkan bahwa orang itu adalah Ibrohim Al-Khowash.
([16]) Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qoyyim, 2/133..
([17]) HR. Bukhari no. 4563
([18]) Tafsir Ibnu Katsir, 3/74
([19]) Ibnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan bahwa kenikmatan yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada dua orang saleh tersebut adalah rasa takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagian ulama yang lain menyebutkan bahwa kenikmatan yang mereka peroleh adalah taufik dari Allah untuk mampu mengucapkan kata-kata yang baik dalam kondisi genting, yaitu mengingatkan Bani Israil untuk tawakal kepada Allah. (Tafsir At-Thobari, 10/176)
([20]) Zad Al-Masir, Ibnu Al-Jauzi, 1/533
([21]) HR. Ahmad no. 18847
([22]) HR. Bukhari no. 3952
([23]) Yusya’ bin Nun adalah salah seorang murid Nabi Musa ‘alaihissalam, dan yang menemani Nabi Musa ‘alaihissalam dalam perjalanan untuk bertemu dengan Nabi Khadir ‘alaihissalam.
([24]) HR. Bukhari no. 3124
([25]) At-Tamhid, Sholih Alu Syaikh, 376-377
([26]) Taisir ‘Aziz Al-Hamid, Sulaiman bin ‘Abdillah, 1/428
([27]) HR. Bukhari no. 5752
([28]) At-Tamhid, Sholih Alu Syaikh, 39
([29]) Zad Al-Masir, Ibnu Al-Jauzi, 2/222
([30]) Zad Al-Ma’ad, Ibnu Al-Qoyyim, 1/37
([31]) Lihat Majmuu al-Fataawa, 3/107-seterusnya.
([32]) Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 1/306
([33]) Subulul Huda wa Ar-Rasyad fi Shirati Khairil 4/397, Al-Bidayah Wa An-Nihayah, Ibnu Katsir, 5/421, Tarikh Ibnu Kholdun, 2/437
([34]) Suatu tempat yang dilewati seseorang dalam perjalanan dari Madinah menuju Mekkah.
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/