Oleh: Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا، وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بْنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاء
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Sesungguhnya dunia ini manis dan indah. Dan sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menguasakan kepada kalian untuk mengelola apa yang ada di dalamnya, lalu Dia melihat bagaimana kalian berbuat. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap dunia dan wanita, karena fitnah yang pertama kali terjadi pada Bani Israil adalah karena wanita.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: Muslim [no. 2742 (99)], Ahmad (III/22), an-Nasâ`i dalam as-Sunanul-Kubra (no. 9224), Ibnu Hibban (no. 3211-at-Ta’lîqâtul-Hisân), al-Baihaqi (VII/91), ath-Thahawi dalam Syarh Musykilul-Âtsâr (no. 4326), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 2243), dan lainnya.
KOSA KATA HADITS
حُلْوَةٌخَضِرَةٌ : manis dan hijau (indah); bahwa kecenderungan manusia terhadap dunia serupa dengan kecenderungan mereka terhadap buah-buahan yang manis rasanya dan hijau warnanya.
مُسْتَخْلِفُكُمْ : menjadikan kalian pewaris, sebagian kalian mewarisi sebagian yang lainnya.
فَاتَّقُوْا الدُّنْيَا : waspadalah terhadap dunia (harta), yaitu berhati-hatilah, jangan sampai kalian terpedaya olehnya.
اِتَّقُوْا النِّسَاءَ : waspadalah terhadap wanita; maksudnya, yaitu berhati-hatilah terhadap fitnah yang ditimbulkan olehnya.
فِيْ النِّسَاءِ : pada wanita, yakni fitnah itu disebabkan oleh kaum wanita.[1]
SYARAH HADITS
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang keadaan dunia dan isinya yang menakjubkan bagi orang-orang yang memandang dan merasakannya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai ujian dan cobaan bagi para hamba-Nya. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ummatnya untuk mengerjakan hal-hal yang bisa menjaganya agar tidak terjatuh dalam fitnah dunia.
Pemberitahuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dunia itu indah dan manis meliputi sifat dunia dan isinya secara umum. Dunia itu manis dalam rasanya dan indah pemandangannya, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allâh-lah tempat kembali yang baik. [Ali ‘Imrân/3:14].
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya. [al-Kahfi/18:7].
Seluruh kelezatan di dunia dan pemandangan nan indah, Allâh Azza wa Jalla jadikan sebagai cobaan dan ujian dari-Nya. Allâh Azza wa Jalla juga memberikan kemampuan kepada para hamba-Nya untuk mengelola isi dunia, lalu Allâh melihat bagaimana mereka berbuat! Barangsiapa mengambilnya dari yang halal, meletakkannya sesuai dengan haknya, memanfaatkannya agar ia bisa beribadah kepada Allâh, maka itu semua menjadi bekal baginya untuk pergi ke tempat yang lebih mulia dan kekal. Dengan demikian, sempurnalah baginya kebahagiaan dunia dan akhirat. Akan tetapi sebaliknya, barangsiapa menjadikan dunia sebagai cita-cita terbesarnya dan tujuan ilmu serta keinginannya, maka ia akan mendapat dunia sesuai dengan yang telah ditetapkan baginya oleh Allâh Azza wa Jalla . Lalu akhirnya, hidupnya sengsara, dia tidak merasakan kelezatan dan syahwatnya kecuali hanya sebentar saja. Kelezatannya sedikit, tetapi kesedihannya berkepanjangan.
Semua bentuk kelezatan dunia merupakan ujian dan cobaan. Tetapi yang terbesar dan terkuat yaitu fitnah wanita, karena fitnah mereka sangat besar. Terjatuh dalam fitnah wanita sangat berbahaya. Para wanita adalah perangkap dan tali-tali setan. Betapa banyak setan telah menjerumuskan laki-laki yang menjaga dirinya dari fitnah wanita tersebut, namun akhirnya terikat dan terjebak dalam kubangan syahwat, terus-menerus berbuat dosa, dan sulit untuk melepaskan diri darinya. Dosa-dosa itu menjadi tanggungannya, karena dia yang tidak menjaga dirinya dari ujian tersebut. Karena jika dia menjaga diri darinya, tentu dia tidak akan masuk ke pintu-pintu setan, tidak menantang ujian tersebut, dan dia akan senantiasa meminta tolong kepada Allâh agar diselamatkan dari fitnah tersebut serta terlepas dari ujian.
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan tentang fitnah wanita dalam hadits ini secara khusus. Dalam hadits ini, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan apa-apa yang telah terjadi pada ummat-ummat sebelum kita. Karena dalam semua peristiwa itu terdapat ‘ibrah (pelajaran) bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran, serta nasihat bagi orang-orang yang bertakwa. Wallâhu a’lam.[2]
Di dalam hadits ini disebutkan dua fitnah yang besar, yaitu fitnah dunia dan fitnah wanita.
FITNAH DUNIA
Hendaklah seorang Muslim benar-benar waspada terhadap fitnah dunia. Dunia ini indah dan manis, maka jangan sekali-kali seorang Muslim tertipu dengannya, karena kehidupan dunia adalah kehidupan yang menipu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
… Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya. [Ali ‘Imrân/3:185].
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
…Sungguh, janji Allâh pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu terpedaya oleh penipu dalam (menaati) Allâh. [Luqmân/31:33].
Ada kabar mutawatir dari Ulama Salaf mengatakan, bahwa cinta dunia merupakan induk dari segala kesalahan (dosa) dan merusak agama. Hal ini ditinjau dari beberapa segi.[3]
Pertama, mencintai dunia berarti mengagungkan dunia, padahal ia sangat hina di mata Allâh. Termasuk dosa yang paling besar adalah mengagungkan sesuatu yang direndahkan oleh Allâh Azza wa Jalla .
Kedua, Allâh mengutuk, memurkai, dan membenci dunia, kecuali yang ditujukan kepada-Nya. Karena itu, siapa yang mencintai apa yang dikutuk, dimurkai, dan dibenci Allâh maka ia akan berhadapan dengan kutukan, murka, dan kebencian-Nya.
Ketiga, mencintai dunia berarti menjadikan dunia sebagai tujuan dan menjadikan amal dan ciptaan Allâh yang seharusnya menjadi sarana menuju Allâh Azza wa Jalla dan negeri akhirat berubah arah menjadi mengejar kepentingan dunia. Di sini ada dua persoalan: (1) menjadikan wasilah (sarana) sebagai tujuan, (2) menjadikan amal akhirat sebagai alat untuk menggapai dunia.
Ini merupakan keburukan dari semua sisi. Juga berarti membalik sesuatu pada posisi yang benar-benar terbalik. Ini sesuai sekali dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ﴿١٥﴾أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh balasan di akhirat kecuali neraka. Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Hûd/11: 15-16)
Keempat, mencintai dunia membuat manusia tidak sempat melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya di akhirat, akibat dari kesibukannya dengan dunia dan kesukaannya.
Kelima, cinta dunia menjadikan dunia sebagai cita-cita terbesar manusia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَـهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَـتْهُ الدُّنْـيَا وَهِـيَ رَاغِمَـةٌ.
Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.[4]
Keenam, pecinta dunia adalah orang yang paling banyak tersiksa. Ia tersiksa dalam tiga keadaan. Ia tersiksa di dunia saat bekerja keras untuk mendapatkannya, dan berebut dengan sesama pecinta dunia. Dia tersiksa di alam barzakh (kubur) dan tersiksa pada hari Kiamat.
Ketujuh, penggila harta dan pecinta dunia yang lebih mengutamakan dunia daripada akhirat adalah orang yang paling bodoh. Sebab, ia lebih mengutamakan khayalan daripada kenyataan, lebih mengutamakan mimpi daripada kenyataan, lebih mengutamakan bayang-bayang yang segera hilang daripada kenikmatan yang kekal, lebih mengutamakan rumah yang segera binasa dan menukar kehidupan yang abadi nan nyaman dengan kehidupan yang tidak lebih dari sekedar mimpi atau bayang-bayang yang akan sirna dalam waktu singkat. Sesungguhnya orang yang cerdas tidak akan tertipu dengan hal-hal semacam itu.[5]
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
مُحِبُّ الدُّنْيَا لَا يَنْفَكُّ مِنْ ثَلَاثٍ: هَمٌّ لَازِمٌ ، وَتَعَبٌ دَائِمٌ ، وَحَسْرَةٌ لَا تَنْقَضِى
Pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal: (1) kesedihan (kegelisahan) yang terus-menerus, (2) kecapekan (keletihan) yang berkelanjutan, dan (3) penyesalan yang tidak pernah berhenti.[6]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا ابْنَ آدَمَ ! تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِـيْ أَمْلَأُ صَدْرَكَ غِنًـى وَأَسُدُّ فَقْرَكَ ، وَإِلَّا تَفْعَلْ مَلَأْتُ يَدَيْكَ شُغْلًا وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ.
Wahai anak Adam! Curahkanlah (gunakanlah) waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan (kecukupan) dan Aku tutup kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan tutup kefakiranmu.[7]
Seorang Muslim dan Muslimah tidak boleh tertipu oleh kehidupan dunia. Dan hendaklah ia mencurahkan waktunya untuk beribadah kepada Allâh.
Hadits-hadits tentang celaan terhadap dunia dan kehinaannya di sisi Allâh sangat banyak.
Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan melewati pasar sedang manusia berada di sisi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan melewati anak kambing jantan yang kedua telinganya kecil dan telah mati. Sambil memegang telinganya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa diantara kalian yang mau membeli ini seharga satu dirham ?” Orang-orang berkata, “Kami sama sekali tidak tertarik kepadanya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian suka jika ini menjadi milik kalian?” Orang-orang berkata, “Demi Allâh, kalau anak kambing jantan ini hidup, pasti ia cacat, karena kedua telinganya kecil, apalagi ia telah mati ?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allâh, sungguh, dunia itu lebih hina bagi Allâh daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian.”[8]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاللهِ ، مَا الدُّنْيَا فِـي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَـجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هٰذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَ بِالسَّبَّابَةِ – فِـي الْيَمِّ ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِـعُ ؟
Demi Allâh! Tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kalian meletakkan jari-jarinya -Yahya (perawi hadits) berisyarat dengan jari telunjuknya- ke laut, maka lihatlah apa yang dibawa jari-jarinya?[9]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لَوْ كَانَتِ الدُّنْـيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ.
Seandainya dunia di sisi Allâh sebanding dengan sayap nyamuk, maka Dia tidak memberi minum sedikit pun darinya kepada orang kafir.[10]
FITNAH WANITA
Demikian juga seorang Muslim harus waspada terhadap fitnah wanita, karena di antara manusia ada yang terseret oleh kecintaannya yang berlebihan terhadap istrinya sehingga ia berbuat durhaka kepada orang tua, memutuskan silaturahmi dan berbuat kerusakan di bumi, sehingga laknat Allâh akan menimpanya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ ﴿٢٢﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ
Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya. [Muhammad/47:22-23].
Di antara manusia ada yang diseret oleh kecintaannya kepada isterinya untuk mencari harta yang haram guna memenuhi kecintaannya dan memuaskan syahwatnya. Di antara mereka pun ada yang saling membunuh dengan tetangganya dengan sebab ulah istrinya. Maka, hendaklah seseorang berhati-hati terhadap fitnah wanita.[11]
Kecintaan suami terhadap isterinya dan kecintaan isteri terhadap suaminya tidak boleh menjadikan keduanya mengharamkan apa yang telah Allâh Subhanahu wa Ta’ala halalkan dan menghalalkan apa yang telah Allâh Subhanahu wa Ta’ala haramkan, atau melakukan dosa-dosa dan maksiat karena ingin mendapat keridhaan masing-masing dari keduanya atas yang lain.
Allâh Azza wa Jalla pernah menegur Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Dia berfirman:
Baca Juga Syubhat Tidak Berhijab : Iman Itu Letaknya di Hati
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴿١﴾ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ ۚ وَاللَّهُ مَوْلَاكُمْ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allâh bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati isteri-isterimu? Dan Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sungguh, Allâh telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allâh adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. [at-Tahrîm/66:1-2].
Di dalam ash-Shahîhain dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum madu di tempat Zainab binti Jahsyi dan tinggal bersamanya. Aku dan Hafshah Radhiyallahu anhuma bersepakat untuk mengatakan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui salah seorang dari kami, ‘Apakah engkau telah memakan maghafir? Sungguh aku mendapati darimu aroma maghafir’. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak, tetapi tadi aku minum madu di rumah Zainab binti Jahsyi dan aku tidak akan mengulanginya dan aku bersumpah. Jangan engkau beberkan hal ini kepada seorang pun,’ maka turunlah ayat ini [at-Tahrîm/66 :1-4].”[12]
Di sini Allâh telah memperingatkan kaum laki-laki agar tidak terfitnah dengan wanita, begitu juga kaum wanita agar tidak terfitnah dengan laki-laki. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴿١٤﴾ إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu,[13] maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allâh pahala yang besar. [at-Taghâbun/64:14-15].
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.[14]
Fitnah ini akan masuk ke dalam hati manusia yang merupakan sebab hati menjadi sakit. Dan fitnah ini banyak sekali macamnya.
DI ANTARA JENIS FITNAH WANITA
Melihat kepada perkara-perkara yang haram dilihat, sering memandang perempuan, membaca majalah porno, melihat gambar-gambar yang membuka aurat, menonton film cabul, menonton TV, sinetron, dan lain-lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
… فَزِنَى الْعَيْنَيْنِ النَّظَرُ…
… dan zinanya kedua mata adalah dengan memandang… [15]
Menjaga pandangan dan kemaluan termasuk dalam tazkiyatun–nufus. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. [an-Nûr/24:30].
Ikhtilâth (campur-baur laki-laki dan perempuan), khalwat (berdua-duaan laki-laki dan perempuan), pacaran, mabuk asmara (kasmaran), dan sebagainya.
Bersentuhan antara laki-laki dan perempuan, atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dan sebagainya.
Zina, kumpul kebo, nikah mut’ah, dan sebagainya. Nikah mut’ah sama dengan zina. Nas-alullâhal-‘afwa wal-‘âfiyah.
FAWÂA-ID:
Sesungguhnya dunia dijadikan Allâh indah dan manis.
Hendaklah seorang Mukmin jangan tertipu dengan dunia, dan tidak tenggelam dalam gemerlapnya dunia.
Anjuran untuk bersikap zuhud terhadap dunia.
Allâh Azza wa Jalla menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, yang sebagian mereka menggantikan sebagian yang lain, agar Allâh Azza wa Jalla dapat melihat bagaimana mereka bertindak terhadapnya.
Dunia adalah tempat ujian dan cobaan, bukan tempat yang kekal.
Peringatan agar berhati-hati terhadap fitnah dunia.
Peringatan agar berhati-hati terhadap fitnah wanita.
Fitnah dunia dan wanita merusak agama seseorang.
Dianjurkan belajar dan mengambil pelajaran dari ummat-ummat terdahulu. Karena apa yang menimpa Bani Israil bisa juga menimpa kaum lainnya, yakni jika kaum itu berbuat yang sama seperti mereka.
Orang yang bahagia adalah orang yang terhindar dari fitnah dunia dan wanita dan ia bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla .
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVII/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote:
[1] Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, I/146.
[2] Bahjatu Qulûbil-Abrâr, Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’di, hlm. 347-348.
[3] Dinukil dari ‘Idatush-Shâbirîn wa Dzakhîratusy-Syâkirîn, Imam Ibnul-Qayyim, hlm. 348, 350-356 dengan diringkas, tahqiq dan takhrij: Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
[4] Shahîh, HR Ahmad (V/183), Ibnu Majah (no. 4.105), Ibnu Hibban (no. 72-Mawâriduzh Zham-ân), dan al-Baihaqi (VII/288) dari Sahabat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik Ibnu Majah. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 950).
[5] Lihat ‘Idatush-Shâbirîn wa Dzakhîratusy-Syâkirîn, Ibnul Qayyim, hlm. 350-356 dengan diringkas.
[6] Ighâtsatul-Lahafân (I/87-88) dan lihat Mawâridul-Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil-Lahafân (hlm. 83-84).
[7] Shahîh. HR Ahmad (II/358), at-Tirmidzi (no. 2.466), Ibnu Majah (no. 4.107), dan al-Hakim (II/443) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1359) dan Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb (no. 3166).
[8] Shahîh. HR Muslim, no. 2.957.
[9] Shahîh. HR Muslim (no. 2858) dan Ibnu Hibban (no. 4315-at-Ta’lîqâtul-Hisân) dari al-Mustaurid al-Fihri.
[10] Shahîh. HR at-Tirmidzi (no. 2320) dan Ibnu Majah (no. 4110) dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik at-Tirmidzi.
[11] Dinukil dari Fiqh Ta’amul-Bainaz-Zaujain, Syaikh Musthafa al-‘Adawy, hlm. 67-69, secara ringkas.
[12] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 4912) dan Muslim (no. 1474 (20)), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha.
[13] Yaitu terkadang isteri atau anak dapat menjerumuskan suami atau ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama.
[14] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5.096) dan Muslim (no. 2.740 (97)), dari Sahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma.
[15] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6.612), Muslim (no. 2.657 (20)), Ahmad (II/276) dan Abu Dawud (no. 2.152).
Sumber: https://almanhaj.or.id/