Segala puji hanya untuk Allah Ta’ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam . Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Ta’alla semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba’du:
Termasuk dosa yang paling besar disisi Allah Shubhanahu wa Taala ialah menyekutukan Dirinya dengan selain Allah azza wa jalla. Hal itu, sebagaimana sangat tegas Allah Shubhanahu wa Taala nyatakan dalam sebuah firman -Nya:
وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَتَخۡطَفُهُ ٱلطَّيۡرُ أَوۡ تَهۡوِي بِهِ ٱلرِّيحُ فِي مَكَانٖ سَحِيقٖ [ الحج: 31]
“Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh”. [al-Hajj/22: 31).
Dalam surat al-Ma’un Allah Shubhanahu wa Taala mencela orang-orang yang sholat, numun ditujukan bukan untuk -Nya. Dimana Allah Shubhanahu wa Taala berfirman:
فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ – ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ – ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ – وَيَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ [ الماعون: 4-7]
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. orang-orang yang berbuat riya. dan enggan (menolong dengan) barang berguna”. [al-Maa’un/107: 4-7].
Imam Ibnu Qoyim menjelaskan: “Dan kesyirikan ini adalah lautan yang tak bertepi (karena begitu banyak ragamnya). Dan sangat sedikit sekali yang bisa selamat darinya. Sehingga barangsiapa yang menginginkan amalannya bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala maka dirinya telah terjatuh dalam lubang kesyirikan pada iradah (keinginan) serta niatnya.
Sedangkan yang dinamakan ikhlas ialah memurnikan kepada Allah Shubhanahu wa Taala pada ucapan, perbuatan, niat dan keinginannya. Maka ini termasuk dari ajaran agama yang lurus, yaitu agamanya nabi Ibrahim ‘alaihi sallam, yang mana Allah Shubhanahu wa Taala memerintahkan seluruh seluruh hamba -Nya untuk beragama dengan ajaran tersebut, dan -Dia menegaskan tidak akan menerima selain dari ajaran itu, inilah sejatinya agama Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman -Nya:
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ [ ال عمران: 85]
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. [al-Imran/3: 85].
Inilah milah (agamanya) nabi Ibrahim, sehingga barangsiapa yang membencinya maka dia termasuk orang yang paling bodoh”[1]
Dalam sebuah hadits disebutkan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ » [أخرجه البخاري و مسلم]
“Barangsiapa (beramal) tujuannya untuk didengar (oleh manusia) maka Allah akan memperdengarkan padanya. Dan barangsiapa (beramal) dengan tujuan supaya dilihat (orang) maka Allah akan memperlihatkan padanya“. [HR Bukhari no: 6499. Muslim no: 2987].
Kalimat riya’ di ambil dari asal kata ru’yah yang artinya seseorang menyukai jika dilihat oleh orang lain. Lalu dirinya beramal sholeh dengan tujuan supaya mereka memujinya.
Perbedaan antara riy’a dengan sum’ah adalah kalau riya’ dari amal perbuatan yang kelihatannya dilakukan karena Allah Shubhanahu wa Taala namun bathinnya berniat supaya diperhatikan orang, seperti halnya orang yang sedang melakukan sholat atau bersedekah. Adapun sum’ah ialah memperdengarkan perkataannya yang secara dhohir untuk Allah Shubhanahu wa Taala namun, dirinya mempunyai tujuan untuk selain -Nya, seperti halnya, orang yang sedang membaca al-Qur’an atau berdzikir, berceramah, serta lainnya dari amalan lisan.
Tujuan orang yang berbicara tadi adalah supaya didengar perkataannya oleh orang lain sehingga mereka memujinya seraya mengatakan dirinya luar biasa dalam menyampaikan materi, atau khutbahnya sangat mengena, atau suaranya sungguh indah tatkala membaca al-Qur’an..demikian seterusnya. [2]
Adapun makna ra’allah dan sam’a dalam hadits diatas, dijelaskan oleh beberapa ulama: ‘Sesungguhnya Allah Shubhanahu wa Taala akan membuka aibnya kelak pada hari kiamat’. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, dari Abu Hindun ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ قَامَ مَقَامَ رِيَاءٍ وَسُمْعَةٍ رَايَا اللَّهُ تَعَالَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَسَمَّعَ » [أخرجه البخاري و مسلم]
“Barangsiapa yang berdiri karena riya’ dan sum’ah, maka Allah akan membuka serta memperlihatkan aibnya kelak pada hari kiamat“. [HR Ahmad 37/7 no: 22322].
Dan riya’ ini bisa terjadi, ada kalanya ketika seseorang menginginkan supaya dipuji dan disanjung sama orang lain, bahkan bisa terjadi manakala dirinya berusaha menghindar dari celaan mereka. Seperti halnya, seseorang yang memperbagusi sholatnya supaya tidak dikatakan sholatnya ngebut, cepat sekali. Atau ingin menguasai kepunyaan orang lain.
Yang membenarkan hal tersebut adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً أَىُّ ذَلِكَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِىَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » [أخرجه البخاري و مسلم]
“Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang berangkat ke medan jihad karena pemberani, atau karena membela negerinya, atau supaya dilihat orang, manakah ketiga orang tersebut yang telah berjihad dijalan Allah? Maka beliau menjawab: “Barangsiapa yang berjihad supaya kalimat Allah menjadi tinggi maka dialah orang yang berjihad dijalan Allah“. [HR Bukhari no: 2810. Muslim no: 1904].
Perkataan penanya: “Karena pemberani“. Maksudnya dirinya berangkat jihad supaya dikenal dan dikenang sebagai seorang pemberani. Adapun ucapannya: “Berperang untuk membela“. Maksudnya perangnya bertujuan untuk membela keluarga, atau kabilah, kerabat, atau temannya.
Atau kemungkinan kedua maksud ucapannya bisa diartikan berperang untuk membela diri dari mara bahaya. Sedangkan ucapannya: “Berperang supaya dilihat“. Maksudnya supaya dilihat kedudukannya dimata manusia. Orang pertama jelas, adapun orang kedua karena dirinya sum’ah sedangkan yang terakhir karena riya’, maka semuanya tercela. [3]
Dan riya’ ini sejatinya adalah syirik yang tersembunyi. Seperti diterangkan dalam sebuah hadits, yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan: “Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dari rumahnya, lalu bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَشِرْكَ السَّرَائِرِ ” قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا شِرْكُ السَّرَائِرِ؟ قَالَ: ” يَقُومُ الرَّجُلُ فَيُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلاتَهُ جَاهِدًا لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ النَّاسِ إِلَيْهِ، فَذَلِكَ شِرْكُ السَّرَائِرِ » [ أخرجه ابن خزيمة ]
“Wahai manusia, hati-hatilah kalian dari kesyirikan yang tersembunyi”. Maka para sahabat bertanya: “Wahai Rasulallah, apa kesyirikan yang tersembunyi itu? Beliau menjawab: “Seseorang yang berdiri mengerjakan sholat, lalu dirinya memperbagusi sholat dengan sungguh-sungguh tatkala ada manusia yang melihat kepadanya. Itulah yang dinamakan syirik yang tersembunyi“. [HR Ibnu Khuzaimah 2/67 no: 937. Dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam shahih Targhib wa Tarhib 1/119 no: 31].
Hanya saja dinamakan riya’ dengan perbuatan syirik yang tersembunyi, dikarenakan pelakunya menampakan dimata orang lain amalannya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla, namun dirinya mempunyai tujuan untuk selain -Nya atau bahkan untuk yang disekutukan. Dan dirinya memperbagusi sholat untuknya, sedangkan niat, tujuan serta amalan hati itu tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla.[4]
Bahaya Riya’:
Riya’ juga termasuk syirkun asghar (syirik kecil). Sebagaimana dipaparkan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari sahabat Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ. قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً » [أخرجه أحمد]
“Sesungguhnya tidak ada yang paling aku khawatirkan atas kalian dari pada syirik kecil”. Para sahabat bertanya: “Apa syirik kecil itu wahai Rasulallah? Beliau berkata: “Riya’. Allah ta’ala kelak akan berkata pada hari kiamat apabila manusia telah menerima balasan selaras amalannya masing-masing: ‘Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian berbuat riya’ padanya ketika didunia, lalu lihatlah apakah kalian menjumpai disisinya balasan?! [HR Ahmad 39/39 no: 2363].
Artinya amalan orang yang berbuat riya’ itu hilang, di mana kelak pada hari kiamat mereka disuruh untuk mendatangi orang-orang yang dirinya berbuat riya’ padanya ketika didunia, lalu dikatakan padanya: ‘Lihatlah apakah kalian mendapati ganjarannya“. Maksudnya mereka-mereka yang kalian berusaha untuk memperbagusi amalan dihadapannya ketika didunia, apakah kalian mendapati disisi mereka pahala?!.
Seorang penyair berkata dalam qosidahnya:
Tiap orang akan mengetahui seluruh perbuatannya
Jika sampai di sisi Allah yang Maha Mengetahui
Dampak terburuk dari perbautan riya’ ini adalah akan memasukan pelakunya ke dalam neraka. Sebagaimana di tegaskan dalam hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا .قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا. قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِىءٌ. فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ .
وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا. قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ :كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ.
وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا. قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِىَ فِى النَّارِ » [أخرجه مسلم]
“Sesungguhnya orang pertama yang akan dihukumi kelak pada hari kiamat ialah seseorang yang mati syahid. Dirinya dihadapkan kepada Allah, lalu diperlihatkan nikmat sebagai balasannya, dan iapun mengakuinya. Kemudian dia ditanya: “Apa yang engkau kerjakan? Dia menjawab: “Aku terbunuh dijalan Mu sampai kiranya aku mati syahid”. Allah menyanggah: “Dusta kamu. Akan tetapi engkau berjihad supaya dikatakan pemberani, dan kamu telah mendapatkan”. Lantas orang tersebut diperintahkan supaya diseret wajahnya hingga dicemplungkan ke dalam neraka.
Kemudian seseorang yang mempelajari ilmu lalu mengajarkannya, dan membaca al-Qur’an. Dirinya didatangkan menghadap Allah, lalu diperlihatkan nikmat-nikmat yang akan diperolehnya, dan ia pun mengakuinya. Kemudian dia ditanya: “Apa yang engkau dulu kerjakan? Ia menjawab: “Aku belajar ilmu lalu mengajarkan pada orang lain. Dan aku membaca al-Qur’an untuk Mu”. Allah menyanggah: “Dusta kamu, akan tetapi, engkau belajar ilmu supaya dikatakan sebagai orang yang alim, dan engkau membaca al-Qur’an supaya dikatakan qori’ (ahli membaca al-Qur’an), dan kamu telah memperolehnya. Kemudian dirinya diperintahkan supaya diseret wajahnya hingga dimasukkan ke dalam neraka.
Kemudian seseorang yang telah dilapangkan oleh Allah dan dikasih berbagai macam jenis harta seluruhnya. Dirinya didatang kepada Allah, lalu diperlihatkan nikmat-nikmat yang akan diperolehnya, dan ia pun mengakuinya. Kemudian dia ditanya: “Apa yang dulu engkau kerjakan? Dia menjawab: “Tidak ada yang aku lewatkan satu sarana pun yang Engkau cintai supaya berinfak didalamnya melainkan pasti aku berinfak padanya untuk Mu”. Allah menyanggah: “Dusta kamu, akan tetapi, engkau melakukannya supaya dikatakan dermawan, dan engkau sudah mendapatkannya”. Kemudian diperintahkan supaya dirinya diseret wajahnya lalu dilemparkan ke dalam neraka”. [HR Muslim no: 1905].
Al-Hafidh Ibnu Rajab menjelaskan: “Orang yang pertama kali dicemplungkan ke dalam neraka dari kalangan orang yang bertauhid diantara hamba Allah Shubhanahu wa Taala adalah orang yang berbuat riya’ di dalam amalannya. Yang terdepan ialah orang alim, mujahid, dan penderma yang semuanya beramal karena bertujuan riya’.
Itu menunjukan bahwa perbuatan riya’ termasuk kategori perbuatan syirik, dan itu dikarenakan orang yang berbuat riya’ tidak mengetahuinya melainkan kebodohannya akan ke agungan Sang Pencipta”. [5]
Catatan:
Dalam hal ini ada dua catatan penting yang harus diperhatikan:
Pertama: Bahwa senangnya seorang hamba manakala dipuji oleh orang lain sedangkan dirinya sama sekali tidak bermaksud supaya dipuji, maka keikhlasan dirinya tidak aib sama sekali. Selagi dirinya memulai amalannya dengan ikhlas, dan keluar dari ibadah itupun rasa ikhlasnya terus mengirinya.
Dalilnya adalah sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ قَالَ : تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ » [أخرجه مسلم]
“Pernah dikatakan kepada Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Bagaimanakah menurutmu dengan seseorang yang beramal kebajikan lalu dirinya dipuji oleh manusia? Beliau menjawab: “Itu termasuk kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin“. [HR Muslim no: 2642].
Ibnu Rajab menjelaskan: “Apabila ada orang yang beramal suatu amalan karena Allah Shubhanahu wa Taala secara ikhlas kemudian -Dia menempatkan padanya pujian yang baik dihati orang yang beriman dengan sebab amalannya tersebut, kemudian dirinya merasa bahagia dengan karunia dan rahmat serta kabar gembira yang diberikan Allah Shubhanahu wa Taala padanya, maka hal tersebut tidak mengganggu keikhlasannya”. [6]
Kedua: Seorang mukmin tidak meninggalkan suatu ibadah karena orang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menuturkan: “Bagi seseorang yang sudah punya kebiasan yang masyru’ (disyari’atkan) semisal sholat dhuha, atau sholat malam, atau yang lainnya. Maka dirinya sholat dimanapun dirinya berada. Dan tidak sepatutnya dia meninggalkan kebiasaan baiknya tersebut dikarenakan sedang berada dihadapn orang, dimana Allah Shubhanahu wa Taala mengetahui dari hatinya kalau dirinya mengerjakan secara ikhlas tatkala sendirian, dan hal itu tentunya sambil dibarengi usahanya untuk selamat dari perbuatan riya’ serta perusak keikhlasannya”. [7]
Kesimpulannya:
Bahwa perbuatan riya’ akan menghapus amal ibadah, penyebab murkanya Allah Shubhanahu wa ta’alla, laknat serta dibenci oleh -Nya. Perbuatan riya’ termasuk dosa besar yang menghancurkan, bagian dari syirik kecil yang tidak akan diampuni pelakunya jika sampai meninggal, bahkan dirinya terancam adzab dan siksa sesuai dengan ukurannya. Allah Shubhanahu wa Taala menjelaskan akan hal itu dalam firman -Nya:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا [ النساء: 48]
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki -Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. [an-Nisaa’/4: 48].
Sehingga sepantasnya bagi seorang muslim untuk meninggalkan sekuat tenaga perbuatan riya’ ini. berusaha semampunya untuk menghilangkan dalam dirinya, kemudian mengikhlaskan amal ibadahnya karena Allah Shubhanahu wa ta’alla, baik dalam ucapan, perbuatan, keinginan serta segala urusannya. Dimana Allah Shubhanahu wa Taala mengatakan dalam firman -Nya:
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ – لَا شَرِيكَ لَهُۥۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ [ الأنعام: 162-163]
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi –Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [al-An’am/6: 162-163].
Akhirnya kita tutup kajian kita dengan mengucapkan segala puji hanya bagi Allah Shubhanahu wa Taala Rabb seluruh makhluk. Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam , kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.
[Disalin dari الرياء Penulis Syaikh Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Penerjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2013 – 1435]
______
Footnote:
[1] ad-Daa’u wa Dawa’u oleh Ibnu Qoyim hal: 194.
[2] I’anatul Mustafid bii Syarh Kitabut Tauhid karya Syaikh Sholeh al-Fauzan 2/90.
[3] Fathul Bari 6/28.
[4] ad-Diinul Khalish 2/385.
[5] Kalimatul Ikhlas hal: 39.
[6] Jami’ul Ulum wal Hikam 1/83.
[7] Majmu Fatawa 2/263.
Sumber: https://almanhaj.or.id/