Oleh Ari Wahyudi, S.Si.
Tsabit al-Bunani Rahimahullah berkata, “Beruntunglah orang yang senantiasa mengingat waktu datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak mengingat kematian, kecuali akan tampak buahnya di dalam amal perbuatannya.”
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنَّ ٱلْمَوْتَ ٱلَّذِى تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُۥ مُلَٰقِيكُمْ ۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Katakanlah; Sesungguhnya kematian yang kalian senantiasa berusaha lari darinya, dia pasti menemui kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada Dzat yang mengetahui perkara gaib dan perkara yang tampak, lalu Allah akan memberitakan kepada kalian apa-apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Jumu’ah: 8).
Allah Ta’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ
“Setiap jiwa pasti merasakan kematian” (QS. Ali ‘Imran: 185).
Allah Ta’ala berfirman,
ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ
“(Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Al-Mulk: 2).
Allah Ta’ala berfirman,
وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ
“Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kematian” (QS. al-Hijr: 99).
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan beragama Islam” (QS. Ali ‘Imran: 102).
Allah Ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah dipersiapkan olehnya untuk hari esok” (QS. Al-Hasyr: 18).
Allah Ta’ala berfirman,
وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
“Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kalian kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal” (QS. Al-Baqarah: 198).
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ’anhu berkata, “Tidak ada waktu bagi seorang mukmin untuk bersantai-santai kecuali ketika dia sudah berjumpa dengan Allah.”
Suatu ketika ada yang berkata kepada Hasan al-Bashri Rahimahullah, “Wahai Abu Sa’id, apa yang harus kami perbuat? Kami berteman dengan orang-orang yang senantiasa menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami hendak melayang.”
Maka beliau rahimahullah menjawab, “Demi Allah! Sesungguhnya jika kamu berteman dengan orang-orang yang senantiasa menakut-nakuti dirimu hingga mengantarkan dirimu kepada keamanan, maka itu lebih baik daripada kamu bergaul dengan teman-teman yang senantiasa menanamkan rasa aman hingga menyeretmu kepada situasi yang menakutkan.”
Seorang penyair mengatakan,
“Wahai anak Adam, Engkau terlahir dari ibumu seraya melempar tangisan.
Sedangkan orang-orang di sekelilingmu tertawa gembira.
Maka, beramallah untuk menyambut suatu hari tatkala mereka melempar tangisan.
Yaitu hari kematianmu, ketika itu Engkau-lah yang tertawa gembira.”
Tsabit al-Bunani Rahimahullah berkata, “Beruntunglah orang yang senantiasa mengingat waktu datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak mengingat kematian kecuali akan tampak buahnya di dalam amal perbuatannya.”
Syaikh Abdul Malik al-Qasim berkata, “Betapa seringnya, di sepanjang hari yang kita lalui kita membawa (jenazah]) orang-orang yang kita cintai dan teman-teman menuju tempat tinggal tersebut (alam kubur). Akan tetapi, seolah-olah kematian itu tidak mengetuk kecuali pintu mereka, dan tidak menggoncangkan kecuali tempat tidur mereka. Adapun kita; seolah-olah kita tak terjamah sedikit pun olehnya!!”
‘Amar bin Yasir Radhiyallahu’anhu berkata, “Cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat dan pelajaran. Cukuplah keyakinan sebagai kekayaan. Dan cukuplah ibadah sebagai kegiatan yang menyibukkan.”
al-Harits bin Idris rahimahullah berkata, Aku pernah berkata kepada Dawud ath-Tha’i rahimahullah, “Berikanlah nasihat untukku.” Maka beliau rahimahullah menjawab, “Tentara kematian senantiasa menunggu kedatanganmu.”
Abud Darda’ Radhiyallahu ’anhu berkata, “Barang siapa yang banyak mengingat kematian, niscaya akan menjadi sedikit kegembiraannya dan sedikit kedengkiannya.”
Abud Darda’ Radhiyallahu ’anhu berkata, “Aku senang dengan kemiskinan, karena hal itu semakin membuatku merendah kepada Rabbku. Aku senang dengan kematian, karena kerinduanku kepada Rabbku. Dan aku menyukai sakit, karena hal itu akan menghapuskan dosa-dosaku.”
Hasan al-Bashri Rahimahullah berkata, “Tidaklah aku melihat sebuah perkara yang meyakinkan yang lebih mirip dengan perkara yang meragukan daripada keyakinan manusia terhadap kematian sementara mereka lalai darinya. Dan tidaklah aku melihat sebuah kejujuran yang lebih mirip dengan kedustaan daripada ucapan mereka, ‘Kami mencari surga padahal mereka tidak mampu menggapainya dan tidak serius dalam mencarinya.”
Salah seorang yang bijak menasihati saudaranya, “Wahai saudaraku, waspadalah Engkau dari kematian di negeri (dunia) ini sebelum Engkau berpindah ke suatu negeri yang Engkau mengangan-angankan kematian, akan tetapi Engkau tidak akan menemukannya.”
Ibnu Abdi Rabbihi berkata kepada Mak-hul, “Apakah Engkau mencintai surga?” Mak-hul menjawab, “Siapa yang tidak cinta dengan surga.” Lalu Ibnu Abdi Rabbihi pun berkata, “Kalau begitu, cintailah kematian, karena Engkau tidak akan bisa melihat surga kecuali setelah mengalami kematian.”
Sumber: https://muslim.or.id/